Ellexia dalam aneka posenya. Dia suka bunga. Suka memberi makan ayam. Tetapi sangat tidak suka anjing. Dia suka 'protes'. Ellexia mungkin tidak suka 'bergosip', karena itu, setiap kali diajak bergosip, dia 'marah' dan 'putar muka'. Bagitulah Ellexia di masa-masa ketika semua tingkah polanya masih lucu, dan 'mungkin juga hanya isyarat-isyarat kebetulan'.
Thursday, December 18, 2008
Tuesday, December 16, 2008
Tuhan Penolong di Tengah Krisis (?)
Habakuk 3:17-19
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah, apakah umat telah ada dalam malapetaka yang besar? Atau mestikah kita setuju untuk mengatakan bahwa krisis global yang sedang dihadapi adalah malapetaka bagi umat? Sebenarnya pertanyaan itu menghadapkan kita pada kenyataan bahwa ‘mengandalkan Tuhan sebagai penolong’ (sebagai tema bulanan kita), bukan berarti kita tidak berdaya upaya lagi/atau sudah tidak bisa berdaya upaya karena berbagai himpitan, lalu beramai-ramai berteriak minta pertolongan Tuhan.
Jika pun krisis global ini adalah juga bentuk ‘malapetaka’, mestinya hal “Tuhan Penolong dalam Malapetaka’, bukan pula sebuah kalimat sakti agar umat tidak usah takut menghadapi krisis, karena ‘selalu ada Tuhan’. Ini hiburan-hiburan yang membuat teologi dan gereja memperlakukan sebagai robot, seakan-akan teologi dan gereja meminta pertanggungjawaban Tuhan untuk mengatasi masalahnya. Lalu ‘untuk apakah manusia itu? Dan siapakah manusia itu?
Materi ini mencoba masuk ke dalam jalur utama teologi, yaitu ‘prakarsa manusia’ sebagai bentuk ‘partisipasinya dalam dunia yang memang ‘dar kamuka’ dilanda krisis’. Dari prakarsa dan partisipasi manusia, baru kita bisa memahami krisis, dan dalam krisis itu baru kita memahami siapakah Tuhan bagi manusia.
Orientasi ke dalam Kitab Habakuk
Habakuk (Ibr. hăvaqqŭq – rangkulan/polo rapat-rapat; dalam bahasa Akad, berarti sejenis tanaman (bunga) yang mahal dan diincar orang – mungkin seperti sekarang orang banyak mengincar bunga ‘gelombang cinta’ atau ‘anggrek larat’, atau ‘bunga thailand’), adalah kitab nabi-nabi kecil (nabi ke-8 dari 12 nabi kecil yang menulis kitab dengan nama mereka, seperti juga Zefanya.
Orientasi ke dalam kitab ini menunjukkan bahwa:
Pertama, nabi disebut sebagai anak perempuan Sunem; walau tradisi lain yang dikutip dalam Septuaginta menyebut dirinya sebagai anak laki-laki Jesus dari suku Lewi. Tidak ada petunjuk yang jelas mengenai hal itu, tetapi indikasi ia adalah suku Lewi jelas dalam bentuk nyanyian pujian (hymne ritual) pada bagian akhir tulisannya (pasal 3:17-19). Tentang perannya, pasal 2:1 menunjuk bahwa dia menjadi saksi dari jatuhnya Yerusalem dan hidup sampai dengan tahun kedua sebelum Israel kembali dari pembuangan Babel – atau dibebaskan oleh Persia.
Kedua, kitab ini dibentuk oleh beberapa episode, yakni: (1) dialog antara nabi dengan Tuhan (1:2-2:4); (2) sebuah keluhan dalam lima bentuk kejahatan (lht. Formulasi ‘celakalah…’, 2:5-20); dan (3) puisi yang menggambarkan kemenangan Tuhan (psl.3) – tetapi dalam dilema mengenai ‘dalam hal apa kemenangan itu; bagaimana itu berlangsung, dan bentuk pembebasan seperti apa yang diharapkan terjadi. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kitab ini dimulai dengan keresahan, dan juga berakhir dengan keresahan. Karena itu, model penceritaan yang dipakai penulis kitab ini adalah ‘ratapan’ (lamentation) – seperti dalam kitab Ratapan itu sendiri.
Ketiga, untuk memahami dinamika sosial dalam teks, perlu dipaparkan beberapa aspek yang penting, dan terkait dengan tema khotbah kita.
(1) menurut Habakuk 1:2-4, Yehuda berada dalam situasi yang sudah korup; penindasan terhadap orang-orang benar oleh orang-orang jahat, menjadi alasan moral mengapa nabi berteriak memanggil Tuhan untuk bertindak melawan para penindas. Menariknya ialah 1:5-11 menunjuk jawaban Tuhan atas teriakan nabi, dengan menegaskan IA memakai orang Kasdim untuk melakukan penghukuman atas Israel. Tidak masuk akal bagi nabi, mengapa Tuhan justru memakai orang-orang barbaris untuk menghukum orang-orang yang lebih benar dari mereka.
(2) Dialog dalam pasal 2:1-5 menjadi kunci jawaban, yang juga menegaskan bahwa orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri akan runtuh, kekuasaannya itu temporer, sebaliknya orang benar akan tetap hidup. Maka 2:5-20 adalah simbolisasi perlawanan terhadap kejahatan, termasuk terhadap orang Kasdim – sebenarnya terhadap orang yang terlalu memuja kekuasaan, dan menggunakannya untuk menekan orang lain.
(3) Dalam 2:1-4 itu, sebenarnya Allah menjanjikan pembebasan. Karena itu peran nabi sebagai ‘pelihat’ dari zaman runtuhnya Yerusalem sampai menjelang pembangunan kembali, cukup memberi gambaran bahwa pembebasan itu terjadi di dalam sejarah masyarakat yang terus berkembang. Ada maksud Allah dengan sejarah penindasan, kesengsaraan, krisis, dan situasi kelam-kabut yang dihadapi umat/masyarakat.
(4) Israel menghadapi beragam penindasan dan kesengsaraan, mulai dari Asyur (621-615 BCE; Mesir (608-604 BCE), dan kemudian Kasdim (605-604 BCE), dan Babel (600 BCE). Karena itu menjadi penting, mengapa nabi mewakili umat berteriak meminta pembebasan dari Tuhan. Situasi ‘malapetaka’ terjadi dalam regime-regime kekuasan asing yang silih-berganti. Dalam kondisi seperti itu dapat diterka nasib Israel sebagai bangsa yang dijajah, dan kebijakan regime asing yang terus berganti-ganti. Di Indonesia, pergantian regime dari Orde Lama ke Order Baru, dan ke era Reformasi saja sarat dengan beban krisis.
Tafsir Habakuk 3:17-19
Habakuk 3 berisi puisi lirika yang bertajuk ‘doa’. Nabi bertindak mewakili umat, dan bagaimana ia mengenang karya Allah kepada umat (3;2); bahkan karena mereka hati Allah menjadi ‘belisah’. Dalam hal ini mari kita melihat tradisi tua dalam naskah-naskah PL, di mana Allah digambarkan sebagai subyek yang juga prihatin dengan nasib umatNya, lalu bertindak menyelamatkan mereka karena ingat pada ‘janji’ dengan leluhur mereka (3:2). Di sini konsep pemilihan Allah (God election) menjadi dasar dari kepedulian Allah, dan bahkan tuntutan umat akan pembebasan.
Karena itu, dalam 3:3-11, puisi lirika itu disusun dalam syair-syair pengagungan akan penyataan diri Allah di masa lampau. Ini menjadi pengantar ke dalam tuntutan pembebasan, bahwa Allah terikat pada apa yang telah dikerjakanNya di masa lampau. Dimensi pengalaman umat dengan Tuhan menjadi point penting di sini. Suatu gambaran bahwa Tuhan adalah subyek yang bekerja bersama-sama dengan manusia.
Sedangkan 3:12-16, konsep keterpilihan umat menjadi point penting berikut yang mendapat penegasan. Di sini, tampak pengaruh sastra hikmat. Sebab perilaku para penindas diibaratkan sebagai perilaku orang fasik, dan umat tetap digambarkan sebagai orang benar yang mengalami penderitaan – walau mereka tidak bersalah. Di sini, bentuk kejahatan yang mengedepan adalah trick atau skandal – kesepakatan di bawa telapak tangan, atau ‘keinginan terselubung (the hiden agenda: sesuatu yang selalu ada dalam praktek manipulasi, ekspolitasi, dan provokasi).
Ada hal yang menarik di situ yakni paham retribusi (balas jasa seimbang) yang masih mengedepan. Di sinilah sebenarnya Habakuk mencoba mempertanyakan maksud dari hikmat Allah dengan penindasan dan kemalangan yang dialami umat (bnd. 1:2-3). – gambaran yang sama kita temui dalam plediod Ayub atas penderitaannya.
Nah, ayat 17-19 adalah sebuah hymne yang perlu ditafsir secara kritis dalam perspektif baru. Sebab, orientasi kultis sangat mewarnai nyanyian ini. Lihat saja ayat-ayatnya yang melukiskan suatu kondisi sosial yang sarat krisis:
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,…” (3:17).
Bentuk krisis itu terjadi dalam hal ketersediaan bahan pangan (krisis ekonomi). Artinya, derita umat akibat tekanan politik kemudian ditambahi dengan krisis ekonomi yang cukup parah. Mereka tidak hanya menghadapi kekuasaan yang sudah sangat korup, tetapi lingkungan alam/hutan produktif yang juga sudah tidak menghasilkan apa-apa untuk hidup. Beban struktural dan beban sosial itu melengkapi wajah derita atau malapetaka yang menimpa umat.
Dalam konteks seperti itu, bagi Habakuk, praktek ‘kejahatan’ secara struktural membuat orang-orang kuat (pemerintah) menjadi penindas. Mereka sebenarnya mengharapkan keadilan, tetapi yang didapati adalah ketidakadilan (penindasan). Kebebasan mereka dikekang, karena nilai keadilan telah diselewengkan.
Pada saat bersamaan, alam yang menyediakan sumber-sumber ekonomi tidak lagi menjanjikan. Memang kurang jelas di sini apakah krisis ekonomi itu akibat tidak ada kesempatan untuk umat bekerja – karena harus melayani kepentingan penindas (penjajah/pemerintah), atau memang lingkungan produksi pun sudah sangat langkah akibat perampasan tanah, dll.
Sejenak mari kita melihat lagi frasa lanjutan dari nyanyian tadi:
“namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku…” (ay.18).
Apakah ini jawaban di dalam krisis? Seperti syair DSL “asal Tuhan jua hidupku…”. Kita perlu melanjutkan frasa ini ke ay.19: “Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku”. Artinya, jawaban krisis bukanlah komitmen kesetiaan dan kepercayaan kepada Tuhan saja. Titik! Tetapi pengelolaan potensi diri yang diberi Tuhan.
Gambaran “kakiku seperti kaki rusa, dan …berjejak di bukit-bukitku” adalah bentuk operatif dari iman kepada Tuhan. Bahwa Tuhan membuat kita menjadi orang-orang yang kuat untuk berusaha dalam mengatasi krisis. Itu adalah simbol dari upaya untuk keluar dari krisis dengan melakukan tindakan pensejahteraan hidup [di dalam konteks kerja dan usaha masing-masing jemaat].
Sebenarnya dalam krisis kita tidak boleh berdoa: “Tuhan, lepaskan kami dari derita ini”. Tetapi “Tuhan, beri kami kekuatan untuk berusaha keluar dari derita ini”. (*)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah, apakah umat telah ada dalam malapetaka yang besar? Atau mestikah kita setuju untuk mengatakan bahwa krisis global yang sedang dihadapi adalah malapetaka bagi umat? Sebenarnya pertanyaan itu menghadapkan kita pada kenyataan bahwa ‘mengandalkan Tuhan sebagai penolong’ (sebagai tema bulanan kita), bukan berarti kita tidak berdaya upaya lagi/atau sudah tidak bisa berdaya upaya karena berbagai himpitan, lalu beramai-ramai berteriak minta pertolongan Tuhan.
Jika pun krisis global ini adalah juga bentuk ‘malapetaka’, mestinya hal “Tuhan Penolong dalam Malapetaka’, bukan pula sebuah kalimat sakti agar umat tidak usah takut menghadapi krisis, karena ‘selalu ada Tuhan’. Ini hiburan-hiburan yang membuat teologi dan gereja memperlakukan sebagai robot, seakan-akan teologi dan gereja meminta pertanggungjawaban Tuhan untuk mengatasi masalahnya. Lalu ‘untuk apakah manusia itu? Dan siapakah manusia itu?
Materi ini mencoba masuk ke dalam jalur utama teologi, yaitu ‘prakarsa manusia’ sebagai bentuk ‘partisipasinya dalam dunia yang memang ‘dar kamuka’ dilanda krisis’. Dari prakarsa dan partisipasi manusia, baru kita bisa memahami krisis, dan dalam krisis itu baru kita memahami siapakah Tuhan bagi manusia.
Orientasi ke dalam Kitab Habakuk
Habakuk (Ibr. hăvaqqŭq – rangkulan/polo rapat-rapat; dalam bahasa Akad, berarti sejenis tanaman (bunga) yang mahal dan diincar orang – mungkin seperti sekarang orang banyak mengincar bunga ‘gelombang cinta’ atau ‘anggrek larat’, atau ‘bunga thailand’), adalah kitab nabi-nabi kecil (nabi ke-8 dari 12 nabi kecil yang menulis kitab dengan nama mereka, seperti juga Zefanya.
Orientasi ke dalam kitab ini menunjukkan bahwa:
Pertama, nabi disebut sebagai anak perempuan Sunem; walau tradisi lain yang dikutip dalam Septuaginta menyebut dirinya sebagai anak laki-laki Jesus dari suku Lewi. Tidak ada petunjuk yang jelas mengenai hal itu, tetapi indikasi ia adalah suku Lewi jelas dalam bentuk nyanyian pujian (hymne ritual) pada bagian akhir tulisannya (pasal 3:17-19). Tentang perannya, pasal 2:1 menunjuk bahwa dia menjadi saksi dari jatuhnya Yerusalem dan hidup sampai dengan tahun kedua sebelum Israel kembali dari pembuangan Babel – atau dibebaskan oleh Persia.
Kedua, kitab ini dibentuk oleh beberapa episode, yakni: (1) dialog antara nabi dengan Tuhan (1:2-2:4); (2) sebuah keluhan dalam lima bentuk kejahatan (lht. Formulasi ‘celakalah…’, 2:5-20); dan (3) puisi yang menggambarkan kemenangan Tuhan (psl.3) – tetapi dalam dilema mengenai ‘dalam hal apa kemenangan itu; bagaimana itu berlangsung, dan bentuk pembebasan seperti apa yang diharapkan terjadi. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kitab ini dimulai dengan keresahan, dan juga berakhir dengan keresahan. Karena itu, model penceritaan yang dipakai penulis kitab ini adalah ‘ratapan’ (lamentation) – seperti dalam kitab Ratapan itu sendiri.
Ketiga, untuk memahami dinamika sosial dalam teks, perlu dipaparkan beberapa aspek yang penting, dan terkait dengan tema khotbah kita.
(1) menurut Habakuk 1:2-4, Yehuda berada dalam situasi yang sudah korup; penindasan terhadap orang-orang benar oleh orang-orang jahat, menjadi alasan moral mengapa nabi berteriak memanggil Tuhan untuk bertindak melawan para penindas. Menariknya ialah 1:5-11 menunjuk jawaban Tuhan atas teriakan nabi, dengan menegaskan IA memakai orang Kasdim untuk melakukan penghukuman atas Israel. Tidak masuk akal bagi nabi, mengapa Tuhan justru memakai orang-orang barbaris untuk menghukum orang-orang yang lebih benar dari mereka.
(2) Dialog dalam pasal 2:1-5 menjadi kunci jawaban, yang juga menegaskan bahwa orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri akan runtuh, kekuasaannya itu temporer, sebaliknya orang benar akan tetap hidup. Maka 2:5-20 adalah simbolisasi perlawanan terhadap kejahatan, termasuk terhadap orang Kasdim – sebenarnya terhadap orang yang terlalu memuja kekuasaan, dan menggunakannya untuk menekan orang lain.
(3) Dalam 2:1-4 itu, sebenarnya Allah menjanjikan pembebasan. Karena itu peran nabi sebagai ‘pelihat’ dari zaman runtuhnya Yerusalem sampai menjelang pembangunan kembali, cukup memberi gambaran bahwa pembebasan itu terjadi di dalam sejarah masyarakat yang terus berkembang. Ada maksud Allah dengan sejarah penindasan, kesengsaraan, krisis, dan situasi kelam-kabut yang dihadapi umat/masyarakat.
(4) Israel menghadapi beragam penindasan dan kesengsaraan, mulai dari Asyur (621-615 BCE; Mesir (608-604 BCE), dan kemudian Kasdim (605-604 BCE), dan Babel (600 BCE). Karena itu menjadi penting, mengapa nabi mewakili umat berteriak meminta pembebasan dari Tuhan. Situasi ‘malapetaka’ terjadi dalam regime-regime kekuasan asing yang silih-berganti. Dalam kondisi seperti itu dapat diterka nasib Israel sebagai bangsa yang dijajah, dan kebijakan regime asing yang terus berganti-ganti. Di Indonesia, pergantian regime dari Orde Lama ke Order Baru, dan ke era Reformasi saja sarat dengan beban krisis.
Tafsir Habakuk 3:17-19
Habakuk 3 berisi puisi lirika yang bertajuk ‘doa’. Nabi bertindak mewakili umat, dan bagaimana ia mengenang karya Allah kepada umat (3;2); bahkan karena mereka hati Allah menjadi ‘belisah’. Dalam hal ini mari kita melihat tradisi tua dalam naskah-naskah PL, di mana Allah digambarkan sebagai subyek yang juga prihatin dengan nasib umatNya, lalu bertindak menyelamatkan mereka karena ingat pada ‘janji’ dengan leluhur mereka (3:2). Di sini konsep pemilihan Allah (God election) menjadi dasar dari kepedulian Allah, dan bahkan tuntutan umat akan pembebasan.
Karena itu, dalam 3:3-11, puisi lirika itu disusun dalam syair-syair pengagungan akan penyataan diri Allah di masa lampau. Ini menjadi pengantar ke dalam tuntutan pembebasan, bahwa Allah terikat pada apa yang telah dikerjakanNya di masa lampau. Dimensi pengalaman umat dengan Tuhan menjadi point penting di sini. Suatu gambaran bahwa Tuhan adalah subyek yang bekerja bersama-sama dengan manusia.
Sedangkan 3:12-16, konsep keterpilihan umat menjadi point penting berikut yang mendapat penegasan. Di sini, tampak pengaruh sastra hikmat. Sebab perilaku para penindas diibaratkan sebagai perilaku orang fasik, dan umat tetap digambarkan sebagai orang benar yang mengalami penderitaan – walau mereka tidak bersalah. Di sini, bentuk kejahatan yang mengedepan adalah trick atau skandal – kesepakatan di bawa telapak tangan, atau ‘keinginan terselubung (the hiden agenda: sesuatu yang selalu ada dalam praktek manipulasi, ekspolitasi, dan provokasi).
Ada hal yang menarik di situ yakni paham retribusi (balas jasa seimbang) yang masih mengedepan. Di sinilah sebenarnya Habakuk mencoba mempertanyakan maksud dari hikmat Allah dengan penindasan dan kemalangan yang dialami umat (bnd. 1:2-3). – gambaran yang sama kita temui dalam plediod Ayub atas penderitaannya.
Nah, ayat 17-19 adalah sebuah hymne yang perlu ditafsir secara kritis dalam perspektif baru. Sebab, orientasi kultis sangat mewarnai nyanyian ini. Lihat saja ayat-ayatnya yang melukiskan suatu kondisi sosial yang sarat krisis:
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,…” (3:17).
Bentuk krisis itu terjadi dalam hal ketersediaan bahan pangan (krisis ekonomi). Artinya, derita umat akibat tekanan politik kemudian ditambahi dengan krisis ekonomi yang cukup parah. Mereka tidak hanya menghadapi kekuasaan yang sudah sangat korup, tetapi lingkungan alam/hutan produktif yang juga sudah tidak menghasilkan apa-apa untuk hidup. Beban struktural dan beban sosial itu melengkapi wajah derita atau malapetaka yang menimpa umat.
Dalam konteks seperti itu, bagi Habakuk, praktek ‘kejahatan’ secara struktural membuat orang-orang kuat (pemerintah) menjadi penindas. Mereka sebenarnya mengharapkan keadilan, tetapi yang didapati adalah ketidakadilan (penindasan). Kebebasan mereka dikekang, karena nilai keadilan telah diselewengkan.
Pada saat bersamaan, alam yang menyediakan sumber-sumber ekonomi tidak lagi menjanjikan. Memang kurang jelas di sini apakah krisis ekonomi itu akibat tidak ada kesempatan untuk umat bekerja – karena harus melayani kepentingan penindas (penjajah/pemerintah), atau memang lingkungan produksi pun sudah sangat langkah akibat perampasan tanah, dll.
Sejenak mari kita melihat lagi frasa lanjutan dari nyanyian tadi:
“namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku…” (ay.18).
Apakah ini jawaban di dalam krisis? Seperti syair DSL “asal Tuhan jua hidupku…”. Kita perlu melanjutkan frasa ini ke ay.19: “Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku”. Artinya, jawaban krisis bukanlah komitmen kesetiaan dan kepercayaan kepada Tuhan saja. Titik! Tetapi pengelolaan potensi diri yang diberi Tuhan.
Gambaran “kakiku seperti kaki rusa, dan …berjejak di bukit-bukitku” adalah bentuk operatif dari iman kepada Tuhan. Bahwa Tuhan membuat kita menjadi orang-orang yang kuat untuk berusaha dalam mengatasi krisis. Itu adalah simbol dari upaya untuk keluar dari krisis dengan melakukan tindakan pensejahteraan hidup [di dalam konteks kerja dan usaha masing-masing jemaat].
Sebenarnya dalam krisis kita tidak boleh berdoa: “Tuhan, lepaskan kami dari derita ini”. Tetapi “Tuhan, beri kami kekuatan untuk berusaha keluar dari derita ini”. (*)
Sumbangan Antropologi dalam Pendampingan Pastoral
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoraal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-3, 2007
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Perspektif
Pendampingan pastoral diartikan secara sederhana oleh Van Beek sebagai pendekatan yang efektif dalam melayani penderita (klient). Dalam arti yang lebih operatif, Van Beek meminjam istilah ‘mendampingi’, sebagai suatu kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi oleh ‘pendamping’.
Van Beek melihat pada suatu interaksi sejajar atau relasi timbal-balik, dalam arti itu kegiatan pendampingan memiliki makna kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan (hlm.9).
Relasi sejajar itu menempatkan pendamping dan orang yang didampingi pada kedudukan yang seimbang dan timbal-balik. Dalam hal ini pendamping mempunyai fasilitas lebih dari orang yang didampingi,yakni lebih sehat, mempunyai keterampilan, dsb. Akan tetapi, fasilitas ini harusla dipakai sedemikian rupa, sehingga terjadi suatu interaksi timbal-balik dan sederajat, saling membagi dan menumbuhkan. Perspektif itu akan menempatkan pendamping sebagai orang yang melihat orang yang didampingi dalam perspektif yang lebih luas, tidak sebatas pada problem atau gejala saja, melainkan lebih dalam, yakni kepada manusia yang utuh: fisik, mental, dan rohani (hlm.10)
Van Beek merincikan beberapa bentuk defenisi penggembalaan, yakni (hlm.11-12):
· Pertama, pembinaan, yaitu tugas membentuk watak seseorang dan mendidik mereka untuk menjadi murid Kristus yang baik,
· Kedua, pemberitaan Firman Allah, melalui pertemuan antar-pribadi atau dalam kelompok kecil, walaupun juga dapat dilakukan dalam khotbah dan liturgi. Hal ini berarti bahwa dalam pertemuan sudah pasti injil harus dibicarakan supaya yang hadir dapat dibimbing dan disadarkan.
· Ketiga, pelayanan yang berhubungan dengan sakramen (Katolik).
· Keempat, pelayanan penyembuhan, yaitu pelayanan rohani yang mengakibatkan penyembuhan fisik, dll (Karismatik).
· Kelima, pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan sosial dan pelayanan berjuang melawan ketidakadilan.
· Keenam, pelayanan di mana manusia yang terlibat dalam interaksi menantikan dan menerima kehadiran dan partisipasi Tuhan Allah. Yang dinantikan sebenarnya adalah suatu penyataan dari Allah.
· Ketujuh, konseling pastoral yang menggunakan teknik-teknik khusus yang dipinjam dari ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi.
Dari situ, fungsi penggembalaan, sebagaimana Clinebell, yakni (hlm.12):
- Fungsi membimbing (misalnya dalam konseling pra-nikah)
- Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan (konflik antar-pribadi, masalah iman)
- Fungsi menopang/menyokong (dalam menolong mereka yang mengalami krisis kehidupan)
- Fungsi menyembuhkan (orang berdukacita, yang terluka bathinnya)
- Fungsi mengasuh (mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistik)
2. Pendampingan Pastoral Lintas-Budaya
Beberapa teoretisi seperti Derald Sue, Paul Pedersen dan Albert Gaw menggunakan pendekatan lintas budaya dalam konseling pastoral. Menurut mereka, melalui keterampilan dan kepekaan budaya, konselor akan lebih cenderung untuk memahami kata-kata[E1] , pemikiran, dan perilaku dari seorang konseli dengan latar belakang budaya yang sama.
Sedikit berbeda dari ketiganya, David Augsburger, lebih mementingkan faktor filasafat hidup dan kepekaan/kesadaran yang diperlukan dalam konseling lintas budaya dan garis besar etika konseling pastoral linas budaya dengan dasar teologis. Ia menjelaskan bahwa pemahaman yang luas tentang kompleksitas filsafat hidup manusia dan pengaruh filsafat itu pada pemikiran pribadi-pribadi sangat diperlukan dalam mendalami pendampingan dan konseling pastoral lintas budaya.
Menurut Van Beek, pastoral lintas budaya dimaksudkan untuk bertanya bagaimana kita dapat mengerti pengalaman seseorang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pendekatan pendampingan kita tergantung pada jawaban terhadap pertanyaan itu. Dan pertenyaan itu menjadi fokus hermeneutika dalam menganalisanya (hlm.53).
Di dalam pastoral lintas budaya, aspek fungsi dari berbagai ritus dan upacara kebudayaan juga menjadi hal yang penting dimaknai. Sebab di dalam semua itu terkandung struktur-struktur dasar perilaku manusia. Mengikuti antrpologi strukturalnya Levi Straus, aspek kebudayaan dan kepribadian menjadi dua hal yang saling terkait. Dengan kata lain, sesuatu yang mencirikan kebudayaan membawa makna untuk pemilik kebudayaan-kebudayaan itu (hlm.57).
Menurut Van Beek, dalam pastoral lintas budaya, aspek kesadaran dan kemampuan perlu dimiliki oleh seorang pendampintg. Tentang itu, ia merincikan beberapa tipe kesadaran dan keterampilan, yakni:
a. Kesadaran tentang tindakan fisik: cara kita mengarahkan badan kita mempengaruhi suasana percakapan. Misalnya, pada umumnya pendamping pria tidak diperkenankan berdiri atau duduk terlalu dekat dengan penderita wanita.
b. Kesadaran mengenai suara dan bahasa: seseorang yang sungguh-sungguh berada dala keadaan sakit tidak senang dengan cara berbicara yang terlalu kuat atau keras atau gaya berbicara yang terlalu cepat.
c. Kesadaran mengenai topik-topik yang tepat dan kemampuan menanggapi secara cepat: ada topik yang dapat dibahas dalam satu kebudayaan yang tidak tepat dalam kebudayaan lain.
d. Kesadaran akan keterpaduan pengalaman penderita: pendamping lintas budaya perlu sadar bahwa penderitaan tidak meliputi satu aspek saja, tetapi banyak aspek dalam keseluruhan.
e. Kesadaran akan harapan penderita: pendamping perlu sadar bahwa ada harapan tertentu untuk proses pertolongan.
f. Kesadaran tentang kode-kode budaya. Seringkali kode-kode komunikasi budaya dapat dimengerti semua orang dan dimaksudkan untuk pribadi, kadang kode-kode menjadi misteri bagi orang dari kebudyaan yang lain.
g. Kesadaran mengenai bagaimana agama yang lain mempengaruhi pikiran penderita.
h. Kesadaran akan perbedaan pengalaman wanitan dibandingkan dengan pengalaman pria dalam masyarakat, mengingat posisi pria yang lebih berkuasa.
i. Kesadaran mengenai pengertian kelas dan status sosial
j. Kesadaran mengenai kuasa generasi: dalam kebudayaan tertentu kata-kata orang tua atau kepala adat atau orang-orang yang berkedudukan lain tidak boleh dilawan sama sekali sehingga dapat sangat membatasi peluang penderita untuk keluar dari situasi yang sulit.
k. Kemampuan hermeneutis
l. Keterampilan menganalisis/mendiagnose. Ini dilakukan dengan memperhatikan konsep diri (identitas) penderita, rasa memiliki (sense of belonging), dan filsafat/pandangan hidup (worldview).
m. Kemampuan integratif: pendamping perlu mampu menyusun teka-teki dari informasi analitis/diagnostik dengan informasi sosial, mental, fisik, dan spiritual lainnya.
n. Kemampuan metodologis dalam konseling yang mendalam: pendamping sebagai konselor perlu mampu menerapkan pendekatan konseling yang berfokus pada pola berpikir, emosi motivasi atau tingkah laku yang sesuai dengan harapan/kebutuhan, kepribadia, umur, kebudayaan, dan persoalan penderita.
[E1]Dalam pendekatan antropologi, upaya ini dimaksudkan untuk memahami emic perspective yang melandasi suatu perilaku atau pemahaman masyarakat/komunitas budaya.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Perspektif
Pendampingan pastoral diartikan secara sederhana oleh Van Beek sebagai pendekatan yang efektif dalam melayani penderita (klient). Dalam arti yang lebih operatif, Van Beek meminjam istilah ‘mendampingi’, sebagai suatu kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi oleh ‘pendamping’.
Van Beek melihat pada suatu interaksi sejajar atau relasi timbal-balik, dalam arti itu kegiatan pendampingan memiliki makna kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan (hlm.9).
Relasi sejajar itu menempatkan pendamping dan orang yang didampingi pada kedudukan yang seimbang dan timbal-balik. Dalam hal ini pendamping mempunyai fasilitas lebih dari orang yang didampingi,yakni lebih sehat, mempunyai keterampilan, dsb. Akan tetapi, fasilitas ini harusla dipakai sedemikian rupa, sehingga terjadi suatu interaksi timbal-balik dan sederajat, saling membagi dan menumbuhkan. Perspektif itu akan menempatkan pendamping sebagai orang yang melihat orang yang didampingi dalam perspektif yang lebih luas, tidak sebatas pada problem atau gejala saja, melainkan lebih dalam, yakni kepada manusia yang utuh: fisik, mental, dan rohani (hlm.10)
Van Beek merincikan beberapa bentuk defenisi penggembalaan, yakni (hlm.11-12):
· Pertama, pembinaan, yaitu tugas membentuk watak seseorang dan mendidik mereka untuk menjadi murid Kristus yang baik,
· Kedua, pemberitaan Firman Allah, melalui pertemuan antar-pribadi atau dalam kelompok kecil, walaupun juga dapat dilakukan dalam khotbah dan liturgi. Hal ini berarti bahwa dalam pertemuan sudah pasti injil harus dibicarakan supaya yang hadir dapat dibimbing dan disadarkan.
· Ketiga, pelayanan yang berhubungan dengan sakramen (Katolik).
· Keempat, pelayanan penyembuhan, yaitu pelayanan rohani yang mengakibatkan penyembuhan fisik, dll (Karismatik).
· Kelima, pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan sosial dan pelayanan berjuang melawan ketidakadilan.
· Keenam, pelayanan di mana manusia yang terlibat dalam interaksi menantikan dan menerima kehadiran dan partisipasi Tuhan Allah. Yang dinantikan sebenarnya adalah suatu penyataan dari Allah.
· Ketujuh, konseling pastoral yang menggunakan teknik-teknik khusus yang dipinjam dari ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi.
Dari situ, fungsi penggembalaan, sebagaimana Clinebell, yakni (hlm.12):
- Fungsi membimbing (misalnya dalam konseling pra-nikah)
- Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan (konflik antar-pribadi, masalah iman)
- Fungsi menopang/menyokong (dalam menolong mereka yang mengalami krisis kehidupan)
- Fungsi menyembuhkan (orang berdukacita, yang terluka bathinnya)
- Fungsi mengasuh (mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistik)
2. Pendampingan Pastoral Lintas-Budaya
Beberapa teoretisi seperti Derald Sue, Paul Pedersen dan Albert Gaw menggunakan pendekatan lintas budaya dalam konseling pastoral. Menurut mereka, melalui keterampilan dan kepekaan budaya, konselor akan lebih cenderung untuk memahami kata-kata[E1] , pemikiran, dan perilaku dari seorang konseli dengan latar belakang budaya yang sama.
Sedikit berbeda dari ketiganya, David Augsburger, lebih mementingkan faktor filasafat hidup dan kepekaan/kesadaran yang diperlukan dalam konseling lintas budaya dan garis besar etika konseling pastoral linas budaya dengan dasar teologis. Ia menjelaskan bahwa pemahaman yang luas tentang kompleksitas filsafat hidup manusia dan pengaruh filsafat itu pada pemikiran pribadi-pribadi sangat diperlukan dalam mendalami pendampingan dan konseling pastoral lintas budaya.
Menurut Van Beek, pastoral lintas budaya dimaksudkan untuk bertanya bagaimana kita dapat mengerti pengalaman seseorang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pendekatan pendampingan kita tergantung pada jawaban terhadap pertanyaan itu. Dan pertenyaan itu menjadi fokus hermeneutika dalam menganalisanya (hlm.53).
Di dalam pastoral lintas budaya, aspek fungsi dari berbagai ritus dan upacara kebudayaan juga menjadi hal yang penting dimaknai. Sebab di dalam semua itu terkandung struktur-struktur dasar perilaku manusia. Mengikuti antrpologi strukturalnya Levi Straus, aspek kebudayaan dan kepribadian menjadi dua hal yang saling terkait. Dengan kata lain, sesuatu yang mencirikan kebudayaan membawa makna untuk pemilik kebudayaan-kebudayaan itu (hlm.57).
Menurut Van Beek, dalam pastoral lintas budaya, aspek kesadaran dan kemampuan perlu dimiliki oleh seorang pendampintg. Tentang itu, ia merincikan beberapa tipe kesadaran dan keterampilan, yakni:
a. Kesadaran tentang tindakan fisik: cara kita mengarahkan badan kita mempengaruhi suasana percakapan. Misalnya, pada umumnya pendamping pria tidak diperkenankan berdiri atau duduk terlalu dekat dengan penderita wanita.
b. Kesadaran mengenai suara dan bahasa: seseorang yang sungguh-sungguh berada dala keadaan sakit tidak senang dengan cara berbicara yang terlalu kuat atau keras atau gaya berbicara yang terlalu cepat.
c. Kesadaran mengenai topik-topik yang tepat dan kemampuan menanggapi secara cepat: ada topik yang dapat dibahas dalam satu kebudayaan yang tidak tepat dalam kebudayaan lain.
d. Kesadaran akan keterpaduan pengalaman penderita: pendamping lintas budaya perlu sadar bahwa penderitaan tidak meliputi satu aspek saja, tetapi banyak aspek dalam keseluruhan.
e. Kesadaran akan harapan penderita: pendamping perlu sadar bahwa ada harapan tertentu untuk proses pertolongan.
f. Kesadaran tentang kode-kode budaya. Seringkali kode-kode komunikasi budaya dapat dimengerti semua orang dan dimaksudkan untuk pribadi, kadang kode-kode menjadi misteri bagi orang dari kebudyaan yang lain.
g. Kesadaran mengenai bagaimana agama yang lain mempengaruhi pikiran penderita.
h. Kesadaran akan perbedaan pengalaman wanitan dibandingkan dengan pengalaman pria dalam masyarakat, mengingat posisi pria yang lebih berkuasa.
i. Kesadaran mengenai pengertian kelas dan status sosial
j. Kesadaran mengenai kuasa generasi: dalam kebudayaan tertentu kata-kata orang tua atau kepala adat atau orang-orang yang berkedudukan lain tidak boleh dilawan sama sekali sehingga dapat sangat membatasi peluang penderita untuk keluar dari situasi yang sulit.
k. Kemampuan hermeneutis
l. Keterampilan menganalisis/mendiagnose. Ini dilakukan dengan memperhatikan konsep diri (identitas) penderita, rasa memiliki (sense of belonging), dan filsafat/pandangan hidup (worldview).
m. Kemampuan integratif: pendamping perlu mampu menyusun teka-teki dari informasi analitis/diagnostik dengan informasi sosial, mental, fisik, dan spiritual lainnya.
n. Kemampuan metodologis dalam konseling yang mendalam: pendamping sebagai konselor perlu mampu menerapkan pendekatan konseling yang berfokus pada pola berpikir, emosi motivasi atau tingkah laku yang sesuai dengan harapan/kebutuhan, kepribadia, umur, kebudayaan, dan persoalan penderita.
[E1]Dalam pendekatan antropologi, upaya ini dimaksudkan untuk memahami emic perspective yang melandasi suatu perilaku atau pemahaman masyarakat/komunitas budaya.
Etika Agama dan Pendampingan Pastoral
Don S. Browning, Religious Ethics and Pastoral Care: Theology and Pastoral Care, Philadelphia: Fortress Press, 1983
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Don S. Browning mengetengahkan persoalan etika agama dan pendampingan pastoral. Ia menempatkan dua tema itu di dalam suatu situasi masyarakat kompleks, yaitu masyarakat majemuk (plural).
Browning mengakui bahwa modernitas yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki dua kekuatan yang ambigiu. Modernitas menghasilkan nilai-nilai yang baik (the good), dan kiha sesuatu yang selalu menjadi masalah.
Browning menegaskan bahwa ilmu pendampingan pastoral telah menjadi suatu disiplin tersendiri, terlepas dari ilmu lain yang sepadan seperti psikologi, agama dan medikal, dan berusaha untuk membantu manusia dalam rupa-rupa pengalaman spiritual, mental dan psikologisnya.
Persoalan paling mendasar dalam perkembangan pendampingan pastoral adalah etika agama. Ini yang coba dikaji Browning sambil berusaha menjawab sejauhmana hubungan antara etika agama dan psikologi. Pertanyaan itu penting karena baginya para pemimpin agama bertanggungjawab menjawab masalah konstruk etika agama secara universal yang bisa membantu masyarakat memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.
Dengan istilah lain, bagaimana pelayanan pendampingan pastoral dalam jemaat bisa menangani masalah-masalah etika dan perilaku jemaat. Browning melihat bahwa peran pastor/pendeta sangat penting dalam membantu jemaat di luar gereja[E1] . Dalam arti, kehidupan jemaat di masyarakat adalah hal yang penting diperhatikan. Pendampingan pastoral dalam arti itu bertujuan untuk mempersiapkan jemaat untuk berperan dalam masyarakat.
Pendampingan pastoral adalah suatu praktek yang kompleks. Layaknya setiap bentuk tindakan, pendampingan pastoral dilakukan melalui tahapan ‘reasoning’ dan ‘decision’ (identifikasi dan pengambilan keputusan). Sebagai suatu praktek yang kompleks, pendampingan pastoral tidak bisa dijalankan melalui kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam dalam budaya dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat modern, demikian pun masyarakat plural, terdapat perbedaan institusional, sehingga tradisi pendampingan yang selama ini diterapkan juga menghadapi berbagai masalah, bergantung pada aspek-aspek sosial di dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam kondisi itu, pendampingan pastoral diharapkan pula berlangsung melalui proses pengujian, analisis dan uji coba. Ketika kita menerapkan proses ini, kita bisa belajar mengenai bagaimana masalah-masalah yang kompleks itu ditangani. Di sini setiap pastor dituntut memiliki keterampilan ‘practical thinking’ (logika praktis). Dalam logika praktis itu, perlu pula ‘moral thinking’; dalam kenyataannya, ‘moral thinking’ itu memiliki karakteristik khusus. Sebab dipercaya ada hubungan antara agama dan moralitas, dengan kata lain, perilaku agama adalah perilaku etika agama.
Dengan pernyataan itu Browning menyimpulkan bahwa pendampingan pastoral, di dalam dan di luar gereja sama-sama memerlukan bimbingan teologi moral [E2] (etika). Penegasan Browning di sini bahwa pendampingan, baik di dalam gereja maupun yang sekuler, sama-sama memiliki hubungan dan dibangun di atas dasar etika. Dalam kerangka itu teologi moral mesti mendapat tempat pertama secara kritis dan filosofis.
Walaupun demikian, pendampingan pastoral tidak mesti melepaskan kaitannya dengan psikologi. Berbagai teori psikologi yang selalu bisa dijadikan acuan, menurut Browining, seperti teori Freud, Jung, Carl R. Rogers, Harry S. Sullivan, Erik Erikson, Fritz Perls, Eric Brene, dll, termasuk juga Heinz Kohut.
Pendampingan pastoral perlu dilihat sebagai suatu proses mendapatkan gambaran identitas dan perilaku individu di mana setiap individu adalah pusat dari tindakan pendampingan pastoral.
Interpretasi Psikologi
Pastor Spicer mengembangkan interpretasi psikologi dari sudut pandang psikoanalisis, yang lebih banyak didasarkan pada teori Heniz Kohut[E3] . Kohut, menurut Spicer, mengembangkan teori Freud, dalam relasi ego, super ego dan id, dengan unsur keempat yang menurut Spicer disebut sebagai ‘self’. ‘Self’ di sini berbeda dari ego. Menurut Spicer, self menunjuk pada personalitas seseorang yang ditentukan oleh kemampuan inisiatif, kontrol dan proteksi; sedangkan ego dalam teori Freud lebih menekankan aspek representasi atau pandangan (self-image).
Pentingnya ‘self’ dalam pendampingan pastoral dilihat Spicer dalam relasi perkawinan. Sepasang suami-istri menikah karena mereka berusaha mengembangkan ‘self-representation’-nya untuk membangun apa yang disebut pernikahan sebagai suatu sistem pertukaran dalam hal saling mensuport satu sama lain. Dalam kaitan itu, suami-istri tadi mengembangkan apa yang disebut ‘relasi oedipal’ (hubungan sekompleks/selingkungan), termasuk relasi seksual oedipal, artinya yang berlangsung antara dua orang yang tinggal serumah. Dalam ‘relasi oedipal’ ini sikap saling menerima satu terhadap lain biasa bertumbuh dalam bentuk cinta. Di sisi lain, ‘relasi oedipal’ juga ada dalam sifat penolakan (rejection) antara kedua pasangan tadi. Biasanya dalam hubungan seksual, penolakan dalam ‘relasi oedipal’ terjadi misalnya antara anak dan ibunya, atau anak dengan ayahnya. Penolakan ini terjadi karena ‘self’ membentuk kesadaran baru dalam ego.
Interpretasi Teologi-Etis
Interpretasi teologi-etis-nya Spicer didasarkan pada praktek persembahan korban (offerings), yang dilakukannya dan juga jemaat, sebagai dasar dari perspektif relasi suatu pasangan suami-istri. Melalui relasi itu ia berharap ada pemahaman yang utuh mengenai relasi kasih antara Allah dengan setiap manusia, siapa pun mereka. Sebagai sebuah relasi, hal itu didasarkan pada dorongna-dorongan kesadaran dari dalam diri seseorang baik untuk saling mengasihi maupun berkorban satu sama lain.
Spicer melandaskannya pada 1 Kor.13:12-13, suatu dimensi biblikal dari perlunya kita saling menerima satu terhadap lainnya sebagai sesama, dan saling berjumpa dalam berbagi dalam hidup, ibarat kita menatap wajah di depan cermin dan berkaca darinya.
Di sisi lain, Spicer merasa bahwa menyelamatkan suatu perkawinan ‘tidaklah terlalu penting’, sebab kita tidak bisa menentukan seperti apakah perkawinan itu. Jauh lebih penting adalah bagaimana pasangan suami-istri itu mengalami pertumbuhan personalitasnya untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam hidup berpasangan atau keluarganya. Ini bukanlah sebuah persoalan teologis etis semata, tetapi juga seksual, dan hubungan interpersonal. Karena itu, Spicer menegaskan pentingnya sepasang suami istri membangun relasi [E4] dengan dirinya, gereja dan juga masyarakat.
Melalui interpretasi teologi-etis, kita berusaha untuk membangun apa yang disebut ‘the good’ (kebaikan umum) dalam relasi interpersonal – termasuk antara pasangan suami-istri.
Pentingnya aspek moral-etik juga ditekankan Seward Hiltner. Hiltner menggunakan istilah pastoral counseling (1949) yang menyatakan bahwa faktor moralisme adalah hal yang penting dalam pendampingan pastoral. Dalam konseling, demikian Hiltner, persoalan moral penting dipahami sampai pada aspek-aspek gangguan (disartours). Dalam kaitan itu, menurut Hiltner, konseling pastoral bisa dilihat sebagai suatu proses edukatif, baik konseling maupun pre-konseling.
Sejalan dengan Hiltner, Howard Clinebell, yang mengembankan ‘revised model’, melihat pentingnya ‘client centered; sebagai suatu orientasi dalam mengembangkan konseling edukatifnya. Pendekatan konseling pastoral Clinebell itu ditempuh dengan memperhatikan tahapan ‘supportive, reality-confronting, future oriented, information-giving, positive, dan aksi. Dalam bukunya Basic Types of Pastoral Counseling (1966), Clinebell juga mengembangkan suatu argumen untuk memperkenalkan perhatian etika secara langsung dalam konseling. Ia mengakui peran konfrontasi moral dalam konseling.
Dalam penerapan dimensi etika dalam konseling pastoral, Browning lalu membagi lima level praktik ‘moral thinking’, yakni: (a) methaporical level, mengandung berbagai langkah simbolik dan metaforis yang digunakan untuk menerangkan konteks pengalaman yang ultima; (b) obligation level, menekankan pada jawaban terhadap berbagai perbedaan standard moral dalam masyarakat; (c) a tendency-need level, terfokus pada pertanyaan dan jawaban mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan nilai apa yang mereka dapati darinya; (d) a contextual-predictive level, fokus pada trend-trend khusus dalam sosiologi, psikologi, dan kebudayaan yang membentuk perilaku atau tindakan seseorang, dan (e) a rule-role level, yang menekankan pada proses komunikasi untuk membangun suatu visi, kewajiban dan kemungkinan harapan ke arah yang lebih tinggi.
Di dalam teologi pastoral, kelima level ini dikembangkan secara integratif dengan melihat pada bagaimana aspek-aspek dasar diteliti dan dikenali dalam rangka praktek konseling pastoral.
[E1]Hal ini yang dimaksud dengan pastoral sosial; yakni pendampingan pastoral kepada warga dalam rangka perannya di dalam masyarakat. Pendampingan pastoral di sini sangat terkait dengan masalah-masalah social, tidak hanya masalah iman.
[E2]Hal ini memperlihatkan bagaimana sumbangan etika dalam praktek pendampingan pastoral.
[E3]Lht. Heinz Kohut, The Analysis of the Self: A Systematic Approach to the Psychoanalytic Treatment of Narcissistic Personality Disorder, NewYork: International University Press, 1971, h.7-11
[E4]Karena itu pendampingan pastoral terhadap pasangan suami-istri oleh gereja tidak dilakukan karena ada masalah tertentu (case oriented) melainkan karena diri/personalitas pasangan suami-istri itu.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Don S. Browning mengetengahkan persoalan etika agama dan pendampingan pastoral. Ia menempatkan dua tema itu di dalam suatu situasi masyarakat kompleks, yaitu masyarakat majemuk (plural).
Browning mengakui bahwa modernitas yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki dua kekuatan yang ambigiu. Modernitas menghasilkan nilai-nilai yang baik (the good), dan kiha sesuatu yang selalu menjadi masalah.
Browning menegaskan bahwa ilmu pendampingan pastoral telah menjadi suatu disiplin tersendiri, terlepas dari ilmu lain yang sepadan seperti psikologi, agama dan medikal, dan berusaha untuk membantu manusia dalam rupa-rupa pengalaman spiritual, mental dan psikologisnya.
Persoalan paling mendasar dalam perkembangan pendampingan pastoral adalah etika agama. Ini yang coba dikaji Browning sambil berusaha menjawab sejauhmana hubungan antara etika agama dan psikologi. Pertanyaan itu penting karena baginya para pemimpin agama bertanggungjawab menjawab masalah konstruk etika agama secara universal yang bisa membantu masyarakat memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.
Dengan istilah lain, bagaimana pelayanan pendampingan pastoral dalam jemaat bisa menangani masalah-masalah etika dan perilaku jemaat. Browning melihat bahwa peran pastor/pendeta sangat penting dalam membantu jemaat di luar gereja[E1] . Dalam arti, kehidupan jemaat di masyarakat adalah hal yang penting diperhatikan. Pendampingan pastoral dalam arti itu bertujuan untuk mempersiapkan jemaat untuk berperan dalam masyarakat.
Pendampingan pastoral adalah suatu praktek yang kompleks. Layaknya setiap bentuk tindakan, pendampingan pastoral dilakukan melalui tahapan ‘reasoning’ dan ‘decision’ (identifikasi dan pengambilan keputusan). Sebagai suatu praktek yang kompleks, pendampingan pastoral tidak bisa dijalankan melalui kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam dalam budaya dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat modern, demikian pun masyarakat plural, terdapat perbedaan institusional, sehingga tradisi pendampingan yang selama ini diterapkan juga menghadapi berbagai masalah, bergantung pada aspek-aspek sosial di dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam kondisi itu, pendampingan pastoral diharapkan pula berlangsung melalui proses pengujian, analisis dan uji coba. Ketika kita menerapkan proses ini, kita bisa belajar mengenai bagaimana masalah-masalah yang kompleks itu ditangani. Di sini setiap pastor dituntut memiliki keterampilan ‘practical thinking’ (logika praktis). Dalam logika praktis itu, perlu pula ‘moral thinking’; dalam kenyataannya, ‘moral thinking’ itu memiliki karakteristik khusus. Sebab dipercaya ada hubungan antara agama dan moralitas, dengan kata lain, perilaku agama adalah perilaku etika agama.
Dengan pernyataan itu Browning menyimpulkan bahwa pendampingan pastoral, di dalam dan di luar gereja sama-sama memerlukan bimbingan teologi moral [E2] (etika). Penegasan Browning di sini bahwa pendampingan, baik di dalam gereja maupun yang sekuler, sama-sama memiliki hubungan dan dibangun di atas dasar etika. Dalam kerangka itu teologi moral mesti mendapat tempat pertama secara kritis dan filosofis.
Walaupun demikian, pendampingan pastoral tidak mesti melepaskan kaitannya dengan psikologi. Berbagai teori psikologi yang selalu bisa dijadikan acuan, menurut Browining, seperti teori Freud, Jung, Carl R. Rogers, Harry S. Sullivan, Erik Erikson, Fritz Perls, Eric Brene, dll, termasuk juga Heinz Kohut.
Pendampingan pastoral perlu dilihat sebagai suatu proses mendapatkan gambaran identitas dan perilaku individu di mana setiap individu adalah pusat dari tindakan pendampingan pastoral.
Interpretasi Psikologi
Pastor Spicer mengembangkan interpretasi psikologi dari sudut pandang psikoanalisis, yang lebih banyak didasarkan pada teori Heniz Kohut[E3] . Kohut, menurut Spicer, mengembangkan teori Freud, dalam relasi ego, super ego dan id, dengan unsur keempat yang menurut Spicer disebut sebagai ‘self’. ‘Self’ di sini berbeda dari ego. Menurut Spicer, self menunjuk pada personalitas seseorang yang ditentukan oleh kemampuan inisiatif, kontrol dan proteksi; sedangkan ego dalam teori Freud lebih menekankan aspek representasi atau pandangan (self-image).
Pentingnya ‘self’ dalam pendampingan pastoral dilihat Spicer dalam relasi perkawinan. Sepasang suami-istri menikah karena mereka berusaha mengembangkan ‘self-representation’-nya untuk membangun apa yang disebut pernikahan sebagai suatu sistem pertukaran dalam hal saling mensuport satu sama lain. Dalam kaitan itu, suami-istri tadi mengembangkan apa yang disebut ‘relasi oedipal’ (hubungan sekompleks/selingkungan), termasuk relasi seksual oedipal, artinya yang berlangsung antara dua orang yang tinggal serumah. Dalam ‘relasi oedipal’ ini sikap saling menerima satu terhadap lain biasa bertumbuh dalam bentuk cinta. Di sisi lain, ‘relasi oedipal’ juga ada dalam sifat penolakan (rejection) antara kedua pasangan tadi. Biasanya dalam hubungan seksual, penolakan dalam ‘relasi oedipal’ terjadi misalnya antara anak dan ibunya, atau anak dengan ayahnya. Penolakan ini terjadi karena ‘self’ membentuk kesadaran baru dalam ego.
Interpretasi Teologi-Etis
Interpretasi teologi-etis-nya Spicer didasarkan pada praktek persembahan korban (offerings), yang dilakukannya dan juga jemaat, sebagai dasar dari perspektif relasi suatu pasangan suami-istri. Melalui relasi itu ia berharap ada pemahaman yang utuh mengenai relasi kasih antara Allah dengan setiap manusia, siapa pun mereka. Sebagai sebuah relasi, hal itu didasarkan pada dorongna-dorongan kesadaran dari dalam diri seseorang baik untuk saling mengasihi maupun berkorban satu sama lain.
Spicer melandaskannya pada 1 Kor.13:12-13, suatu dimensi biblikal dari perlunya kita saling menerima satu terhadap lainnya sebagai sesama, dan saling berjumpa dalam berbagi dalam hidup, ibarat kita menatap wajah di depan cermin dan berkaca darinya.
Di sisi lain, Spicer merasa bahwa menyelamatkan suatu perkawinan ‘tidaklah terlalu penting’, sebab kita tidak bisa menentukan seperti apakah perkawinan itu. Jauh lebih penting adalah bagaimana pasangan suami-istri itu mengalami pertumbuhan personalitasnya untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam hidup berpasangan atau keluarganya. Ini bukanlah sebuah persoalan teologis etis semata, tetapi juga seksual, dan hubungan interpersonal. Karena itu, Spicer menegaskan pentingnya sepasang suami istri membangun relasi [E4] dengan dirinya, gereja dan juga masyarakat.
Melalui interpretasi teologi-etis, kita berusaha untuk membangun apa yang disebut ‘the good’ (kebaikan umum) dalam relasi interpersonal – termasuk antara pasangan suami-istri.
Pentingnya aspek moral-etik juga ditekankan Seward Hiltner. Hiltner menggunakan istilah pastoral counseling (1949) yang menyatakan bahwa faktor moralisme adalah hal yang penting dalam pendampingan pastoral. Dalam konseling, demikian Hiltner, persoalan moral penting dipahami sampai pada aspek-aspek gangguan (disartours). Dalam kaitan itu, menurut Hiltner, konseling pastoral bisa dilihat sebagai suatu proses edukatif, baik konseling maupun pre-konseling.
Sejalan dengan Hiltner, Howard Clinebell, yang mengembankan ‘revised model’, melihat pentingnya ‘client centered; sebagai suatu orientasi dalam mengembangkan konseling edukatifnya. Pendekatan konseling pastoral Clinebell itu ditempuh dengan memperhatikan tahapan ‘supportive, reality-confronting, future oriented, information-giving, positive, dan aksi. Dalam bukunya Basic Types of Pastoral Counseling (1966), Clinebell juga mengembangkan suatu argumen untuk memperkenalkan perhatian etika secara langsung dalam konseling. Ia mengakui peran konfrontasi moral dalam konseling.
Dalam penerapan dimensi etika dalam konseling pastoral, Browning lalu membagi lima level praktik ‘moral thinking’, yakni: (a) methaporical level, mengandung berbagai langkah simbolik dan metaforis yang digunakan untuk menerangkan konteks pengalaman yang ultima; (b) obligation level, menekankan pada jawaban terhadap berbagai perbedaan standard moral dalam masyarakat; (c) a tendency-need level, terfokus pada pertanyaan dan jawaban mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan nilai apa yang mereka dapati darinya; (d) a contextual-predictive level, fokus pada trend-trend khusus dalam sosiologi, psikologi, dan kebudayaan yang membentuk perilaku atau tindakan seseorang, dan (e) a rule-role level, yang menekankan pada proses komunikasi untuk membangun suatu visi, kewajiban dan kemungkinan harapan ke arah yang lebih tinggi.
Di dalam teologi pastoral, kelima level ini dikembangkan secara integratif dengan melihat pada bagaimana aspek-aspek dasar diteliti dan dikenali dalam rangka praktek konseling pastoral.
[E1]Hal ini yang dimaksud dengan pastoral sosial; yakni pendampingan pastoral kepada warga dalam rangka perannya di dalam masyarakat. Pendampingan pastoral di sini sangat terkait dengan masalah-masalah social, tidak hanya masalah iman.
[E2]Hal ini memperlihatkan bagaimana sumbangan etika dalam praktek pendampingan pastoral.
[E3]Lht. Heinz Kohut, The Analysis of the Self: A Systematic Approach to the Psychoanalytic Treatment of Narcissistic Personality Disorder, NewYork: International University Press, 1971, h.7-11
[E4]Karena itu pendampingan pastoral terhadap pasangan suami-istri oleh gereja tidak dilakukan karena ada masalah tertentu (case oriented) melainkan karena diri/personalitas pasangan suami-istri itu.
Antropologi Budaya dan Transformasi Iman
Georg Kircherger dan John Mansford Prior (eds.), Iman Kristen dan Transformasi Budaya, Flores: Nusa Indah, 1996
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Kritik Antropologi terhadap Imperialisme Agama (Anton Quack, “Relasi Ambivalen Antara Karya Misi dan Atropologi: Kritik dan Usul-Saran”)
Jauh sebelumnya, Hendrik Kraemer [E1] telah melakukan kritik halus terhadap imperialisme agama dalam gerakan penginjilan. Kritiknya itu didasarkan pada perilaku para misionaris yang melawan berbagai praktek ‘agama asli’ (tribal religion).
Kecenderungan imperialisme agama itu disentil Anton Quack, karena menurutnya hal itu membuat orang menjadi miskin. Selalu ada ketegangan di antara para misionaris dan para antropolog: terbanyak ketegangan itu disebabkan oleh syakwasangka. Dua kutub ini dalam jangka waktu yang lama terkesan ‘tidak akur’.
Paul Hiebert menyebut relasi itu laksana ‘relasi cinta tapi benci’. Padahal dari para misionaris, kita banyak mendapat gambaran etnografi mengenai suatu masyarakat. Hasil kerjaWilhelm von Rubruk, Bernardino de Sahagun dari ordo Fransiskan (1215-1270) adalah gambaran berharga mengenai bangsa-bangsa Asia Pedalaman. Wilhelm E. Muhlmann, malah patut disebut sebagai misionaris-etnograf, yang laporannya mencuat karena kesetiaannya dalam pengamatan dan semangat ilmiahnya yang asli.
Misionaris lain adalah Joseph Fancois Lafitau (1681-1746), diakui bapa antroplogi perbandingan, karena karyanya “Adat-istiadat bangsa Amerika asli, dibandingkan dengan adat-istiadat masa-masa awal” (1724). Lafiatu juga mengecam dengan tajam para misionaris lain yang dinilainya sama dengan pelancong-pelancong lain, yang penuh dengan syakwasangka, tidak mahir berbahasa setempat, dan kurang memahami budaya asing.
Sejak awal, para misionaris telah menerima tesis tentang universalitas umat manusia. Meskipun demikian, para antropolog menuduh para misionaris sekurang-kurangnya dalam praktik, tetapi beranggapan bahwa budaya kristen, yakni Barat, lebih tinggi[E2] . Para misionaris yakin bahwa kebudayaan kristen mereka sendirilah yang lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan kebudayaan bangsa-bangsa ke mana mereka dikirim.
Kesan paling radikal dari kalangan antropolog adalah para misionaris diperlat oleh penjajah. Para ahli sejarah membenarkan hal itu karena para misionaris Protestan dan Katolik harus mengambil bagian dalam kongers-kongers kolonial Jerman. Karena itu mereka bukan hanya disebut diperalat penjajah, tetapi juga membonceng pada kekuasaan penjajah, yang melayani usaha karya misi, baik secara sadar maupun tidak. Hal itu karena para misionaris dan penjajah berasal dari latar belakang budaya yang sama, dan memiliki keyakinan yang sama bahwa budaya Barat lebih unggul. Tugas mereka adalah untuk menyebarkannya ke daerah jajahan[E3] .
Para antropolog menyimpulkan tindakan para misionaris itu disemangati juga oleh ideologi ‘perubahan budaya’. Di sini para misionaris dilihat bukan sebagai ‘agen perubahan’ melainkan sebagai pengantara di antara kebudayaan. Mereka menganggap budaya pribumi sebagai tabula rasa (papan putih) sejauh menyangkut agama.
Kritik para antropolog adalah bahwa para misionaris mengubah dan mengganggu budaya sekurang-kurangnya harus mendorong para misionaris bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka mempunyai hak untuk mengubah suatu kebudayaan. Apa yang memberi kepada para misionaris hak untuk campur tangan dengan kebudayaan tertentu? Apakah kriterianya untuk ini? Pastilah dalam hubungan dengan para misionaris, ketidaktahuan dapat melahirkan kesalahan.
Dalam mengatasi ketegangan itu, tindakan inkulturasi merupakan jawabannya. Istilah ini muncul pertama kali dalam bahasa Perancis (1953) sebagai kata terjemahan dari istilah Inggris ‘enculturation’, yang mempunyai pengertian sangat mirip dengan istilah Jerman ‘Sozialisation’.
Pendekatan inkulturasi ini dijembantani, secara keilmuan, dengan pendekatan lintas budaya (cross culture). Dengan kata lain, usaha inkulturatif mengandaikan kemampuan untuk membedakan kekristenan dari ‘pakaian’ budayanya (seringkali terutama budaya sang misionaris sama itu sendiri). Hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah. Ini setara dengan kritik injil. Dalam pendekatan inkulturatif, kritik kebudayaan dalam terang injil bertujuan untuk pemerdekaan semua manusia dan mempromosikan suatu kemanusiaan yang sejati.
[E1]Lht. Kraemer, Hendrik, From Missionfield to Independent Church, (1958). Tesis Kraemer itu menyebut struktur iman Kristen orang Maluku ibarat ‘kue lapis’, atau ‘varnish’, suatu lapisan tipis di atas lapisan agama asli yang sangat kuat.
[E2]Kesan itu dilihat pula oleh Leonard Andaya dengan menekankan adanya perbedaan cara pandang. Misionaris mewakili cara pandang Barat yang bertumpu pada Filsafat Yunani, lalu memandang orang-orang di Timur (Maluku) sebagai yang kurang beradab dibanding orang Barat. Baca, Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, USA: University of Hawaii Press, 1993, h.23
[E3]Jadi serentak dengan penjajahan (dalam arti politis) terjadi juga penjajahan dalam arti religius. Idiomatik ‘siapa punya negara dia punya agama (cuis regio,euis religio – Pasal 36 Pengakuan Iman Belanda)’ malah menjadi semacam teologi para misionaris yang berkolaborasi dengan penjajah.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Kritik Antropologi terhadap Imperialisme Agama (Anton Quack, “Relasi Ambivalen Antara Karya Misi dan Atropologi: Kritik dan Usul-Saran”)
Jauh sebelumnya, Hendrik Kraemer [E1] telah melakukan kritik halus terhadap imperialisme agama dalam gerakan penginjilan. Kritiknya itu didasarkan pada perilaku para misionaris yang melawan berbagai praktek ‘agama asli’ (tribal religion).
Kecenderungan imperialisme agama itu disentil Anton Quack, karena menurutnya hal itu membuat orang menjadi miskin. Selalu ada ketegangan di antara para misionaris dan para antropolog: terbanyak ketegangan itu disebabkan oleh syakwasangka. Dua kutub ini dalam jangka waktu yang lama terkesan ‘tidak akur’.
Paul Hiebert menyebut relasi itu laksana ‘relasi cinta tapi benci’. Padahal dari para misionaris, kita banyak mendapat gambaran etnografi mengenai suatu masyarakat. Hasil kerjaWilhelm von Rubruk, Bernardino de Sahagun dari ordo Fransiskan (1215-1270) adalah gambaran berharga mengenai bangsa-bangsa Asia Pedalaman. Wilhelm E. Muhlmann, malah patut disebut sebagai misionaris-etnograf, yang laporannya mencuat karena kesetiaannya dalam pengamatan dan semangat ilmiahnya yang asli.
Misionaris lain adalah Joseph Fancois Lafitau (1681-1746), diakui bapa antroplogi perbandingan, karena karyanya “Adat-istiadat bangsa Amerika asli, dibandingkan dengan adat-istiadat masa-masa awal” (1724). Lafiatu juga mengecam dengan tajam para misionaris lain yang dinilainya sama dengan pelancong-pelancong lain, yang penuh dengan syakwasangka, tidak mahir berbahasa setempat, dan kurang memahami budaya asing.
Sejak awal, para misionaris telah menerima tesis tentang universalitas umat manusia. Meskipun demikian, para antropolog menuduh para misionaris sekurang-kurangnya dalam praktik, tetapi beranggapan bahwa budaya kristen, yakni Barat, lebih tinggi[E2] . Para misionaris yakin bahwa kebudayaan kristen mereka sendirilah yang lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan kebudayaan bangsa-bangsa ke mana mereka dikirim.
Kesan paling radikal dari kalangan antropolog adalah para misionaris diperlat oleh penjajah. Para ahli sejarah membenarkan hal itu karena para misionaris Protestan dan Katolik harus mengambil bagian dalam kongers-kongers kolonial Jerman. Karena itu mereka bukan hanya disebut diperalat penjajah, tetapi juga membonceng pada kekuasaan penjajah, yang melayani usaha karya misi, baik secara sadar maupun tidak. Hal itu karena para misionaris dan penjajah berasal dari latar belakang budaya yang sama, dan memiliki keyakinan yang sama bahwa budaya Barat lebih unggul. Tugas mereka adalah untuk menyebarkannya ke daerah jajahan[E3] .
Para antropolog menyimpulkan tindakan para misionaris itu disemangati juga oleh ideologi ‘perubahan budaya’. Di sini para misionaris dilihat bukan sebagai ‘agen perubahan’ melainkan sebagai pengantara di antara kebudayaan. Mereka menganggap budaya pribumi sebagai tabula rasa (papan putih) sejauh menyangkut agama.
Kritik para antropolog adalah bahwa para misionaris mengubah dan mengganggu budaya sekurang-kurangnya harus mendorong para misionaris bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka mempunyai hak untuk mengubah suatu kebudayaan. Apa yang memberi kepada para misionaris hak untuk campur tangan dengan kebudayaan tertentu? Apakah kriterianya untuk ini? Pastilah dalam hubungan dengan para misionaris, ketidaktahuan dapat melahirkan kesalahan.
Dalam mengatasi ketegangan itu, tindakan inkulturasi merupakan jawabannya. Istilah ini muncul pertama kali dalam bahasa Perancis (1953) sebagai kata terjemahan dari istilah Inggris ‘enculturation’, yang mempunyai pengertian sangat mirip dengan istilah Jerman ‘Sozialisation’.
Pendekatan inkulturasi ini dijembantani, secara keilmuan, dengan pendekatan lintas budaya (cross culture). Dengan kata lain, usaha inkulturatif mengandaikan kemampuan untuk membedakan kekristenan dari ‘pakaian’ budayanya (seringkali terutama budaya sang misionaris sama itu sendiri). Hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah. Ini setara dengan kritik injil. Dalam pendekatan inkulturatif, kritik kebudayaan dalam terang injil bertujuan untuk pemerdekaan semua manusia dan mempromosikan suatu kemanusiaan yang sejati.
[E1]Lht. Kraemer, Hendrik, From Missionfield to Independent Church, (1958). Tesis Kraemer itu menyebut struktur iman Kristen orang Maluku ibarat ‘kue lapis’, atau ‘varnish’, suatu lapisan tipis di atas lapisan agama asli yang sangat kuat.
[E2]Kesan itu dilihat pula oleh Leonard Andaya dengan menekankan adanya perbedaan cara pandang. Misionaris mewakili cara pandang Barat yang bertumpu pada Filsafat Yunani, lalu memandang orang-orang di Timur (Maluku) sebagai yang kurang beradab dibanding orang Barat. Baca, Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, USA: University of Hawaii Press, 1993, h.23
[E3]Jadi serentak dengan penjajahan (dalam arti politis) terjadi juga penjajahan dalam arti religius. Idiomatik ‘siapa punya negara dia punya agama (cuis regio,euis religio – Pasal 36 Pengakuan Iman Belanda)’ malah menjadi semacam teologi para misionaris yang berkolaborasi dengan penjajah.
Aspek Antropologi Institusi sebagai Frame Perilaku Manusia
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, cetakan ketiga, November 2005
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Paparan selanjutnya ini adalah resume atas kajian Kontjaraningrat dalam buku di atas, khusus pada bagian Bab VII: Sistem-sistem Kekerabatan
Keluarga – frame dasar perkembangan perilaku manusia
Para antropolog seperti J. Lubbock[E1] , J.J. Bachofen, J.F. McLennan, G.A. Wilken, dll, pada tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, manusia mula-mula hidup mirip sekawanan hewan berkelompok, dan pria dan wanita hidup bebas tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat karena itu juga belum ada. Lama-lama manusia sadar akan hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya, yang menjadi satu kelompok keluarga inti, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok seperti itu ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anaknya yang berjenis pria dihindari, sehingga timbullah adat eksogami. Keturunan kemudian dihitung dari garis ibu (matrilineal)[E2] .
