Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
(Ketua MPH Sinode GPM)
I. PENGANTAR
Saya meminjam dua contoh yang secara paradigmatik relevan untuk mendiskusikan peran pastoral gereja dalam tahun politik 2024 di Indonesia. Contoh pertama adalah pada gerakan pembebasan yang dijalankan Marthin Lutger King (1954-1968) di Amerika Serikat, sebagai yang berintikan pada empati pastoral dari orang yang mengalami langsung diskriminasi terhadap sesama warga kulit hitamnya, dan contoh kedua pada paradigma kenosis atau penyangkalan diri Yesus sebagaimana tertulis dalam beberapa catatan injil.
Tujuan saya dengan dua contoh itu ialah untuk bersama-sama berdiskusi mengenai bentuk peran pastoral gereja dengan melihat dunia dan tanggungjawab politik sebagai bagian dari panggilan untuk melayani semua (calling to serve) dan panggilan untuk menjadi satu (ut omnes unum sint).
1. Paradigma Keadilan Marthin Luther King, Jr
There comes a time when one must take a position that is neither safe,
nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right.
(Marthin Luther King, Jr, 1986)
Kutipan di atas merupakan pernyataan Marthin Luther King, Jr, seorang tokoh sekaligus theolog pembebasan yang bersikukuh di jalan pembebasan rasialis Amerika (1954-1968), bahwa perbedaan ras tidak boleh menghambat hak sipil seseorang. Pilihan sikapnya untuk melawan diskriminasi ras di Amerika serikat pada saat itu adalah pilihan yang tidak populer dan sudah tentu sarat resiko, sebab ia pada akhirnya ditembak oleh James Earl Ray di Motel Lorraine Memphis, Tennessee (4 April 1968). Namun keberaniannya telah memberi inspirasi bagi gerakan pembebasan di seluruh dunia. Dapat dikatakan dalam jangka waktu yang lama setelah ia meninggal, baru kelihatan “buah sulung” perjuangan tersebut tatkala Barak Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (20 Januari 2009).
Keberpihakan King kepada bangsa kulit hitam atau yang berulang kali tanpa malu ia sebut orang-orang negro merupakan bentuk empati pastoral politik yang nyata (Washington, 1986). Ia adalah bagian dari masyarakat kulit hitam Amerika yang sejak lahirnya mengalami diskriminasi, malah diskriminasi ras merupakan jati dirinya sebagai orang kulit hitam. Ia bertumbuh sambil mengalami persoalan tersebut secara faktual dan melihat bentuk-bentuk diskriminasi itu setiap hari dalam berbagai bentuknya. Boikot bus Montgomery (1955) merupakan bukti bahwa dalam hal yang paling simpel, soal tempat duduk dalam bus saja, orang kulit hitam tidak mendapat perlakuan yang setara atau adil. Sebab itu, tindakan King, yang adalah seorang pendeta, merefleksikan bahwa diskriminasi sosial tersebut merupakan beban besar bagi teologi gereja, atau hal tersebut merupakan persoalan teologia yang harus dijawab dengan sikap berteologi pula. Dalam hal itu saya memahami boikot bus Montgomery dan bentuk-bentuk protes King yang lain adalah tindakan berteologi yang sangat kontekstual dan lahir dari pengalaman langsung malah dirinya sendiri merupakan wadah berteologi itu sendiri.
King menampilkan suatu bentuk empati pastoral untuk mendorong upaya pemulihan, pembebasan, suatu tindakan membangun kemaslahatan dan dignitas (kehormatan diri) satu ras atau satu suku bangsa, bukan untuk memisahkan diri dari bangsa Amerika melainkan untuk menjadi bagian yang sama, setara, dan diperlakukan dengan adil dalam kehidupan bangsa tersebut. Ia berjuang secara politik namun sebagai tindakan berteologi, yakni sebuah refleksi pada aksi dan aksi yang berdasarkan pada refleksi yang koheren dalam arti dialami sendiri olehnya dan masyarakatnya. Keterlibatan King dalam berbagai bentuk protes merupakan caranya memposisikan diri (positioning) dan itu merupakan caranya mengada atau menghadirkan diri (presence) di tengah masyarakat yang kehilangan hak untuk diperlakukan adil. Kesamaan hak, dalam perjuangan King, merupakan bentuk keadilan yang esensial, dan itu harus diberi negara. Di situ King memperkenalkan paradigma keadilan bagi semua (justice for all) sebagai suatu amanat demokrasi, dan pada sisi yang sama kesetaraan (equality), suatu model masyarakat yang ideal (the good society).
2. Paradigma Kenosis Yesus
Inkarnasi sesuai catatan Injil Yohanes terpaut erat dengan Kristologinya. Dalam Yohanes 1:14, tertulis: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”. Dikaitkan dengan Yohanes 3:16, dalam menerangkan esensi kedatangan dan kehadiran Yesus sebagai Anak Manusia, kepada Nikodemus Yesus berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.
Yohanes menghadirkan Kristologi yang universal, membawa Yesus keluar dari lingkaran keyahudian dengan menjadikan Yesus milik orang-orang Yunani helenistik bahkan milik manusia secara universal. Dengan menjadi manusia (λόγος σάρξ γίνομαι), Yohanes menerangkan esensi kenosis sebagai tindakan keluar dari diri dan meninggalkan kebesaran/kemuliaan untuk menjadi sama dengan manusia. Ini bukan sekedar bentuk keberpihakan melainkan menjadikan diri-Nya sama seperti/dengan manusia. Tindakan ini hanya dapat terjadi karena kasih (ἀγαπάω) sebagai sifat dasar yang melekat langsung atau menjadi esensi dari diri Allah, sang Logos, yang telah menjadi manusia.
Moore mengutip Markus 10:32-45 sebagai gambaran real dari kenosis. Menurut Moore, jawaban Yesus terhadap permintaan Yakobus dan Yohanes yang meminta tempat utama dalam kerajaan yang akan datang memperlihatkan mereka berfokus pada cara-cara mencapai kekuasaan. Memang ide kerajaan Allah muncul beberapa kali dalam dialog Yesus dengan para murid, namun gambaran metafora kerajaan Allah itu dimengerti secara leterlag sebagai suatu ide dan agenda politik Yesus. Tetapi kepada Yakobus dan Yohanes, menurut Moore, Yesus menyarankan agar mereka melakukannya dengan jalan penyangkalan diri (kenosis). Ada tiga anasir yang diajukan Moore untuk memahami jawaban Yesus kepada dua saudara-Nya itu: Pertama, Politik Kenosis Yesus berlawanan dengan semua kerajaan duniawi lainnya. Kedua, Yesus menginstruksikan Yakobus dan Yohanes tentang cara mencapai kebesaran, bukannya menegur mereka karena pencarian mereka yang agresif. Dalam Markus 10:43b-44, tertulis: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (διάκονος), dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba (δοῦλος) untuk semuanya”. Ketiga, Yesus akan mencontohkan Politik Kenosis dengan pengorbanan-Nya sendiri, bahwa “Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Dengan demikian, Ia memperkenalkan paradigma baru dalam tindakan politik, yaitu kenosis sebagai tindakan melayani, menghamba, dan memberi diri sendiri demi kepentingan orang banyak.
Ada praksis politik baru yang dilakukan Yesus, dan semua itu diluar segala sesuatu yang normatif. Pelayanan (διάκονος) dan kehambaan (δοῦλος) menjelaskan bukan hanya pada positioning diri melainkan akta kehidupan sekaligus sifat hakiki dari kekuasaan. Itu adalah model keberadaan diri yang operatif dan fungsional, sebagaimana tampak dalam tindakan Yesus membasuh kaki para murid (Yoh.13). Sikap Yesus itu jelas-jelas kontras dengan para tokoh yang lain di zaman itu. Sikap-Nya menerima penderitaan atau resiko penyaliban menjadikan diri-Nya jelas berbeda, dan memperlihatkan bahwa kekuasaan itu sesuatu yang usang jika hanya soal kedudukan dan kehormatan.
Mereka yang merasa berkuasa, dalam perspektif kenosis, hanyalah memerintah bukan diperintah. Jadi mereka tidak bisa dipaksa, melainkan suka memaksa sehingga cenderung otoriter dan menjaga wibawa kekuasaannya, anti-kritik dan mencari popularitas melalui kedudukan. Orang yang dipandang sebagai yang berbeda dalam pemikiran dan tindakan dipandang sebagai rival yang karena itu tidak segan-segan untuk disingkirkan dengan berbagai cara. Malah di tangan penguasa seperti itu, hukum sangat mudah dimanipulasi.
Catatan penginjil Markus (12:13-17; Mat. 22:15-22; Luk.20:20-26) tentang kewajiban membayar pajak kepada Kaisar merupakan salah satu, dari sekian banyak diskusi Yesus dengan orang Farisi mengenai torah Musa:
“Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran. Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?” (Mrk.12:14)
Ini semacam mekanisme ujian dengan harapan menambah lagi daftar kesalahan Yesus supaya cukup bukti untuk menimpakan hukuman atasnya sebagai penghujat Allah yang melawan taurat. Respons Yesus menjadi penting untuk disimak:
“Mengapa kamu mencobai Aku? Bawalah ke mari satu dinar supaya Kulihat! Gambar dan tulisan siapakah ini? Jawab mereka: Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Mrk. 12:15b-17)
Jelas bahwa Yesus tidak menganjurkan mereka melawan ketentuan hukum negara mengenai pajak, malah menyuruh mereka memenuhinya sebagai kewajiban terhadap hukum, bukan ketaklukan kepada Kaisar. Namun sebagai umat beragama, wajib juga mereka menjalankan kewajiban keagamaannya yakni memberi persembahan korban, korban syukur, korban bakaran dan lainnya. Pada teks ini tampaklah posisi masyarakat sebagai warga bangsa dan umat beragama, dan kewajibannya kepada negara serta kewajiban agama penting untuk dijalankan. Yesus tidak menganjurkan suatu tindakan subversif, melainkan kooperatif.
Kenosis yang sempurna terjadi pada penyaliban Yesus. Ucapan-Nya di salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34) merupakan model empaty yang mesti dipahami dalam perspektif penyelamatan (salvation) bukan sekedar pengampunan (redemption). Selama ini kita memahami penyaliban sebagai akta di mana Yesus menghubungkan kembali manusia dengan Allah. Salib diilustrasikan seperti jembatan yang membentang pada jurang yang lebar, yakni dosa yang memisahkan manusia dari Allahnya. Kesannya Yesus menjadi “jembatan” atau “mediator”. Padahal ada satu proses yang lebih substansial dari sekedar itu, yakni penyelamatan, sekaligus sebagai kulminasi kenotic Yesus.
II. DEMOKRASI LANGSUNG SEBAGAI KONTEKS PASTORAL POLITIK GEREJA
Demokrasi langsung atau sistem demokrasi terbuka, dimana rakyat, sesuai ketentuan UU, berhak memilih dan dipilih memberi “beban” tersendiri kepada gereja sebagai institusi dan juga pelayan atau pimpinan lembaga gereja. Bagi gereja-gereja di Indonesia, sesuai PPTB, peran dalam demokrasi merupakan bagian dari peran gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi langsung atau terbuka di Indonesia saat ini sarat dengan masalah, dan salah satunya adalah konflik antar-warga sebagai akibat dari pendidikan politik yang kurang sehat. Beberapa variabel dari kurang sehatnya pendidikan politik di Indonesia antara lain:
- Konflik kepentingan (conflict of interese) masih sering terjadi di antara kontestan (contestant): antar-partai dan antar-calon atau kontestan suatu proses pemilihan umum (Pilpers dan Wapres, Pilgub dan Wagub, Pilbup dan Wabub, PilWalkot dan Wawali, Pilkades) dengan melibatkan masyarakat (constituent).
- Keberpihakan penyelenggara kepada pihak yang berkuasa sebagai indikator pemilu yang tidak jujur, bersih dan transparan. Ujung-ujungnya kelompok masyarakat dihadap-hadapkan dalam aksi demonstrasi pro vs kontra.
- Perebutan kekuasaan (power struggle) di antara partai politik, pasangan calon, calon anggota legislatif bahkan OKP dan ormas, termasuk dengan membawa sentiment agama, misalnya pada daerah di mana satu kelompok agama (merasa) mayoritas.
- Bagi-bagi jatah atau kue politik (political cake sharing) di antara para kontestan dan kelompok pendukung, sehingga kepentingan kelompok (oligarki) lebih diutamakan, pembangunan bagi kesejahteraan rakyat terbengkalai.
- Perselingkuhan politik (political infidelity) antara politisi, penguasa, pengusaha, militer dalam kancah politik praktis, sehingga kehendak oligarki lebih diutamakan ketimbang aspirasi rakyat.
- Kampanye negatif (black campaign), yang terkadang berdasar pada fitnah (blasphemy) sehingga menciderai seseorang atau satu kelompok orang.
- Politik uang (money politics) sebagai faktor determinan tidak tuntasnya perilaku korupsi tetapi juga menciptakan orientasi uang sebagai daya pikat bagi konstituent dalam pemilihan umum.
- Pembodohan politik (political dumbing down) yang sering dilakukan saat kampanye dengan menjelek-jelekkan satu atau sekelompok orang, dan menarik sentimen agama ke dalam politik praktis. Terkadang menjurus ke adu-domba antar-pendukung.
- Golongan Putih (golput) sebagai bentuk boikot atau perlawanan terhadap tujuan utama demokrasi atau juga tidak tercapainya aspirasi sekelompok rakyat pada satu atau beberapa resim yang berkuasa.
Yang hendak saya katakan sebagai “beban” gereja adalah variabel-variabel itu mengisyaratkan dua hal penting sebagai bagian dari agenda pastoral gereja dalam kehidupan demokrasi atau politik nasional, yaitu: pertama, kecenderungan perilaku warga, dan kedua, perilaku struktur politik yang harus ditangani secara baik agar di satu sisi menunjang berlangsungnya demokrasi substansial, sebagai demokrasi yang berpihak pada keadilan, perdamaian, keutuhan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat, serta pada sisi lainnya dihidupi oleh manusia-manusia bermoral, beretika, kritis-profetik dan memiliki spiritualitas melayani yang tinggi.
III. KENOSIS SEBAGAI TITIK TOLAK AGENDA PASTORAL-POLITIK GEREJA
Saya meminjam dua teori pastoral untuk merumuskan peran pastoral gereja dalam konteks politik. Teori pertama dari Clebsch dan Jaekle (1967) tentang fungsi dasar pendampingan pastoral, yaitu fungsi menyembuhkan, menguatkan, membimbing dan memperbaiki hubungan. Kedua, teori kritis dari Ronaldo Sathler Rosa (1994), yang menyebut bahwa: “Gereja dinilai tidak mengarahkan perhatian pada persoalan-persoalan konkrit dari masyarakat, padahal melalui pastoral gereja harus mendorong warganya untuk terlibat bersama dalam tiap masalah sosial, termasuk masalah-masalah yang timbul sebagai ekses dari suatu perubahan sosial”.
Kedua kutipan itu dijadikan rujukan untuk melihat bentuk dan tujuan dari pastoral gereja dalam konteks politik/demokrasi di Indonesia, sekaligus percikan pemahaman dan sikap bersama menghadapi pemilihan umum langsung dan serentak di Indonesia pada tahun 2024 yang akan datang.
Sesungguhnya Pendidikan politik dengan seperangkat kurikulum yang sudah dimiliki oleh gereja (PGI dan gereja-gereja anggotanya) merupakan salah satu tindakan pastoral politik yang mesti diterapkan secara berkelanjutan di semua gereja. Saya tidak akan menyinggung materi itu, dengan harapan gereja-gereja anggota fokus menjalankan pendidikan politik kewargaan sebagai cara mencerdaskan dan membentuk kesadaran politik dan demokrasi. Tujuan Pendidikan politik sendiri ialah membentuk dua aspek itu agar warga dapat berpartisipasi dalam agenda demokrasi dan pembangunan bangsa, sambil memahami hak dan kewajibannya. Jika mereka mesti berjuang untuk hak-haknya, perjuangan itu mesti dilakukan dalam jalur-jalur konstitusional sehingga tidak melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan perjuangan itu tetap untuk memelihara kesatuan bangsa dan negara yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.
Saya melihat peran pastoral gereja pada beberapa bentuk dan tujuan, dengan menjadikan Pendidikan karakter dan kontrol sipil sebagai bentuk sikap teologi-profetik gereja dan warga gereja yang adalah warga bangsa dan negara Indonesia. Kenosis menjadi titik tolak sekaligus dasar motivasi untuk seluruh sikap kritis dan keterlibatan gereja/warga gereja dalam konteks politik dan demokrasi. Untuk itu berikut ini beberapa bentuk dan tujuan peran pastoral gereja, yaitu:
B E N T U K | T U J U A N |
Pembinaan kesadaran demokrasi | Agar warga gereja memahami hak dan kewajiban serta berjuang melalui jalur demokrasi yang konstitusional |
Pembinaan karakter politik | Membimbing warga untuk mewujudkan perilaku anti-politik uang, kampanye negatif, politik identitas |
Pembinaan kesadaran kritik-profetik | Membimbing warga menjalankan fungsi kritik-profetik dalam konteks politik dan demokrasi |
Pembinaan kesadaran kebangsaan | Membimbing warga membangun kehidupan sebagai warga negara sambil memelihara keutuhan bangsa |
Pengarusutamaan Pancasila | Membimbing warga mengamalkan nilai Pancasila dalam kehidupan demokrasi bangsa dan negara |
Memajukan politik persaudaraan | Menguatkan pemahaman kewargaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika |
Mendorong peranserta warga dalam pemilu | Mengarahkan warga untuk tidak golput; meningkatkan angka partisipasi warga dalam memilih secara sah |
Mendorong partisipasi warga dalam pembangunan daerah dan nasional | Meyakinkan warga untuk mendukung program pembangunan di daerah dan nasional dengan menciptakan stabilitas sosial, politik dan ekonomi |
Memperluas jejaring advokasi warga dan kebijakan publik | Memperkuat kelembagaan gereja untuk melakukan advokasi kebijakan publik sebagai bentuk kontrol sipil |
Demikian beberapa catatan yang dapat disampaikan pada kesempatan ini. Kiranya kita dapat mensukseskan agenda Pemilihan Umum tahun 2024 sebagai wujud terbangunnya kesadaran berbangsa dalam bingkai kebhinnekaan di Indonesia.
Buku Rujukan:
Clebsch, William A & Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, New York, 1967
Moore, Mark E., Kenotic Politics: The Reconfiguration of Power in Jesus’s Political Praxis, The Library of New Testament Studies, Bloomsbury T&T Clark, 2013
Rosa, Ronaldo Sathler, “Opening Address in Pastoral Theology’s & Pastoral Psychology’s Constitutions to Helping Heal a Violent World”, edited by. G. Michael Coundner, Santa Severe, Italy, 1994
Washington, James Melvin (eds.), A Testament of Hope: The Essential Writings and Speeches of Marthin Luther King, Jr, 1986
No comments:
Post a Comment