NANTI KONG TUANGALLAH LIA OS JUA!



Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’
Saya memberi judul di atas untuk menelisik suatu kebiasaan membahasa dan kecenderungan psikologi agama Jemaat di Maluku. Kebiasaan itu adalah ‘umpatan’ atau ‘basumpah’ yang sering terdengar sebagai salah satu cara meluapkan kekesalan atau kemarahan kepada seseorang tertentu. Pada sisi itu, kebiasaan ini ada pada setiap masyarakat atau orang percaya di seluruh dunia.
Dalam teori agama, sumpahan itu terkait dengan paham teologi mengenai kutuk atau hukuman. Dan ini menjadi demikian sering karena orang beragama berpegang pada paradigma ‘two kingdom’, yaitu ‘surga dan neraka’ sebagai kerajaan selamat vs kerajaan kutuk/hukuman. Selain itu, dialektika hidup dan mati turut menjadi konsep-konsep dasar yang membentuk kebiasaan sumpahan [basumpah]. 
Etika agama menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena manusia telah menstrukturkan kebenaran dan ketidakbenaran sebagai bagian dari perilaku atau sikap kebaikan dan kejahatan.
Karena itu ‘basumpah’ tampak sebagai semacam bentuk penegasan akan hukuman yang berasal dari TUHAN kepada seseorang yang menyebabkan kita marah, atau seseorang yang dinilai telah melakukan hal yang buruk kepada kita. Di sisi itu, umat beragama selalu merasa bahwa TUHAN akan mendengar dan menggenapinya. Suatu ketika, jika seseorang itu tersandung pada suatu masalah, atau jatuh sakit, banyak orang sering pula berkata begini: ‘itu toh, TUHAN su kas tunju tuh’ [artinya = benar kan, TUHAN sudah tunjukkan kuasaNya], dalam arti bahwa masalah yang menimpa orang tersebut adalah wujud hukuman TUHAN. Dengan kata lain, TUHAN mendengar dan seakan-akan mengabulkan ‘sumpahan’ kita itu.
Intinya ialah paradigma ‘two kingdom’ itu menegasikan antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ dan ‘saya’ dengan ‘anda’. Segala hal yang buruk diyakini sebagai bentuk hukuman TUHAN atas sumpahan atau sungutan kita. Dan itu semakin membenarkan pernyataan ‘nanti kong Tuangallah lia os jua’.

 
2. Fenomena Membahasa dan Psikologi Agama orang Maluku
a. Nanti kong; posisi subyek terhadap suatu aktifitas dalam dimensi waktu 
Pernyataan ‘nanti kong Tuangallah lia os jua’ merupakan sebuah pernyataan dalam bahasa Melayu Ambon yang kira-kira berarti ‘biarkan TUHAN saja yang melihat anda’. Ungkapan ini lebih bernada sungutan/sumpahan, terutama ketika seseorang melakukan suatu hal yang salah atau tidak adil kepada kita.
Ungkapan ‘nanti kong’ menunjuk pada waktu tidak tentu di masa yang akan datang, tidak jelas panjang pendeknya masa tersebut. Dimensi waktui ini menunjukkan pada kesadaran bahwa sesuatu itu dapat dilakukan atau dapat terjadi bukan pada saat ini, melainkan pada waktu yang akan datang. Ungkapan ini sering pula digunakan untuk menunjuk pada aktifitas manusia di suatu waktu tertentu; entah berselang beberapa menit, jam, hari, bulan dan tahun yang akan datang.
Dalam kaitan dengan aktifitas manusia, ungkapan ‘nanti kong’ menunjuk pada dua kondisi subyek. Pertama, subyeknya pasif dalam arti tidak melakukan suatu aktifitas apa pun, dan diharapkan untuk melakukan suatu aktifitas yang oleh subyek itu dapat ditunda untuk masa tertentu di waktu yang akan datang. Kedua, subyek sedang melakukan suatu aktifitas, dan kepadanya dimintakan melanjutkan atau melakukan suatu aktifitas yang baru. Dalam kondisi kedua ini, subyek dapat meminta untuk menunda aktifitas kedua, sambil menyelesaikan aktifitas yang pertama.
Dalam keadaan tertentu, ungkapan ‘nanti kong’ dapat menjadi alasan penundaan suatu aktifitas. Di sini subyek menjadi semakin pasif dan tidak melakukan aktifitas tertentu. Akibatnya tidak ada suatu kerja yang tuntas. Namun dalam keadaan yang lain, ungkapan itu mengarah pada penuntasan suatu aktifitas/kerja yang sedang dilakukan, baru kemudian melakukan aktifitas yang baru, sehingga beban kerja tidak menumpuk. Orang dapat membagi diri dan waktu untuk mengerjakan satu persatu aktifitas/kerja.

b. Tuangallah; nama budaya TUHAN dalam bahasa Melayu Ambon
Tuangallah merupakan nama budaya TUHAN dalam bahasa Melayu Ambon. John Hicks menjelaskan dalam salah satu bukunya, The Metaphore of God Incarnate, tentang identitas kultural TUHAN yang selalu disebut menurut bahasa dari tiap komunitas. Dalam teori Hicks itu, ada pemosisian yang jelas antara aspek menon dan nomenon dari TUHAN.
Aspek menon menjurus pada esensi diri TUHAN, sehingga sangat terkait dengan nama diri TUHAN yang disebut menurut bahasa setiap komunitas. Dalam tiap komunitas membahasa, TUHAN sebagai the ultime being, disebut menurut bahasa [native language] mereka. Sementara aspek nomenon itu menjelaskan tentang sifat atau pensifatan TUHAN seperti berkuasa, baik, penuh kasih setia, suci, tidak berdosa, dan sebagainya.
Pada komunitas membahasa Ibrani, nama TUHAN disebut dalam istilah ‘Yahweh’ dan ‘Elohim’. Istilah Yahweh [YHWH] sendiri dalam cara membahasa tidak disebut secara langsung, melainkan digantikan dengan sebutan umum yang lebih familiar dan wajib yaitu ‘adonae’. Nama ini sendiri diambil dari tradisi ketuhanan orang Kanani dengan melakukan transformasi yang cukup mendasar, termasuk melalui kisah Penciptaan Langit dan Bumi, sebagai bagian dari pentuhanan Yahweh. Sedangkan El atau Elohim bersumber dari konsepsi Allah Nenek Moyang [theos patros], yang juga bersumber dari tradisi masyarakat sekitar Israel Alkitab [dalam tulisan saya berjudul ‘TUHAN itu baik’, hal ini telah dijelaskan].
Pada  komunitas membahasa Inggris, TUHAN disebut dalam nama God dan Lord. Dari sisi sejarah kebahasaan, istilah Lord sendiri adalah sebutan kepada raja/kaisar, atau bangsawan seperti tuan tanah. Istilah-istilah itu kemudian digunakan dalam ruang agama, dan dilabelkan kepada the ultime being. Sebab Ultime Being itu harus bernama sesuai dengan cara membahasa masyarakat. Selain memberi nama, Ultime Being diberi pula ciri ketuhanan [theophoric elements/titular] sehingga ketika disebut, walau dengan istilah umum, namun menunjuk kepada kuasa yang absolut. Pemberian ciri ketuhanan itu tidak sekedar tampak dalam pengucapan, tetapi juga pada tradisi penulisan. Misalnya penulisan TUHAN dan TUHAN atau TUHAN, bapa[k] dan Bapa, atau tuan dan Tuan. Artinya pencirian TUHAN itu harus sempurna dan membedakan dari sebuah penyebutan umum yang pernah atau familiar di antara masyarakat. 
Demikian pula pada komunitas membahasa yang lain, termasuk bahasa pribumi [native language] seperti kebanyakan di Maluku, nama TUHAN pun disebut menurut bahasa yang mereka gunakan. Pengungkapan nama TUHAN menurut bahasa-bahasa itu justru mengandung nilai kesakralan pada nama tersebut. Dan baik disebut dalam istilah apa pun, terjemahan tentang istilah-istilah itu sama, yakni TUHAN, yaitu the ultime being atau makhluk ilahi yang berkuasa atas manusia dan dunia.
Dalam penyebutan umum, TUHAN Allah, oleh orang Maluku dinamai pula Tuangallah. Jika dijelaskan secara etimologis, istilah itu sebenarnya berasal dari istilah Tuang untuk TUHAN dan Allah. Kebiasaan membahasa guna menyebut sesuatu secara singkat/cepat membuat istilah TUHAN/Tuang dan Allah itu mengalami semacam reproduksi dalam sistem pembunyian/lafalisasi, menjadi Tuangallah. Tentang penulisannya apakah Tuangallah atau Tuang Allah? Memang sulit dipastikan. Sebab ada pula istilah yang mirip seperti ‘tuangana’ sebagai bentuk pernyataan heran/kaget. Dan kadang diikuti pula oleh istilah seperti ‘bapa tela’ atau ‘bapa dosa’, atau ‘bapa kamar’ – sebagai istilah-istilah yang sebenarnya bersumber dari literatur keagamaan.
Istilah lain lagi seperti ‘Tuangampong’ mungkin dapat juga menjadi referensi yang sebenarnya terkait pula dengan penyebutan Tuangallah tadi. Dan bentuk lain yang lazim pula terkait ‘Tuangampong’ ialah ‘ampong dosa jua’. Sementara istilah ‘Bapa Kami’ dapat dipastikan sebagai istilah yang penggunaan dan pemaknaannya hampir sama dengan Tuangallah.
Sebagai nama diri TUHAN, sebutan Tuangallah itu sesungguhnya merupakan suatu nama khas dalam cara membahasa orang Maluku. Istilah ini menjadi sebuah bentuk penyebutan nama TUHAN yang memiliki makna tersendiri dalam pemahaman keagamaan orang Maluku. Sebagai nama dari the ultime being¸maka istilah Tuangallah merupakan nama khas yang digunakan oleh orang Maluku tentang TUHAN Allah.
Namun, nama ini sendiri cukup kontroversial dalam penggunaannya pada saat berkomunikasi. Dari kebiasaan yang ada, orang Maluku kerap menggunakan nama ini dalam konotasi kasar; sebagai bentuk ‘menyebut nama TUHAN secara sia-sia/sembarangan’.
Karena itu kerap dipahami sebagai bentuk sumpahan. Sehingga sering dilarang atau dianggap sebagai tabu dan sikap tidak hormat kepada TUHAN. Suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum agama, dan ini adalah ketidaklaziman etika. Karena itu, sejak masa kanak-kanak, orang tua selalu melarang anaknya agar tidak boleh menyebut ‘Tuangallah’ dalam komunikasi sesehari, tatkala bermain dengan teman-teman/saudara. Tabu agama ini dianggap sebagai cara menghormati TUHAN. 
Namun dalam bentuk penggunaan lainnya, seperti ‘nanti kong Tuangallah lia os jua’, maka nama Tuangallah digunakan sebagai semacam doa dan keyakinan bahwa TUHAN Allah pasti akan menimpakan sesuatu yang buruk atas seseorang yang telah berbuat salah kepada kita. Jadi ini semacam kutuk [curse] yang diyakini akan terjadi di suatu masa tertentu, cepat atau lambat.
Padahal penyebutan itu digunakan saat seseorang sedang dalam emosi atau kemarahan yang tinggi, hanya ia tidak bisa atau tidak mau membalas secara langsung. Derajat emosi itu tampak pula dalam penyebutan ‘os’, sebagai konotasi kasar dari ‘ose’. Konotasi lembutnya ialah istilah ‘ale’ –sebagai kata ganti orang kedua tunggal [anda]. Dalam kesantunan membahasa, orang kedua biasa disebut dengan sebutan ‘ale’; sedangkan ‘ose’ dan ‘os’ itu menunjuk pada bentuk konotasi kasar.
Karena itu ungkapan ‘nanti kong Tuangallah lia os jua’ merupakan suatu ungkapan kasar. Sembari kita pun dapat memahami bahwa maksud dari istilah ‘lia’ [lihat] juga sebenarnya berarti ‘perhatikan’ [memperhatikan], dalam arti menyelidiki secara mendalam, dengan harapan dapat menimpakan sesuatu yang diharapkan yakni hukuman kepada orang tersebut. Sebab itu ungkapan tadi sering disertai dengan anak kalimat: ‘Tuangallah seng buta’ [TUHAN Allah tidak buta], atau ‘nanti se lia sa’ [tunggu saja, kamu pasti lihat/dapat juga], atau ‘kalu TUHAN dua, ambel satu par se’ [jika TUHAN ada dua, ambil yang satunya untuk kamu]. Bentuk anak kalimat itu semakin menjelaskan derajat emosi orang yang mengungkapkannya.
Di suatu waktu, jika seseorang yang ‘disumpahi’ itu menderita suatu penyakit atau ditimpa suatu bencana dan masalah, orang yang ‘menyumpahinya’ biasa pula berkata begni: ‘itulah tobat’ atau ‘tobat ka seng?’ atau ‘itu toh, su dapa tuh’. Seakan sumpahannya didengar oleh TUHAN.

