Sumbangan Antropologi dalam Pendampingan Pastoral

Aart Van Beek, Pendampingan Pastoraal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-3, 2007

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Perspektif
Pendampingan pastoral diartikan secara sederhana oleh Van Beek sebagai pendekatan yang efektif dalam melayani penderita (klient). Dalam arti yang lebih operatif, Van Beek meminjam istilah ‘mendampingi’, sebagai suatu kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi oleh ‘pendamping’.

Van Beek melihat pada suatu interaksi sejajar atau relasi timbal-balik, dalam arti itu kegiatan pendampingan memiliki makna kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan (hlm.9).

Relasi sejajar itu menempatkan pendamping dan orang yang didampingi pada kedudukan yang seimbang dan timbal-balik. Dalam hal ini pendamping mempunyai fasilitas lebih dari orang yang didampingi,yakni lebih sehat, mempunyai keterampilan, dsb. Akan tetapi, fasilitas ini harusla dipakai sedemikian rupa, sehingga terjadi suatu interaksi timbal-balik dan sederajat, saling membagi dan menumbuhkan. Perspektif itu akan menempatkan pendamping sebagai orang yang melihat orang yang didampingi dalam perspektif yang lebih luas, tidak sebatas pada problem atau gejala saja, melainkan lebih dalam, yakni kepada manusia yang utuh: fisik, mental, dan rohani (hlm.10)

Van Beek merincikan beberapa bentuk defenisi penggembalaan, yakni (hlm.11-12):
· Pertama, pembinaan, yaitu tugas membentuk watak seseorang dan mendidik mereka untuk menjadi murid Kristus yang baik,
· Kedua, pemberitaan Firman Allah, melalui pertemuan antar-pribadi atau dalam kelompok kecil, walaupun juga dapat dilakukan dalam khotbah dan liturgi. Hal ini berarti bahwa dalam pertemuan sudah pasti injil harus dibicarakan supaya yang hadir dapat dibimbing dan disadarkan.
· Ketiga, pelayanan yang berhubungan dengan sakramen (Katolik).
· Keempat, pelayanan penyembuhan, yaitu pelayanan rohani yang mengakibatkan penyembuhan fisik, dll (Karismatik).
· Kelima, pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan sosial dan pelayanan berjuang melawan ketidakadilan.
· Keenam, pelayanan di mana manusia yang terlibat dalam interaksi menantikan dan menerima kehadiran dan partisipasi Tuhan Allah. Yang dinantikan sebenarnya adalah suatu penyataan dari Allah.
· Ketujuh, konseling pastoral yang menggunakan teknik-teknik khusus yang dipinjam dari ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi.

Dari situ, fungsi penggembalaan, sebagaimana Clinebell, yakni (hlm.12):
- Fungsi membimbing (misalnya dalam konseling pra-nikah)
- Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan (konflik antar-pribadi, masalah iman)
- Fungsi menopang/menyokong (dalam menolong mereka yang mengalami krisis kehidupan)
- Fungsi menyembuhkan (orang berdukacita, yang terluka bathinnya)
- Fungsi mengasuh (mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistik)

2. Pendampingan Pastoral Lintas-Budaya
Beberapa teoretisi seperti Derald Sue, Paul Pedersen dan Albert Gaw menggunakan pendekatan lintas budaya dalam konseling pastoral. Menurut mereka, melalui keterampilan dan kepekaan budaya, konselor akan lebih cenderung untuk memahami kata-kata[E1] , pemikiran, dan perilaku dari seorang konseli dengan latar belakang budaya yang sama.

Sedikit berbeda dari ketiganya, David Augsburger, lebih mementingkan faktor filasafat hidup dan kepekaan/kesadaran yang diperlukan dalam konseling lintas budaya dan garis besar etika konseling pastoral linas budaya dengan dasar teologis. Ia menjelaskan bahwa pemahaman yang luas tentang kompleksitas filsafat hidup manusia dan pengaruh filsafat itu pada pemikiran pribadi-pribadi sangat diperlukan dalam mendalami pendampingan dan konseling pastoral lintas budaya.