Studi antropologi pun melihat perkembangan daur hidup manusia, mulai dari masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa lanjut usia, dll. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara [E3] dan sifatnya universal, dengan maksud bahwa seseoarang telah masuk ke dalam suatu lingkungan sosial yang baru dan lebih luas (hlm.92).
Suatu tahapan penting dalam daur hidup manusia itu adalah perkawinan. Dalam kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan (eksogami[E4] ) membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan berfungsi juga untuk memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (hlm.93).
Perkawinan juga membawa akibat-akibat yang sangat luas. Dua orang menikah, mula-mula adalah warga dari kelompok kekerabatan yang berbeda dalam masyarakat. Oleh karena itu ikatan perkawinan tidak hanya berakibat pada kedua individu terebut, tetapi juga pada keturunan mereka.
Salah satu akibat dari pernikahan itu adalah adat menetap sesudah menikah. Dalam budaya masyarakat, ada tujuh jenis adat menetap sesudah menikah (hlm.103-104):
- Adat untolokal, yang memberi kebebasan kepada sepasang suami-istri untuk memilih tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar kediaman kaum kerabat istri;
- Adat virilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap sekitar pusat kediaman kerabat suami;
- Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri harus tinggal sekitar kediaman kaum kerabat istri;
- Adat bilokal, yang mengharuskan bahwa sepasang suami-istri diwajibkan tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa lainnya;
- Adat neolokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri menempati tempatnya sendiri yang baru, dan tidak mengelompok bersama kerabat suami atau istri;
- Adat avunkulokal, yang mengharuskan sepasang suami-istri menetap sekitar tempat kediaman saudara pria ibu (avunculus) dari suami
- Adat natolokal, yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, di antara kaum kerabatnya sendiri-sendiri.
Perkawinan kemudian berdampak langsung pada pembentukan keluarga atau rumah tangga. Dalam kebudayaan atau sosiologi, ada yang disebut:
- Keluarga inti; termasuk di dalamnya adalah suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap sebagai anggota keluarga inti.
- Keluarga luas; yang merupakan kesatuan sosial yang sangat erat ini selalu terdiri dari lebih dari satu keluarga inti. Warga keluarga luas umumnya masih tinggal berdekatan, dan seringkali, bahkan masih tinggal besama-sama dalam satu rumah. Keluarga luas juga terdiri dari keluarga luas utrolokal (berdasarkan adat utrolokal), yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun wanita; keluarga luas virilokal, yang berdasarkan pada adat virilokal dan terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya; keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adat uxorilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak wanita.
Dalam berbagai masyarakat, ikatan keluarga luas sedemikian eratnya sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam satu rumah besar, terapi juga merupakan satu rumah tangga dan berbuat seakan-akan mereka merupakan satu keluarga inti yang besar.
- Keluarga besar; adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur, yang diperhitungkan melalui garis keturunan pria atau wanita, sehingga ada klen besar patrilineal dan klen besar matrilineal.
[E1]Lht. J. Lubbock, The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London: 1873
[E2]Menurut teori ini, masyarakat pada awalnya berbentuk matrilineal. Patrilineal kemudian baru berkembang seiring dengan kolonialisme yang lebih menerapkan budaya dominasi dan paternalistik yang mapan.
[E3]Bentuk-bentuk upacara itu dikenal juga di Maluku, seperti ritus cidaku (laki-laki) dan pinamou (perempuan) masa peralihan anak ke remaja dalam masyarakat Nuaulu, ritus papar gigi di masyarakat Wemale, dll. Bentuk-bentuk ritus ini dilaksanakan sekaligus untuk membedakan sex anak.
[E4]Selain eksogami, ada juga bentuk perkawinan lain yang disebut endogami
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Paparan selanjutnya ini adalah resume atas kajian Kontjaraningrat dalam buku di atas, khusus pada bagian Bab VII: Sistem-sistem Kekerabatan
Keluarga – frame dasar perkembangan perilaku manusia
Para antropolog seperti J. Lubbock[E1] , J.J. Bachofen, J.F. McLennan, G.A. Wilken, dll, pada tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, manusia mula-mula hidup mirip sekawanan hewan berkelompok, dan pria dan wanita hidup bebas tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat karena itu juga belum ada. Lama-lama manusia sadar akan hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya, yang menjadi satu kelompok keluarga inti, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok seperti itu ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anaknya yang berjenis pria dihindari, sehingga timbullah adat eksogami. Keturunan kemudian dihitung dari garis ibu (matrilineal)[E2] .
Studi antropologi pun melihat perkembangan daur hidup manusia, mulai dari masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa lanjut usia, dll. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara [E3] dan sifatnya universal, dengan maksud bahwa seseoarang telah masuk ke dalam suatu lingkungan sosial yang baru dan lebih luas (hlm.92).
Suatu tahapan penting dalam daur hidup manusia itu adalah perkawinan. Dalam kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan (eksogami[E4] ) membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan berfungsi juga untuk memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (hlm.93).
Perkawinan juga membawa akibat-akibat yang sangat luas. Dua orang menikah, mula-mula adalah warga dari kelompok kekerabatan yang berbeda dalam masyarakat. Oleh karena itu ikatan perkawinan tidak hanya berakibat pada kedua individu terebut, tetapi juga pada keturunan mereka.
Salah satu akibat dari pernikahan itu adalah adat menetap sesudah menikah. Dalam budaya masyarakat, ada tujuh jenis adat menetap sesudah menikah (hlm.103-104):
- Adat untolokal, yang memberi kebebasan kepada sepasang suami-istri untuk memilih tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar kediaman kaum kerabat istri;
- Adat virilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap sekitar pusat kediaman kerabat suami;
- Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri harus tinggal sekitar kediaman kaum kerabat istri;
- Adat bilokal, yang mengharuskan bahwa sepasang suami-istri diwajibkan tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa lainnya;
- Adat neolokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri menempati tempatnya sendiri yang baru, dan tidak mengelompok bersama kerabat suami atau istri;
- Adat avunkulokal, yang mengharuskan sepasang suami-istri menetap sekitar tempat kediaman saudara pria ibu (avunculus) dari suami
- Adat natolokal, yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, di antara kaum kerabatnya sendiri-sendiri.
Perkawinan kemudian berdampak langsung pada pembentukan keluarga atau rumah tangga. Dalam kebudayaan atau sosiologi, ada yang disebut:
- Keluarga inti; termasuk di dalamnya adalah suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap sebagai anggota keluarga inti.
- Keluarga luas; yang merupakan kesatuan sosial yang sangat erat ini selalu terdiri dari lebih dari satu keluarga inti. Warga keluarga luas umumnya masih tinggal berdekatan, dan seringkali, bahkan masih tinggal besama-sama dalam satu rumah. Keluarga luas juga terdiri dari keluarga luas utrolokal (berdasarkan adat utrolokal), yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun wanita; keluarga luas virilokal, yang berdasarkan pada adat virilokal dan terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya; keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adat uxorilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak wanita.
Dalam berbagai masyarakat, ikatan keluarga luas sedemikian eratnya sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam satu rumah besar, terapi juga merupakan satu rumah tangga dan berbuat seakan-akan mereka merupakan satu keluarga inti yang besar.
- Keluarga besar; adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur, yang diperhitungkan melalui garis keturunan pria atau wanita, sehingga ada klen besar patrilineal dan klen besar matrilineal.
[E1]Lht. J. Lubbock, The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London: 1873
[E2]Menurut teori ini, masyarakat pada awalnya berbentuk matrilineal. Patrilineal kemudian baru berkembang seiring dengan kolonialisme yang lebih menerapkan budaya dominasi dan paternalistik yang mapan.
[E3]Bentuk-bentuk upacara itu dikenal juga di Maluku, seperti ritus cidaku (laki-laki) dan pinamou (perempuan) masa peralihan anak ke remaja dalam masyarakat Nuaulu, ritus papar gigi di masyarakat Wemale, dll. Bentuk-bentuk ritus ini dilaksanakan sekaligus untuk membedakan sex anak.
[E4]Selain eksogami, ada juga bentuk perkawinan lain yang disebut endogami
Karakter Manusia dan Perbedaan Budaya
Book Review:
Erika Bourguignon, Psychological Anthropology: An Introduction to Human Nature and Cultural Differences, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kebetulan sekali, pada saat menyusun Tesis Magister Tahun 2000 di UKSW, dalam membahas dimensi antropologi dari tindakan masyarakat Maluku menyusun kerjasmaa antar-institusi yang disebut Tiga Batu Tungku, beta mendapat referensi yang mengulas tentang 'antropologi kognitif'. Point itu kemudian mengantar beta belajar tentang struktur 'meme', termasuk dikembangkan Rene Girard. Tetapi waktu itu beta bertanya-tanya, apakah memang antroplogi kognitif itu saja yang penting, atau sebenarnya juga antropologi psikologis?
Tahun 2008 ini, baru beta mendapat sebuah buku yang cukup menjawab keresahan sekian lama itu. Terdapat tiga bagian penting dari buku Bourguignon yang cukup menarik yakni Bagian 1 ‘What is Psychological Anthropology?’ dan Bagian 2 ‘Evolution: Behaviour and Culture, dan Bagian 3 ‘Do Group Differences Exist?’
1. Perbedaan Karakter dan Perbedaan Budaya
Bahasan Bourguignon dalam bukunya ini difokuskan pada kecenderungan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dibentuk oleh kebudayaan masyarakat setempat. Karena itu perbedaan-perbedaan secara tipikal pada perilaku tertentu adalah hasil bentukan kebudayaan, dan tidak terjadi semata-mata karena faktor psikologis manusia. Teori ini sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Psychological Anthropology (antropologi psikologi), sebagaimana mewarnai bukunya ini.
Bourguignon memulai dengan menyajikan peta perilaku anak-anak dalam tiga rumpun kebudayaan yang berbeda, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Haiti. Menariknya ialah, kejadian (event) yang diambilnya adalah perkelahian atau bentuk agresi fisik (physical aggression) di kalangan anak-anak pada ketiga rumpun kultur itu.
Di Amerika[E1] , suatu waktu ditemui, dalam penelitiannya, dua anak laki-laki yang berkelahi di tengah jalan pada saat pergi dan pulang sekolah. Tampak seorang anak memukul temannya, dan kemudian berlari meninggalkan temannya yang dipukuli itu. Sementara di Pyrane, sebuah desa di Selatan Prancis, dua anak kedapatan berkelahi. Seorang anak memukuli temannya, dan kemudian meninggalkan temannya itu. Seorang lainnya mendekati anak yang dipukuli itu, lalu melihat keadaannya, dan kemudian meninggalkannya juga. Sedangkan seorang anak perempuan sekitar delapan tahun, kedapatan memukuli adik lelakinya yang berusia enam tahun di Haiti, karena kedapatan tidak patuh padanya. Tetapi kemudian mereka tetap berjalan bersama-sama.
Bourguignon menekankan pada perbedaan-perbedaan itu dengan melihat bagaimana sehingga kejadian pada dua anak di Amerika itu terjadi justru di tengah masyarakat kota yang sudah sangat maju. Di tengah peradaban yang sudah semakin berkembang, dan tidak ada intervensi orang dewasa di dalamnya. Berbeda sedikit dengan desa-desa di Prancis, seperti dikutipnya dari tulisan Laurence Wylie, bahwa:
di Peyrene itu, jika dua anak berkelahi mereka harus dilerai oleh orang dewasa. Jika tidak ada yang melerai mereka, keduanya harus dihukum. Dalam hal ini tidak usah dimasalahkan siapa yang memulai perkelahian atau siapa yang benar. Mereka berdua berkelahi, dan konsekuensinya adalah mereka berdua bersalah (Wylie, Village in the Vaucluse, 3rd edition, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1974:49-50)
Sedangkan dalam kasus dua anak di Haiti, jelas posisi kedua anak ini tidak setara. Mereka adalah kakak-beradik; sang adik dipukuli karena kedapatan tidak patuh kepada kakaknya. Sang kakak mengambil tindakan demikian sebab ia mendapat mandat dan melaksanakan peran ibunya. Tindakan pembalasan dari sang adik adalah sesuatu yang tidak benar, sebab dalam kasus itu, memukuli kakak perempuan sama dengan memukuli ibu mereka. Dengan demikian itu yang disebut dosa. Kakak perempuannya itu memiliki otoritas dan tindakannya memukuli adiknya bertujuan untuk mendisiplinkan dia.
Bagi Bourguignon, beberapa contoh itu menjelaskan mengenai tipe interaksi sosial (social interaction) di antara masyarakat, serta orientasi budaya di dalam perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Peyrene di Prancis, keterlibatan orang dewasa dalam melerai perkelahian dua anak bersumber dari model regard, atau penghargaan yang sudah menjadi model di dalam perilaku orang dewasa.
Tentang hal itu, adakalanya kekerasan bisa juga menjadi suatu model yang kerap kedapatan di dalam masyarakat yang kurang terdidik (uneducated) dan komunitas miskin. Di sini kekerasan bahkan dilihat sebagai cara untuk menjadi “better people”[E2] .
Dalam kasus ini, contoh dari Haiti adalah contoh dari sosialisasi anak (child socialization), dengan fokus pada bagaimana seseorang anak dilatih untuk patuh kepada kakaknya. Dalam arti itu, anak perempuan yang memukuli adiknya dan menghukumnya patuh kepada perintah ibunya dalam mendisiplinkan adiknya. Pola seperti itu terjadi karena dalam masyarakat Haiti terdapat hierarkhi berdasarkan usia anak. Perbedaan seks tidak menjadi hal yang determinan, karena itu seorang kakak perempuan menjadi tuan atas adik lelakinya. Di sini terkandung nilai religious, bahwa memukuli kakak perempuan adalah dosa. Ini terjadi dalam sistem yang tidak seimbang, di mana seseorang berada di atas atau di bawah dalam ranking sosialnya. (hlm.4).
Sedangkan dalam contoh di Prancis, fokusnya terletak pada nilai (values), sehingga persoalan pokok dari perkelahian bukan “siapa yang memulai” atau “siapa yang benar”. Ini dibentuk oleh pengaruh pendidikan. Masyarakat yang terdidik akan lebih fokus pada nilai di dalam perilaku individu dan kelompok.
2. Fokus Studi Antropologi Psikologi
Pada halaman 14-17, Bourguignon menceritakan latar belakang sejarah munculnya Antropologi Psikologi sebagai suatu sub-bidang keilmuan yang independen.
Dijelaskannya bahwa sub-bidang keilmuan ini berkembang pertama kali melalui studi terhadap kebudayaan dan perkembangan personalitas manusia yang populer di Amerika Serikat, ketika psikoanalis semakin mantap berkembang di sana. Beberapa pakar yang mulai merintis jalan ke arah itu seperti Hallowell (1954). Ia menunjukkan bahwa sifat dasar psikologi dan antropologi sejak ratusan tahun pertama, hanyalah merupakan dampak dari hasil kerja Darwin. Dalam kaitan itu, beberapa karya antropologi Jerman awalnya, seperti karya T. Waiz dan A. Bastian, yang berorientasi psikologis. Psikologi awal ini adalah sebuah psikologi sosial. Dalam pandangan itu, E.B. Taylor (1871 – ia kemudian lebih dikenal melalui berbagai teori tentang Evolusi) mengemukakan sebuah anasir budaya yang cukup populer bahwa[E3] : kebudayaan, adalah kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, tradisi dan berbagai macam hasil karya manusia serta lingkungannya dan digunakan manusia sebagai bagian dari masyarakat; bukanlah milik khusus individu.
Seperti disebutkan F.L.K. Hsu, yang dikutip Bourguignon,
Apa yang diperlukan dalam antropologi adalah menentukan premis atau postulat dari karakter manusia melalui bentuk-bentuk dasar pada setiap budaya dan masyarakat…Manusia tidak sama dalam setiap masyarakat yang berbeda dalam hal anggotanya, barang-barang yang mereka miliki, obyek-obyek lainnya dan semua itu saling berbeda serta merupakan pengungkapan perilaku individu dan kelompoknya (Hsu, “The Art of Teaching the Human Science”, Report on Teaching, 5. Change: The Magazine of Learning, 1978a:7)
Suatu bentuk perbedaan lain tampak melalui bagaimana perasaan seseorang terhadap lainnya dan bagaimana hal itu terjadi sejak awalnya, dan begitu seterusnya menjadi cara yang berbeda dalam mengungkapkan perasaan. Ini menunjukkan bahwa budaya itu adalah suatu sistem; ibarat teka-teki silang yang mengandung berbagai bagian yang saling terhubung. Kita bisa memulai dengan suatu bagian tertentu, dan melanjutkan pada bagian lain agar bagian itu dapat dimengerti secara utuh.
Bourguignon membangun asumsi atropologi psikologi ini dengan mengedepankan beberapa terminologi metodologis yang kiranya menjadi rujukan kita dalam melakukan riset. Apa yang dikemukakannya tentang commonsense observation[E4] , secara metodologis adalah suatu usaha dalam antropologi psikologi untukmenemukan bagaimana setiap perbedaan itu terjadi, dan baaimana hubungannya dengan kehidupan sosial. Ia juga mengeksplorasi suatu dasar tentang hal-hal yang mungkin saja sama dalam kehidupan manusia, atau yang perbedaannya kecil saja. Bertumpu pada temuan itu, kita lalu belajar tentang apa yang telah ditemukan, metode apa yang bagus untuk menemukan bukti empiris, dan apakah ada pertanyaan baru dalam seluruh proses yang telah dijalani itu.
Proses metodologi berikutnya adalah cross-cultural, di mana kita mesti pahami bahwa masyarakat kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara hidup (way of life) yang khusus, sebagai suatu fenomena lokal.
Dalam kaitan itu, kebudayaan masyarakat kiranya dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masyarakat melalui proses belajar dan pengalaman, ia bukanlah suatu bentukan genetik seorang individu. Tetapi perkembangan adalah hasil dari relasi yang rapat antar manusia dengan warisan yang berbeda dari zaman leluhurnya, yang juga diproduksi dalam proses sosial dan budaya, seperti juga tampak melalui perang dan migrasi[E5] .
3. Evolusi Perilaku
Teori ini bertolak dari evolusi perilaku manusia secara biologis, artinya adanya perkembangan perilaku (dari semula yang identik dengan binatang). Dalam perkembangannya, perilaku manusia semakin berkembang, dan menjadi sesuatu yang berbeda dari binatang karena struktur kesadaran yang ada pada manusia.
Bentuk-bentuk perilaku awal itu terjadi dalam masa yang disebut protocultural. Dalam masa itu, perilaku manusia adalah sesuatu yang dibedakan secara tajam dari perilaku hewani. Hallowell menstudikan hal itu dengan melihat pada mode adaptasi budaya. Ia melihat tahapan protocultural itu sebagai masa preadaptasi di mana manusia belajar dari tipe-tipe perilaku yang sederhana, kemudian dibantu oleh proses sosialisasi individu dalam struktur sosial yang terus berkembang karena adanya peran-peran yang berbeda di antara setiap kelompok manusia.
Perubahan perilaku itu terjadi karena beberapa hal, yakni: pertama, learning (belajar). Proses ini mengacu dari kompleksitas kebudayaan, dengan demikian proses ini bertujuan agar orang belajar berperilaku (learned behavior). Yang hendak dicapai di sini adalah perkembangan kapasitas belajar [E6] di dalam konteks kebudayaan.
Proses kedua adalah socialization sebagai proses awal dari periode kehidupan manusia di dalam masyarakat. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi manusia, baik individu maupun kelompok. Proses ini berlangsung dalam suatu relasi khusus, ibarat relasi cinta orang dewasa, tetapi tidak seeksklusif seperti relasi antara seorang ibu dan bayinya. Durasinya bisa lama tetapi juga cepat, tergantung pada kemampuan manusia mengadaptasi dirinya dalam lingkungan itu.
Proses ketiga adalah pembentukan kelompok sosial, di sini Hallowell melihat berlangsungnya proses transmisi di dalam belajar berperilaku. Ada proses pengalihan perilaku dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, dan hal itu berlangsung melalui proses belajar yang telah ditempuh dari generasi ke generasi itu.
Di dalam proses transmisi itu, faktor bahasa memegang peran penting dalam upaya alih perilaku dalam sistem-sistem sosial yang ada. Hal itu yang dimaksudkan Steward sebagai ‘cultural type’, dan ‘level integrasi sosial budaya’. Dari segi perilaku, ia kemudian menyebutnya sebagai suatu pendekatan ‘evolusi multilinear’ (hlm.59).
4. Pendekatan dalam Hubungan Antara Budaya dan Kepribadian
Pertanyaan pokok dalam kaitan ini adalah (1) bagaimana konsep hubungan antara budaya dan kepribadian (personalitas); (2) kategori apa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian? Dan (3) metode apa yang biasanya digunakan untuk menginput kepribadian secara cross-culturally? Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, Bourguignon menetapkan adanya tiga pendekatan, masing-masing: pendekatan konfigurasional; pendekatan reduksi psikoanalis; dan pendekatan mediasi individu.
a. Pendekatan Konfigurasional
Contoh paling gamblang mengenai pendekatan ini mengacu dari tesis Ruth Benedict melalui bukunya Patterns of Culture, suatu hasil penelitian (konfigurasional) terhadap masyarakat dengan analisis terhadap pengaruh Pueblos dan Zuni di New Mexico, Dobuans di Melanisia, dan budaya juga pengaruh Pueblos di dataran Indian. Sebenarnya sebelum Benedict, Franz Boas telah melakukannya di masyarakat Kwaikiutl, dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk konfigurasi yang dominan.
Pola analisis seperti itu mengandung pengertian bahwa pendekatan konfigurasional melihat pada pengaruh beragam bentuk kebudayaan terhadap perilaku individu. Asumsinya dari pola perilaku seseorang kita bisa mengenal tipe kebudayaan masyarakatnya, atau sebaliknya. Mengenai hal itu, Bendict mengatakan:
Jika kita meneliti perilaku manusia, pertama-tama kita mesti memahami institusi sosial di dalam suatu masyarakat. Sebab tingkah laku manusia turut ditentukan oleh bentuk-bentuk institusi itu, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari kebudayaan setempat (Benedict[E7] 1961:236)
Dalam pandangan itu, budaya membangun tiap individu manusia, dan ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Walau demikian, Benedict melihat pada pentingnya integrasi kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia itu. Baginya, perilaku manusia itu adalah aktualisasi dari apa yang diberikan oleh budaya. Perilaku[E8] itu adalah suatu given dari kebudayaan.
b. Pendekatan Reduksi Psikoanalis
Mengacu dari kerja Benedict itu, Géza Róheim, antropolog asal Hungaria, mencoba menindaklanjuti analisis psikoanalisis yang dikerjakan oleh Marie Bonaparte, putri raja George dari Yunani, yang juga adalah murid Freud. Róheim kemudian fokus pada masyarakat Aborigin di Australia, dalam rangka melihat apa yang disebut Freud dengan Totem and Taboo.
Mengikuti alur pemikiran Freud, Róheim membahas kesadaran primitif [E9] (primitive neurotics), dan hubungannya dengan evolusi kebudyaan. Dengan penelitian ini Róheim sebenarnya hendak menjembatani kesenjangan yang selama ini terjadi pada analisis psikoanalisis dengan mengedepankan apa yang kemudian ia sebut psycho-analitic ethnology (pasikoanalisis etnologi).
Dari dasar penelitian lapangannya di bidang antropologi dan psikoanalisis, Róheim lalu mengembangkan ‘teori ontogenetik budaya’. Teori ini melihat kebudayaan sebagai hasil dari ‘human delay infancy’. Hal itu mengandung ‘karakter kelompok’ dari suatu masyarakat sebagai hasil atau respons terhadap tipe-tipe trauma dari masyarakat tertentu itu. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat aspek-aspek khusus dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa terutama aspek ‘painful’ (rasa sakit). Róheim mengakui eksistensi individu dalam masyarakat, dan variasi karakter individu (di era modern) itu adalah suatu perkembangan dari karakter masyarakat primitif.
Teori Róheim ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia itu tidak ditentukan secara biologis, melainkan juga oleh kebudayaan masyarakat. Sejak semula telah ada kesadaran (primitif).
c. Pendekatan Karakter Mediasi
Pendekatan ini berasal dari Abram Kardiner, dan beberapa antropolog seperti Ralph Linton dan Cora Du Bois. LeVine (1973) menyebutnya sebagai ‘pendekatan karakter mediasi’.
Para antropolog ini melihat pada basic personality structure. Du Bois malah melihat apa yang ia istilahkan modal personality. Istilah ini menerangkan pada karakter yang dibagi oleh anggota kelompok mayoritas adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak setiap orang. Karakter itu kadang dibagi dalam institusi keluarga[E10] , sebagai institusi paling dasar (primary institution). Aspek lain yang berpengaruh pada karakter mediasi itu adalah secondary institution, seperti dari agama, folklore, mitologi, seni, dll. Institusi sekunder ini menghasilkan ‘projective systems’ atau ‘projective screens’. Menurut teori ini, institusi utama suatu masyarakat menghasilkan struktur dasar perilaku, yang mengungkapkan perilaku-perilaku yang kelihatan di masa kini – konflik, fantasi, dll – dalam bentuk institusi sekunder.
Untuk memahami teori ini, Linton dan Kardiner mengajak melihat pada apa yang disebut ‘institusi’, yaitu apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai, atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi dalam institusi itu.
[E1]Hlm.1-3; perbedaan bentuk perilaku ini sebenarnya ada juga dalam masyarakat kita. Satu hal yang kiranya perlu dilihat adalah bagaimana sehingga terdapat perbedaan perilaku tersebut, dan apa konsep kebudayaan yang terkandung sehingga kedapatan bentuk perilaku yang berbeda itu.
[E2]Hlm.3 – dalam kasus ini, terkadang orang menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri. Faktor pendidikan memang selalu menjadi indikator utama dalam membentuk perilaku individu/kelompok. Masyarakat dengan tingkat pendidikan baik akan menggunakan model negosiasi (negotiation) untuk memecahkan perbedaan di antara mereka, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah akan menggunaka model aggression.
[E3]Teori ini pun sejalan dengan Klukholn, melalui term cultural universal, yakni adanya tujuh unsur budaya yang universal pada setiap masyarakat di dunia; teori yang kemudian dikembangkan juga oleh Koentjaraningrat tentang antropologi masyarakat di Indonesia.
[E4]Observasi terhadap pandangan umum. Dalam term penelitian sosial, common sense merupakan salah satu sumber kebenaran atau pengetahuan yang bisa dijadikan acuan ekspolrasi ilmiah. Kebenaran-kebenaran dalam common sense adalah kebenaran standard yang masih perlu diuji melalui penelitian ilmiah (science research method). Baca
[E5]Pada aspek perilaku, perang dan migrasi juga dapat membentuk suatu tipe perilaku masyarakat, seperti tampak dalam apa yang kerap disebut modeling, di mana seseorang akan berperilaku seperti orang/kelompok lain melalui cara meniru, atau karena kepadanya diperkenalkan cara perilaku tertentu.
[E6]Dalam hal belajar, orang bisa belajar dari pengalaman tertentu [di masa lampau] dan melihatnya sebagai perilaku yang membudaya. Akibatnya cenderung mengcopy perilaku lama itu menjadi perilaku komunitas yang baru [modeling].
[E7]Lht. Ruth Benedict, Patterns of Culture, New York: Houghton Mifflin (Paperback reprint, 1961)
[E8] Pertanyaan yang akan dikembangkan dalam tesis nanti adalah apakah perilaku pukul bini adalah juga given?
[E9]Aspek ini kemudian akan dikembankan dalam Tesis sebentar nanti untuk melihat motiv kebudayaan dalam perilaku individu/kelompok (informan dalam penelitian). Artinya, perilaku pukul bini, akan ditelusuri dari asumsi-asumsi kebudayaan sebagai bentuk primitive neurotics itu. Apakah perilaku ini telah ada dalam masyarakat Maluku di zaman lampau, dan mengapa masih ada dalam masyarakat dewasa ini.
[E10]Kadang pengalaman perilaku individu dibentuk oleh perilaku anggota keluarga lainnya. Umumnya kita mengidentikkan perilaku seorang anak dengan perilaku orang tuanya.
Erika Bourguignon, Psychological Anthropology: An Introduction to Human Nature and Cultural Differences, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kebetulan sekali, pada saat menyusun Tesis Magister Tahun 2000 di UKSW, dalam membahas dimensi antropologi dari tindakan masyarakat Maluku menyusun kerjasmaa antar-institusi yang disebut Tiga Batu Tungku, beta mendapat referensi yang mengulas tentang 'antropologi kognitif'. Point itu kemudian mengantar beta belajar tentang struktur 'meme', termasuk dikembangkan Rene Girard. Tetapi waktu itu beta bertanya-tanya, apakah memang antroplogi kognitif itu saja yang penting, atau sebenarnya juga antropologi psikologis?
Tahun 2008 ini, baru beta mendapat sebuah buku yang cukup menjawab keresahan sekian lama itu. Terdapat tiga bagian penting dari buku Bourguignon yang cukup menarik yakni Bagian 1 ‘What is Psychological Anthropology?’ dan Bagian 2 ‘Evolution: Behaviour and Culture, dan Bagian 3 ‘Do Group Differences Exist?’
1. Perbedaan Karakter dan Perbedaan Budaya
Bahasan Bourguignon dalam bukunya ini difokuskan pada kecenderungan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dibentuk oleh kebudayaan masyarakat setempat. Karena itu perbedaan-perbedaan secara tipikal pada perilaku tertentu adalah hasil bentukan kebudayaan, dan tidak terjadi semata-mata karena faktor psikologis manusia. Teori ini sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Psychological Anthropology (antropologi psikologi), sebagaimana mewarnai bukunya ini.
Bourguignon memulai dengan menyajikan peta perilaku anak-anak dalam tiga rumpun kebudayaan yang berbeda, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Haiti. Menariknya ialah, kejadian (event) yang diambilnya adalah perkelahian atau bentuk agresi fisik (physical aggression) di kalangan anak-anak pada ketiga rumpun kultur itu.
Di Amerika[E1] , suatu waktu ditemui, dalam penelitiannya, dua anak laki-laki yang berkelahi di tengah jalan pada saat pergi dan pulang sekolah. Tampak seorang anak memukul temannya, dan kemudian berlari meninggalkan temannya yang dipukuli itu. Sementara di Pyrane, sebuah desa di Selatan Prancis, dua anak kedapatan berkelahi. Seorang anak memukuli temannya, dan kemudian meninggalkan temannya itu. Seorang lainnya mendekati anak yang dipukuli itu, lalu melihat keadaannya, dan kemudian meninggalkannya juga. Sedangkan seorang anak perempuan sekitar delapan tahun, kedapatan memukuli adik lelakinya yang berusia enam tahun di Haiti, karena kedapatan tidak patuh padanya. Tetapi kemudian mereka tetap berjalan bersama-sama.
Bourguignon menekankan pada perbedaan-perbedaan itu dengan melihat bagaimana sehingga kejadian pada dua anak di Amerika itu terjadi justru di tengah masyarakat kota yang sudah sangat maju. Di tengah peradaban yang sudah semakin berkembang, dan tidak ada intervensi orang dewasa di dalamnya. Berbeda sedikit dengan desa-desa di Prancis, seperti dikutipnya dari tulisan Laurence Wylie, bahwa:
di Peyrene itu, jika dua anak berkelahi mereka harus dilerai oleh orang dewasa. Jika tidak ada yang melerai mereka, keduanya harus dihukum. Dalam hal ini tidak usah dimasalahkan siapa yang memulai perkelahian atau siapa yang benar. Mereka berdua berkelahi, dan konsekuensinya adalah mereka berdua bersalah (Wylie, Village in the Vaucluse, 3rd edition, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1974:49-50)
Sedangkan dalam kasus dua anak di Haiti, jelas posisi kedua anak ini tidak setara. Mereka adalah kakak-beradik; sang adik dipukuli karena kedapatan tidak patuh kepada kakaknya. Sang kakak mengambil tindakan demikian sebab ia mendapat mandat dan melaksanakan peran ibunya. Tindakan pembalasan dari sang adik adalah sesuatu yang tidak benar, sebab dalam kasus itu, memukuli kakak perempuan sama dengan memukuli ibu mereka. Dengan demikian itu yang disebut dosa. Kakak perempuannya itu memiliki otoritas dan tindakannya memukuli adiknya bertujuan untuk mendisiplinkan dia.
Bagi Bourguignon, beberapa contoh itu menjelaskan mengenai tipe interaksi sosial (social interaction) di antara masyarakat, serta orientasi budaya di dalam perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Peyrene di Prancis, keterlibatan orang dewasa dalam melerai perkelahian dua anak bersumber dari model regard, atau penghargaan yang sudah menjadi model di dalam perilaku orang dewasa.
Tentang hal itu, adakalanya kekerasan bisa juga menjadi suatu model yang kerap kedapatan di dalam masyarakat yang kurang terdidik (uneducated) dan komunitas miskin. Di sini kekerasan bahkan dilihat sebagai cara untuk menjadi “better people”[E2] .
Dalam kasus ini, contoh dari Haiti adalah contoh dari sosialisasi anak (child socialization), dengan fokus pada bagaimana seseorang anak dilatih untuk patuh kepada kakaknya. Dalam arti itu, anak perempuan yang memukuli adiknya dan menghukumnya patuh kepada perintah ibunya dalam mendisiplinkan adiknya. Pola seperti itu terjadi karena dalam masyarakat Haiti terdapat hierarkhi berdasarkan usia anak. Perbedaan seks tidak menjadi hal yang determinan, karena itu seorang kakak perempuan menjadi tuan atas adik lelakinya. Di sini terkandung nilai religious, bahwa memukuli kakak perempuan adalah dosa. Ini terjadi dalam sistem yang tidak seimbang, di mana seseorang berada di atas atau di bawah dalam ranking sosialnya. (hlm.4).
Sedangkan dalam contoh di Prancis, fokusnya terletak pada nilai (values), sehingga persoalan pokok dari perkelahian bukan “siapa yang memulai” atau “siapa yang benar”. Ini dibentuk oleh pengaruh pendidikan. Masyarakat yang terdidik akan lebih fokus pada nilai di dalam perilaku individu dan kelompok.
2. Fokus Studi Antropologi Psikologi
Pada halaman 14-17, Bourguignon menceritakan latar belakang sejarah munculnya Antropologi Psikologi sebagai suatu sub-bidang keilmuan yang independen.
Dijelaskannya bahwa sub-bidang keilmuan ini berkembang pertama kali melalui studi terhadap kebudayaan dan perkembangan personalitas manusia yang populer di Amerika Serikat, ketika psikoanalis semakin mantap berkembang di sana. Beberapa pakar yang mulai merintis jalan ke arah itu seperti Hallowell (1954). Ia menunjukkan bahwa sifat dasar psikologi dan antropologi sejak ratusan tahun pertama, hanyalah merupakan dampak dari hasil kerja Darwin. Dalam kaitan itu, beberapa karya antropologi Jerman awalnya, seperti karya T. Waiz dan A. Bastian, yang berorientasi psikologis. Psikologi awal ini adalah sebuah psikologi sosial. Dalam pandangan itu, E.B. Taylor (1871 – ia kemudian lebih dikenal melalui berbagai teori tentang Evolusi) mengemukakan sebuah anasir budaya yang cukup populer bahwa[E3] : kebudayaan, adalah kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, tradisi dan berbagai macam hasil karya manusia serta lingkungannya dan digunakan manusia sebagai bagian dari masyarakat; bukanlah milik khusus individu.
Seperti disebutkan F.L.K. Hsu, yang dikutip Bourguignon,
Apa yang diperlukan dalam antropologi adalah menentukan premis atau postulat dari karakter manusia melalui bentuk-bentuk dasar pada setiap budaya dan masyarakat…Manusia tidak sama dalam setiap masyarakat yang berbeda dalam hal anggotanya, barang-barang yang mereka miliki, obyek-obyek lainnya dan semua itu saling berbeda serta merupakan pengungkapan perilaku individu dan kelompoknya (Hsu, “The Art of Teaching the Human Science”, Report on Teaching, 5. Change: The Magazine of Learning, 1978a:7)
Suatu bentuk perbedaan lain tampak melalui bagaimana perasaan seseorang terhadap lainnya dan bagaimana hal itu terjadi sejak awalnya, dan begitu seterusnya menjadi cara yang berbeda dalam mengungkapkan perasaan. Ini menunjukkan bahwa budaya itu adalah suatu sistem; ibarat teka-teki silang yang mengandung berbagai bagian yang saling terhubung. Kita bisa memulai dengan suatu bagian tertentu, dan melanjutkan pada bagian lain agar bagian itu dapat dimengerti secara utuh.
Bourguignon membangun asumsi atropologi psikologi ini dengan mengedepankan beberapa terminologi metodologis yang kiranya menjadi rujukan kita dalam melakukan riset. Apa yang dikemukakannya tentang commonsense observation[E4] , secara metodologis adalah suatu usaha dalam antropologi psikologi untukmenemukan bagaimana setiap perbedaan itu terjadi, dan baaimana hubungannya dengan kehidupan sosial. Ia juga mengeksplorasi suatu dasar tentang hal-hal yang mungkin saja sama dalam kehidupan manusia, atau yang perbedaannya kecil saja. Bertumpu pada temuan itu, kita lalu belajar tentang apa yang telah ditemukan, metode apa yang bagus untuk menemukan bukti empiris, dan apakah ada pertanyaan baru dalam seluruh proses yang telah dijalani itu.
Proses metodologi berikutnya adalah cross-cultural, di mana kita mesti pahami bahwa masyarakat kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara hidup (way of life) yang khusus, sebagai suatu fenomena lokal.
Dalam kaitan itu, kebudayaan masyarakat kiranya dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masyarakat melalui proses belajar dan pengalaman, ia bukanlah suatu bentukan genetik seorang individu. Tetapi perkembangan adalah hasil dari relasi yang rapat antar manusia dengan warisan yang berbeda dari zaman leluhurnya, yang juga diproduksi dalam proses sosial dan budaya, seperti juga tampak melalui perang dan migrasi[E5] .
3. Evolusi Perilaku
Teori ini bertolak dari evolusi perilaku manusia secara biologis, artinya adanya perkembangan perilaku (dari semula yang identik dengan binatang). Dalam perkembangannya, perilaku manusia semakin berkembang, dan menjadi sesuatu yang berbeda dari binatang karena struktur kesadaran yang ada pada manusia.
Bentuk-bentuk perilaku awal itu terjadi dalam masa yang disebut protocultural. Dalam masa itu, perilaku manusia adalah sesuatu yang dibedakan secara tajam dari perilaku hewani. Hallowell menstudikan hal itu dengan melihat pada mode adaptasi budaya. Ia melihat tahapan protocultural itu sebagai masa preadaptasi di mana manusia belajar dari tipe-tipe perilaku yang sederhana, kemudian dibantu oleh proses sosialisasi individu dalam struktur sosial yang terus berkembang karena adanya peran-peran yang berbeda di antara setiap kelompok manusia.
Perubahan perilaku itu terjadi karena beberapa hal, yakni: pertama, learning (belajar). Proses ini mengacu dari kompleksitas kebudayaan, dengan demikian proses ini bertujuan agar orang belajar berperilaku (learned behavior). Yang hendak dicapai di sini adalah perkembangan kapasitas belajar [E6] di dalam konteks kebudayaan.
Proses kedua adalah socialization sebagai proses awal dari periode kehidupan manusia di dalam masyarakat. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi manusia, baik individu maupun kelompok. Proses ini berlangsung dalam suatu relasi khusus, ibarat relasi cinta orang dewasa, tetapi tidak seeksklusif seperti relasi antara seorang ibu dan bayinya. Durasinya bisa lama tetapi juga cepat, tergantung pada kemampuan manusia mengadaptasi dirinya dalam lingkungan itu.
Proses ketiga adalah pembentukan kelompok sosial, di sini Hallowell melihat berlangsungnya proses transmisi di dalam belajar berperilaku. Ada proses pengalihan perilaku dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, dan hal itu berlangsung melalui proses belajar yang telah ditempuh dari generasi ke generasi itu.
Di dalam proses transmisi itu, faktor bahasa memegang peran penting dalam upaya alih perilaku dalam sistem-sistem sosial yang ada. Hal itu yang dimaksudkan Steward sebagai ‘cultural type’, dan ‘level integrasi sosial budaya’. Dari segi perilaku, ia kemudian menyebutnya sebagai suatu pendekatan ‘evolusi multilinear’ (hlm.59).
4. Pendekatan dalam Hubungan Antara Budaya dan Kepribadian
Pertanyaan pokok dalam kaitan ini adalah (1) bagaimana konsep hubungan antara budaya dan kepribadian (personalitas); (2) kategori apa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian? Dan (3) metode apa yang biasanya digunakan untuk menginput kepribadian secara cross-culturally? Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, Bourguignon menetapkan adanya tiga pendekatan, masing-masing: pendekatan konfigurasional; pendekatan reduksi psikoanalis; dan pendekatan mediasi individu.
a. Pendekatan Konfigurasional
Contoh paling gamblang mengenai pendekatan ini mengacu dari tesis Ruth Benedict melalui bukunya Patterns of Culture, suatu hasil penelitian (konfigurasional) terhadap masyarakat dengan analisis terhadap pengaruh Pueblos dan Zuni di New Mexico, Dobuans di Melanisia, dan budaya juga pengaruh Pueblos di dataran Indian. Sebenarnya sebelum Benedict, Franz Boas telah melakukannya di masyarakat Kwaikiutl, dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk konfigurasi yang dominan.
Pola analisis seperti itu mengandung pengertian bahwa pendekatan konfigurasional melihat pada pengaruh beragam bentuk kebudayaan terhadap perilaku individu. Asumsinya dari pola perilaku seseorang kita bisa mengenal tipe kebudayaan masyarakatnya, atau sebaliknya. Mengenai hal itu, Bendict mengatakan:
Jika kita meneliti perilaku manusia, pertama-tama kita mesti memahami institusi sosial di dalam suatu masyarakat. Sebab tingkah laku manusia turut ditentukan oleh bentuk-bentuk institusi itu, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari kebudayaan setempat (Benedict[E7] 1961:236)
Dalam pandangan itu, budaya membangun tiap individu manusia, dan ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Walau demikian, Benedict melihat pada pentingnya integrasi kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia itu. Baginya, perilaku manusia itu adalah aktualisasi dari apa yang diberikan oleh budaya. Perilaku[E8] itu adalah suatu given dari kebudayaan.
b. Pendekatan Reduksi Psikoanalis
Mengacu dari kerja Benedict itu, Géza Róheim, antropolog asal Hungaria, mencoba menindaklanjuti analisis psikoanalisis yang dikerjakan oleh Marie Bonaparte, putri raja George dari Yunani, yang juga adalah murid Freud. Róheim kemudian fokus pada masyarakat Aborigin di Australia, dalam rangka melihat apa yang disebut Freud dengan Totem and Taboo.
Mengikuti alur pemikiran Freud, Róheim membahas kesadaran primitif [E9] (primitive neurotics), dan hubungannya dengan evolusi kebudyaan. Dengan penelitian ini Róheim sebenarnya hendak menjembatani kesenjangan yang selama ini terjadi pada analisis psikoanalisis dengan mengedepankan apa yang kemudian ia sebut psycho-analitic ethnology (pasikoanalisis etnologi).
Dari dasar penelitian lapangannya di bidang antropologi dan psikoanalisis, Róheim lalu mengembangkan ‘teori ontogenetik budaya’. Teori ini melihat kebudayaan sebagai hasil dari ‘human delay infancy’. Hal itu mengandung ‘karakter kelompok’ dari suatu masyarakat sebagai hasil atau respons terhadap tipe-tipe trauma dari masyarakat tertentu itu. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat aspek-aspek khusus dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa terutama aspek ‘painful’ (rasa sakit). Róheim mengakui eksistensi individu dalam masyarakat, dan variasi karakter individu (di era modern) itu adalah suatu perkembangan dari karakter masyarakat primitif.
Teori Róheim ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia itu tidak ditentukan secara biologis, melainkan juga oleh kebudayaan masyarakat. Sejak semula telah ada kesadaran (primitif).
c. Pendekatan Karakter Mediasi
Pendekatan ini berasal dari Abram Kardiner, dan beberapa antropolog seperti Ralph Linton dan Cora Du Bois. LeVine (1973) menyebutnya sebagai ‘pendekatan karakter mediasi’.
Para antropolog ini melihat pada basic personality structure. Du Bois malah melihat apa yang ia istilahkan modal personality. Istilah ini menerangkan pada karakter yang dibagi oleh anggota kelompok mayoritas adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak setiap orang. Karakter itu kadang dibagi dalam institusi keluarga[E10] , sebagai institusi paling dasar (primary institution). Aspek lain yang berpengaruh pada karakter mediasi itu adalah secondary institution, seperti dari agama, folklore, mitologi, seni, dll. Institusi sekunder ini menghasilkan ‘projective systems’ atau ‘projective screens’. Menurut teori ini, institusi utama suatu masyarakat menghasilkan struktur dasar perilaku, yang mengungkapkan perilaku-perilaku yang kelihatan di masa kini – konflik, fantasi, dll – dalam bentuk institusi sekunder.
Untuk memahami teori ini, Linton dan Kardiner mengajak melihat pada apa yang disebut ‘institusi’, yaitu apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai, atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi dalam institusi itu.
[E1]Hlm.1-3; perbedaan bentuk perilaku ini sebenarnya ada juga dalam masyarakat kita. Satu hal yang kiranya perlu dilihat adalah bagaimana sehingga terdapat perbedaan perilaku tersebut, dan apa konsep kebudayaan yang terkandung sehingga kedapatan bentuk perilaku yang berbeda itu.
[E2]Hlm.3 – dalam kasus ini, terkadang orang menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri. Faktor pendidikan memang selalu menjadi indikator utama dalam membentuk perilaku individu/kelompok. Masyarakat dengan tingkat pendidikan baik akan menggunakan model negosiasi (negotiation) untuk memecahkan perbedaan di antara mereka, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah akan menggunaka model aggression.
[E3]Teori ini pun sejalan dengan Klukholn, melalui term cultural universal, yakni adanya tujuh unsur budaya yang universal pada setiap masyarakat di dunia; teori yang kemudian dikembangkan juga oleh Koentjaraningrat tentang antropologi masyarakat di Indonesia.
[E4]Observasi terhadap pandangan umum. Dalam term penelitian sosial, common sense merupakan salah satu sumber kebenaran atau pengetahuan yang bisa dijadikan acuan ekspolrasi ilmiah. Kebenaran-kebenaran dalam common sense adalah kebenaran standard yang masih perlu diuji melalui penelitian ilmiah (science research method). Baca
[E5]Pada aspek perilaku, perang dan migrasi juga dapat membentuk suatu tipe perilaku masyarakat, seperti tampak dalam apa yang kerap disebut modeling, di mana seseorang akan berperilaku seperti orang/kelompok lain melalui cara meniru, atau karena kepadanya diperkenalkan cara perilaku tertentu.
[E6]Dalam hal belajar, orang bisa belajar dari pengalaman tertentu [di masa lampau] dan melihatnya sebagai perilaku yang membudaya. Akibatnya cenderung mengcopy perilaku lama itu menjadi perilaku komunitas yang baru [modeling].
[E7]Lht. Ruth Benedict, Patterns of Culture, New York: Houghton Mifflin (Paperback reprint, 1961)
[E8] Pertanyaan yang akan dikembangkan dalam tesis nanti adalah apakah perilaku pukul bini adalah juga given?
[E9]Aspek ini kemudian akan dikembankan dalam Tesis sebentar nanti untuk melihat motiv kebudayaan dalam perilaku individu/kelompok (informan dalam penelitian). Artinya, perilaku pukul bini, akan ditelusuri dari asumsi-asumsi kebudayaan sebagai bentuk primitive neurotics itu. Apakah perilaku ini telah ada dalam masyarakat Maluku di zaman lampau, dan mengapa masih ada dalam masyarakat dewasa ini.
[E10]Kadang pengalaman perilaku individu dibentuk oleh perilaku anggota keluarga lainnya. Umumnya kita mengidentikkan perilaku seorang anak dengan perilaku orang tuanya.
METAFORA-METAFORA KRISTOLOGIS
‘Son of God’ Dalam Diskusi "Grace" (Theology) dengan John Hicks
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Beta mencoba membangun diskusi ini dari sudut pandang ‘the historical Jesus’ atau Yesus Sejarah. Sebuah buku karya Ioanes Rakhmat pernah mengulas detail hal itu. Tentu tidak salah jika hal itu didiskusikan lebih lanjut. Untuk point ini, sebenarnya John Shelby Spong cukup radikal dalam penyampaian argumen akademis dan tafsir Kitab Suci, dengan perspektif yang cukup kritis dan terbuka. Untuk hal itu, beta pasti berusaha untuk mencoba melakukan studi kritik dari Spong secara khusus, dari beberapa referensi karya Spong yang diberikan kepada beta oleh Profesor John Titaley, seorang guru yang sangat telaten melatih kerangka berpikir kritis dalam teologi kristen di UKSW-Salatiga.
Ulasan apa adanya di sini coba beta kembangkan mengenai metafora-metafora Kristologi, hasil studi kritis John Hicks. Kebetulan ada beberapa bukunya yang beta miliki, termasuk “The Metaphor of God Incarnate”. Tetapi kebetulan buku itu ada di rumah di Karang Panjang (sekarang beta ada di rumah Kel. Hen Herwawan, yang ‘mengijinkan’ beta menempatinya di Halong). Buku yang baru sempat beta ‘angkut’ adalah karya Hicks juga, “A Christian Theology of Religions”, Lousville, Westminster John Knox Press, 1995. Pada halaman 93-95, terdapat ulasan kecil mengenai ‘Son of God’ – Anak Allah. Buku ini pun adalah pemberian seorang putra Seram, Izaak Y.M. Latu, MA, teolog muda yang sangat telaten dan patut diandalkan, dan kini adalah staf pengajar di Fakultas Teologi UKSW-Salatiga.
Dalam tiga halaman itu terdapat sebuah diskusi antara John Hicks dengan Grace (Grace sebenarnya adalah Teologi. Dalam buku ini Hicks menyusunnya sebagai semacam diskusi antara “Phil” (Philosophy) dan “Grace” (Theology) dengan dirinya sendiri “John”.
Pada pertanyaan-pertanyaan pokok, Grace misalnya bertanya kepada John, “anda sendiri turut mengembangkan ide mengenai Anak Allah’. Jawaban John di sini cukup menarik. Ia melihat “Anak Allah” sebagai sebuah gelar atau penyebutan umum yang di dalam masyarakat Timur Dekat Kuno, biasa dipakai sebagai gelar atributif kepada Raja dan Kaisar, atau juga para Leluhur, dan mereka biasanya disebut sebagai “Anak Allah” atau “manusia Ilahi” atau bahkan sebagai ‘tuhan” (gods).
Menurutnya pula, Yudhaisme malah menggunakan penyebutan ini secara khusus (Ibr. Bar e’nasa) untuk menyebut (1) Israel secara umum sebagai Anak Allah (Hosea 11:1). Para malaikat pun disebut sebagai Anak Allah (Ayub 38:7). Dan raja-raja Israel juga dihormati sebagai Anak Allah. Bahkan dalam penyebutan umum, seperti dalam Mazmur 2:7, “engkau adalah anakku, aku telah memperanakkan engkau pada hari ini”.
Namun, dalam penggunaan umum dewasa ini, sebutan “Anak Allah” itu adalah sebuah metafora. Coba perhatikan 2 Samuel 7:14, tersebut di sana Allah menyatakan “Aku akan menjadi Bapanya, dan dia akan menjadi anakKu”. Sebutan ini, menurut Hicks, adalah suatu penyebutan umum, yang tidak bisa dimengerti secara literer atau karena ada suatu ikatan biologis – seperti kita dengan anak biologis kita.
Sebagai sebuah metafora, bentuk-bentuk ungkapan seperti itu memperlihatkan bagaimana seseorang diposisikan atau mendapat justifikasi (religius) sebagai orang-orang yang ada dalam relasi atau misi khusus dari Tuhan sebagai figur Ilahi (deity).
Menurut Hicks, pemahaman “Anak Allah” dalam Yudhaisme seperti itu terus berlangsung sampai di zaman Yesus (Christ era). Misalnya dalam Injil Matius 1:1 – rujukan genealogis (keturunan secara biologis) dari Yesus dirunut dari Abraham. Sedangkan Lukas 3:38, lebih jauh ke belakang, yakni kepada Adam.
Jika kita mengikutinya dalam kerangka penulisan Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), maka cerita mengenai Adam (Penciptaan) dan Abraham (Leluhur) adalah sebuah mitologi yang disusun sedemikian rupa ketika suku-suku Israel berusaha memahami eksistensi mereka sebagai suatu liga yang besar. Daud, sebagai Raja yang bertindak mensistematisasi beragam tradisi lisan dalam masyarakat kala itu, telah menggunakan tradisi menulis untuk menyusun suatu cerita bersama (common story) dengan kepentingan ideologis untuk merekatkan sub-sub suku yang tersebar-sebar di daerah Trans-Jordan, agar menjadi suatu liga yang besar – sebagai cikal-bakal berdirinya Israel Raya (Dua buah buku Norman K. Gottwald, masing-masing: Hebrew Bible, dan The Politics of Ancient Israel, memberi kontribusi dalam hal itu, tetapi juga seri buku-bukunya Robert Coote, David Ord, dan Marry Coote, khususnya “Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab – terj. dari English edition “Power, Politics and Making of The Bible” oleh Minda Perangin-angin).
Kembali kepada diskusi “John” dan “Grace”. Karena itu menurut Hicks, sebutan Yesus Anak Allah adalah juga sebuah metafora yang dikenakan kepada Yesus oleh kelompok kristen perdana/gereja perdana. Jika kita menempatkannya dalam kerangka studi Kristologis, cara itu adalah bagian dari upaya gereja memberi citra Tuhan kepada Yesus. Kepadanya diberi ciri-ciri keilahian atau Yesus mengalami proses pentuhanan oleh gereja.
Sebab, seperti dilanjutkan Hicks, Yesus kemudian memanggil Allah sebagai Aba, dan mengajar murid-muridnya untuk melakukan hal yang sama. Sebagai tambahan, termasuk di dalamnya ketika Ia, menurut kesaksian penulis Injil Matius, mengajar mereka berdoa, dengan berkata “Bapa Kami yang di surga….” (Mat. 6:9-13). Yesus, masih menurut Injil Matius, bahkan berkata kepada murid-muridnya, begini: “…berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6). Di sini, seperti pendapat Hicks sebelumnya, Yesus ternyata menggunakan pola yang telah berlaku umum di dalam masyarakat Yahudi, bahwa Israel sendiri juga adalah Anak Allah.
Tidak ada dalam Injil ketika Yesus hanya mengklaim dirinya sebagai “Anak Allah”, dan menyatakan orang lain bukan sebagai “Anak Allah”. Pemahaman umat sebagai Anak Allah ternyata telah menjadi bentuk pemahaman umum dalam masyarakat Yahudi, karena itu semua orang selalu menggunakan carapandang itu.
Karena itu, pernyataan Hicks berikut ini menarik: “And in Jesus’ world to refer of him as ‘son of God’ did not imply that he was literally God’s son, with divine sperm entering his mother’s ovum at his conception – although the virgin birth story in Matthew and Luke does, at any rate to a modern reader, come perilously close to this. The term ‘son of God’ was not intended literally but as metaphor, indicating that he was close to God, open to God’s presence, doing God’s will. It was only later, in the different context of the Gentile world, that the familiar metaphor was transformed into a metaphysical doctrine” [beta sengaja tidak menterjemahkan kalimat itu, agar maksud dari Hicks bisa ditafsir secara pasti oleh setiap orang].
Menurut Hicks, dalam perkembangannya, termasuk sebagai bagian dari pengaruh Filsafat Yunani, dan dalam masa-masa kekristenan awal, penekanan pada transformasi metafora Anak Allah kepada Anak Allah dalam arti metafisik menjadi penting. Karena itu, Yesus dipahami kemudian sebagai subyek kedua dalam Trinitas, dan juga memiliki dua sifat sekaligus, yang satu manusia, dan lainnya Tuhan (lht. Rumusan konsili Chalcedon, 451).
Dan Hikcs mengaku tidak sejalan dengan pendapat gereja awal itu, sebab baginya “the fact that it was not taught by Jesus himself but is a creation of the church. You see, the realization that Jesus did not teach his own divinity is –“ demikian menurut Hicks.
Yesus bahkan mengajar murid-muridnya menyapa Allah sebagai Aba. Yang Yesus ajarkan adalah bagaimana mengasihi, melayani, membebaskan, memperlakukan orang secara setara tanpa melihat pada latat belakang sosial, suku, ras, etnis, bahasa, warna kulit, budak, orang merdeka. Ia ajarkan juga mengenai bagaimana berdoa, bagaimana bekerja yang jujur (seperti kritiknya terhadap Zakheus), dan bagaimana memperlakukan harta milik pribadi untuk juga melayani orang miskin. Ia mengajar juga tentang sikap hidup yang terbuka, termasuk bagaimana belajar memahami orang lain sebagai ‘sesama manusia’. (*)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Beta mencoba membangun diskusi ini dari sudut pandang ‘the historical Jesus’ atau Yesus Sejarah. Sebuah buku karya Ioanes Rakhmat pernah mengulas detail hal itu. Tentu tidak salah jika hal itu didiskusikan lebih lanjut. Untuk point ini, sebenarnya John Shelby Spong cukup radikal dalam penyampaian argumen akademis dan tafsir Kitab Suci, dengan perspektif yang cukup kritis dan terbuka. Untuk hal itu, beta pasti berusaha untuk mencoba melakukan studi kritik dari Spong secara khusus, dari beberapa referensi karya Spong yang diberikan kepada beta oleh Profesor John Titaley, seorang guru yang sangat telaten melatih kerangka berpikir kritis dalam teologi kristen di UKSW-Salatiga.
Ulasan apa adanya di sini coba beta kembangkan mengenai metafora-metafora Kristologi, hasil studi kritis John Hicks. Kebetulan ada beberapa bukunya yang beta miliki, termasuk “The Metaphor of God Incarnate”. Tetapi kebetulan buku itu ada di rumah di Karang Panjang (sekarang beta ada di rumah Kel. Hen Herwawan, yang ‘mengijinkan’ beta menempatinya di Halong). Buku yang baru sempat beta ‘angkut’ adalah karya Hicks juga, “A Christian Theology of Religions”, Lousville, Westminster John Knox Press, 1995. Pada halaman 93-95, terdapat ulasan kecil mengenai ‘Son of God’ – Anak Allah. Buku ini pun adalah pemberian seorang putra Seram, Izaak Y.M. Latu, MA, teolog muda yang sangat telaten dan patut diandalkan, dan kini adalah staf pengajar di Fakultas Teologi UKSW-Salatiga.
Dalam tiga halaman itu terdapat sebuah diskusi antara John Hicks dengan Grace (Grace sebenarnya adalah Teologi. Dalam buku ini Hicks menyusunnya sebagai semacam diskusi antara “Phil” (Philosophy) dan “Grace” (Theology) dengan dirinya sendiri “John”.
Pada pertanyaan-pertanyaan pokok, Grace misalnya bertanya kepada John, “anda sendiri turut mengembangkan ide mengenai Anak Allah’. Jawaban John di sini cukup menarik. Ia melihat “Anak Allah” sebagai sebuah gelar atau penyebutan umum yang di dalam masyarakat Timur Dekat Kuno, biasa dipakai sebagai gelar atributif kepada Raja dan Kaisar, atau juga para Leluhur, dan mereka biasanya disebut sebagai “Anak Allah” atau “manusia Ilahi” atau bahkan sebagai ‘tuhan” (gods).
Menurutnya pula, Yudhaisme malah menggunakan penyebutan ini secara khusus (Ibr. Bar e’nasa) untuk menyebut (1) Israel secara umum sebagai Anak Allah (Hosea 11:1). Para malaikat pun disebut sebagai Anak Allah (Ayub 38:7). Dan raja-raja Israel juga dihormati sebagai Anak Allah. Bahkan dalam penyebutan umum, seperti dalam Mazmur 2:7, “engkau adalah anakku, aku telah memperanakkan engkau pada hari ini”.
Namun, dalam penggunaan umum dewasa ini, sebutan “Anak Allah” itu adalah sebuah metafora. Coba perhatikan 2 Samuel 7:14, tersebut di sana Allah menyatakan “Aku akan menjadi Bapanya, dan dia akan menjadi anakKu”. Sebutan ini, menurut Hicks, adalah suatu penyebutan umum, yang tidak bisa dimengerti secara literer atau karena ada suatu ikatan biologis – seperti kita dengan anak biologis kita.
Sebagai sebuah metafora, bentuk-bentuk ungkapan seperti itu memperlihatkan bagaimana seseorang diposisikan atau mendapat justifikasi (religius) sebagai orang-orang yang ada dalam relasi atau misi khusus dari Tuhan sebagai figur Ilahi (deity).
Menurut Hicks, pemahaman “Anak Allah” dalam Yudhaisme seperti itu terus berlangsung sampai di zaman Yesus (Christ era). Misalnya dalam Injil Matius 1:1 – rujukan genealogis (keturunan secara biologis) dari Yesus dirunut dari Abraham. Sedangkan Lukas 3:38, lebih jauh ke belakang, yakni kepada Adam.
Jika kita mengikutinya dalam kerangka penulisan Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), maka cerita mengenai Adam (Penciptaan) dan Abraham (Leluhur) adalah sebuah mitologi yang disusun sedemikian rupa ketika suku-suku Israel berusaha memahami eksistensi mereka sebagai suatu liga yang besar. Daud, sebagai Raja yang bertindak mensistematisasi beragam tradisi lisan dalam masyarakat kala itu, telah menggunakan tradisi menulis untuk menyusun suatu cerita bersama (common story) dengan kepentingan ideologis untuk merekatkan sub-sub suku yang tersebar-sebar di daerah Trans-Jordan, agar menjadi suatu liga yang besar – sebagai cikal-bakal berdirinya Israel Raya (Dua buah buku Norman K. Gottwald, masing-masing: Hebrew Bible, dan The Politics of Ancient Israel, memberi kontribusi dalam hal itu, tetapi juga seri buku-bukunya Robert Coote, David Ord, dan Marry Coote, khususnya “Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab – terj. dari English edition “Power, Politics and Making of The Bible” oleh Minda Perangin-angin).
Kembali kepada diskusi “John” dan “Grace”. Karena itu menurut Hicks, sebutan Yesus Anak Allah adalah juga sebuah metafora yang dikenakan kepada Yesus oleh kelompok kristen perdana/gereja perdana. Jika kita menempatkannya dalam kerangka studi Kristologis, cara itu adalah bagian dari upaya gereja memberi citra Tuhan kepada Yesus. Kepadanya diberi ciri-ciri keilahian atau Yesus mengalami proses pentuhanan oleh gereja.
Sebab, seperti dilanjutkan Hicks, Yesus kemudian memanggil Allah sebagai Aba, dan mengajar murid-muridnya untuk melakukan hal yang sama. Sebagai tambahan, termasuk di dalamnya ketika Ia, menurut kesaksian penulis Injil Matius, mengajar mereka berdoa, dengan berkata “Bapa Kami yang di surga….” (Mat. 6:9-13). Yesus, masih menurut Injil Matius, bahkan berkata kepada murid-muridnya, begini: “…berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6). Di sini, seperti pendapat Hicks sebelumnya, Yesus ternyata menggunakan pola yang telah berlaku umum di dalam masyarakat Yahudi, bahwa Israel sendiri juga adalah Anak Allah.
Tidak ada dalam Injil ketika Yesus hanya mengklaim dirinya sebagai “Anak Allah”, dan menyatakan orang lain bukan sebagai “Anak Allah”. Pemahaman umat sebagai Anak Allah ternyata telah menjadi bentuk pemahaman umum dalam masyarakat Yahudi, karena itu semua orang selalu menggunakan carapandang itu.
Karena itu, pernyataan Hicks berikut ini menarik: “And in Jesus’ world to refer of him as ‘son of God’ did not imply that he was literally God’s son, with divine sperm entering his mother’s ovum at his conception – although the virgin birth story in Matthew and Luke does, at any rate to a modern reader, come perilously close to this. The term ‘son of God’ was not intended literally but as metaphor, indicating that he was close to God, open to God’s presence, doing God’s will. It was only later, in the different context of the Gentile world, that the familiar metaphor was transformed into a metaphysical doctrine” [beta sengaja tidak menterjemahkan kalimat itu, agar maksud dari Hicks bisa ditafsir secara pasti oleh setiap orang].
Menurut Hicks, dalam perkembangannya, termasuk sebagai bagian dari pengaruh Filsafat Yunani, dan dalam masa-masa kekristenan awal, penekanan pada transformasi metafora Anak Allah kepada Anak Allah dalam arti metafisik menjadi penting. Karena itu, Yesus dipahami kemudian sebagai subyek kedua dalam Trinitas, dan juga memiliki dua sifat sekaligus, yang satu manusia, dan lainnya Tuhan (lht. Rumusan konsili Chalcedon, 451).
Dan Hikcs mengaku tidak sejalan dengan pendapat gereja awal itu, sebab baginya “the fact that it was not taught by Jesus himself but is a creation of the church. You see, the realization that Jesus did not teach his own divinity is –“ demikian menurut Hicks.
Yesus bahkan mengajar murid-muridnya menyapa Allah sebagai Aba. Yang Yesus ajarkan adalah bagaimana mengasihi, melayani, membebaskan, memperlakukan orang secara setara tanpa melihat pada latat belakang sosial, suku, ras, etnis, bahasa, warna kulit, budak, orang merdeka. Ia ajarkan juga mengenai bagaimana berdoa, bagaimana bekerja yang jujur (seperti kritiknya terhadap Zakheus), dan bagaimana memperlakukan harta milik pribadi untuk juga melayani orang miskin. Ia mengajar juga tentang sikap hidup yang terbuka, termasuk bagaimana belajar memahami orang lain sebagai ‘sesama manusia’. (*)
Saturday, December 13, 2008
Natal :
Masalah Nilai dalam Kerangka Filsafat Proses
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Ada satu ulasan ringkas dari John B. Cobb, Jr., Professor Teologi di Claremont School of Theology, Claremont, California, dalam http://www.religion-online.org, dengan judul “Whitehead’s Theory of Value”. Beta membacanya dalam rangka mencari-cari, kira-kira bagaimana mengkhotbahkan masalah ‘nilai Natal’. Sebenarnya itu pun iseng, yah…kebetulan saja, pada saat menulis Tesis di UKSW-Salatiga (tahun 2000), beta ‘taika’ (tertarik) dengan kerangka Teologi Proses (TP) yang dikembangkan John B. Cobb, yang ternyata berlandas pada Filsafat Proses (FP) gurunya, Alfred North Whitehead.
Apa sumbangan TP dalam memahami ‘nilai natal?” Meminjam term-nya Cobb, beta lalu bertanya, apakah kelahiran Yesus itu sendiri adalah ‘the subject aim’ Allah? Atau sesungguhnya ‘initial aim’ dari penulis-penulis Kristen – yang berkepentingan dengan pentuhanan Yesus di masa-masa kekristenan mulai membentuk (lht. Tulisan beta yang lain dlm bulan ini “Asimilasi dan Konfrontasi”, untuk mendapat gambaran ttg bagaimana realitas yang dihadapi Kristen dalam kekaisaran Romawi – jika memang titik acuan penulisan Teks Perjanjian Baru harus menjadi referensi kita bersama).
Sebab jika kelahiran Yesus dimaknai sebagai ‘the subject aim’-nya TUHAN, berarti karyanya selama hidup adalah ‘the daily activity’ yang dilakukan untuk mengarah kepada ‘the initial aim’ TUHAN. Apakah ‘initial aim’ TUHAN? Keselamatan, dalam bentuk kesejahteraan, keadilan, kebenaran, kesetaraan, kepedulian sosial, kepada manusia. Bukankah itu yang Yesus sendiri nyatakan, seperti dalam Matius 11:2-6; 25:35-40; Lukas 4:18,19, dll.
Tetapi jika itu adalah ‘the initial aim’ dari penulis-penulis Kristen, maka ‘pentuhanan Yesus’ adalah suatu provokasi injil yang cukup penting kala itu. Mereka, dan kekristenan perdana, merasa perlu menarasikan cerita tentang Yesus (Jesus story) sehingga sang Yesus itu diterima sebagai Tuhan yang menyejarah (the historical Jesus). Artinya, ‘daily activity’ yang dilakukan Yesus (the deeds), adalah perbuatan-perbuatan yang mengarah pada pentuhanan itu sendiri. Makanya, mengapa kisah kelahiranNya dipoles sedemikian rupa sehingga berbeda dari kelahiran orang kebanyakan lainnya, termasuk misalnya dari Ishak (lht. Tulisan beta yang lain, berjudul “Tuhan Vs Tuhan”).
Beta sendiri tidak mau mengambil keputusan dari dua kondisi itu. Karena itu, beta sengaja menelusuri lagi apa yang ada di dasar FP sebagai jalan tengah (middle way) untuk memahami ‘nilai natal’ itu sendiri.
Whitehead dan “Value”
Bagi Whitehead, sebuah nilai tidak bisa dilepaskan dari suatu subyek, karena subyek itu secara intrinsik menentukan nilai. Subyek itu bermakna di dalam dan untuk dirinya. Sebaliknya obyek itu eksis karena ditentukan oleh sesuatu yang lain. Ia memiliki nilai instrumental yang semata-mata ditentukan oleh subyek.
Beberapa pemikiran pokok Whitehead di sini, bahwa:
Pertama, nilai [subyektifitas] itu hanya bisa ditemui dalam pengalaman manusia, karena pengalaman menyediakan serangkaian aspek dari subyektifitas itu. Bertumpu pada pengalaman, maka subyektifitas itu mengandung ‘receptivity’ dan ‘activity’. Di sini Whitehead menekankan kedua-duanya penting, sehingga subyek baginya adalah subyek yang bertindak dan terkena imbasan dari tindakannya [atau subyek] lain. Artinya, relasi antar-subyek, sebagai bentuk komunalitas dari pengalaman, memposisikan subyek pada dua kondisi tersebut.
Sebenarnya, ini juga yang membuat manusia menjadi [sangat] berbeda dari binatang atau makhluk lainnya. Secara psikologis, seperti juga Freud, kebedaan itu terletak pada suatu kecenderungan perilaku yang disebut ‘kesadaran’ (consciousness). Whitehead memahami baha dengan kesadaran itu, setiap entitas yang aktual memiliki karakter yang subyektif. Tetapi ia tidak bermaksud membatasi atau mendefenisikan subyektifitas itu pada kesadaran subyektif. Baginya, kesadaran muncul, hanya ketika dalam pengalaman, manusia berjumpa dengan beragam kompleksitas yang terjadi/pasti, suatu kompleksitas yang mungkin juga menggerakkan sistem pusat saraf, seperti tampak dalam ‘kegelisahan’ [kepekaan]. Karena itu, pengalamanlah, menurut Whitehead, yang selalu mengembangkan nilai.
Di sini ia agak berbeda dengan filusuf naturalistik lain, dengan menekankan bahwa subyektifitas itu adalah kejadian-kejadian sub-atomik di mana molekul-molekul itu secara berangsur-angsur terbentuk hingga menjadi sempurna (ultimately constituted).
Kedua, penekanan tidak saja pada event (serangkaian peristiwa) ketimbang substansi. Dalam filsafat Barat, dunia ini tersusun atas substansi dan atribusinya. Ia mengandung kekuatan atom yang hampir tidak berubah dan memproduksi sesuau yang lain melalui gerakan relatif ke yang lain. Whitehead menolak anggapan ini baik secara filosofis maupun fisik. Baginya, usaha filosofis untuk mengarah ke substansi, akan kolapse sebelum waktunya. Makanya filusuf beralih pada fenomena.
Whitehead percaya bahwa situasi ini cukup membingungkan. Ada solusi yang ditawarkannya: mengapa kita tidak melihat pada peristiwa-peristiwa yang menyusun setiap pengalaman itu sendiri. Pengalaman manusia adalah suatu peristiwa, dan juga suatu pergeseran quantum. Bahkan dalam masyarakat, serangkaian peristiwa juga memberi bentuk pada sesuatu pengalaman dalam jangka waktu yang panjang.
Ketiga, lalu bagaimana dengan nilai? Whitehead tidak sependapat dengan sebagian orang yang memberi nilai atributif pada segala sesuatu, karena bukan urusan kita untuk mencoba mendefenisikan perbedaan antara satu unsur dengan lainnya, entah setiap unsur itu memiliki nilai yang sama atau tidak. Di sini Whitehead berbicara mengenai ‘gradasi nilai’ (perkembangan nilai).
Suatu nilai yang telah dirumuskan oleh seseorang, di suatu waktu dapat dikembangkan oleh pengikutnya. Di sini masalah hermeneutika menjadi kunci secara metodologi. Ini menjadi semacam ‘kebiasaan’ dalam tradisi beragama. Karena itu, persoalan kita bukan dengan nilai orisinil, tetapi bagaimana nilai itu sendiri terhubung dengan subyek [yang bernilai].
Berikutnya, dunia ini adalah juga sesuatu entitas fisik. Artinya, gradasi nilai akan sangat ditentukan oleh bagaimana subyek itu berada di dalam alam fisik. Pendapat ini membuat Whitehead sebenarnya tidak bebas dari pengaruh filsafat naturalisme. Point pemikiran ini yang menunjukkan bahwa masalah ‘bernilai’ tidaknya suatu subyek, turut ditentukan oleh lingkungan fisik/lingkungan sosial di mana ia berada. Dimensi ‘event’ dalam pengalaman tadi yang memberi kepada peristiwa dan subyek itu suatu nilai.
Aspek yang tidak kalah penting dalam gradasi nilai itu adalah kesempatan (occasion) di dalam hidup. Ini yang dalam TP dikembangkan Cobb dalam ‘daily activity’ atau ‘occasion’ itu sendiri.
Artinya dalam hal itu ada serangkaian tindakan yang dilakukan. Menariknya ialah di dalam kesempatan itu, semua tindakan diarahkan untuk mencapai tingkatan yang tertinggi (prestasi) di dalam bingkai ‘order’. Ini juga yang dalam TP makanya Cobb mengatakan bahwa dosa itu terjadi ketika manusia keluar dari tatanan order yang sedang dijalaninya, termasuk ‘order’ agama. Tindakan manusia setiap hari hanya mencapai apa yang disebutnya ‘subject aim’. Tuhan yang menggerakkannya atau menemaninya dalam perkembangan tindakannya agar mereka mencapai ‘initial aim’. Initial aim itu yang dikontrol oleh Tuhan – Tuhan tidak mengendalikan manusia ibarat robot, karena itu aspek kesadaran tadi penting.
Nah, dalam mencapai ‘subject aim’ dari waktu ke waktu mengarah ke ‘initial aim’, kalau manusia keluar dari jalur itu, atau mengalami bias, itu yang disebut dosa. Artinya, dosa ialah ketika manusia keluar dari jalur tujuan ideal yang sedang dijalani dan dikontrol oleh Tuhan. Manusia lepas kendali.
Sampai di situ dulu, tentang pemahaman nilai dalam FP-nya Whitehead.
Natal: event in human experience
Lalu bagaimana dengan Natal? Di sini soalnya. Hermeneutika gereja selalu melihat pada Natal sebagai lahirnya Yesus. Lokusnya di Betlehem. Tepatnya, bayi Yesus lahir di kandang domba, berselimutkan lampin dan dibaringkan di dalam palungan.
Subyek yang bernilai di situ adalah Yesus, dalam relasinya dengan Maria, sang ibu, dan Yusuf, sang bapak. Jika kita memakai kerangka TP tadi, nilai intrinsiknya ada pada Yesus dan Maria. Yusuf adalah subyek yang ternyata bernilai secara atributif. Di sini masalah subyek di dalam cerita Natal itu.
Yusuf bahkan tidak bisa mempledoid perintah ‘mengawini Maria’, padahal untuk tidak mencemarkan nama tunangannya, ia hendak menceraikannya secara diam-diam. Teks Matius 1:20 membuat Yusuf mengurungkan tindakannya itu. Menariknya ialah ungkapan ‘jangan takut’ (do not be fear) muncul sebagai pengantar sebuah pesan baru. Ungkapan ini kalau di hitung-hitung, disampaikan Malaikat kepada Maria, untuk memberitahu bahwa dia akan mengandung ‘oleh Roh Kudus’. Demikian pun kepada para gembala untuk mengatakan kelahiran sang Yesus.
Malaikat sebagai subyek [transhistoris] selalu tampil dan membuat subyek-subyek historis itu terperangkap dalam kebingungan tersendiri; lalu harus mengambil keputusan tertentu.
Maria, pada saat mendengar ‘pemberitahuan’ Malaikat, hanya bisa berkata ‘sesungguhnya aku ini hanyalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk.2:38).
Begitupun Yusuf, malah tidak bersuara – tidak seperti tokoh laki-laki lainnya dalam Alkitab – langsung mengambil Maria sebagai istri (mengawini), dan wajib menamai bayi itu Yesus (Mat.1:21); nama yang juga ‘diperintahkan’ kepadanya. Keputusan Yusuf yang berikut, sebagai dampak dari tindakan tadi, adalah ‘tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirka anaknya laki-laki’ (Mat. 1:25).
Begitupun para gembala, kepada mereka diberitahukan kelahiran Yesus disertai dengan tanda: bayi yang dibungkus dengan lampin, dan dibaringkan di dalam palungan.
Ternyata subyek-subyek ini mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan yang cukup kompleks. Dalam kerangka FP, peristiwa itu mengarah pada gradasi nilai dari sebuah peristiwa kelahiran Yesus. Gradasinya terjadi dalam konteks setiap subyek digerakkan oleh suatu order agama, yang sengaja dipakai para penulis Perjanjian Baru.
Tujuannya adalah agar subyek-subyek itu dipandang sebagai subyek-subyek yang bergerak di dalam order, tidak keluar darinya. Di sini tidak terkesan adanya dilemma. Kecuali Yusuf, tetapi dilemma personalnya itu cepat teratasi menyusul perintah baru yang diterimanya. Kita bisa melihat di sini bagaimana penulis Perjanjian Baru membangun cerita yang mengesankan bahwa kesadaran Yusuf itu terbentuk langsung karena adanya pergulatan di dalam bathinnya, dihadapkan pada perintah yang bersumber pada order agama tadi.
Kepentingan beta adalah melihat bagaimana suatu order itu bisa membentuk dan bahkan memaksa manusia/subyek untuk bertindak di dalam lingkungan di mana ia hidup. Karena itu, jika natal kita lihat sebagai suatu peristiwa (event), pertanda natal itu terus menyajikan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang selalu bermuara pada ‘bagaimana ketika Tuhan menjadi manusia?”
Beta kira sampai di situ dulu, sebab beta harus melakukan ‘daily activity’ dalam kerangka pencarian nilai natal itu. Nanti baru disambung lagi.
Tetapi ada pertanyaan baru yang mungkin perlu dikaji lagi: jika Markus adalah injil yang tertua, mengapa Markus tidak memproduksi satu pun cerita tentang kelahiran Yesus? Teori biblika akan mengatakan, Matius dan Lukas yang kemudian mengembangkan cerita Markus. Masih memakai pendapat Whitehead, kalau benar mereka mengembangkannya (gradasi nilai), berarti cerita kelahiran Yesus itu adalah cerita baru, yang tidak ada dalam sumber Quele (Q). Tetapi teologi tidak akan melihat ke situ. Demikian pun hermeneutika. Yang dilihat teologi dan hermeneutika adalah ‘gradasi’ suatu peristiwa mengantar kita masuk pada narasi. Narasi mengantar kita masuk ke teks. Teks mengantar kita masuk ke dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial itu sarat pengalaman faktual. Yang faktual itu kemudian diabstraksikan dalam narasi, dan terus dikaji, ditafsir, dan bahkan dihitung. (*)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Ada satu ulasan ringkas dari John B. Cobb, Jr., Professor Teologi di Claremont School of Theology, Claremont, California, dalam http://www.religion-online.org, dengan judul “Whitehead’s Theory of Value”. Beta membacanya dalam rangka mencari-cari, kira-kira bagaimana mengkhotbahkan masalah ‘nilai Natal’. Sebenarnya itu pun iseng, yah…kebetulan saja, pada saat menulis Tesis di UKSW-Salatiga (tahun 2000), beta ‘taika’ (tertarik) dengan kerangka Teologi Proses (TP) yang dikembangkan John B. Cobb, yang ternyata berlandas pada Filsafat Proses (FP) gurunya, Alfred North Whitehead.
Apa sumbangan TP dalam memahami ‘nilai natal?” Meminjam term-nya Cobb, beta lalu bertanya, apakah kelahiran Yesus itu sendiri adalah ‘the subject aim’ Allah? Atau sesungguhnya ‘initial aim’ dari penulis-penulis Kristen – yang berkepentingan dengan pentuhanan Yesus di masa-masa kekristenan mulai membentuk (lht. Tulisan beta yang lain dlm bulan ini “Asimilasi dan Konfrontasi”, untuk mendapat gambaran ttg bagaimana realitas yang dihadapi Kristen dalam kekaisaran Romawi – jika memang titik acuan penulisan Teks Perjanjian Baru harus menjadi referensi kita bersama).
Sebab jika kelahiran Yesus dimaknai sebagai ‘the subject aim’-nya TUHAN, berarti karyanya selama hidup adalah ‘the daily activity’ yang dilakukan untuk mengarah kepada ‘the initial aim’ TUHAN. Apakah ‘initial aim’ TUHAN? Keselamatan, dalam bentuk kesejahteraan, keadilan, kebenaran, kesetaraan, kepedulian sosial, kepada manusia. Bukankah itu yang Yesus sendiri nyatakan, seperti dalam Matius 11:2-6; 25:35-40; Lukas 4:18,19, dll.
Tetapi jika itu adalah ‘the initial aim’ dari penulis-penulis Kristen, maka ‘pentuhanan Yesus’ adalah suatu provokasi injil yang cukup penting kala itu. Mereka, dan kekristenan perdana, merasa perlu menarasikan cerita tentang Yesus (Jesus story) sehingga sang Yesus itu diterima sebagai Tuhan yang menyejarah (the historical Jesus). Artinya, ‘daily activity’ yang dilakukan Yesus (the deeds), adalah perbuatan-perbuatan yang mengarah pada pentuhanan itu sendiri. Makanya, mengapa kisah kelahiranNya dipoles sedemikian rupa sehingga berbeda dari kelahiran orang kebanyakan lainnya, termasuk misalnya dari Ishak (lht. Tulisan beta yang lain, berjudul “Tuhan Vs Tuhan”).
Beta sendiri tidak mau mengambil keputusan dari dua kondisi itu. Karena itu, beta sengaja menelusuri lagi apa yang ada di dasar FP sebagai jalan tengah (middle way) untuk memahami ‘nilai natal’ itu sendiri.
Whitehead dan “Value”
Bagi Whitehead, sebuah nilai tidak bisa dilepaskan dari suatu subyek, karena subyek itu secara intrinsik menentukan nilai. Subyek itu bermakna di dalam dan untuk dirinya. Sebaliknya obyek itu eksis karena ditentukan oleh sesuatu yang lain. Ia memiliki nilai instrumental yang semata-mata ditentukan oleh subyek.
Beberapa pemikiran pokok Whitehead di sini, bahwa:
Pertama, nilai [subyektifitas] itu hanya bisa ditemui dalam pengalaman manusia, karena pengalaman menyediakan serangkaian aspek dari subyektifitas itu. Bertumpu pada pengalaman, maka subyektifitas itu mengandung ‘receptivity’ dan ‘activity’. Di sini Whitehead menekankan kedua-duanya penting, sehingga subyek baginya adalah subyek yang bertindak dan terkena imbasan dari tindakannya [atau subyek] lain. Artinya, relasi antar-subyek, sebagai bentuk komunalitas dari pengalaman, memposisikan subyek pada dua kondisi tersebut.
Sebenarnya, ini juga yang membuat manusia menjadi [sangat] berbeda dari binatang atau makhluk lainnya. Secara psikologis, seperti juga Freud, kebedaan itu terletak pada suatu kecenderungan perilaku yang disebut ‘kesadaran’ (consciousness). Whitehead memahami baha dengan kesadaran itu, setiap entitas yang aktual memiliki karakter yang subyektif. Tetapi ia tidak bermaksud membatasi atau mendefenisikan subyektifitas itu pada kesadaran subyektif. Baginya, kesadaran muncul, hanya ketika dalam pengalaman, manusia berjumpa dengan beragam kompleksitas yang terjadi/pasti, suatu kompleksitas yang mungkin juga menggerakkan sistem pusat saraf, seperti tampak dalam ‘kegelisahan’ [kepekaan]. Karena itu, pengalamanlah, menurut Whitehead, yang selalu mengembangkan nilai.
Di sini ia agak berbeda dengan filusuf naturalistik lain, dengan menekankan bahwa subyektifitas itu adalah kejadian-kejadian sub-atomik di mana molekul-molekul itu secara berangsur-angsur terbentuk hingga menjadi sempurna (ultimately constituted).
Kedua, penekanan tidak saja pada event (serangkaian peristiwa) ketimbang substansi. Dalam filsafat Barat, dunia ini tersusun atas substansi dan atribusinya. Ia mengandung kekuatan atom yang hampir tidak berubah dan memproduksi sesuau yang lain melalui gerakan relatif ke yang lain. Whitehead menolak anggapan ini baik secara filosofis maupun fisik. Baginya, usaha filosofis untuk mengarah ke substansi, akan kolapse sebelum waktunya. Makanya filusuf beralih pada fenomena.
Whitehead percaya bahwa situasi ini cukup membingungkan. Ada solusi yang ditawarkannya: mengapa kita tidak melihat pada peristiwa-peristiwa yang menyusun setiap pengalaman itu sendiri. Pengalaman manusia adalah suatu peristiwa, dan juga suatu pergeseran quantum. Bahkan dalam masyarakat, serangkaian peristiwa juga memberi bentuk pada sesuatu pengalaman dalam jangka waktu yang panjang.
Ketiga, lalu bagaimana dengan nilai? Whitehead tidak sependapat dengan sebagian orang yang memberi nilai atributif pada segala sesuatu, karena bukan urusan kita untuk mencoba mendefenisikan perbedaan antara satu unsur dengan lainnya, entah setiap unsur itu memiliki nilai yang sama atau tidak. Di sini Whitehead berbicara mengenai ‘gradasi nilai’ (perkembangan nilai).
Suatu nilai yang telah dirumuskan oleh seseorang, di suatu waktu dapat dikembangkan oleh pengikutnya. Di sini masalah hermeneutika menjadi kunci secara metodologi. Ini menjadi semacam ‘kebiasaan’ dalam tradisi beragama. Karena itu, persoalan kita bukan dengan nilai orisinil, tetapi bagaimana nilai itu sendiri terhubung dengan subyek [yang bernilai].
Berikutnya, dunia ini adalah juga sesuatu entitas fisik. Artinya, gradasi nilai akan sangat ditentukan oleh bagaimana subyek itu berada di dalam alam fisik. Pendapat ini membuat Whitehead sebenarnya tidak bebas dari pengaruh filsafat naturalisme. Point pemikiran ini yang menunjukkan bahwa masalah ‘bernilai’ tidaknya suatu subyek, turut ditentukan oleh lingkungan fisik/lingkungan sosial di mana ia berada. Dimensi ‘event’ dalam pengalaman tadi yang memberi kepada peristiwa dan subyek itu suatu nilai.
Aspek yang tidak kalah penting dalam gradasi nilai itu adalah kesempatan (occasion) di dalam hidup. Ini yang dalam TP dikembangkan Cobb dalam ‘daily activity’ atau ‘occasion’ itu sendiri.
Artinya dalam hal itu ada serangkaian tindakan yang dilakukan. Menariknya ialah di dalam kesempatan itu, semua tindakan diarahkan untuk mencapai tingkatan yang tertinggi (prestasi) di dalam bingkai ‘order’. Ini juga yang dalam TP makanya Cobb mengatakan bahwa dosa itu terjadi ketika manusia keluar dari tatanan order yang sedang dijalaninya, termasuk ‘order’ agama. Tindakan manusia setiap hari hanya mencapai apa yang disebutnya ‘subject aim’. Tuhan yang menggerakkannya atau menemaninya dalam perkembangan tindakannya agar mereka mencapai ‘initial aim’. Initial aim itu yang dikontrol oleh Tuhan – Tuhan tidak mengendalikan manusia ibarat robot, karena itu aspek kesadaran tadi penting.
Nah, dalam mencapai ‘subject aim’ dari waktu ke waktu mengarah ke ‘initial aim’, kalau manusia keluar dari jalur itu, atau mengalami bias, itu yang disebut dosa. Artinya, dosa ialah ketika manusia keluar dari jalur tujuan ideal yang sedang dijalani dan dikontrol oleh Tuhan. Manusia lepas kendali.
Sampai di situ dulu, tentang pemahaman nilai dalam FP-nya Whitehead.
Natal: event in human experience
Lalu bagaimana dengan Natal? Di sini soalnya. Hermeneutika gereja selalu melihat pada Natal sebagai lahirnya Yesus. Lokusnya di Betlehem. Tepatnya, bayi Yesus lahir di kandang domba, berselimutkan lampin dan dibaringkan di dalam palungan.
Subyek yang bernilai di situ adalah Yesus, dalam relasinya dengan Maria, sang ibu, dan Yusuf, sang bapak. Jika kita memakai kerangka TP tadi, nilai intrinsiknya ada pada Yesus dan Maria. Yusuf adalah subyek yang ternyata bernilai secara atributif. Di sini masalah subyek di dalam cerita Natal itu.
Yusuf bahkan tidak bisa mempledoid perintah ‘mengawini Maria’, padahal untuk tidak mencemarkan nama tunangannya, ia hendak menceraikannya secara diam-diam. Teks Matius 1:20 membuat Yusuf mengurungkan tindakannya itu. Menariknya ialah ungkapan ‘jangan takut’ (do not be fear) muncul sebagai pengantar sebuah pesan baru. Ungkapan ini kalau di hitung-hitung, disampaikan Malaikat kepada Maria, untuk memberitahu bahwa dia akan mengandung ‘oleh Roh Kudus’. Demikian pun kepada para gembala untuk mengatakan kelahiran sang Yesus.
Malaikat sebagai subyek [transhistoris] selalu tampil dan membuat subyek-subyek historis itu terperangkap dalam kebingungan tersendiri; lalu harus mengambil keputusan tertentu.
Maria, pada saat mendengar ‘pemberitahuan’ Malaikat, hanya bisa berkata ‘sesungguhnya aku ini hanyalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk.2:38).
Begitupun Yusuf, malah tidak bersuara – tidak seperti tokoh laki-laki lainnya dalam Alkitab – langsung mengambil Maria sebagai istri (mengawini), dan wajib menamai bayi itu Yesus (Mat.1:21); nama yang juga ‘diperintahkan’ kepadanya. Keputusan Yusuf yang berikut, sebagai dampak dari tindakan tadi, adalah ‘tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirka anaknya laki-laki’ (Mat. 1:25).
Begitupun para gembala, kepada mereka diberitahukan kelahiran Yesus disertai dengan tanda: bayi yang dibungkus dengan lampin, dan dibaringkan di dalam palungan.
Ternyata subyek-subyek ini mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan yang cukup kompleks. Dalam kerangka FP, peristiwa itu mengarah pada gradasi nilai dari sebuah peristiwa kelahiran Yesus. Gradasinya terjadi dalam konteks setiap subyek digerakkan oleh suatu order agama, yang sengaja dipakai para penulis Perjanjian Baru.
Tujuannya adalah agar subyek-subyek itu dipandang sebagai subyek-subyek yang bergerak di dalam order, tidak keluar darinya. Di sini tidak terkesan adanya dilemma. Kecuali Yusuf, tetapi dilemma personalnya itu cepat teratasi menyusul perintah baru yang diterimanya. Kita bisa melihat di sini bagaimana penulis Perjanjian Baru membangun cerita yang mengesankan bahwa kesadaran Yusuf itu terbentuk langsung karena adanya pergulatan di dalam bathinnya, dihadapkan pada perintah yang bersumber pada order agama tadi.
Kepentingan beta adalah melihat bagaimana suatu order itu bisa membentuk dan bahkan memaksa manusia/subyek untuk bertindak di dalam lingkungan di mana ia hidup. Karena itu, jika natal kita lihat sebagai suatu peristiwa (event), pertanda natal itu terus menyajikan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang selalu bermuara pada ‘bagaimana ketika Tuhan menjadi manusia?”
Beta kira sampai di situ dulu, sebab beta harus melakukan ‘daily activity’ dalam kerangka pencarian nilai natal itu. Nanti baru disambung lagi.
Tetapi ada pertanyaan baru yang mungkin perlu dikaji lagi: jika Markus adalah injil yang tertua, mengapa Markus tidak memproduksi satu pun cerita tentang kelahiran Yesus? Teori biblika akan mengatakan, Matius dan Lukas yang kemudian mengembangkan cerita Markus. Masih memakai pendapat Whitehead, kalau benar mereka mengembangkannya (gradasi nilai), berarti cerita kelahiran Yesus itu adalah cerita baru, yang tidak ada dalam sumber Quele (Q). Tetapi teologi tidak akan melihat ke situ. Demikian pun hermeneutika. Yang dilihat teologi dan hermeneutika adalah ‘gradasi’ suatu peristiwa mengantar kita masuk pada narasi. Narasi mengantar kita masuk ke teks. Teks mengantar kita masuk ke dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial itu sarat pengalaman faktual. Yang faktual itu kemudian diabstraksikan dalam narasi, dan terus dikaji, ditafsir, dan bahkan dihitung. (*)
Psikologi Massa
Sebagai Kerangka Mengenal Karakter Massa
Elifas Tomix Maspaitella
0. Pengantar
Saya sebenarnya hendak membuat semacam pokok-pokok pikiran, sebagai garis besar untuk didiskusikan, tetapi saya merasa akan adanya kesenjangan tertentu, karena saya sendiri hendak belajar banyak tentang pokok ini, terutama dalam rangka semakin mendalami karakter orang lain, dalam posisi sebagai partner komunikasi yang setiap waktu kita jumpai.
Tetapi agar tidak terlalu berbelit-belit, saya mulai saja dari semacam teori dasar yang selalu menjadi sudut pandang saya dalam memahami masalah psikologi massa itu sendiri.[1]
1. Perspektif Psikologis
Psikologi massa, atau psikologi sosial, harus ditempatkan dalam ranah komunikasi massa, dan karena itu sebetulnya gejala psikologis dalam komunikasi itu agak dangkal atau sporadis, jika komunikasi itu kita pahami sebagai sesuatu yang terjadi secara otomatis begitu saja [ibarat hanya sekedar berbicara].
Tetapi jika komunikasi itu kita pahami sebagai proses transformasi atau sharing pesan (message), maka gejala psikologisnya akan sangat mendalam, sebab kita sebetulnya sedang berhadapan dengan orang yang berkarakter tertentu, dan karakternya itu dibentuk oleh carapandangnya, atau tujuan-tujuan standard (subject aim) yang ia miliki atau juga adanya tujuan-tujuan ‘titipan’, yang sebenarnya dimiliki oleh orang atau institusi lain.
Karena itu, teori S-R (Stimulus-Respons) memainkan peran penting dalam hal ini. Artinya bahwa tindak komunikasi massa terjadi karena adanya suatu rangsangan (stimuli), dan pesannya itu tersampaikan atau diterima karena adanya respons atau tanggapan.
Jadi ada suatu proses ‘kesalingan’ dalam berkomunikasi, dan hal ‘kesalingan’ itu terjadi karena pihak pemberi stimuli menyampaikan materi atau pesannya secara tepat [dengan bahasa yang bisa dimengerti, dan simbol yang menyentuh], serta si penerima pesan memberi respons yang memadai [bisa negatif, dalam arti menolak atau juga positif, dalam arti menerima].
1.1. Stimulus dan Respons
Memahami dua hal ini adalah sama halnya dengan memahami manusia secara utuh. Rata-rata dalam teori psikologi behaviorisme, seperti dianut Skinner, manusia terbatas dalam berhubungan dengan lingkungan dan sesamanya. Keterbatasan itu diakibatkan karena secara fisiologis, kita hanya memiliki lima alat indra,– penglihatan (mata), pendengaran (telinga), penciuman (hidung), perabaan (kulit), dan perasa (lidah). Panca indra itu merupakan satu kesatuan dalam menangkap setiap stimuli yang sifatnya memberi data untuk menjelaskan suatu perilaku manusia. Jadi adanya S-R itu tidak bisa dimengerti sebatas apa yang kita tangkap dengan indra itu, melainkan jauh lebih mendalam dan komprehensif. Yaitu kita harus melibatkan kemampuan kognitif (pemikiran, thought) dalam memahami setiap pesan stimuli.
Stimuli akan membawa kita pada adanya suatu obyek perangsang, dan polanya datang kepada kita melalui apa yang kita tangkap dengan indra tadi. Dari data yang berhasil ditangkap indra, kita harus membuat kesimpulan, dan proses menarik kesimpulan itu adalah proses adaptasi hasil tangkapan indra dengan akal budi, atau pemikiran. Jadi proses yang berlangsung setelah menerima rangsangan adalah proses ‘meresapi’ (to fell) dan ‘memahami’ (verstehen, understanding).
Kesimpulan itu yang mematangkan kita untuk yakin bahwa apakah sesuatu yang kita terima itu ‘baik’, ‘benar’, ‘tepat’, atau sebaliknya ‘buruk’, ‘salah’, ‘keliru’. Keyakinan itu yang menuntun kita untuk menjadi percaya akan ada tidaknya pesan dari stimuli tadi, dan itu akan membimbing suatu perilaku tertentu sebagai bentuk respons.
Dengan memasukkan proses kognitif tadi maka setiap bentuk perilaku yang muncul bukanlah hasil ‘ramalan’ (guess), melainkan hasil pemikiran yang komprehensif. Oleh sebab itu jika kemudian hasil pemikiran itu melahirkan aksi sosial atau tindakan sosial, semua itu didorong oleh keyakinan yang telah terbentuk tadi.
1.2. Menyebrang dari Individu ke Massa (Kelompok): Mencoba Memahami Karakter Individu dalam Massa
Psikologi itu memiliki obyek material yakni manusia, dalam hal ini perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Aspek perilaku yang diteliti dalam psikologi itu kompleks, termasuk perilaku kerja dan perilaku aksi massa.
Hal ini perlu dikatakan sebab, di sekitar individu dan masyarakat ada medan stimulus yang sangat kuat dan kompleks, dan proses pemberian rangsangan itu terjadi melalui berbagai media perantara, termasuk organ indra manusia itu.
Jika kita berbicara mengenai psikologi massa, maka sebetulnya kita menjadikan massa sebagai suatu medan di mana proses-proses S-R tadi terjadi. Dalam hal itu, kemampuan mengidentifikasi bentuk perilaku massa adalah sesuatu yang penting.
Saya mencoba membawa kita ke dalam beberapa langkah mengenal karakter massa, dari suatu pendekatan S-R tadi.
Kasus I:
Pertandingan Bulutangkis memperebutkan Piala Thomas antara Indonesia Vs Korea
Para supporter Indonesia bergegap gempita. Riuh suara mereka memenuhi stadion Istora Senayan Jakarta, menyaksikan pahlawan-pahlawan Bulutangkis Indonesia berjuang melawan pahlawan-pahlawan Bulutangkis Korea Selatan.
Mata kameramen tertuju pada adanya beberapa orang artis di antara para supporter itu. Ada Agnes Monika yang kelihatan sangat agresif, Miing Bagito yang menari-nari, bahkan Menpora Adhyaksa Dault yang sampai berdoa memohon kemenangan kepada Tim Thomas Indonesia.
Di terbine, tampak spanduk bertuliskan “Ayo Rebut Piala Thomas” dan “Ayo Rebut Piala Uber”, lalu di bagian bawah tulisan itu ada juga tulisan “Satu Abad Kebangkitan Nasional”.
Para pahlawan Bulutangkis kita terus berjuang, dan riuh-rendah suara supporter tetap menggema. Tetapi ada supporter yang terkesan tenang. Ari Sihasale dan istrinya Nia Sihasale-Zuklarnaen, hanya duduk di tepi lapangan menyaksikan pertandingan itu. Ari bahkan terlihat ‘tongka dagu’ sambil menyaksikan pertandingan alot itu. Demikian pun Istri Taufik Hidayat yang duduk di panggung utama bersama Agum Gumelar yang terksan tenang menyaksikan pertandingan itu, dan memang Taufik pun kalah.
Tim Thomas Indonesia akhirnya kalah telak 1:3 dari Korea. Langkah ke Final terhenti. Dan Tidak ada Piala Thomas untuk Indonesia.
Dari kasus itu, sejenak kita bisa melihat pola-pola perilaku para supporter tadi. Pertanyaannya ialah bagaimana kondisi S-R yang tampak pada para supporter itu. Mari kita mengidentifikasi hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai stimuli, dan melihat bagaimana pola respons yang diberikan para supporter tadi.
Kasus II:
Demonstrasi AMPERA di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku
Aliansi Masyarakat Pembela Rakyat (AMPERA) beberapa waktu lalu melakukan demonstrasi anti korupsi. Setelah mendatangi kantor Gubernur Maluku yang dijaga ketat Polisi Pamong Praja dan Polri, mereka menyeberang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku. Dalam orasi di Kantor Gubernur mereka hanya membaca tuntutan mereka. Ketika berorasi di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku, selain membaca tuntutannya, mereka menyerukan yel-yel seperti “kejati penakut’ dan lainnya. Aksi protes itu berpuncak pada tindakan salah seorang demostran yang menulis di tembok pilar Kantor Kejati “Kejati Pengecut, Banci”.
Tindakan demonstran itu mendapat reaksi keras pada pegawai Kejaksaan, dan langsung terjadi aksi ‘baku pukul’. Untuk Polisi berhasil melerai ‘baku pukul’ itu.
Dari kasus itu, coba juga diidentifikasi pola perilaku demonstran. Apa yang mendorong demonstrasi itu, dan mengapa mereka ke dua lokasi itu dalam sekali aksi. Lalu mengapa salah seorang demonstran melakukan tindakan itu, apa maksud pesannya, dan mengapa pegawai kejaksaan melakukan respons seperti itu juga.
2. Massa Juga Punya Psikologi Tersendiri[2]
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, dengan mengutip N. Smester, ada enam faktor yang menjadi prasyarat terjadinya perilaku massa; yakni: 1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; (5) kontrol aparat yang lemah, dan (6) faktor keyakinan publik, yang jarang tergoyah.
Keenam faktor ini menjadi faktor-faktor yang juga turut membentuk sifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif pada diri seseorang (G.Le Bon). Oleh sebab itu, dalam menanggapi stimuli tadi, ada juga massa yang ‘jinak’ (seperti pengunjung pasar, atau penonton bioskop), mereka tidak tergoda dengan pemicu itu karena tidak ada pemicu yang potensial.
Berbeda dengan kelompok demonstran. Kelompok ini cukup tergoda dengan pemicu yang potensial, tetapi aksi massanya masih bisa dikontrol. Walau dalam beberapa kasus terjadi tindakan destruktif, tetapi daya respons mereka terhadap potensi pemicu potensial sedikit berbeda dari perusuh. Artinya, potensi picu itu bisa bertahan secara temporer, tetapi juga bisa permanen. Karena itu mengapa konflik sosial selalu langgeng, dan bahkan sekali waktu bisa muncul lagi.
Artinya, ada pemaknaan bertingkat dari individu dan massa terhadap suatu potensi picu yang mereka terima sebagai suatu rangsangan (stimuli).
3. Penutup
Demikian dari saya. Semoga kita terbantu untuk memahami setiap rangsangan yang diterima dan memberi respons yang baik terhadap rangsangan-rangsangan itu.
1] Psikologi merupakan disiplin yang beranekaragam dan memiliki berbagai cabangan spesialisasi, seperti: psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, psikologi penyuluhan, psikologi abnormal, psikologi fisiologis, psikologi klinis, psikologi arkitektural, psikologi humanistis, psikologi pendidikan, dan seterusnya. Mungkin di situ kita tidak menjumpai defenisi khusus ‘psikologi massa’. Tetapi jika ‘massa’ itu dipahami sebagai masyarakat atau komunitas, kita akan menemukan ruangnya pada psikologi sosial itu sendiri. Saya malah merasa, dewasa ini kita harus lebih fokus pada psikologi abnormal, karena kita sedang menghadapi situasi-situasi yang juga ‘abnormal’, mungkin termasuk dalam organisasi kita (GMKI).
[2] Sub judul ini sengaja saya kutip dari tulisan Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI, dalam Kompas Cyber Media
Elifas Tomix Maspaitella
0. Pengantar
Saya sebenarnya hendak membuat semacam pokok-pokok pikiran, sebagai garis besar untuk didiskusikan, tetapi saya merasa akan adanya kesenjangan tertentu, karena saya sendiri hendak belajar banyak tentang pokok ini, terutama dalam rangka semakin mendalami karakter orang lain, dalam posisi sebagai partner komunikasi yang setiap waktu kita jumpai.
Tetapi agar tidak terlalu berbelit-belit, saya mulai saja dari semacam teori dasar yang selalu menjadi sudut pandang saya dalam memahami masalah psikologi massa itu sendiri.[1]
1. Perspektif Psikologis
Psikologi massa, atau psikologi sosial, harus ditempatkan dalam ranah komunikasi massa, dan karena itu sebetulnya gejala psikologis dalam komunikasi itu agak dangkal atau sporadis, jika komunikasi itu kita pahami sebagai sesuatu yang terjadi secara otomatis begitu saja [ibarat hanya sekedar berbicara].
Tetapi jika komunikasi itu kita pahami sebagai proses transformasi atau sharing pesan (message), maka gejala psikologisnya akan sangat mendalam, sebab kita sebetulnya sedang berhadapan dengan orang yang berkarakter tertentu, dan karakternya itu dibentuk oleh carapandangnya, atau tujuan-tujuan standard (subject aim) yang ia miliki atau juga adanya tujuan-tujuan ‘titipan’, yang sebenarnya dimiliki oleh orang atau institusi lain.
Karena itu, teori S-R (Stimulus-Respons) memainkan peran penting dalam hal ini. Artinya bahwa tindak komunikasi massa terjadi karena adanya suatu rangsangan (stimuli), dan pesannya itu tersampaikan atau diterima karena adanya respons atau tanggapan.
Jadi ada suatu proses ‘kesalingan’ dalam berkomunikasi, dan hal ‘kesalingan’ itu terjadi karena pihak pemberi stimuli menyampaikan materi atau pesannya secara tepat [dengan bahasa yang bisa dimengerti, dan simbol yang menyentuh], serta si penerima pesan memberi respons yang memadai [bisa negatif, dalam arti menolak atau juga positif, dalam arti menerima].
1.1. Stimulus dan Respons
Memahami dua hal ini adalah sama halnya dengan memahami manusia secara utuh. Rata-rata dalam teori psikologi behaviorisme, seperti dianut Skinner, manusia terbatas dalam berhubungan dengan lingkungan dan sesamanya. Keterbatasan itu diakibatkan karena secara fisiologis, kita hanya memiliki lima alat indra,– penglihatan (mata), pendengaran (telinga), penciuman (hidung), perabaan (kulit), dan perasa (lidah). Panca indra itu merupakan satu kesatuan dalam menangkap setiap stimuli yang sifatnya memberi data untuk menjelaskan suatu perilaku manusia. Jadi adanya S-R itu tidak bisa dimengerti sebatas apa yang kita tangkap dengan indra itu, melainkan jauh lebih mendalam dan komprehensif. Yaitu kita harus melibatkan kemampuan kognitif (pemikiran, thought) dalam memahami setiap pesan stimuli.
Stimuli akan membawa kita pada adanya suatu obyek perangsang, dan polanya datang kepada kita melalui apa yang kita tangkap dengan indra tadi. Dari data yang berhasil ditangkap indra, kita harus membuat kesimpulan, dan proses menarik kesimpulan itu adalah proses adaptasi hasil tangkapan indra dengan akal budi, atau pemikiran. Jadi proses yang berlangsung setelah menerima rangsangan adalah proses ‘meresapi’ (to fell) dan ‘memahami’ (verstehen, understanding).
Kesimpulan itu yang mematangkan kita untuk yakin bahwa apakah sesuatu yang kita terima itu ‘baik’, ‘benar’, ‘tepat’, atau sebaliknya ‘buruk’, ‘salah’, ‘keliru’. Keyakinan itu yang menuntun kita untuk menjadi percaya akan ada tidaknya pesan dari stimuli tadi, dan itu akan membimbing suatu perilaku tertentu sebagai bentuk respons.
Dengan memasukkan proses kognitif tadi maka setiap bentuk perilaku yang muncul bukanlah hasil ‘ramalan’ (guess), melainkan hasil pemikiran yang komprehensif. Oleh sebab itu jika kemudian hasil pemikiran itu melahirkan aksi sosial atau tindakan sosial, semua itu didorong oleh keyakinan yang telah terbentuk tadi.
1.2. Menyebrang dari Individu ke Massa (Kelompok): Mencoba Memahami Karakter Individu dalam Massa
Psikologi itu memiliki obyek material yakni manusia, dalam hal ini perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Aspek perilaku yang diteliti dalam psikologi itu kompleks, termasuk perilaku kerja dan perilaku aksi massa.
Hal ini perlu dikatakan sebab, di sekitar individu dan masyarakat ada medan stimulus yang sangat kuat dan kompleks, dan proses pemberian rangsangan itu terjadi melalui berbagai media perantara, termasuk organ indra manusia itu.
Jika kita berbicara mengenai psikologi massa, maka sebetulnya kita menjadikan massa sebagai suatu medan di mana proses-proses S-R tadi terjadi. Dalam hal itu, kemampuan mengidentifikasi bentuk perilaku massa adalah sesuatu yang penting.
Saya mencoba membawa kita ke dalam beberapa langkah mengenal karakter massa, dari suatu pendekatan S-R tadi.
Kasus I:
Pertandingan Bulutangkis memperebutkan Piala Thomas antara Indonesia Vs Korea
Para supporter Indonesia bergegap gempita. Riuh suara mereka memenuhi stadion Istora Senayan Jakarta, menyaksikan pahlawan-pahlawan Bulutangkis Indonesia berjuang melawan pahlawan-pahlawan Bulutangkis Korea Selatan.
Mata kameramen tertuju pada adanya beberapa orang artis di antara para supporter itu. Ada Agnes Monika yang kelihatan sangat agresif, Miing Bagito yang menari-nari, bahkan Menpora Adhyaksa Dault yang sampai berdoa memohon kemenangan kepada Tim Thomas Indonesia.
Di terbine, tampak spanduk bertuliskan “Ayo Rebut Piala Thomas” dan “Ayo Rebut Piala Uber”, lalu di bagian bawah tulisan itu ada juga tulisan “Satu Abad Kebangkitan Nasional”.
Para pahlawan Bulutangkis kita terus berjuang, dan riuh-rendah suara supporter tetap menggema. Tetapi ada supporter yang terkesan tenang. Ari Sihasale dan istrinya Nia Sihasale-Zuklarnaen, hanya duduk di tepi lapangan menyaksikan pertandingan itu. Ari bahkan terlihat ‘tongka dagu’ sambil menyaksikan pertandingan alot itu. Demikian pun Istri Taufik Hidayat yang duduk di panggung utama bersama Agum Gumelar yang terksan tenang menyaksikan pertandingan itu, dan memang Taufik pun kalah.
Tim Thomas Indonesia akhirnya kalah telak 1:3 dari Korea. Langkah ke Final terhenti. Dan Tidak ada Piala Thomas untuk Indonesia.
Dari kasus itu, sejenak kita bisa melihat pola-pola perilaku para supporter tadi. Pertanyaannya ialah bagaimana kondisi S-R yang tampak pada para supporter itu. Mari kita mengidentifikasi hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai stimuli, dan melihat bagaimana pola respons yang diberikan para supporter tadi.
Kasus II:
Demonstrasi AMPERA di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku
Aliansi Masyarakat Pembela Rakyat (AMPERA) beberapa waktu lalu melakukan demonstrasi anti korupsi. Setelah mendatangi kantor Gubernur Maluku yang dijaga ketat Polisi Pamong Praja dan Polri, mereka menyeberang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku. Dalam orasi di Kantor Gubernur mereka hanya membaca tuntutan mereka. Ketika berorasi di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku, selain membaca tuntutannya, mereka menyerukan yel-yel seperti “kejati penakut’ dan lainnya. Aksi protes itu berpuncak pada tindakan salah seorang demostran yang menulis di tembok pilar Kantor Kejati “Kejati Pengecut, Banci”.
Tindakan demonstran itu mendapat reaksi keras pada pegawai Kejaksaan, dan langsung terjadi aksi ‘baku pukul’. Untuk Polisi berhasil melerai ‘baku pukul’ itu.
Dari kasus itu, coba juga diidentifikasi pola perilaku demonstran. Apa yang mendorong demonstrasi itu, dan mengapa mereka ke dua lokasi itu dalam sekali aksi. Lalu mengapa salah seorang demonstran melakukan tindakan itu, apa maksud pesannya, dan mengapa pegawai kejaksaan melakukan respons seperti itu juga.
2. Massa Juga Punya Psikologi Tersendiri[2]
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, dengan mengutip N. Smester, ada enam faktor yang menjadi prasyarat terjadinya perilaku massa; yakni: 1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; (5) kontrol aparat yang lemah, dan (6) faktor keyakinan publik, yang jarang tergoyah.
Keenam faktor ini menjadi faktor-faktor yang juga turut membentuk sifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif pada diri seseorang (G.Le Bon). Oleh sebab itu, dalam menanggapi stimuli tadi, ada juga massa yang ‘jinak’ (seperti pengunjung pasar, atau penonton bioskop), mereka tidak tergoda dengan pemicu itu karena tidak ada pemicu yang potensial.
Berbeda dengan kelompok demonstran. Kelompok ini cukup tergoda dengan pemicu yang potensial, tetapi aksi massanya masih bisa dikontrol. Walau dalam beberapa kasus terjadi tindakan destruktif, tetapi daya respons mereka terhadap potensi pemicu potensial sedikit berbeda dari perusuh. Artinya, potensi picu itu bisa bertahan secara temporer, tetapi juga bisa permanen. Karena itu mengapa konflik sosial selalu langgeng, dan bahkan sekali waktu bisa muncul lagi.
Artinya, ada pemaknaan bertingkat dari individu dan massa terhadap suatu potensi picu yang mereka terima sebagai suatu rangsangan (stimuli).
3. Penutup
Demikian dari saya. Semoga kita terbantu untuk memahami setiap rangsangan yang diterima dan memberi respons yang baik terhadap rangsangan-rangsangan itu.
1] Psikologi merupakan disiplin yang beranekaragam dan memiliki berbagai cabangan spesialisasi, seperti: psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, psikologi penyuluhan, psikologi abnormal, psikologi fisiologis, psikologi klinis, psikologi arkitektural, psikologi humanistis, psikologi pendidikan, dan seterusnya. Mungkin di situ kita tidak menjumpai defenisi khusus ‘psikologi massa’. Tetapi jika ‘massa’ itu dipahami sebagai masyarakat atau komunitas, kita akan menemukan ruangnya pada psikologi sosial itu sendiri. Saya malah merasa, dewasa ini kita harus lebih fokus pada psikologi abnormal, karena kita sedang menghadapi situasi-situasi yang juga ‘abnormal’, mungkin termasuk dalam organisasi kita (GMKI).
[2] Sub judul ini sengaja saya kutip dari tulisan Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI, dalam Kompas Cyber Media
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...