Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella
0. PENGANTAR
Topik di atas sekaligus menjadi tujuan dari tulisan ini, berpijak pada tema utama “Memperkuat Demokrasi dari Basis”. Memperkuat demokrasi merupakan suatu usaha memperkuat rakyat (demos) dalam arti menggerakkan seluruh masyarakat secara bersama-sama, baik personal, komunal, dan juga menggerakkan institusi-institusi sosial termasuk institusi agama supaya bersama-sama menjadikan masyarakat sebagai kekuatan di dalam demokrasi itu sendiri. Istilah memperkuat (strengthening) mengasumsikan rakyat tidak sekedar sebagai subyek melainkan kekuatan langsung dan hakiki dari demokrasi.
Jadi kekuatan (baca. rakyat) itu yang diperkuat, oleh sebab politik telah menjadikan rakyat sebagai “alat” yang terus menerus dimanipulasi atas nama “suara”. Rakyat dijadikan sebagai “instrument” politik praktis, sehingga tujuan politik yang seharusnya untuk melayani rakyat menjadi untuk merebut dan membagi-bagi kekuasaan. Politik telah menggiring rakyat untuk menjual hak absolutnya menjadi subtitutif setelah nafsu berkuasa tercapai. Sebab itu tepatnya, rakyat tidak harus diberdayakan (empowering) melainkan diperkuat (strengthening). Demokrasi harus dikembalikan kepada pemilik sahnya.
Selanjutnya, saya memahami istilah “basis” secara langsung menunjuk kepada posisi berdiri rakyat di dalam “polis” (yun. πόλις), bukan sekedar tempat/lokus. Istilah “polis” diartikan sebagai “kota, kota negara”, namun juga berarti “badan masyarakat” atau menunjuk pada suatu lembaga yang dibentuk untuk mewakili masyarakat untuk mengatur akselerasi hak-hak masyarakat. Polis itu terbentuk dalam suatu yang kompleks, ketika jenis kebutuhan turut berkembang dan persaingan terus terjadi, terutama persaingan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kembali ke istilah “basis” tadi, maka di dalam “polis” sebagai “badan masyarakat” itulah seluruh kekuatan rakyat mesti dikuatkan atau dikerahkan. Proses ini mesti dijalankan melalui keterlibatan (engagement) langsung baik personal maupun institusional.
1. INKARNASI SEBAGAI KETERLIBATAN POLITIK
Bentuk keterlibatan politik itu bersifat personal dan institusional. Secara teologis, keterlibatan politik itu dapat dipahami sebagai model empaty, atau keberpihakan langsung ke dalam situasi hidup orang lain, agar bisa menolongnya menemukan jalan keluar dari masalahnya sambil memelihara integritas dirinya sebagai manusia. Artinya, kesendirian itu tidak manusiawi, tetapi berempaty ke dalam hidup sesama menjadikan kita lebih manusiawi.
Saya memahami hal itu dari teologi inkarnasi, atau ketika Allah menjadi manusia. Allah mendorong diri-Nya sendiri untuk menjadi manusia. Artinya Allah itu galau melihat umat-Nya menderita dan terus hidup dalam keberdosaan. Ia galau jika hanya harus memberi titah melalui orang-orang kudus-Nya. Kegalauan itu mengasumsikan bahwa Allah tidak bisa sendiri dalam ke-Allahan-Nya. Ia memilih satu cara yang trans-rasional, yaitu dengan menjadi manusia (inkarnasi), sehingga Ia ada di dalam dunia dan masyarakat secara nyata, karena Ia berdiam di antara manusia (Yoh. 1:1,14). Ia terlibat secara personal-operatif dalam kemanusiaan tersebut. Ia tidak mewakilkan diri-Nya kepada seseorang atau di dalam sebuah lembaga, melainkan Ia sendirilah yang terlibat.
Inkarnasi adalah cara Allah melaksanakan tugas mesianik yang nyata. Yesus, sebagai Allah yang menjadi manusia, menjadikan diri-Nya sentral dalam seluruh tugas mesianik itu. Meski demikian, Ia hidup di antara manusia dan merangkul orang-orang pinggiran yang dikucilkan dan mengalami diskriminasi berlapis (sosial, politik, ekonomi dan agama). Posisi diri Yesus tersebut merupakan sebuah pilihan yang tidak populis saat itu, apalagi Ia ditemui bergaul erat dengan orang-orang miskin dan perempuan termasuk dari kalangan orang kafir, seperti perempuan Samaria (bd. Yoh. 4:1-42).
Ide tentang inkarnasi saya gunakan di sini untuk memberi dasar bagi usaha-usaha gereja (personal dan institusi) melibatkan diri secara operatif di level basis. Ada pendapat yang menarik tentang motif keterlibatan politik dari Alexius A.L. Binawan[2] yang bisa membantu kita melihat bentuk dan cara memperkuat demokrasi.
Menurut Binawan, motif pertama adalah keterlibatan langsung, yaitu bentuk keterlibatan yang bertujuan menduduki jabatan pemerintahan sebagai motif dalam politik praktis. Motif ini paling sering terjadi malah menjadi model utama sehingga orang mencap politik dan demokrasi itu secara langsung dengan atau sebagai kekuasaan itu sendiri. Kedua, motif yang berupaya ikut memengaruhi pendapat umum (policy making) dan keputusan politis tetapi dengan cara di luar struktur pemerintahan. Ketiga, cara memengaruhi kebijakan publik secara tidak langsung, misalnya dengan jalan membuat surat terbuka atau petisi online. Keempat, motif menggumuli kepentingan umum dengan menggerakkan masyarakat secara bersama-sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menanamkan nilai-nilai moral agama dalam kehidupan sesehari. Kelima, afiliasi lembaga agama ke dalam partai politik tertentu, yang ujung-ujungnya demi kekuasaan institusional. Targetnya adalah kepentingan institusi agama dalam hubungan dengan institusi lain. Keenam, motif keterlibatan umum melalui pendekatan iman, di mana motif politik pribadi – dengan basis imannya – dalam “menggarami” masyarakat sangat menonjol. Tidak ada kaitan institusional antara keterlibatannya dengan agamanya. Menurut Binayan, yang menjadi target dari motif ini bukanlah kepentingan pribadi itu atau imannya itu, melainkan kepentingan umum dan kebaikan bersama dalam arti yang paling luas, dan kepentingan umum itu tetap mempunyai nuansa politis. Ketujuh, motif keterlibatan personal yang memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya. Kedelapan, motif iman dalam wacana keseharian, yaitu bagaimana umat berkumpul dalam lingkungan masyarakatnya, lalu secara pribadi melakukan lobi-lobi politis, menulis surat pembaca di koran, atau di media sosial.
Pendapat Binawan di atas menjelaskan bahwa keterlibatan politik itu bersifat personal dan institusional serta bertujuan untuk memenuhi kepentingan politik secara personal dan juga institusional.
Apapun tujuannya, inti dari keterlibatan politik ialah membangun komunikasi yang intens dan memahami secara benar masalah yang berkecamuk di level basis/masyarakat, untuk mendorong upaya-upaya yang pro-eksisten untuk memperjuangkan kepentingan bersama dengan tetap menjaga kesatuan di dalam masyarakat.
Inkarnasi membuat Allah, di dalam Yesus, membangun komunikasi langsung secara intens dengan manusia. Komunikasi tanpa sekat yang berlangsung di dalam hidup keseharian Yesus. Ide besar inkarnasi dalam injil Yohanes menerangkan tentang motif dan tujuan yang paling hakiki dari tujuan Allah menjadi manusia. Dorongan utama dari inkarnasi adalah kasih Allah yang besar (yun. agapao - ἀγαπάω), yaitu kasih yang rela memberi diri, rela meninggalkan ke-Allahan-Nya sendiri, kasih yang tidak terbatas, tidak bertepi, tidak berujung dan tidak berakhir (intinity), kasih yang mengosongkan diri (kenotic). Sedangkan tujuan dari inkarnasi itu ialah memberi kepada manusia, hidup kekal (yun. zoe aionios - zóé αἰώνιος).
Kasih itu yang terjelma dalam setiap tindakan Yesus, seperti menyembuhkan orang sakit, mencelikkan mata orang buta, membangkitkan Lazarus, atau juga pada tanda-tanda ajaib yang tidak disadari oleh Yesus sendiri, seperti kesembuhan seorang perempuan yang sakit pendarahan yang yakin bahwa Ia akan sembuh hanya dengan menyentuh puncah jubah Yesus. Kasih itu pula yang dituntut Yesus, dengan tiga kali bertanya kepada Petrus setelah Ia bangkit dari kematian-Nya, agar Petrus menggembalakan domba-domba Kristus (Yoh.21:15-18).
Inkarnasi Allah dapat dipahami sebagai motif kasih yang rela untuk memberi kepada manusia (masyarakat di level basis) suatu kondisi hidup baru pada level tertinggi, yaitu hidup dalam damai sejahtera yang tidak akan dapat diambil alih atau dirampas oleh siapapun di waktu kapanpun. Tindakan itu tidak hanya membekas sebagai semacam legacy melainkan tindakan itu adalah tujuan ideal yang dilakukan Yesus secara sempurna tanpa cacat dan cela sedikitpun pada diri-Nya. Malah, meski cara itu penuh resiko, Ia tidak melarikan diri atau memilih cara lain. Ia tetap memilih cara itu dengan menempuh jalan penderitaan-Nya (via dolorosa).
2. PENGUTUSAN SEBAGAI MODEL KEBERPIHAKAN POLITIK (REFLEKSI ATAS MATIUS 10:5-15)
Saya meminjam Injil Matius 10:5-15[3] untuk melihat aspek pengutusan sebagai model keberpihakan politik Kristen di tengah masyarakat. Hakekat dan makna inkarnasi seperti dijelaskan tadi menjadi daya dorong teologis di dalam memahami dimensi pengutusan ini, sebab Yesus telah mempercayakan gereja (personal dan institusional) untuk melanjutkan tugas mesianik-Nya itu dengan tetap belajar dan mengikuti pola-Nya.
Penginjil Matius mengelaborasi kegalauan hati Yesus ketika Ia berkeliling semua kota dan desa di Galilea. Di situ Ia menyembuhkan banyak orang dari berbagai penyakit dan dan melihat banyak orang terlantar seperti domba-domba yang tidak memiliki gembala. Menurut keterangan Matius, pada kondisi itulah, “tergeraklah Yesus oleh belas kasihan” (Mat. 9:36), untuk segera menolong mereka dan membawa mereka keluar dari situasi yang sulit itu. Ungkapan-Nya “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat.9:37) menjadi introduksi dari pemilihan 12 murid (Mat.10:1-4) dan pengutusan mereka (Mat.10:5-15). Sebagai “pemilik” tuaian, Yesus mengutus secara langsung para “pengirik” (baca. murid-murid-Nya) atas dasar “belas kasih” tadi, supaya orang-orang yang terlantar tanpa ada pemimpin/pelayan itu bisa dibawa keluar dari kesulitan-kesulitan dan keterbatasan hidup.
Sebab itu pengutusan mesti dipahami dalam ide dasarnya yaitu belas kasih Yesus yang tidak bisa dibendung. Tanpa itu kehadiran kita di tengah hidup orang-orang susah tidak akan memberi faedah apapun sebab kita kehilangan spirit dasar. Akhirnya dengan mudahnya kita menjadikan sesama sebagai obyek, padahal Yesus menghendaki kita menjadikan mereka subyek.
Mari kita simak tahap-tahap dan pesan-pesan Yesus dalam akta pengutusan para murid-Nya sesuai catatan penginjil Matius.
PESAN – Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan surga sudah dekat (Mat.10:5b-7).
Focus group dari pesan pengutusan itu ialah domba-domba yang hilang dari umat Israel, itu sekaligus menjadi koridor atau jalan yang harus ditempuh dan dituju. Pesan untuk “jangan menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria” merefleksikan ada hal besar yang mesti diurus terlebih dahulu di level basis sebelum kita melakukan lompatan-lompatan besar dalam tugas pengutusan itu.
Dalam ide Matius, istilah “domba-domba yang hilang” dapat dialamatkan langsung kepada orang-orang yang mengalami diskriminasi berlapis, seperti orang sakit, miskin, dlsb. Ada hubungan yang kuat dengan Mat. 25:35-40, dimana mereka yang dimaksudkan itu ialah orang yang sakit, lapar, haus, dipenjarakan, tidak memiliki rumah, dlsb, dengan demikian gagasan tentang kerajaan Allah di sini tidak sama dengan apa yang dikhotbahkan Yohanes pembaptis. Sebab ide Yohanes pembaptis tentang kerajaan surga ditautkan langsung dengan seruan pertobatan (Mat.3:2), karena itu baptisan menjadi akta sentral dalam tugas Yohanes pembaptis.
Kerajaan surga dalam ide Yesus di sini dikaitkan dengan pelayanan dan solidaritas sosial, dan hal ini telah diintroduksi oleh Yesus dalam kumpulan khotbah di bukit (Mat.5-7), sehingga pengutusan dengan gagasan kerajaan surga di sini perlu dipahami terkait ucapan-ucapan bahagia itu (Mat. 5:3-12) dan sekumpulan tuntutan etis yang terkumpul dalam Mat.5:13-7:27.
TUGAS – Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang yang sakit kulit; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, berikanlah pula dengan cuma-cuma (Mat.10:8).
Tugas ini secara serentak diberi bersamaan dengan karunia, artinya Yesus memberi kuasa-Nya kepada para murid untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut sebagai cara untuk menghadirkan kerajaan surga di waktu kini (present, today). Karena itu gagasan kerajaan surga di atas lebih pada perubahan kondisi dan peningkatan kualitas kehidupan dari orang-orang yang terbatas itu.
Tugas ini adalah tugas karitas (charity), tugas yang dikerjakan sesuai karunia yang kita terima secara cuma-cuma, jadi harus dilakukan juga secara cuma-cuma. Tugas yang bersifat karitas itu adalah tugas yang didorong oleh kasih/belas kasih, maka dengan melakukannya, kita menghadirkan kasih Kristus dan kuasa-Nya di dalam hidup orang yang dilayani. Karitas membuat keterlibatan Kristen dalam bentuk apapun, termasuk politik memiliki jiwa dan benar-benar untuk kepentingan bersama. Keterlibatan kristen untuk melayani bukan untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.
SYARAT – Janganlah membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah membawa kantong perbekalan dalam perjalanan, janganlah membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat nafkahnya (Mat.10:9-10).
Karitas itu menjurus pada pola kenotic, atau pengosongan diri, dan itu yang membuat inkarnasi serta keterlibatan Kristen dalam dunia menjadi sesuatu yang unik karena memiliki nilai yang tidak terbandingi. Tanpa itu, inkarnasi adalah proyek gagal Allah, dan keterlibatan Kristen pun menjadi hambar karena ditunggangi oleh kepentingan berkuasa.
Keterlibatan politik baik personal maupun institusional dewasa ini sarat dengan soal capital. Orang berpendapat bahwa untuk menjadi politisi, harus banyak duit. Untuk menjadi calon kepala daerah, atau Presiden, harus persiapkan uang milyaran rupiah. Karena itu perlu dukungan orang-orang kaya, para milyarder dan trilyuners, serta dukungan korporasi yang bonafid, sekelas pengusaha pertambangan nikel. Akibatnya orang-orang baik dan cerdas yang miskin hanya bisa berkhayal untuk menjadi seorang pelayan politik yang baik. Politik praktis akhirnya diisi oleh orang-orang sombong, yang “berlagak” banyak duit. Akibatnya politisi pun dikurung oleh tuntutan “ganti pinjaman” atau “cash-back” kepada pihak kreditur, yakni para pengusaha/donatur. Ujung-ujungnya menjadi jelas, semua proyek harus dibagi kembali kepada pemilik modal. Maka politik praktis menjadi cara untuk melanggengkan oligarki.
STRATEGI – Apabila kamu masuk kota atau desa, carilah di situ orang yang layak dan tinggallah padanya sampai kamu berangkat. Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. Jika mereka layak menerimanya, salam damaimu itu turun ke atasnya, jika tidak, salam damaimu itu kembali kepadamu. Apabila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu (Mat.10:11-14).
Kelompok masyarakat di basis adalah kekuatan yang vital dan menentukan berhasil tidaknya kita menjalankan tugas. Kekuatan mereka itu perlu dijadikan sebagai unsur utama dalam setiap tugas, sebab reaksi penerimaan dan penolakan merupakan bagian dari tugas publik. Penerimaan akan sangat berkaitan dengan ada tidaknya rasa percaya (trust). Bangunan kepercayaan publik/masyarakat yang kuat menentukan penerimaan, sebaliknya ketidakpercayaan (distrust) melahirkan penolakan secara massive.
Strategi di atas menunjukkan ada figure sentral atau orang kunci (key person) yang mesti didekati terlebih dahulu, guna menjamin penerimaan tersebut. Peran key person begitu penting, dan mereka mesti ditempatkan dalam posisi utama sebuah pergerakan sosial.
Strategi di atas menunjuk pada pentingnya komunikasi personal dengan key person dan masyarakat secara langsung, terbuka. Ada model komunikasi setara, sebagai komunikasi yang berdimensi damai sejahtera (shalom). Suatu model komunikasi yang bertujuan untuk menghadirkan kehidupan itu sendiri. Artinya, dengan datang ke dalam suatu masyarakat, komunikasi atau membahasa menjadi vital, entah untuk menyampaikan gagasan/ide, cita-cita, harapan bersama, atau juga mengajak, membimbing untuk bertumbuh dan berubah. Komunikasi yang berdimensi shalom itu merupakan model komunikasi yang etis sehingga diperlukan keterbukaan seluas-luasnya, tanpa ada intrik dan kepentingan pribadi. Sejatinya komunikasi yang berdimensi shalom menjadi batu uji kepada semua pengerja Kristen di medan layanan apapun.
Penerimaan dan penolakan mesti dipahami sebagai bagian yang inheren dalam komunikasi yang berdimensi shalom itu pula. Karena kesadaran masyarakat (consciousness) adalah hal yang diutamakan, bukan pemaksaan. Komunikasi yang berdimensi shalom harus mendorong bertumbuhnya kesadaran ke arah perubahan.
KONSEKUENSI – Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya daripada kota itu (Mat.10:15).
Ayat ini lebih condong sebagai dampak ikutan dari penolakan, dengan asumsi kita harus berusaha agar melalui komunikasi yang berdimensi shalom, ada rasa saling percaya yang berbuah pada penerimaan.
Jika dihubungkan dengan PESAN dalam ayat 7 dan 8, maka derita Sodom dan Gomora dalam ayat 15 ini lebih ringan dibandingkan masyarakat yang tetap hidup dalam berbagai penyakit, miskin dan lapar, karena itu bisa dikategorikan sebagai derita berkepanjangan. Dengan demikian penolakan terhadap para rasul berdampak pada penderitaan berkelanjutan, sebaliknya penerimaan berbuah manis yakni pemulihan. Karena itu dibutuhkan strategi yang tepat dan bentuk-bentuk adaptasi diri yang jitu pula.
Hal tersebut terkait dengan pesan Yesus berikutnya dalam Mat.10:16 “Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ulat dan tulus seperti merpati”. Saya melihat ayat ini sebagai bagian dari strategis adapatasi diri seorang rasul/pengutus di dalam masyarakat majemuk, dengan tujuan bahwa misi atau tugas mesianik itu tidak boleh dibiarkan gagal hanya karena ada penolakan.
3. KARAKTER ETIS POLITIK KRISTEN
Konsep teologis tentang inkarnasi sebagai bentuk keterlibatan politik Yesus dan pengutusan sebagai tugas layanan para rasul, penting dipahami kini sebagai imperative teologi politik sebagai suatu cara gereja (personal dan institusional) menghadirkan diri secara langsung di level basis agar memastikan pekerjaan damai sejahtera berlangsung secara nyata demi kualitas kehidupan manusia secara hakiki.
Sebelum sampai ke point itu saya hendak mengajak kita melihat gereja (ekklesia) dalam jaringan pengelolaan politik Yunani di abad ke-4.[4] Gambar di bawah ini menerangkan posisi ekklesia[5] sebagai sebuah lembaga sosial yang penting dalam masyarakat Yunani.
Dalam struktur politik Yunani abad ke-4, ada tujuh (7) yang berperan penting, yaitu Heliaia, pengadilan umum (Popular Tribunal), Areopagus, pengadilan kuno Yunani (Ancient Tribunal), Boule suatu badan yang beranggotakan 500 orang, Prytany, yaitu badan eksekutif sebagai wakil suku-suku/daerah, Ekklesia, suatu badan umum, mewakili kurang dari 6000 penduduk, Military Magistracies, lembaga militer, Civil Magistacies, semacam lembaga tinggi yang beranggotakan orang-orang dari masyarakat, dan terakhir adalah Archons yang bertanggungjawab untuk ritus-ritus masyarakat Yunani Kuno.
Ekklesia itu adalah suatu badan yang diisi oleh penduduk berusia 30 tahun ke atas melalui proses pemilihan, dengan mengacungkan tangan (raising hand) dan duduk untuk mengurus kepentingan orang-orang yang diwakilinya. Posisi ini vital sebagai suatu kekuatan sosial politik, karena ekklesia bertanggungjawab atas suara yang diwakilinya. Dalam konteks politik populer saat ini, ekklesia tidaklah menjadi satu partai politik melainkan gerakan teologi politik yang dilakoni oleh gereja dalam arti personal dan institusional. Untuk itu wawasan politik Kristen kita mesti berkembang, dengan melihat politik praktis sebagai luasan dari karya kesaksian Injil melalui perjuangan personal (politisi) dan institusional (gereja) pada jalurnya masing-masing.
Jika saya katakan perjuangan personal, maka ruang ini menjadi ruang pelayanan warga gereja profesi di bidang politik, sebagai bagian dari pengutusannya, atas dasar belas kasih Yesus kepada orang-orang yang lemah. Sebaliknya sebagai ruang perjuangan institusional, tidak berarti bahwa gereja sebagai lembaga (sinode) mendirikan partai politik Kristen atau sinode terlibat langsung dalam politik praktis. Peran institusional gereja ialah menjadikan politik sebagai bagian dari panggilan iman untuk mendorong warganya menghadirkan politik yang berdimensi shalom itu. Lembaga gereja bertugas membentuk warga yang matang, visioner, misioner dan profetik untuk berperan dalam ruang politik praktis. Ada tanggungjawab gereja sebagai lembaga untuk membentuk warga untuk berkiprah di lembaga politik, namun bukan untuk membangun oligarki baru, tetapi untuk menghadirkan politik yang berdimensi shalom.
Pada posisi itu, gereja dan AMGPM bertugas membentuk karakter etis politisi Kristen. Seorang politisi Kristen harus meresapi hakekat inkarnasi Allah dan tujuan pengutusan dirinya. Ia harus menjaga moralitas dan etika sebagaimana ia memelihara imannya. Ia harus menjalankan tugas politik sebagai luasan tugas pemberitaan Injil yang memanusiakan manusia. Ia harus kritis sebagai seorang nabi yang berwibawa, agar kata-katanya, tindakannya dapat dipercaya. Ia tidak boleh takut menempuh suatu resiko demi keselamatan publik, meskipun pada hal itu ia harus habis. Ia tidak boleh menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, sebaliknya melayani dengan sepenuh hati. Ia tidak bisa dengan mudah dibujuk dan disuap, sebab itu ia tidak boleh takut miskin apalagi melarat. Ia harus cermat mempertimbangkan masa depan, sebab itu di saat ia diutus, ia harus bekerja dan berjuang sekuat tenaga. Ia harus memilih untuk “berdiam di antara masyarakat” daripada bergaul erat dengan penguasa yang lalim. Ia harus mencerdaskan masyarakat, mencerahkan pemikiran mereka, supaya jangan ia menjadi pembohong yang suka menceritakan dongeng. Ia harus memengaruhi pengambilan keputusan public sebagai suatu keputusan etis pemerintah untuk memajukan daerah, kota, desa, bangsa, negara dan masyarakat. Ia harus menjaga agar demokrasi langsung membentuk pemerintah yang baik, sebab pemerintah yang baik berasal dari Allah (Roma 13:1,2).
Demikian beberapa pokok pemikiran untuk didiskusikan.
DAFTAR BACAAN:
Binawan, Alexius Andang Listya, “Menautkan (Kembali) Agama dan Iman Dengan Menjaga Gawang Hak Asasi Manusia”, dalam H. Dwi Kristanto dan L. Eko Anggun S (eds.), Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia: Kumpulan Esai Untuk KArlina Supelli, Kanisius: Yogyakarta, 2022
Hansen, Mogens Herman, Fischer-Hansen, Tobias (1994), "Political Architecture in Archaic and Classical Greek Poleis", dalam Whitehead, David, From Political Architecture to Stephanus Byzantius: Sources for the Ancient Greek Polis, Historia: Einzelschriften, vol. 87, Stuttgart: Franz Steiner Verlag
Wilken, Robert L., Christian As Roman Saw Them, Philadelphia: Fortress Press, 1993
© Pastori Klasis GPM Kisar, 21-22 Oktober 2023
[1] Materi Study Meeting MPP ke-35 AMGPM, Lebelau, Daerah Pulau-pulau Kisar, 22 Oktober 2023
[2] Alexius Andang Listya Binawan, “Menautkan (Kembali) Agama dan Iman Dengan Menjaga Gawang Hak Asasi Manusia”, dalam H. Dwi Kristanto dan L. Eko Anggun S (eds.), Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia: Kumpulan Esai Untuk KArlina Supelli, Kanisius: Yogyakarta, 2022, hlm. 276-282
[3] Kutipan Alkitab di sini saya gunakan dari Alkitab TB 2 LAI, 2023
[4] Hansen, Mogens Herman; Fischer-Hansen, Tobias (1994), "Political Architecture in Archaic and Classical Greek Poleis", dalam Whitehead, David, From Political Architecture to Stephanus Byzantius: Sources for the Ancient Greek Polis, Historia: Einzelschriften, vol. 87, Stuttgart: Franz Steiner Verlag, hlm. 23–90
[5] Robert Wilken menyebut ekklesia sebagai suatu kelompok/organisasi sosial yang lebih banyak beranggotakan para pekerja rendah, namun karena besar jumlahnya maka mereka diwadahi dalam satu kelompok sosial. Lambat laun kelompok ini berkembang dan sebagian besar dari mereka terhisab ke dalam gerakan pemikiran teologi baru sesuai ajaran-ajaran Yesus. Kelompok ini yang kemudian berkembang menjadi Kristen. Baca Robert Wilken, Christian As Roman Saw Them, Philadelphia: Fortress Press, 1993
No comments:
Post a Comment