Menurut Van Beek, pastoral lintas budaya dimaksudkan untuk bertanya bagaimana kita dapat mengerti pengalaman seseorang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pendekatan pendampingan kita tergantung pada jawaban terhadap pertanyaan itu. Dan pertenyaan itu menjadi fokus hermeneutika dalam menganalisanya (hlm.53).

Di dalam pastoral lintas budaya, aspek fungsi dari berbagai ritus dan upacara kebudayaan juga menjadi hal yang penting dimaknai. Sebab di dalam semua itu terkandung struktur-struktur dasar perilaku manusia. Mengikuti antrpologi strukturalnya Levi Straus, aspek kebudayaan dan kepribadian menjadi dua hal yang saling terkait. Dengan kata lain, sesuatu yang mencirikan kebudayaan membawa makna untuk pemilik kebudayaan-kebudayaan itu (hlm.57).
Menurut Van Beek, dalam pastoral lintas budaya, aspek kesadaran dan kemampuan perlu dimiliki oleh seorang pendampintg. Tentang itu, ia merincikan beberapa tipe kesadaran dan keterampilan, yakni:

a. Kesadaran tentang tindakan fisik: cara kita mengarahkan badan kita mempengaruhi suasana percakapan. Misalnya, pada umumnya pendamping pria tidak diperkenankan berdiri atau duduk terlalu dekat dengan penderita wanita.

b. Kesadaran mengenai suara dan bahasa: seseorang yang sungguh-sungguh berada dala keadaan sakit tidak senang dengan cara berbicara yang terlalu kuat atau keras atau gaya berbicara yang terlalu cepat.

c. Kesadaran mengenai topik-topik yang tepat dan kemampuan menanggapi secara cepat: ada topik yang dapat dibahas dalam satu kebudayaan yang tidak tepat dalam kebudayaan lain.

d. Kesadaran akan keterpaduan pengalaman penderita: pendamping lintas budaya perlu sadar bahwa penderitaan tidak meliputi satu aspek saja, tetapi banyak aspek dalam keseluruhan.

e. Kesadaran akan harapan penderita: pendamping perlu sadar bahwa ada harapan tertentu untuk proses pertolongan.

f. Kesadaran tentang kode-kode budaya. Seringkali kode-kode komunikasi budaya dapat dimengerti semua orang dan dimaksudkan untuk pribadi, kadang kode-kode menjadi misteri bagi orang dari kebudyaan yang lain.

g. Kesadaran mengenai bagaimana agama yang lain mempengaruhi pikiran penderita.

h. Kesadaran akan perbedaan pengalaman wanitan dibandingkan dengan pengalaman pria dalam masyarakat, mengingat posisi pria yang lebih berkuasa.

i. Kesadaran mengenai pengertian kelas dan status sosial

j. Kesadaran mengenai kuasa generasi: dalam kebudayaan tertentu kata-kata orang tua atau kepala adat atau orang-orang yang berkedudukan lain tidak boleh dilawan sama sekali sehingga dapat sangat membatasi peluang penderita untuk keluar dari situasi yang sulit.

k. Kemampuan hermeneutis

l. Keterampilan menganalisis/mendiagnose. Ini dilakukan dengan memperhatikan konsep diri (identitas) penderita, rasa memiliki (sense of belonging), dan filsafat/pandangan hidup (worldview).

m. Kemampuan integratif: pendamping perlu mampu menyusun teka-teki dari informasi analitis/diagnostik dengan informasi sosial, mental, fisik, dan spiritual lainnya.

n. Kemampuan metodologis dalam konseling yang mendalam: pendamping sebagai konselor perlu mampu menerapkan pendekatan konseling yang berfokus pada pola berpikir, emosi motivasi atau tingkah laku yang sesuai dengan harapan/kebutuhan, kepribadia, umur, kebudayaan, dan persoalan penderita.

[E1]Dalam pendekatan antropologi, upaya ini dimaksudkan untuk memahami emic perspective yang melandasi suatu perilaku atau pemahaman masyarakat/komunitas budaya.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara