Refleksi Sejarah Perjumpaan Agama Kristen dengan Dunia Romawi sebagai Kerangka Dasar Melihat Pertemuan Kekristenan (Injil) dengan Agama Suku (adat/tribe religion) di Maluku[1]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
0. Pengantar
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana proses asimilasi dan konfrontasi agama kristen dengan lingkungannya. Tekanan itu berindikasi pada perlunya kajian historis terhadap kontak agama kristen dengan lingkungan pada awal munculnya (parohan kedua abad ke-2). Oleh sebab itu konteks Romawi merupakan setting sosial politik yang penting. Tujuan kedua adalah untuk melihat pertemuan kekristenan dengan lingkungan baru, terutama dengan agama sku di Maluku dalam sejarah perjumpaannya (parohan kedua abad ke-16). Dengan kata lain, kajian ini mengangkat dua episode sejarah kekristenan yaitu masa pemunculan/pembentukan (dalam kekaisaran Romawi), dan masa perkembangan evangelisasi (di Maluku).
Rentang waktu yang panjang memperlihatkan dinamika yang terjadi dalam waktu itu. Artinya saya tidak bermaksud mempertanyakan apakah ada relevansi antara asimilasi dan konfrontasi kekristenan dalam dunia Romawi dengan kekristenan saat masuk ke Maluku? persoalannya bukan pada masih relevan atau tidak, melainkan pada sisi nilai sebagai titik berangkat asimilasi dan/atau konfrontasi itu sendiri.
Dalam kerangka itu, carapandang lingkungan (local idea/thought) di mana kekristenan hadir merupakan sisi teoretik yang tidak dapat diabaikan. Perspektif ini membantu untuk memahami tingkatan asimilasi dan alasan konfrontasi agama kristen dengan lingkungan. Perspektif agama kristen terhadap lingkungan yang baru (terutama di Maluku) juga penting untuk melihat proses asimilasi dan konfrontasi, pada masa evangelisasi.
Inti masalah di sini adalah perbedaan persepsi yang membentuk sikap antipati dan/atau kekaburan akseptabilitas satu terhadap lainnya. Mengingat ada dua episode sejarah yang dikaji, maka perbedaan persepsi itu dibagi juga dalam dua bagian, yakni:
Pada saat pemunculannya di kekaisaran Romawi, ada dua bentuk persespsi yang kabur mengenai kekristenan. Keragaman persepsi membuat kekristenan dianggap sebagai supersitio dan semacam political club.[2]
Masalah kedua, pada episode evangelisasi di Maluku, ada dua bentuk persepsi yang berseberangan. Leonard Andaya menulis:
For the Europeans the foundation of their views can be traced to the ancient Greek idea of dichotomy betweens the oikumene (the world inhabited by Greeks and those like them) and the sphere of the ‘barbarian’. In the Christian Europe this old division resurfaced in the debates regarding Creation and the peopling of the world. Those in God image inhabited the ‘center’ which meant Christian Europe; thos who were less than human, the ‘monsters’ (created by God to enable people to ponder the wonders of his work), occupied the regions at the ‘periphery’, including East. In addition too these general influences there were specific preoccupacions of the Portuguese, the Spaniards, and the Dutch, stemming from their particular geographic and historic circumstances, which came to structure their perception of and interactions with Malukan society.
The foundation of Malukan ideas about the world can be found in the myths, tales, and fragments of act still retained in the collective memory. These tradition indivate an indigenous belief in a myth unity known as Maluku, which linked all the numerous islands with their many ethnolinguistics communitites within it as one family. In keeping with this image, the relationship between the ‘center’ and the ‘periphery’ was characterized by all the mutual responsibility, obligations, squabbles, and shift of authority found in human family.[3]
Perbedaan persepsi bertolak dari pandangan dunia (world view) yang berbeda, di samping tujuan politis yang berbeda pula. Prinsip ini dikemukakan bersumber pada asumsi bahwa dunia Romawi memandang lingkungannya sebagai totalitas, baik lingkungan pusat (kekaisaran) maupun daera-daerah koloni (vesel). Demikian pun mengenai rakyat, merupakan totalitas komunal, termasuk dalam hal agamanya. Jika ada daerah yang tidak mau mengikat diri dalam totalitas itu, atau rakyat tidak mau ‘bergabung’ ke pusat (dalam hal ini juga agama), akan dianggap ‘pembangkang’ atau ‘monster sphere’. Ini menjadi latar persepsi masyarakat Romawi terhadap kekristenan sebagai sebuah gerakan baru yang muncul saat itu. Perspektif yang dominan adalah perspektif penguasa Romawi.
Berbeda tipis dengan kekristenan saat masuk ke Maluku. Perspektif penginjil yang mendominasi carapandang masyarakat setempat. Labelisasi agama suku sebagai kafir atau warisan ‘dunia gelap’ menjadi trade mark penerimaan agama Kristen.
Dua bentuk tradisi yang bersisih-sisihan itu merupakan bagian dari seluruh pengembangan tulisan ini. Sejauh yang dapat dikemukakan, persepsi itu akan dikaji dari sebentuk pandangan dunia, pada masa pemunculan di dunia Romawi, dan dalam perkembangan evangelisasi di Maluku.
Berkaitan dengan Judul tulisan ini, maka asimilasi dimengerti sebagai proses penerimaan dan penyesuaian kondisi-kondisi hidup dalam suatu lingkungan tertentu sehingga melahirkan corak baru yang digunakan secara bersama dalam hidup masyarakat.[4] asimilasi mengandung indikasi pemanfaatan unsur-unsur lokal melalui translasi pesan-pesan tertentu (injil) agar dimiliki atau diterima masyarakat lingkungan itu sebagai miliknya. Dalam hal ini kekristenan menjadi milik masyarakat.
Sedangkan konfrontasi dimaknakan sebagai persentuhan atau kondisi berhadap-hadapan (vis a vis)[5] antara kekristenan dengan lingkungan sosial politik Romawi pada awal munculnya. Konfrontasi dapat berakibat pada penolakan, yaitu reaksi negatif suatu lingkungan baru terhadap unsur yang dianggap baru, baik melalui cara-cara ‘lunak’ maupun ‘keras’ (bnd. sejarah penghambatan).
1. Kekristenan dalam dunia Romawi: Sebuah Refleksi Sejarah
Bagian ini merupakan refleksi sejarah terhadap konfrontasi kekristenan dengan lingkungan sosial politik Romawi, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari asimilasi.
Pada awal munculnya, kekristenan hanya merupakan sebuah gerakan sosial, atau juga gerakan moral, dan tidak identik dengan agama seperti dipahami sekarang. Kebiasaan berkumpul dan melakukan pelayanan sosial merupakan ciri dasar dari kelompok kekristenan saat itu. Dalam kebiasaan berkumpul itu diselenggarakan eukaristi.
Tanggapan lingkungan Romawi terhadapnya berbeda dari tujuan ‘perkumpulan’ kekristenan itu sendiri. Interpretasi orang-orang Romawi terhadap ritus-ritus ibadah kristen adalah takhyul.[6] Laporan-laporan orang Amstris (100 mil sebelah Barat Amisus menuju Bitynia) kepada Pliny, termasuk tulisan-tulisan orang Romawi, menyebut bahwa ritus inisiasi yang dilakukan oleh kelompok kristen dengan jalan membunuh bayi, mengeluarkan jantungnya, lalu meminum darah dan makan dari dagingnya, serta berhubungan sex. Sebuah papirus menerangkan ritus itu bahwa:
Seorang lelaki telanjang dengan kain ungu melilit di pinggangnya, membawa seorang bayi, mengeluarkan janjtungnya dan memanggang jantung itu…menaburi bubuk gandum dan meminyakinya, lalu membagi-bagikannya…membuat mereka bersumpah untuk tidak meninggalkan gerakan yang baru muncul itu (kekristenan), dan tidak berkhianat…walaupun ditangkap, disiksa dan mata mereka dicungkil.
Dalam perayaan lainnya, mereka membawa semua anaknya, saudara perempuan dan ibu-ibu mereka. Mereka merayakan pesta dan minum-minum, dengan sengaja mengikat ekor anjing pada tiang-tiang lampu, kemudian membuang remah-remah makanan dengan tujuan agar lampu-lampu padam (saat anjing berusaha lari untuk memakan remah-remah itu). Dalam kegelapan itu mereka bersetubuh.
Saat itu seorang laki-laki meninggalkan istrinya dan berkata: ‘tetaplah di sini dan rasakan kasih (agape) dari saudara laki-laki’. Tanpa rasa mal mereka melakukan hubungan sex…setelah itu si wanita dan laki-laki dengan cairan sperma di tangannya, berdiri menghadap arah sorga, dan berdoa: ‘kami mempersembahkan kepadaMu pemberian ini, tubuh Kristus’. Dan mereka memakannya, dan berkata: ‘inilah tubuh Kristus’…Hal yang sama berlaku ketika seorang wanita mengalami masa menstruasi. Mereka mencampuri darah menstruasi wanita itu dan memakannya bersama, sambil berkata: ‘inilah darah Kristus’. (Panarion 26.4-5).[7]
Tuduhan-tuduhan itu dilancarkan kepada kelompok kristen, dengan maksud untuk menunjukkan kesalahan mereka sebagai kriminil. Ada preseden mengenai kekristenan. Di sini, tuduhan itu memperlihatkan kecenderungan menyamakan ritus kekristenan dengan ritus-ritus lainnya, seperti yang diselenggarakan sekte gnostik Caupueratians atau komunitas Bacchic (Iobacchi).[8] Dengan demikian kekristenan adalah kelompok takhyul (supersitio).
Perspektif lain yang menjadi penyebab konfrontasi kekristenan dengan dunia Romawi saat itu ialah identifikasi kekristenan sebagai political club atau hatheria.[9] Pandangan ini muncul karena terdapat berbagai faksi politik, baik dalam kategori profesi, latar belakang pendidikan, bahkan kelompok keagamaan saat itu. Dalam surat Pliny kepada Terajan, ia menerangkan mengenai perlunya mengakomodasi para pekerja pemadam kebakaran dalam satu kelompok politik (hatheria).[10] Tujuannya adalah agar mereka dapat menyalurkan aspirasinya, dan mengakomodasi kepentingan mereka dalam kekaisaran, dan mudah dikontrol.
Perspektif ini kemudian dikenakan kepada kelompok kristen sebagai sebuah political club, oleh sebab itu terminologi association dinilai lebih tepat dikenakan kepada kelompok kristen.
Kelompok kristen mengidentifikasi diri mereka sebagai suatu persekutuan (association) yang diberi nama ecclesia atau gereja. Artinya kelompok kristen merupakan suatu persekutuan lokal dalam suatu wilayah tertentu di kota Romawi atau dalam suatu jaringan kerjasama di seluruh wilayah Mediterania. Mereka memiliki ‘tuhan’ dan wibawa religius sendiri. Pliny cenderung mengidentifikasi kelompok ini dengan nama christiani. Term lain adalah christianus. Term ini digunakan untuk menunjukkan bahwa kelompok kristen sama dengan kelompok filsafat lainnya, dan namanya menunjuk pada siapa pendidinya.[11]
Asosiasi kekristenan kemudian menjadi besar dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah, dan bawah, termasuk berbagai kelompok profesi. Hal itu sejalan dengan semakin berkembangnya kekristenan.[12] Mereka memiliki sense of belonging yang tinggi, atau ada keterikatan yang erat satu dengan lainnya, sampai dalam hal melayani dan meningkatkan kesejahteraan (bnd. Kisah 2:37-47).
Ini merupakan salah satu alasan penghambatan terhadap kekristenan. Identitas kristen menjadi alasan seseorang dapat saja dibunuh.[13] Sehingga dapat dikatakan bahwa pada awal munculnya tidak terdapat asimilasi yang baik antara kekristenan dengan lingkungannya. Ini disebabkan oleh perbedaan persepsi satu terhadap lainnya. Ironisnya perbedaan persepsi itu berdampak pada ‘penyingkiran’ kaum marginal.
Dari situ bisa dikatakan bahwa dalam masa-masa awal munculnya kekristenan sebagai sebuah gerakan sosio-moral atau filsafat-religius, tidak terjadi asimilasi yang baik dengan lingkungan Romawi. Justru konfrontasi menjadi warna dominan dalam hubungan kekristenan dengan Romawi. Di sini persoalan kewargakekaisaran dan status keagamaan menjadi pokok pergunjingan. Aman bagi seseorang jika memiliki status kewargakekaisaran yang sah daripada kewargakekristenan.
Di samping itu, upaya mengintroduksi sebuah nilai baru (kekristenan) ke dalam wilayah yang sudah lama hidup dengan nilai setempat (local genus) bisa terhalang bahkan dibabat, jika kelompok pembawanya tidak memiliki political power yang kuat. Dalam konteks tadi, kelompok kristen tidak berbeda dengan kaum marginal yang hidup di tengah dominasi aristokrasi Romawi yang kuat. Power and Piety, demikian bahasa Lamin Sanneh[14], tidak signifikan bagi kelompok kristen untuk melakuan suatu tindakan perubahan gradual, baik dalam system of beliefing and system of behavior masyarakat Romawi saat itu.
Di situ kelompok kristen menghadapi sistem politik kekaisaran yang kuat dan otoriter. Semua aspirasi rakyat diwadahi dalam hatheria-hatheria yang tidak lebih adalah lembaga bentukan pemerintah sebagai ‘control bounds’ terhadap faksi-faksi saat itu. Dalam kerangka itulah kita dapat memahami maksud Pliny dan orang Romawi umumnya mengenai kelompok Kristen sebagai salah satu hatheria.
02. Kekristenan di Maluku: Tinjauan Sejarah Singkat
Secara universal aspek historis kekristenan di seluruh dunia kompleks, sebab bukan hanya mengenai dimensi masa lampau saat injil masuk, tetapi terus berubah dari waktu ke waktu hingga saat ini. Dalam waktu-waktu itu pun terjadi berbagai peristiwa besar dan kecil yang tidak harus luput sebagai yang bersejarah. Demikianpun di Maluku, sebab secara historis, gerakan kekristenan mesti ditinjau dari zaman Portugis atau periode katolik (1534-1605), zaman Belanda atau Indische Kerk (1605-1935)[15], dan pergerakan kekristenan oleh orang-orang Maluku sendiri (1935-kini). Kemudian jika yang mau disoroti adalah aspek asimilasi, maka mesti tersedia kajian empirik-komprihensif mengenai baik bentuk penginjilan, metode, dan strategi penginjilan, ekspektasi masyarakat, dll. Di situ pula penting dibicarakan aspek kontekstual yakni Maluku sebagai sebuah ranah budaya yang memiliki agama lokal (asli).
Luasan cakupan itu kemudian dibatasi dengan menentukan fokus sejarah yang dari situ dapat dilihat tingkat asimilasi kekristenan dengan lingkungan di Maluku. Saya bertolak dari pemahaman mengenai sejarah sebagai sebuah value system, dimana sejarah bukan hanya memuat catatan data, tanggal, tempat, tahun, dsb, melainkan mengandung nilai yang menjadi dasar motivasi bergeraknya sebuah peristiwa sejarah (event).[16] Oleh sebab itu, fokus yang dimaksudkan di sini bukan pada periode sejarah tertentu, tetapi tema yang mewarnai perjumpaan kekristenan dengan lingkungan budaya Maluku.
Tema sejarah yang dimaksud ialah konfrontasi ideologi agama antara kekrisenan dengan agama asli di Maluku. Fokus kajiannya ialah sistem kepercayaan atau ideologi agama. Kekristenan menekankan kepercayaan kepada Allah Bapa, dalam Yesus Kristus, sementara agama asli sudah lama hidup dalam sistem kepercayaan adatis terhadap subyek transenden yang dibahasakan Upu Ama atau Upu Lanite yaitu Tuhan Langit, dan Upu Ume atau Upu Tepele atau Tuhan bumi. Jika kekristenan menekankan ritus ibadah yang kristologis, maka agama asli bertumpu pada ritus mistis naturalistik. Oleh sebab itu penggunaan simbol-simbol alamiah dalam ritus menjadi penting, selain tokoh-tokoh yang dipandang berkharisma, terutama yang biasa disebut masyarakat setempat sebagai Tete Nene Moyang (selanjutnya disingkat TNM).
Tentang konfrontasi itu, Cooley secara ringkas menunjuk karakteristik gumulan injil dengan konteks agama asli Maluku tidak dapat dilepaskan dari dua perspektif, yaitu cuius regio euis religio (siapa yang empunya negara dia yang empunya agama), dan pasal 36 Pengakuan Iman Belanda, yang memberi tugas kepada pemerintah untuk ‘memelihara Gereja yang kudus, melawan serta memberantas segala agama palsu dan penyembahan berhala, memusnahkan kerajaan anti-Kristus dan memajukan kerajaan Kristus’.[17]
Perspektif ini diperkirakan menjadi alasan bagi sikap ‘perang’ terhadap adat setempat yang dicap ‘gelap’ atau ‘berbau penyembahan berhala’. Sikap perang itu dilukiskan dalam beberapa tindakan a.l: (a) penghancuran ritus-ritus adat (mis. kakehan[18]); (b) kewajiban memenuhi ritus-ritus kristen (dalam hal ini baptis dan sidi – sebagai yang identik dengan ritus inisiasi adat); (c) perlawanan dan pemusnahan simbol-simbol adatis (seperti tali kain, matakao[19], dll); (d) pentahbisan dimensi ritus adatis sebagai ritus gereja (dalam hal ini adalah hukum sasi[20]).
Mengenai penghancuran ritus-ritus adat, F.J.P. Sachse menulis, bahwa:
Pendeta van Ekris berkata pada akhir pembahasan mengenai Kakihan: “…karena sekarang ini pemerintah mulai menaruh perhatian kepada Seram, kami menganggap bahwa proses itu dapat dipercepat melalui alat-alat paksa moril dan material yang ada pada kita seperti pengukuran anggota baru harus dilarang dan mauwin[21] serta ayah dari anak-anak yang diambil itu harus dihukum, jika ternyata bahwa secara rahasia mereka masih memperoleh tanda-tanda kakihan tersebut. Orang-orang kristen yang juga menjadi anggota kakihan masih dapat masuk gereja dan dapat mengikuti pertemuan-pertemuan, akan tetapi harus tetap menjadi anggota sidi. Hal ini kedengaran agak keras akan tetap merupakan suatu cara penundukkan dan pemaksaan moral, dan dapat disetujui oleh orang Alifuru dan hal ini akan menyebabkan bahwa orang Alifuru tidak lagi memasukkan anak laki-laki mereka ke dalam kakihan.[22]
Dari situ tampak bahwa kekristenan bersikap ekstrim dengan jalan merombak ritus agama asli. Sebagai konsekuensi dari penghancuran ritus-ritus adatis itu, setiap orang diwajibkan menjalani ritus inisasi kekristenan, yaitu baptis dan sidi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai representasi meninggalkan agama suku ‘secara penuh’, yaitu penanggalan simbol-simbol magis seperti tali kain, pembakaran ‘buku-buku hitam’ (buku ilmu gaib) dan simbol lainnya (doti-doti), termasuk penggantian nama, dari nama berbahasa tanah ke nama-nama kristen, memangkas rambut, dll.[23] Simbol-simbol sebagai produk rakyat menjadi stigma yang diidentikkan dengan pemujaan berhala.[24]
Satu gejala yang menarik dalam situasi konfrontatif kekristenan dengan agama asli adalah pentahbisan atau pencaplokkan ritus adatis sebagai ritus gereja. Ini tampak dalam ritus sasi. Namun lambat-laun ritus gerejawi, yang hanya dikukuhkan dalam doa syafaat. Pengambilalihan ritus adat seperti itu membawa akibat baru. Bahwa pelanggaran minimum terhadap hukum sasi adat menjadi pelanggaran maksimum dalam ritus gerejawi. Tingkat kepatuhan jemaat terhadap ritus gerejawi lebih rendah daripada terhadap ritus adat. Hal itu memperlihatkan korelasi yang tidak maksimal pada saat pengambilalihan itu.
Hal yang sama terjadi pada dasar kepercayaan masyarakat, baik dari zaman pra-kristen sampai zaman kristen, hingga kini; yaitu basis kepercayaan kepada TNM. Bahwa ada sistem ambigiu, atau apa yang dibahasakan Turner sebagai kecenderungan liminalitas.[25] Sepanjang pergulatan kekristenan dengan unsur setempat, kepercayaan kepada TNM sulit dipisahkan dari struktur kepercayaan jemaat. Jemaat-jemaat masih menampakkan kepercayaan yang kuat kepada TNM. Cooley, juga Enklaar, menulis: “menjadi orang kristen berarti…menerima kulit atau seragam baru sebagai pengganti yang lama…itu sebabnya berbagai cara berpikir dan sikap-sikap lama bahkan juga kelaziman-kelaziman yang berakar pada agama asli, dibiarkan hidup terus di balik pakaian luar yang baru itu”.[26]
Bentuk-bentuk asimilasi yang terjadi dalam perjumpaan kekristenan dengan agama asli nampaknya memiliki aksentuasi politis, ketimbang kultural-religius. Sebab dominasi pemerintah Hindia Belanda terlalu kuat sampai akhirnya pendeta menjadi bagian dari wakil Pemerintah Hindia Belanda. Joseph Kam dan Roskott berupaya keluar dari kungkungan itu, dengan maksud mengembangkan injil sebagaimana konsep evangelisasi semula oleh NZG. Salah satu usaha yang berhasil dijalankan kedua tokoh ini adalah mendirikan sekolah dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa melayu. Kendalanya justru tetap ada, terutama dalam terjemahan Alkitab. Penggunaan bahasa melayu adalah hal yang asing bagi masyarakat setempat yang menggunakan bahasa Ambon. Di sini terjadi konfrontasi linguistik, dimana Alkitab sukar dipahami sebab diterjemahkan ke dalam bahasa yang tidak dimengerti masyarakat. oleh sebab itu jemaat cenderung ‘menghafal’ rumusan iman kristen atau ayat-ayat Alkitab, tanpa memahami secara baik apa yang dihafalnya. Di situ, asimilasi menghadapi kendala linguistic-gap. Injil tidak meresap dalam struktur semantik masyarakat. Proses translasi berjalan mulus tetapi tidak membuahkan hasil yang efektif.
Gambaran singkat sejarah ini memperlihatkan bahwa konfrontasi dan asimilasi kekristenan dengan lingkungan budaya Maluku membentuk corak beragama ambiguitas, dimana satu sisi jemaat percaya kepada Allah Bapa dalam Yesus Kristus, tetapi di sisi lain sekaligus kepada TNM. Corak tradisionalis itu disebut oleh Kraemer sebagai ‘agama Ambon’, atau ‘Corpus Christianum Ambon’.
03. Antara Dua Sisi: Mana Yang di Atas dan Mana Yang di Bawah
Bagian ini merupakan analisa terhadap hal-hal yang digambarkan tadi. Yang dimaksud dengan dua sisi adalah (1) sisi sejarah kekristenan di zaman Romawi (aspek universal), dan (2) sisi sejarah kekristenan di Maluku (aspek lokal). Di samping itu, khususnya dalam lokalitas Maluku, dua sisi adalah ideologi kristen dan agama asli yang masih menjadi fenomena gerakan keagamaan kristen di Maluku hingga saat ini. Mempertanyakan mana yang merupakan bagian atas dan mana yang bawah tidak dimaksudkan untuk memaksakan relevansi dua sisi sejarah yang berbeda itu, melainkan sebagai studi kritik terhadap kecenderungan memahami struktur kepercayaan masyarakat dalam tingkatan-tingkatan (kuantum).
Gambaran sejarah tadi memuat inti masalah bahwa gagalnya asimilasi kekristenan dengan lingkungan, atau konfrontasi tiada henti antar keduanya, bukan sekedar karena adanya perbedaan world view, melainkan dominasi suatu worldview ke dalam komunitas masyarakat. Dalam sejarah pemunculannya, world view Romawi mendominasi seluruh perspektif rakyat. Klaim itu berakibat pada potensi negatif terhadap setiap gerakan baru yang muncul, termasuk gerakan kelompok kristen.
Sementara dalam sejarah penginjilan di Maluku, world view kolonial yang dominan. Akibatnya aksentuasi penginjilan sudah tidak berjalan sesuai tujuan dasarnya. Perspektif triumphlaistik melekat pada injil, membuat penetrasi dalam lingkungan budaya Maluku diwarnai oleh konfrontasi yang tajam dengan unsur agama asli (adat). Semua tindakan rakyat, sistem kepercayaan asli, sistem tingkah laku sosial, diukur berdasarkan standar baru, yaitu kekristenan feodalistik. Yang berbeda dengan itu dianggap ‘gelap’ dan ‘penyembah berhala’.
Salah satu akibat yang nampak di Maluku berkaitan dengan dominasi pandangan batar dalam kekristenan ialah munculnya “Corpus Christianum Ambon” yang kuat berpegang pada agama kristen di satu sisi, tetapi di sisi yang sama juga pada adat. Corak kekristenan seperti itu menjadi fenomena umum di setiap jemaat di Maluku. Bahkan trend kekristenan seperti itu dicap Kraemer sebagai “agama Ambon”. Sebagian teolog mencapnya “kristen kue lapis”.[27]
Saya mengacu dari pikiran Eliade, bahwa untuk melihat faktor-faktor determinan dalam agama, tidak hanya harus dilihat dari sejarah agama itu. Sebab sejauh membatasi diri pada sejarah agama, kita akan terfokus pada apa yang terjadi di masa lampau. Sejarah menjadi sesuatu yang sederhana. Kita akan masuk dalam upaya mengoleksi fakta-fakta, membuat generalisasi, lalu mengembangkan kritik serta berupaya menemukan penyebab-penyebab atau konsekuensi suatu tindakan. Dalam kerangka itu kita mesti masuk pada apa yang disebut Eliade “phenomenology”, studi terhadap bentuk-bentuk dari sesuatu yang nampak pada kita.[28] Sehingga klaim ‘corpus christianum Ambon” atau “kristen kue lapis” cenderung merupakan penyederhanaan dari pergumulan fenomena keagamaan yang mendalam. Klaim itu diangkat dari generalisasi sejarah keagamaan yang kasat mata, tidak mengacu pada unsur dasar dari sistem kepercayaan (kosmologi) sebagai bagian dari fenomena agama yang utuh.
Dari situ saya melihat bahwa perspektif Barat yang bertumpu pada konsep cuius regio euis religio dan Pasal 36 Pengakuam Iman Belanda, gagal membimbing penginjil memahami lingkungan budaya Maluku. Ada klaim yang tegas antara dunia sakral dan profan, bukan saja pada dimensi ketuhanan dan keduniaan, melainkan kebelandaan dan keambonan/kemalukuan. Klaim-klaim itu ditopang oleh kekuasaan politis. Eliade mengatakan bahwa “bagi orang-orang primitif dan juga masyarakat pre-modern, dimensi sacred persis sama (equivalen) dengan kekuasaan (power).[29] Kekuasaan itu yang mengontrol realitas masyarakat, termasuk realitas beragama, sehingga agama asli mesti menaklukkan diri dan melepaskan unsur determinannya ke dalam bentuk baru, yaitu kekristenan. Menjadi kristen berarti melepaskan unsur-unsur lama yang sudah tertanam pada masing-masing individu maupun komunitas.
Rupanya teori Durkheim mengenai dimensi profan sebagai yang melekat pada individu dan sacred sebagai yang melekat pada komunitas[30], terbalik ketika dimensi sacred dikontrol kolonial. Akibatnya profanitas dan sakralitas dalam masyarakat dan agama asli Maluku sudah menjadi kontrol penguasa – bukan lagi menjadi urusan individu dan komunitas masyarakat Maluku – dan oleh sebab itu mesti dilepaskan. Secara sosiologis hal itu menunjuk pada adanya invasi sosial dan budaya, yang bermuara pada terputusnya rakyat dari garis hubungan komunal dan sosial lokalnya. Akar-akar sosial setempat dicabut dan digantikan dengan akar-akar baru dari luar.
Nampak bahwa proses penginjilan tidak menjalankan tuntas tugasnya. Injil dan kekristenan hanya menggantikan posisi agama asli. Dalam posisi itu, akar kepercayaan tradisional yang bersumber pada agama asli menjadi sisi lain di samping kekristenan. Sinkretisme? Anggapan itu perlu dikaji lebih mendalam. Namun amatan saya bahwa, kekristenan tidak masuk ke dalam totalitas kosmologi masyarakat Maluku. Perspektif kosmologis Maluku tidak melihat supreme being dalam tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga ada dewa tertinggi, dewa menengah, dan dewa terendah. Kosmologi Maluku justru melihat supreme being eksis dalam rentang ruang dan waktu. Ia menempati tempat-tempat tertinggi, baik di darat (gunung) maupun laut, tempat-tempat keramat (misalnya teung, negeri lama), dan ada di setiap waktu (trans-historis). Dalam kosmologi seperti itu, supreme being dipahami mengikat kosmos dalam satu tata kosmis yang seimbang. Perikatan kosmis itu direpresentasi dalam baileu (rumah adat) sebagai mikrokosmis. Di dalam baileu, supreme being hadir dalam seluruh matra hidup masyarakat. Sehingga keseimbangan kosmos merupakan intisari dari sistem kepercayaan dan bukan dualitas kosmis.
Mengacu dari situ, kegagalan penginjilan karena bertumpu pada perspektif kosmos yang ambivalen dan dualisme. Ini merupakan pengaruh filsafat dualisme, sehingga ada pertentangan antara subtantia dan persona. Demikian pun perspektif Barat dengan Timur (Maluku) dilihat sebagai yang berlawanan. Otomatis setiap perspektif sistem kepercayaan dan ritus yang berbeda dengan kelaziman kekristenan dimengerti sebagai tabu dan harus dilawan.
Defenisi mengenai ‘kristen kue lapis’ nampak merupakan bentuk penyederhanaan terhadap rentang sejarah kekristenan yang panjang dan kompleks di Maluku. Defenisi semacam itu cenderung melihat pada adanya tingkatan dalam struktur kepercayaan masyarakat dan tidak menerobos jauh ke dalam struktur kosmologi. Fenomena ritus yang ambigiu dicap sebagai adanya semacam lapisan dalam sistem kepercayaan. Persoalannya adalah jika benar ada lapisan, lapisan mana yang dominan? Atau apakah kedua lapisan itu sama-sama tebal? Pertanyaa ini sulit dijawab, bahkan sebetulnya tidak membutuhkan pembuktian kuantitas seperti itu.[31] Jawaban yang baik akan dihasilkan dari pengenalan yang memadai tentang struktur dasar kepercayaan masyarakat Maluku, yang bermuara pada keseimbangan kosmis itu. Di sini terletak tuntutan untuk studi kritis yang baik terhadap fenomena keagamaan itu. Sehingga perhatian selanjutnya adalah membangun matra teologi kontekstual, yaitu asimilasi teologi kristen dengan totalitas kosmologi masyarakat.
Secara teologis, asimilasi kekristenan dengan lingkungan budaya Maluku memerlukan pertautan tematis. Jika digali dari konsep supreme being, maka menempatkan Allah sebagai substansi tertinggi juga merupakan jawaban yang logis dalam kosmologi masyarakat. Sebab pemahaman mengenai Upu Lanite (Tuhan Langit), dan Upu Ume/Upu Tepele (Tuhan Bumi) signifikan dengan konsep TUHAN seperti dalam kekristenan. Namun ketika membangun jembatan hubungan antara Allah dan Manusia dalam figur Yesus Kristus, di sini terdapat kekeliruan mendasar yang selama ini dihayati masyarakat. Sebab Yesus diidentikkan sama dengan Tete Nene Moyang (TNM). Identifikasi seperti itu menurut hemat saya berangkat dari perspektif menempatkan Yesus dan TNM dipahami sebagai perantara, dengan demikian menempati posisi tengah (median) anatara garis vertikal : Tuhan – Yesus/TNM – manusia/masyarakat.
Konsep itu sendiri kurang tertanggung jawab dalam teologi, sebab Yesus dalam kekristenan adalah manisfestasi dari Allah itu sendiri. Yesus dan Allah adalah satu, juga dengan Roh Kudus. Yesus, Tuhan dan Roh Kudus memiliki substansi yang sama dengan Allah. Dia bukanlah figur tersendiri terlepas dari Allah Bapa (Latin. Totus totus).[32] Bahkan dalam teologi tidak ada paham hierarky Allah. Allah itu satu. Demikianpun dalam kosmologi Maluku, tidak ada hierarkhy kepercayaan. Supreme being (Upu) ada dalam totalitas kosmis bersama dengan manusia. Pada posisi itu, TNM dimengerti sebagai orang-orang yang berperan khusus mengantarai manusia (dalam dunia nyata) dengan supreme being dalam dunia maya. Konsep pengantaraan itu tidak menjadikan TNM menempati posisi tengah, melainkan inheren dengan manusia. Struktur kosmis Maluku cenderung bersifat rotasi siklis, ketimbang tingkatan/kelas. Kosmos terdiri atas supreme being – lingkungan (maya dan nyata) – manusia. Dalam lingkungan maya itu TNM dan supreme being ada sekaligus, dan secara bersama-sama mengawasi manusia dalam dunia nyata.
Dari situ dapat disimpulakn bahwa tidak ada lapisan kepercayaan dalam struktur kepercayaan masyarakat Maluku. Yang ada ialah kesatuan sistemik dalam relasi kepercayaan. Kesatuan sistemik itu yang dapat menciptakan harmoni religius. Dari situ sebetulnya kajian mengenai fenomena agama, sekaligus menjadi kerangka epistemologis untuk membahas asimilasi kekristenan dengan lingkungan budaya.
04. Penutup
Asimilasi dan konfrontasi kekristenan dengan lingkungannya ditandai oleh sejauhmana setiap komponen memahami, menerima dan mengenal perspektifnya (world view). Sejarah memperlihatkan bahwa pada awal pemunculannya di kekaisaran Romawi, kelompok kristen dipahami sebagai kelompok takhyul dan diidentikkan dengan sebentuk kelompok politik yang berkembang saat itu. Ironinya ialah pandangan sempit itu membawa konfrontasi yang tajam antara Pemerintah Romawi dengan kelompok kristen. Salah satu akibatnya adalah martir.
Pekabaran Injil dalam abad-abad kemudian (16-19), kekristenan dibawa dari Barat masuk dalam hampir seluruh wilayah Timur. Kedatangannya dari Barat tidak terlepas dari kerangka pikiran dan world view Barat. Faktor itu membuat kekristenan mencap dunia Timur sebagai ‘dunia gelap’. Kekristenan mengulangi tuduhan yang pernah dikenakan kepadanya terhadap agama-agama di Timur. Hal itu tampak di Maluku dalam seluruh rentang sejarah Pekabaran Injil. Di samping itu, kekristenan dari Barat tidak bisa dibicarakan lepas dari aksentuasi kolonialisme, terutama Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda.
Aspek yang penting di situ bukan sekedar adanya tabrakan world view melainkan dominasi satu world view atas lainnya. Pada awal pemunculannya, world view pemerintah Romawi mendominasi seluruh world view yang ada saat itu. Demikian pun di Maluku, world view Belanda yang dominan, karena dilekatkan pada kekuatan politik tertentu. Perspektif triumphalistik merupakan bagian dari pengaruh itu ke dalam penginjilan. Maka semua hal yang berbeda dari apa yang dominan, dianggap salah dan harus disingkirkan.
Akibatnya tidak ada konjugasi yang efektif antara unsur baru dan unsur asali setempat. Injil sebagai unsur baru kemudian menjadi warna yang dominan berpaut dengan warna-warna asali yang mulai mengendap. Namun komposisi warna-warna itu menjadi ciri dan sifat khas pada gambar agama setempat. Akibatnya konfrontasi injil dengan unsur budaya setempat terus berlangsung hingga kini.
Pergumulan teologi selanjutnya merupakan upaya untuk memecahkan fenomena laten yang masih menjadi fenomena umum di Maluku. Upaya itu mesti dilihat pada struktur dasar kepercayaan masyarakat dan hubungan sistem kepercayaan kristen dengan sistem kepercayaan setempat. Kosmologi membantu cernaan yang baik mengenai tingkat asimilasi kekristenan dengan konteks Maluku.(*)
05. Buku-buku Rujukan:
Abdullah, Taufik, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta: PT Gramedia
Andaya, Leonard, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, USA: University of Hawaii Press, 1993
Bowie, Fiona, The Antrophology of Religion, Malden, Massachusetts: Blackwell Publ.Ltd., 2000
Capps, E., et.al, The Loeb Classical Library: Boethius – The Theological Tractates, The Trinity is One God.
Cooley, F. L., Ambonese Adat: A General Description, New Haven, Yale University, 1962
----------------., Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
Coser, Lewis A., Master of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, second edition, New York-Chicago-San Francisco-Atlanta: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977
Enklaar, I.H., Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion, ch.5, The Reality Sacred: Mircea Eliade, New York, Oxford: Oxford University Press, 1996
Sachse, F.J.P., Seran en Zune Bewoners, edisi terjemahan oleh T. Tuarissa, Ambon: Direktorat Jenderal Kebudayaan – Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon, 1996/1997
Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: English Press, 1991, ‘Asimilasi”
Sanneh, Lamin, Translating the Message: The Mission Impact on Culture, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1989
-------------------, Piety and Power: Muslims and Christians in West Africa, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1996
Tanamal, Pieter., Pengabdian dan Perjuangan, Ambon: Yayasan Kapatta, 1983
---------------------, Orientasi dan Renungan ke Arah Pembaruan, Ambon: Nunusaku, 1985
Van den End, Th. dan J. Witjens, Ragi Carita Sejarah Gereja Indonesia, Jilid 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
Wilken, Robert L., The Christians as The Romans Saw Them, New Haven & London: Yale University Press, 1984
Winangun, Y.W. Warta, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, Yogyakarta: Kanisius, 1990
[1] Ini adalah tulisan saya sebagai Paper Akhir untuk Mata Kuliah: Gerakan Keagaman, yang diampu oleh Dr. Soegeng Hardiyanto dan Dr. Steven Hagmar, pada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW-Salatiga, tahun 2000
[2] Lih. Robert L. Wilken, The Christians as The Romans Saw Them, New Haven & London: Yale University Press, 1984, h.10,22, dyb
[3] Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, USA: University of Hawaii Press, 1993, h.23
[4] Pengertian asimilasi, oleh Peter Salim dan Yenny Salim, menunjuk pada proses penyesuaian sifat-sifat asli dengan sifat lingkungan yang baru, atau perpaduan berbagai unsure menjadi satu (seperti pemaduan unsur berbagai kebudayaan menjadi satu kebudayaan). Lht. Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: English Press, 1991, ‘Asimilasi”, h.98
[5] Ibid,. ‘Konfrontasi’, h. 761
[6] Anggapan itu bertahan lima abad pertama dalam sejarah Kekristenan. Toynbee, seperti dikutip Lamin Sanneh, menjelaskan bahwa dalam lima abad pertama, masyarakat Greco-Romawi memandang kekristenan sebagai kelompok-kelompok yang tertutup, yang mentransfer kultus-kultus local serta perayaan-perayaan baal ke dalam kekristenan. Bnd. Lamin Sanneh, Translating the Message: The Mission Impact on Culture, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1989, h.90
[7] Ibid., h.18-20
[8] Mengenai komunitas Bacchi dapat dibaca dalam Wilken, ibid., h.41 dyb
[9] Ibid., h.10,22, dyb
[10] Ibid., h.14
[11] Kelompok yang sering muncul sebagai komparasi terhadap kekristenan dalam hal itu adalah kelompok Epikuren, atau para pengikut filsafat Epikuros.
[12] Lht. ibid., h.32 dyb
[13] Di sinilah kita mencatat para martir yang secara kokoh mempertahankan identitas kekristenannya. Bahkan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen tidak menjadi factor penghambat seseorang menjadi Kristen, sebaliknya merupakan daya tarik orang menjadi Kristen. Di situ kesetiaan menjadi nilai yang penting.
[14] Bnd. Lamin Sanneh, Piety and Power: Muslims and Christians in West Africa, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1996
[15] Zaman Belanda ini pun perlu dibagi dalam beberapa masa dan/atau periodisasi, mulai dari periode VOC (1605-1815); periode Nederlanse Zending Genootschap dan Gereformd Kerk (1815-1864); periode Indische Kerk (1864-1935). Tiap-tiap periode memiliki tekanan dan strategi asimilasi (pekabaran injil) yang berbeda karena faktor politis dan teologis.
[16] Taufik Abdullah mengatakan “sejarah adalah proses penghamparan dari cita kemanusiaan yang tertinggi”, bnd. Taufik Abdullah, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta: PT Gramedia, h.ix
[17] Baca F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, h.252; bnd. Leonard Andaya, ibid.,
[18] Kakihan merupakan semacam secret ritual yang dilazimkan dalam masyarakat Alifuru golongan Pata Siwa Hitam, sebagai ritus inisiasi kepada anak yang beranjak remaja. Biasanya mereka akan dibawa oleh beberapa orang guru ke hutan dan tingal di sana selama 40 hari. Dalam masa itu mereka diajarkan untuk bertumbuh dewasa. Tandanya ialah mereka harus bisa mengayau kepala manusia sebagai bukti keperkasaan/kejantanan. Jika syarat itu sudah terpenuhi baru bisa menjalankan ritus kakihan, dengan jalan memakai cidaku (cawat dari kulit kayu). Kemudian kembali hidup secara normal di negerinya. Saat mereka kembali dirayakan pesta adat untuk menerima ‘pemuda-pemuda’ (pamanawa) baru yang perkasa sebagai anggota klen yang siap membela klennya. Tradisi ini masih dilakukan di komunitas suku Nuaulu di pedalaman pulau Seram hingga saat ini, namun sudah mengalami perubahan tertentu, seperti masanya tidak lagi 40 hari, bisa saja 1 minggu, dan kepala manusia telah diganti dengan seeokor binatang kuskus yang harus ditangkap hidup-hidup.
