Posts

Showing posts from 2010

Ethos Semut

Fabel dan Kritik Sosial dalam Amsal 6:6-8 Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Dialog dan Tingkah Pola: Unsur Dasar Fabel Tahun 1992, waktu duduk di Kelas II [A4] SMA Negeri 1 Ambon, kami mendapat pelajaran Sastra. Ibu Guru Sastra kami waktu itu adalah Dra. Tomasoa, yang juga seorang pujangga perempuan daerah Maluku. Beliau menerangkan tentang fabel, atau suatu jenis cerita dengan mencontohi dari hewan atau binatang. Beberapa cerita lokal yang kala itu dituturkan a.l: kancil dan buaya, atau ‘monyet dan tuturuga’ (penyu). Cerita-cerita lucu itu memang menjadi cerita favorit orang tua kepada anak-anak mereka menjelang tidur. Lakon fabel, menunjuk pada ada suatu tingkah-pola yang perlu diperhatikan karena bisa saja menjadi bagian dari tingkah-pola manusia dalam dunia nyata. Artinya, tingkah-pola hewan-hewan/binatang itu hanyalah pemajasan atau parafrasa dari tindakan manusia yang non-fiksi, demikian penjelasan guru kami itu –kurang lebih begitu yang masih bisa saya rekam. Dari segi kritik sa

ROH YANG MEMUJI

[Bahan Renungan: Mazmur 124:6-8] Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Kekristenan itu bukan slogan, sebab kekristenan itu adalah kemampuan manusia mewujudkan pesan-pesan Injil dalam kata dan tindakan mereka. Artinya kekristenan itu adalah manusia itu sendiri, yakni manusia yang sudah dipanggil dan diutus TUHAN untuk menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera di dunia, melalui pelayanan nyata bagi sesama manusia. Kekristenan itu bukan roh yang mati, tetapi kekristenan itu ada dan hidup karena ROH KUDUS. Kekristenan itu berarti juga suatu kelepasan dari berbagai jerat, tantangan, godaan, cobaan, masalah, bukan secara pasif, tetapi melalui suatu usaha yang dibimbing oleh Roh Kudus. Sebab itu kekristenan itu berintikan pada relasi antarmanusia, relasi antariman. Menjadi kristen berarti berjumpa dengan semua orang dan berhadapan dengan semua masalah. Maka kalau orang kristen harus memuji TUHAN, karena mereka mengalami bahwa di dalam rupa-rupa jerat, tantangan, godaan, cobaan, dan masalah, mereka di

Si Miskin Berhikmat yang Dilupakan

[Pengkhotbah 9:13-18] Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Sia-sia! Begitulah kesan umum orang membaca kitab Pengkhotbah. Tetapi apakah memang kitab ini ditulis untuk membuat kita menjadi pesimis? Ataukah ada pelajaran lain yang positif dari kitab ini, namun kita kurang mendalaminya, karena terjebak dengan kesan ‘sia-sia’ tadi? Mari membaca secara teliti kitab ini. Karena berbagai perumpamaan, seperti ‘menjaring angin’ tidak harus dipahami sebagai ajaran yang menanamkan rasa pesimisme di kalangan umat. Penulis kitab Pengkhotbah sebenarnya mau berkata begini: apalah artinya kita memiliki hikmat atau berkata kita orang beriman, jika kita selalu menjadi ragu-ragu atas segala sesuatu yang sudah kita lakukan atau kerjakan? Kita selalu mengaku percaya kepada Tuhan, tetapi selalu ragu-ragu pula dengan rencana dan maksud Tuhan dalam hidup kita. Ibarat kita tidak sepenuhnya menaruh percaya kepada Tuhan, dan percaya sekedar sebatas bibir, tidak disertai dengan hati. Di sinilah letak soalnya mengapa p

Sterkte! Kuatkanlah dirimu!

Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [ hope ]. Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/p

Menjadi Kristen yang Cerdas

Bahan Bacaan: Kisah Para Rasul 6:8-15 Fokus: Ay. 10 Menjadi orang kristen kita harus cerdas. Kecerdasan kristen adalah kecerdasan yang didasarkan pada hikmat. Sebab hikmat mengajarkan kita untuk sanggup memahami kita dipanggil TUHAN untuk menghadirkan damai sejahtera, dan melakukan hal-hal yang baik. Karena jika kita kedapatan melakukan hal-hal yang salah, negatif, kita diidentikkan dengan sebagai orang bodoh; sebaliknya melakukan hal-hal baik, positif, kita disebut berhikmat (cerdas). Stefanus menunjukkan bahwa kecerdasan kristen tampak dalam isi pemberitaan kita. Pemberitaan kristen itu berdasar pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah kebenaran mengenai karya Kristus di tengah dunia. Bahwa Kristus adalah seorang hamba Allah yang setia yang melakukan banyak perkara besar dan ajaib di tengah dunia. Perbuatan Kristus itu memungkinkan manusia memiliki keselamatan, karena perbuatan Kristus adalah perbuatan kasih yang bertujuan menebus manusia dari dosa. Kebenaran kristen membuat kita dih

Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 2]

Elifas Tomix Maspaitella Bahan Bacaan: Yakobus 4:7-10 Ayat Fokus : ay.10 “Rendahkan dirimu di hadapan TUHAN dan IA akan meninggikan kamu” Berdoa itu berarti kita sadar TUHAN itu berlimpah dan kaya dalam kuasa dan kasihNya. Dengan kalimat lain, orang yang berdoa itu sadar bahwa dia memiliki potensi yang terbatas, berhadapan dengan TUHAN yang omnipotent (Maha segalanya). Maka jika ia meminta dalam doa, sebetulnya bukan karena ia tidak memiliki potensi, tetapi ia meminta TUHAN memberi kemampuan untuk mengelola potensinya. Ada dua kondisi pribadi yang mesti dibenahi saat kita berdoa: a) tahirkanlah tanganmu (ay.8a) ~maksudnya dari tangan kita biasa datang berbagai hal yang tidak terpuji, seperti mencuri, membunuh, atau menggali lobang untuk menjerat saudara kita sendiri, dan bahkan menyembunyikan apa yang kita miliki; dan (b) sucikan hati (ay.8b) ~sebab kadang dalam berdoa kita tidak sungguh-sungguh mengandalkan TUHAN, kita berdoa sambil ragu-ragu, atau berdoa sambil membayangkan rencana a

Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 1]

Elifas Tomix Maspaitella Bahan Bacaan: Yakobus 4:1-6 Ayat Fokus : ayat 3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu mint itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” Permohonan yang kita bawa dalam doa kepada TUHAN selalu membuat kita merasa bahwa TUHAN [harus] memberi sesuai apa yang kita minta. Benar dalam contoh mengenai jawaban doa, Yesus mengumpamakan, seorang anak meminta ikan dari bapaknya, tidak mungkin bapanya memberi ular (bnd. Luk.11:11-12). Artinya setiap anak meminta, karena (a) apa yang diminta dibutuhkannya, tetapi tidak dimilikinya; (b) dia yakin dan tahu apa yang dimintanya ada dan dimiliki oleh bapaknya. Begitu juga saat kita berdoa. Kita tidak mempunyai tetapi membutuhkan sesuatu yang diminta, dan kita tahu semua itu ada pada TUHAN. Dalam contoh teks Lukas itu TUHAN sebagai yang memiliki segala sesuatu pasti memberi sesuai dengan apa yang diminta oleh anak-anakNya. Maka jika kepada kita tidak diberi

PEMIKIRAN TEOLOGI JOHANNES LEIMENA

Image
Suatu Upaya Awal Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Pendahuluan Beta sebenarn ya hendak menulis sebuah pemikiran Teologi Johannes Leimena, karena dari banyak cerita dan penelitian mengenainya, selain sebagai pemikir dan tokoh bangsa yang malang melintang di 'rimba' politik, kenegaraan, pelayanan sosial sebagai seorang dokter, Om Jo, begitu menurut sapaan di kalangan GMKI, adalah seorang tokoh gereja, yang turut membidani lahirnya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), serta seorang pentolan CSV yang merupakan cikal bakal GMKI. Beta kira karena itu, Om Jo, adalah seorang yang patut disebut sebagai peletak dasar TEOLOGI KEBANGSAAN. Ia menggelisahkan beta untuk melihat Indonesia sebagai sebuah kenyataan teologis. Beta berusaha membahas topik ini dengan meminjam beberapa sari pemikiran seorang Pahlawan Sejati bangsa Indonesia yakni DR. Johannes Leimena, yang oleh kalangan GMKI disapa Om Jo. Sebab menurut beta, setelah Rasul Paulus yang coba memposisikan relasi orang-orang kristen deng

PATU KAPALAE

Image
Artefak Kapal Dagang Cina di Horale, Maluku Tengah Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Pengantar Menelusuri jejak peninggalan Cina di Maluku memiliki daya tarik tersendiri. Suatu jejak sejarah yang belum terlalu diminati kalangan ilmuan dan sejarahwan. Karena itu rekaman dan narasi sejarah mengenai Maluku selalu diwarnai dengan cerita Eropa, karena itu artefak-artefak Eropa yang paling banyak dipelihara atau dilestarikan. Padahal jika diakui secara jujur, jejak Cina merupakan jejak tertua, bahkan sudah ada jauh sebelum datangnya orang Eropa ke Maluku [mengenai ini, saya sedang mempersiapkan satu tulisan lain lagi sebagai kajian ulang terhadap rekaman data dan catatan beberapa ilmuwan barat]. Apa yang kemudian diulas dalam artikel ini adalah sebuah temuan baru yang patut dicurigai sebagai bukti bahwa pengaruh Cina di Maluku begitu mendalam dan meluas sampai ke daerah pedalaman. Pulau Seram adalah salah satu lokus yang di sini jejak Cina bisa ditemukan pula. Saya belum sempat menelusuri ke da

NAZAR

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Pengantar Tulisan ini muncul dari pertanyaan anggota Jemaat GPM Rumahtiga mengenai na[t]zar jemaat untuk pembangunan kembali Gedung Gereja Ebenhaezer saat peletakan batu penjuru pembangunan itu [22 April 2009]. Gedung gereja tua ini hancur akibat konflik sosial 4 Juli 2000. Gereja ini sendiri dibangun sejak 22 April 1821 (peletakan batu penjuru), dan ditahbiskan pada 29 November 1928. Kembali kepada pokok tulisan ini, na[t]zar secara umum dipahami jemaat-jemaat GPM sebagai ‘uang pergumulan’. Saya menulis na[t]zar mengikuti cara lafalisasi orang-orang Kristen di Maluku. Ada beberapa kebiasaan yang tersangkut dengan pemahaman itu: Pertama, setiap rumah pada kamar utama selalu ada ‘meja sumbayang’ dan di atasnya diletakkan ‘piring na[t]zar’. ‘Meja sumbayang’ merupakan tempat khusus untuk berdoa atau pergumulan keluarga, dan piring na[t]zar menjadi simbol kehadiran Tuhan dalam doa itu. Dewasa ini cara itu hanya ada pada beberapa keluarga [tidak semua keluarga

Rethinking Diakonia

[Teks Budaya Buru dan Rekonsepsi Diakonia] Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Pengantar 7 Juni 2010, jam 13.25-14.16, saya bertemu dan duduk makan bersama Pdt. John Beay (Ketua Majelis Jemaat Waesoar, Klasis GPM Buru Selatan) dan Pdt. Kely Tupan (Ketua Majelis Jemaat Waelo, Klasis GPM Buru Selatan). Kami ber-‘diskusi swasta’ sambil makang ikang bakar colo-colo di RM Dedes II di Jln. Said Perintah, Ambon. Kegelisahan Pdt. Beay yang melayani Jemaat dengan anggota 10 kepala keluarga di Waesoar mengenai bagaimana membangun karakter bergereja yang dibangun dari material budaya lokal menjadi sesuatu yang hangat melebihi ikan bakar yang sudah dihidangkan di hadapan kami. Pdt. Kely yang baru 2 tahun di Jemaat Waelo dalam tugas pertama sebagai Pendeta sudah cukup menjadi penyejuk dengan ide-ide ‘segar’ laksana juice nangka blanda yang mulai ‘disedot’ dari gelas kami masing-masing. Dengan melihat ‘pramusaji’ yang datang dan melayani kami, Pdt. Beay berkata: ‘beta pernah bilang par teman-teman Pdt d

Jejak Cina di Maluku

Image
Suatu Hermeneutika Sejarah (Lokus Lease) Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Carapandang Sejarah yang Digunakan di Sini Judul di atas merupakan suatu usaha membahas dimensi sejarah gereja yang kiranya ditempatkan dan dipahami juga dalam konteks sejarah sosial secara menyeluruh. Memang ada aspek spesifik atau partikular dari sejarah, tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah secara umum. Beta mengalami sedikit kesulitan untuk menyajikan judul di atas sebagai sebuah tulisan sejarah, sebab beta memiliki sedikit data yang bisa membuat tulisan ini mengandung salah satu ciri penting dari sejarah itu sendiri yakni diakronik. Jika kita menyimak sistem pendataan sejarah, maka ada dua jenis data. Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang nota-bene adalah elite dalam suatu sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan [yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi]. Kedua, hasil pena