 3. Mazmur 34:16,17 – Tafsir dan Rekritik
Teks: 3416Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telingaNya kepada teriak mereka minta tolong; 17wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.

a. Tafsir
Teks Mazmur 34:16,17 digunakan untuk membahas bentuk ungkapan tadi, dengan mencoba belajar kembali tentang makna doa dan permohonan dalam bentangan relasi di antara manusia dan relasi manusia dengan TUHAN.
Mazmur ini menggunakan istilah mata dan telinga, sebagai dua indra yang penting, dan wajah sebagai organ utama pada rongga kepala manusia; dan semua itu dilekatkan pada diri TUHAN. Artinya TUHAN dalam personifikasi manusia sempurna. Dengan mempersonifikasikan TUHAN sebagai manusia, pemazmur hendak menegaskan bahwa TUHAN itu ada dekat dan dapat melihat apa pun yang kita lakukan, dan mendengar secara langsung setiap pembicaraan kita. Singkatnya, Ia mengenal siapa kita sebenarnya.
Kemudian, ada dua kategori manusia yang menjadi bagian dari syair pemazmur di sini yaitu ‘orang-orang benar’ dan ‘orang-orang yang berbuat jahat’. Menjadi menarik ialah, personifikasi TUHAN tadi dihadapmukakan dengan kedua kategori manusia ini dalam dua realitas teks dan sosial secara bersamaan.

Realitas Pertama:
Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar
dan
Telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong

Realitas Kedua:
Wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat

Pada realitas pertama, mata dan telinga sebagai dua indra vital melukiskan kasih sayang TUHAN kepada orang-orang benar. Dalam referensi Mazmur, dan kitab-kitab hikmat, orang benar merupakan kelompok yang suka mendengar firman TUHAN, dan hidup menurut nasehat firman atau hukum TUHAN. Mereka dikategorikan sebagai orang berhikmat atau murid sekolah hikmat. Sikap takut TUHAN merupakan karakter mereka. Dengan kata lain mereka hidup dengan penuh hormat kepada TUHAN; gemar melakukan hal-hal yang baik yang mendatangkan hidup.
Pemazmur menggambarkan bahwa mata TUHAN tertuju kepada mereka. Artinya, TUHAN memperhatikan mereka dengan penuh kasih. TUHAN mengenal siapa mereka dan tidak satu pun yang tersembunyi dari hadapan TUHAN. Kesukaan mereka adalah hidup dekat dengan TUHAN. Karena itu, bentuk perhatian TUHAN ditingkatkan dengan gambaran ‘telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong’ –yang berarti bahwa TUHAN mendengar setiap keluh kesah mereka dan menjawab keluh kesah itu dengan kasih setia-Nya.
Intinya TUHAN melihat keadaan hidup orang benar dan mendengar doa mereka, setiap waktu mereka menyampaikannya kepada TUHAN. Oleh sebab itu mereka termasuk dalam kelompok orang-orang yang bahagia, senang, hidup dalam kesukacitaan. Hidup dalam arti yang utuh [zoe] merupakan gambaran hidup orang benar yang sesungguhnya.
Sebaliknya dalam realitas kedua, lukisan ‘wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat merupakan bentuk negatif dari realitas pertama tadi. Wajah TUHAN di sini menjadi simbol kemarahan atau TUHAN yang menentang orang yang berbuat jahat, yaitu mereka yang tidak mau menuruti firman dan hukum-Nya walau telah berulang kali disampaikan dan dinasehatkan kepada mereka. Dalam teks PL yang lain, setiap orang yang melihat wajah TUHAN akan mati [bnd. Kel. 33:20].
Realitas pertama dan kedua tadi merupakan suatu gambaran kontras tentang adanya dua kategori dan sikap manusia, dan juga dua bentuk perhatian TUHAN kepada masing-masing kategori dan sikap manusia itu. Teks Mazmur ini memang dipengaruhi oleh hukum balas jasa seimbang [retribusi], sehingga selalu ada gambaran kontras mengenai sikap manusia –dalam simbolisasi orang benar dan orang jahat, atau orang pandai dan orang bodoh [=orang bodoh ialah mereka yang tahu hukum kebaikan tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang baik]. 
Pemazmur menulis hal itu sebagai bimbingan moral kepada umat. Syairnya mengandung ajaran yang disertai dengan bentuk sanksi yang tepat atau keras/tegas. Umumnya sanksi itu adalah berkat atau hidup [positif] dan kesengsaraan, hukuman atau kematian [negatif].
Tujuannya adalah agar umat menimbang tentang sikap etik mana yang baik dituruti, sebab sikap etik manusia menentukan keharmonisan relasi etik dan kepercayaan kita dengan TUHAN. Walau demikian, pemazmur sebenarnya menganjurkan umat untuk mengikuti jalan-jalan yang baik, atau jalan yang benar; jalan yang menuju kepada hidup, jalan bersama dengan TUHAN.

