Agama dan Geopolitik
Telah dibentangkan bersama pokok “Agama dan Politik” . Kini kita membahas satu persoalan menarik lainnya, yakni “agama dan geopolitik’. Teori politik akan menunjukkan kepada kita bahwa klaim teritori selalu dapat menjadi suatu wilayah politik yang bisa juga didominasi oleh satu aliansi politik tertentu.
Tetapi kita tidak akan mendapati dalam satu wilayah, seluruh penduduk di situ berada dalam satu aliansi politik yang sama. Jika pun ada, hal itu adalah suatu kekecualian di dalam realitas politik yang jamak.
Geopolitik di sini dapat dilihat secara jelas dalam apa yang disebut ‘daerah pemilihan’. Dalam era Pemilu Legislatif, daerah pemilihan menjadi faktor penentu keterwakilan seseorang sebagai anggota legislatif. Fenomena lain dari ‘daerah pemilihan’ adalah keterwakilan beberapa anggota legislatif dari partai politik yang berbeda di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat [Daerah]. Satu daerah pemilihan bisa diwakili oleh lebih dari satu orang, dari partai politik yang berbeda pula.
Geopolitik seperti itu menunjuk pada jumlah pemilih di satu daerah pemilihan; atau jumlah penduduk dewasa (17 tahun ke atas), yang memiliki hak politik, untuk memilih dan dipilih. Artinya, suatu geopolitik adalah wilayah independen, di mana setiap warga di dalam geopolitik itu bisa [berhak] menentukan nasibnya.
Dalam kondisi politik Indonesia yang jamak, suatu geopolitik kini juga terbentuk dalam klaim etnisitas [dan agama]. Fakta seperti ini kita peroleh dari hasil Pemekaran Provinsi, Kabupaten/Kota, bahkan mungkin juga Kecamatan, atau pembentukan Dusun menjadi Desa defenitif.
Pemekaran Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom akhir-akhir ini terjadi pada satu kelompok sub-kultur di suatu provinsi. Ambil misal di Maluku, Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur dari Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kepulauan Aru dari Maluku Tenggara; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara; dan [nantinya] Kabupaten Buru Selatan dari Kabupaten Pulau Buru, dan Kabupaten Maluku Barat Daya dari MTB.
Konstruksi geopolitik baru itu beranggotakan satu sub-kultur tertentu. Wilayah sub-kultur itu kemudian menjadi domain politik yang independen, terlepas dari domain politik yang beranggotakan sub-kultur lainnya.
Tanpa sadar, geopolitik itu pun tersusun atas mayoritas agama tertentu, baik Islam maupun Kristen. Di sinilah mengapa titik sentimen kedaerahan, jargon putra daerah dan agama menjadi jargon politik yang cukup dipolemikkan, antara hak warga negara dan kepentingan putra daerah.
Kita tidak tahu seberapa jauh geopolitik itu memberi sumbangan bagi pembentukan karakter politik dan demokrasi yang dewasa, terkait dengan moment-moment politik seperti Pemilu dan Pilkada.Tetapi sejauh kita amati, susunan geopolitik seperti itu memperlihatkan bahwa kita memerlukan suatu energi politik baru untuk membangun kultur politik yang lebih terbuka dan lintas batas perbedaan yang ada.
Comments
Ini cuma gagasan awal, mari kita menstudikan itu bersama-sama bos... beta sebenarnya juga sementara menjadikan ini sebagai draft awal menjelang pemilu 2009 di Papua. Bagaimana dengan Geopolitik dan pengaruhnya terhadap konfigurasi politik di Maluku dan sebaliknya, bagaimana konfigurasi politik di Maluku mempengaruhi posisi strategis Maluku secara politis? GPM bagaimana?