[19] Tali kain, matakao, dan unsur lainnya merupakan material yang mengandung kekuatan magis. Tali kain biasa dipakai oleh orang-orang berilmu gaib, sebagai simbol kekuatannya. Sedangkan matakao adalah tanda larangan atau petaka mengandung kekuatan gaib, biasa diletakkan di kebun atau barang milik tidak bergerak. Jika ada orang yang tidak mengindahkan larangan matakao ia akan mengalami penderitaan, misalnya sakit, bahkan sampai meninggal dunia.
[20] Sasi adalah hukum adat masyarakat Maluku. Dalam hukum Sasi terkandung perspektif keseimbangan kosmis. Hukum sasi diterapkan untuk menjaga, melestarikan, memelihara, baik hasil hutan maupun laut. Biasanya sasi dilakukan (tutup sasi) agar hasil hutan dan laut diberi kesempatan untuk berproduksi. Dalam waktu yang sudah ditentukan, baru dilakukan buka sasi, di mana hasil-hasil hutan dan/atau laut yang tadi disasikan bisa diambil (panen). Upacara sasi biasanya dilakukan dalam suatu ritual adat, di mana kepala sasi (kewang, penjaga hutan) mengumumkan adanya sasi dengan jalan mengikat janur kelapa di tiang sasi. Pada malam harinya marinyo (juru penerangan negeri) mengumumkan kepada seluruh warga masyarakat bahwa telah dilakukan sasi pada dusun-dusun atau bagian laut tertentu. Pada pagi harinya, seluruh masyarakat keluar dan mengikuti upacara tutup sasi itu. Hal yang sama berlaku pada saat buka sasi. Saat ini tanda sasi dilepaskan dan seluruh masyarakat dapat mengambil hasil-hasil alam tersebut.
[21] Mauwin, atau mauweng adalah imam agama asli. Cooley menyebutnya sebagai imam persekutuan. Dalam struktur pemerintahan negeri asli Maluku (sebelum ada perubahan seperti sekarang melalui penerapan UU. No.5 Tahun 1979 Tentang sistem Pemerintahan Desa), mauweng berperan sebagai bagian di dalam sistem itu.
[22] F.J.P. Sachse, Seran en Zune Bewoners, edisi terjemahan oleh T. Tuarissa, Ambon: Direktorat Jenderal Kebudayaan – Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon, 1996/1997, h.121-122
[23] Bnd. Leonard Andaya, ibid., Th. Van den End dan J. Witjens, Ragi Carita Sejarah Gereja Indonesia, Jilid 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, h.162-163
[24] Bnd. Fiona Bowie, The Antrophology of Religion, Malden, Massachusetts: Blackwell Publ.Ltd., 2000, h.40
[25] Liminalitas berarti tahap atau periode waktu di mana subyek ritual mengalami keadaan yang ambigiu yaitu ‘tidak disini dan tidak di sana’. Luminal itu sering diartikan sebagai peralihan dan sifatnya transisi. Bnd. Y.W. Warta Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h.31
[26] Bnd. F.L. Cooley, ibid., h. 278; F.L. Cooley, Ambonese Adat: A General Description, New Haven, Yale University, 1962; bnd. I.H. Enklaar, Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
[27] Bnd. Pieter Tanamal, Pengabdian dan Perjuangan, Ambon: Yayasan Kapatta, 1983, bnd. Pieter Tanamal, Orientasi dan Renungan ke Arah Pembaruan, Ambon: Nunusaku, 1985
[28] Bnd. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, ch.5, The Reality Sacred: Mircea Eliade, New York, Oxford: Oxford University Press, 1996, h.162
[29] Ibid. h.165
[30] Ibid; bnd. Lewis A. Coser, Master of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, second edition, New York-Chicago-San Francisco-Atlanta: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, h.136-8
[31] Hal itu masih bertahan dalam kehidupan beragama Kristen di Maluku saat ini. Bahkan semakin menguat saat konflik 19 Januari 1999. Nuansa mistik menjadi warna dasar dari fenomena beragama di Maluku. Ketika seseorang hendak berperang, ia menjalani ritual adat dan bersamaan dengan itu doa di gereja. Hal ini menjadi tanda bahwa defenisi ‘kristen kue lapis’ dapat menjadi legalisasi terhadap sikap beragama seperti itu. Belum ada sikap kritis yang member jalan keluar secara teologis dan sosiologis terhadap fenomena semacam itu.
[32] Bnd. Perdebatan filsafat mengenai Trinitas seperti diulas Boethius dengan menekankan sepuluh syarat a.l. Substansi, Kualitas, Kuantitas, Relasi, Tempat, Waktu, Kondisi, Situasi, Aktivitas, Pasivitas. Hal yang sama menjadi tema dalam sejarah perdebatan Kristen dengan para hereshy, seperti oleh Origenes terhadap Celcus, dll; bnd. E. Capps, et.al, The Loeb Classical Library: Boethius – The Theological Tractates, The Trinity is One God.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
2 comments:
Selain Negara yang mendominasi kehidupan masyarakat lokal, ternyata Agama dalam hal ini Kekristenan pun berperan besar menghilangkan sendi-sendi budaya lokal.
Alangkah wajarnya bila Kekristenan minta maaf kepada para penduduk lokal khususnya Maluku atas penghancuran-penghancuran itu.
Begitulah bung. Makanya beta lagi cari waktu tuntaskan proyek buku "warisan Kolonial dalam Tafsir Teks/Agama", sebuah usaha menelisik mengapa kekristenan dan agama menghancurkan warisan lokal kita hanya atas nama 'kecurigaan misiologis'.
Post a Comment