b. Rekritik
Jika ungkapan ‘nanti kong Tuangallah lia os jua!’ dihadapkan dengan teks Mazmur 34:16,17, maka ada beberapa point rekritik agama yang kiranya perlu dilihat kembali.
Pertama, cara membahasa dalam masyarakat selalu sarat akan teks-teks agama yang perlu direproduksi sehingga tidak dipahami sebagai yang melulu berkonotasi kasar. Dalam hal ini, pencitraan TUHAN atau penyebutan nama TUHAN, seperti dalam istilah Tuangallah, sesungguhnya merupakan bentuk penamaan diri TUHAN dalam cara membahasa orang Maluku. Hanya karena selama ini teks atau sebutan itu dipahami dalam konotasi kasar saja, maka penamaan ini menjadi semacam tabu agama yang tidak dibolehkan. Padahal Tuangallah merupakan suatu bentuk sapaan khas dalam cara membahasa masyarakat Maluku, dan menunjuk pada kesatuan diri dan fungsi/peran [baca. Kemahakuasaan] Allah itu sendiri.
Allah atau TUHAN dalam paham agama masyarakat Maluku adalah totalitas diri dan fungsi, walau disebut dalam nama yang berbeda. Ada kesatuan yang simetris. Seperti tampak dalam beberapa istilah seperti ‘Upu Lanite Upu Tepele” [Tuhan Langit dan Bumi] yang kadang disatukan dalam gelar Upu Ama atau Upu Anahatana [Maluku Tengah]. Dalam komunitas membahasa di Maluku Tenggara, penyebutan Duad adalah bentuk tunggal yang digunakan sebagai nama TUHAN bagi masyarakat Kei. Atributif Duad LerVuan [Tuhan Matahari dan Bulan], memosisikan peran atributif TUHAN itu dalam satu totalitas diri Duad itu sendiri. Duad adalah ketunggalan yang tidak terbagi dan tidak terpisahkan. 
Demikian pun Ubu Ratu, atau Rato pada komunitas bahasa Yamdena dan Babar, menunjuk pula pada totalitas diri dan peran [baca. Kemahakuasaan] TUHAN.
Tuangallah pun menempati ruang makna seperti itu, dan dengan konotasi lunak, disertai kesantunan membahasa, maka Tuangallah sebagai nama diri TUHAN, akan dibunyikan [dilafalkan] dalam nuansa yang jauh lebih indah dan teduh. Kesakralannya akan menjadi semakin kuat.
Kedua, berkat dan kutuk, sebagai paradigma yang turut membentuk kebiasaan sumpah/basumpah [curse], merupakan wujud sikap etik agama yang harus pula dikritik. Sebab memosisikan TUHAN sebagai maha kuasa, tidak berarti bahwa kita berhak menjustifikasi seseorang kena celaka/hukuman. Namun tidak berarti bahwa setiap orang yang berbuat curang, salah, tidak adil, dan sejenisnya tidak boleh dihukum. Namun bahwa TUHAN memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk watak manusia; dan kita wajib mendoakan agar orang itu berubah/mengalami pembaruan sikap. Memberi kutuk kepada orang lain sama dengan merampas ruang kuasa TUHAN. Membenarkan sebuah tragedi yang menimpa seseorang sebagai bentuk hukuman TUHAN kepadanya, membuat kita membenarkan bahwa TUHAN itu penuh murka kepada mereka.
Intinya kita tidak berhak meminta kutuk kepada seseorang, melainkan meminta agar orang itu berubah atau diubahkan. Sebab kita pun berpotensi melakukan kesalahan dan kecurangan kepada orang lain. Dengan demikian, tidak perlu ada ‘bakubalas’ dalam meminta kutuk antara kita dengan sesama.
Orang beragama itu lembut dalam sikap dan tutur bahasanya. Mereka mampu menghadirkan kesejukan bagi semua orang, sebab mereka wajib menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera bagi siapa saja.
Ketiga, manusia hidup dalam dimensi waktui yang dikontrolnya tetapi sebagian besar lepas dari kontrolnya. Yang terlepas dari kontrol manusia itu adalah hal-hal yang tidak terpikirkan, tidak terencanakan, tidak terbayangkan, namun kerap terjadi dalam waktu-waktu hidup manusia.
Ini berarti perlu kita menjadi sadar tentang batas dan kelemahan diri kita. Supaya kita juga dapat membagi diri dan mengatur aktifitas yang perlu kita bagi dan atur.

Keempat, relasi antarpribadi, antarumat dan antarmasyarakat harus dibangun dalam paradigma kasih atau berkat dan bukan kutuk atau sumpahan. Paradigma kasih adalah paradigma kerajaan damai sejahtera sebagai bentuk proklamasi Injil atau Kabar Baik yang baru. Proklamasi Kabar Baik yang baru itu adalah suatu bentuk realisme agama yang menuntun pada pemulihan relasi antarpribadi, antarumat dan antarmasyarakat.
Realisme agama yang baru ialah realisme yang dibangun di atas dasar keyakinan bahwa semua orang itu sama hakekatnya, yakni sebagai manusia. Perbedaan di antara pribadi dan/atau kelompok merupakan fenomena sosial yang tidak boleh dipertentangkan. Sebab menegasikan perbedaan berarti membangun jurang pemisahan [segregasi] yang tidak penting.
Manusia sejati adalah umat beragama yang paham akan realisme agama yang baru yaitu damai sejahtera, persahabatan, persaudaraan, dan itu adalah paradigma berkat. (*dobo-pastori Jemaat Hok Im Tong, 8-9 Agustus 2013)


Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara