POLESAN TIPIS DI WAJAH

POLESAN TIPIS DI WAJAH
Rekritik “Agama Ambon”

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Protestanisasi: Menggali Terusan Barat ke Timur
Tesis benturan peradaban dalam telaahan Huntington, yang menempatkan faktor agama Timur dan Barat, sebetulnya telah terjadi lama. Tidak hanya itu, kolonisasi telah pula melukiskan suatu benturan peradaban Barat [Eropa] dengan Timur [Asia/Pasifik]. Akibatnya terjadi dominasi budaya Barat atas Timur, dan serta-merta dominasi orang-orang Eropa atas orang-orang Timur, daerah koloninya.

Warna budaya masyarakat Timur memudar karena tersubordinasi dan tersublimasi oleh desakan budaya Eropa yang berinvasi. Struktur-struktur sosial berganti rupa, mengikuti pola paternalistik Eropa. Sistem pemerintahan setempat tereduksi oleh pola pemerintahan otokrasi Eropa yang memberi legtimasi penuh pada “pemerintahan terpusat” gaya monarkhi. Benturan mana melemahkan resistensi lokal, karena masyarakat tidak lagi dapat menerapkan pola-pola sosial asali, melainkan terpaksa mengadopsi suatu sistem baru yang tidak konkruen dengan worldview/weltanschaung mereka.

Benturan dan perubahan amat dahsyat juga terjadi atas struktur kepercayaan masyarakat Timur, dan dalam hal ini di Maluku. Ada beberapa varian benturan dalam aspek ini. Pertama, benturan forma, yaitu fakta negasi antara agama-agama lokal (agama suku) dari orang-orang Maluku dengan agama Kristen yang dibawa orang-orang Eropa atau para missionaris dan zending. Akibatnya adalah penggantian bentuk kepercayaan masyarakat setempat, menjadi para pemeluk agama Islam, Katolik dan/atau Kristen. Dalam kaitan ini, agama-agama Abrahaimik mengembangkan triumphalisitas ketika berhadapmuka dengan agama-agama lokal.[1] Triumphalitas itu pun tampak dalam keharusan mengganti nama dari nama “tanah” dengan nama Alkitab atau Barat. Politisasi kekristenan ini ternyata berdampak pada penguasaan atau dominasi pandangan dunia. Akibatnya perspektif beragama orang-orang Ambon diusahakan sepadan dengan perspektif beragama orang Eropa/Belanda.

Kedua, benturan ideologis. Ini terjadi pada level kedua dari sistem kepercayaan, yakni level of beliefs atau intelectual level.[2] Pada level ini pemahaman kepercayaan suku mengalami benturan dengan pemahaman kepercayaan agama Abrahaimik. Umumnya terjadi perubahan gradual terhadap level kepercayaan suku, dan sering ditandai oleh tersubrodinasinya sistem kepercayaan suku, atau bahkan hilang dan mengendap dalam sanubari masyarakat. Adakalanya benturan pada ideologis ini menempatkan sistem kepercayaan agama Abrahaimik sebagai yang dominan, dan terkadang melalui dialog, adaptasi, tetapi juga invasi dan proselitisme. Di sisi lain agama-agama lokal menempati posisi peran kedua, setelah agama yang dibawa dari luar (Abrahaimik).[3] Di Maluku, kecenderungan ini membuat basis kepercayaan agama suku (mis. kepercayaan kepada Tete Nene Moyang) mengendap, tersublim oleh kepercayaan agama Abrahaimik, khususnya Kristen. Apa yang kemudian disebut sebagai “Agama Ambon”.[4]
Ketiga adalah benturan fisik. Perjumpaan agama-agama Abrahaimik dengan komunitas agama suku di Maluku berlangsung dalam dua suasana; dialogal dan ekspansif. Pendekatan dialogal berlangsung melalui aksi misi dagang dan kemanusiaan. Dalam sejarahnya misi agama-agama Abrahaimik di Maluku mengedepankan misi dagang yang melekat rapat dengan misi penyiaran agama. Dalam kasus Protestanisasi di daerah koloni, pihak Belanda dapat memperoleh tiga keuntungan ekonomi dan politik, dari usaha membangun hubungan dengan penduduk setempat. Pertama, dengan mengusahakan kesejahteraan penduduk setempat akan meluaskan keuntungan pasar Belanda; kedua keuntungan mana akan melahirkan orang-orang yang loyal kepada Beland; dn ketiga kristenisasi dan/atau rekristenisasi [protestanisasii] mampu pula menciptakan suatu kelompok yang mengidentikkan dirinya loyal terhadap kristen.[5]
Tetapi, perjumpaan agama-agama Abrahaimik dengan komunitas agama suku sesekali pula melahirkan konflik fisik. Demikian pun dengan sesama agama Abrahaimik [Islam-Kristen]. Di sini penting diingat konflik Portugis dengan Ternate-Tidore, atau juga orang-orang Ternate [Islam] dengan penduduk Mamuya yang telah menjadi Katolik.[6] Padanya kita mampu membaca pembelokkan isu konflik politik menjadi konflik Agama, karena masing-masing kelompok diidentikkan dengan agama yang dianut. Ini pula yang menambah runcingnya konflik orang-orang Leihitu-Leitimor; ketika Portugis kemudian membangun kekuatan baru di Leitimor. Demikian pun hal yang sama di Kepulauan Kei, ketika Islam dan Katolik berusaha menyiarkan misi masing-masing agama di sana.[7]

Fenomena berikut dari fakta benturan itu adalah terbentuknya komunitas kristen yang kurang mendalami kekristenannya, sebagai akibat dari “penginjilan setengah hati”. Di sini sebetulnya terjadi tabrakan pada sisi pandangan dunia. Andaya melukiskan hal ini secara gamblang dengan mengatakan bahwa orang-orang Eropa [Belanda] didorong oleh pandangan dualisme dari filsafat Yunani. Mereka memandang dunia mereka sebagai dunia yang humanis, dan dunia-dunia di Timur, termasuk Maluku, sebagai suatu lingkungan barbaris. Juga bahwa mereka adalah orang-orang yang diselamatkan, dan orang-orang di Timur adalah kelompok yang mendapat kutukan. Sedangkan orang-orang di Maluku terbentuk dalam pandangan kebudayaan leluhurnya, sehingga seluruh struktur sosial dan kepercayaan dibangun di atas fondasi itu.[8]

Dengan kenyataan itu, para penginjil melakukan tindakan proselitisme, di mana terjadi pertambahan “pemeluk kristen” secara besar-besaran. Pendekatan yang digunakan juga mengikuti pola di Eropa, dengan jalan melakukan pendekatan dengan elite negeri [raja]. Suatu pola paternalistik dalam misi, dengan asumsi seluruh rakyat akan pula menjadi kristen setelah raja berhasil dikristenkan.[9]

Fakta benturan itu dipresentasi kembali untuk menggambarkan latar belakang terbentuknya kekristenan di Ambon/Maluku. Tentu ada pula suatu asimilasi, namun asimilasi yang “kurang lengkap”.

2. “Tifa Perang Tanding Agama Babunyi di Maluku”
Kekristenan dalam sejarahnya di Maluku telah merambah seluruh kawasan 1000 pulau ini. Mulai dari misi Katolik pada 1512, di Ternate, Ambon dan Banda. Persahabatan dengan Ternate menjadi akrab, sehingga Portugis dapat mendirikan Benteng Sao Paulo pada 24 Juni 1522 [10/11 tahun setelah pendudukan pertama]. Beberapa imam dari Ordo Fransiskan, seperti Fernando Lopez [1530] pernah bertugas di sana untuk mengurus kepentingan rohani umat Katolik Portugis di dalam dan sekitar benteng Sao Paulo.[10] Namun Tristao d’Atayde, panglima Benteng Sao Paulo tidak berhasil mempertahankan keakraban itu karena kebijakan pajaknya terlalu memberatkan warga Ternate. Akibatnya terjadi pemberontakan di berbagai wilayah melawan Portugis dan juga orang-orang Kristen pribumi yang dicurigai “dekat dengan Portugis”.
Ketegangan itu sempat mencair pada masa Antonio Galvao menjadi pimpinan menggantikan d’Atayde [1536]. Namun setelah pemerintahan Galvao, ketegangan itu mencuat lagi, sebagai akibat dari masalah lama [di masa d'Atayde], dan reposisi Sultan Ternate dari Sultan Hairun ke Sultan Tabarija yang sudah menjadi Katolik pada waktu ditawan di Goa. Penahanan dan pembuangan Sultan Hairun itulah yang menyulut konflik baru di antara mereka.

Tidak hanya di Ternate, di Hitu muncul gerakan perlawanan terhadap Portugis [Katolik]. Padahal semula hubungan Portugis dengan Hitu begitu akrab. Pada tahun 1523, orang Hitu meminta bantuan kepada Antonio de Brito, panglima benteng Portugis di Ternate, untuk melawan orang-orang Alfuru. Dalam pesta perayaan kemenangan itu, salah seorang prajurit Portugis [yang sedang mabuk] hendak mendekati anak gadis Jamilu Hitu. Karena ditegur oleh Jamilu, ia kemudian menampar Jamilu. Rakyat Hitu bereaksi terhadapnya, dan keesokannya prajurit Portugis dikirim pulang ke Ternate dengan sepucuk surat pemutusan persahabatan antara Hitu-Portugis. Seluruh asset Portugis di Hitu dirusakkan dan dibakar, orang Portugis diusir keluar dari Hitu; dan orang-orang Hitu meminta bantuan dari saudara-saudara seiman mereka di Jepara [Jawa].[11]

Orang Hukunalo yang mengantar mereka ke Hatiwi; suatu lingkungan yang dicap didiami oleh “orang kafir”.[12] Kelompok masyarakat Leitimor memiliki sejarah konflik yang panjang dengan Leihitu. Faktor ini yang menyebabkan Portugis, dan kemudian Belanda, diterima dengan mudah oleh mereka. Di samping mendapat “penolong” baru, juga meningkatkan pride mereka sebagai orang-orang yang lebih modernis, karena peningkatan intelektual [pendidikan] di kalangan mereka.[13]

Misi Katolik dimulai dari Hatiwi, Tawiri dan Hukunalo. Pada zaman Xaverius, kemudian meluas ke Amahusu, Eri, Amanila, Silali, Nama Latu, Hatiari, Seri, Awahang, Sima, Puta, Amantelu, Ahusen, Soja, Hatalai, Naku, Kilang, Ema, Hukurila, Leahari, dan terakhir di Rutung. Negeri-negeri ini kemudian menjadi Katolik, kecuali Hutumuri yang sudah lebih dulu menjadi Islam. Dalam perjalanan kembali ke Hatiwi, baru Xaverius mendirikan jemaat-jemaat di Uriteru, Halong, Lateri dan Passo.

Jemaat-jemaat Katolik itu membangun suatu hegemoni baru dengan Portugis dan selalu berkonflik melawan kekuatan Islam dari Hitu. Corak penghisaban negeri-negeri ke dalam iman Katolik sesungguhnya terlampau politis. Aspek pengajaran iman berjalan, namun sedikit sekali pengaruhnya ke dalam iman lama yang masih kuat mengakar.[14]

Ketegangan dengan Islam agaknya masih terus terjadi di bagian lain kepulauan Maluku. Kepulauan Kei adalah daerah yang juga terkena imbas dari ketegangan Leihitu-Leitimor. Agama Islam masuk ke Kei bersamaan dengan datangnya pedagang Islam sekitar tahun 1850 [2 abad lebih setelah masuknya Islam ke Maluku], dan misi Katolik mulai berjalan di sana pada tahun 1888, dengan tibanya para pater seperti Y.D. Kusters dan Y. Booms, dua tahun setelah Langen [Protestan asal Jerman] mengirim surat kepada Mgr. Claessens, bahwa di Kei terdapat + 30.000 orang kafir. Sementara hanya 1200 orang Islam, yang terus menghina dan menindas orang kafir.[15] Kusters dan Booms yang berhasil mengkatolikkan orang-orang Kei. Pola pengkatolikkan masih sama dengan yang dilakukan di Ambon, yaitu suatu pendekatan paternalistik. Hanya saja di Kei, para tetua kampung terlebih dahulu mengadakan “radsuv” [musyawarah] untuk menimbang untung ruginya menjadi Katolik. Setelah itu baru mereka menghadap Pastur untuk minta “dimandikan” [dibaptis].[16] Dengan demikian kepulauan Kei terstruktur atas ohoi-ohoi [kampung] Islam, menyusul Katolik dan terakhir Protestan, setelah dalam waktu yang cukup panjang mereka tetap mempraktekkan agama sukunya.

3. “Agama Ambon”: Buah Metode “Main Larang”
Salah satu sumbangan antropologi ke dalam studi misi Kristen adalah membantu misionaris memahami proses pembaruan, termasuk perubahan sosial yang menunjuk kapan masyarakat menjadi Kristen. Sebagai makhluk sosial, masyarakat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan sosial mereka, oleh sebab itu mekanisme psikologis juga merupakan hal penting untuk memahami proses misi.[17]

Di samping itu, ia juga penting untuk memberikan pemahaman mengenai situasi cross-culture, serta ke dalam pandangan baru mengenai mengapa pentingnya proses translasi [kitab suci] ke dalam bahasa-bahasa masyarakat pribumi, sehingga ia menjadi relevan kepada pendengarnya yang baru. Sebab dari situ, antropologi juga telah membantu memperlihatkan bagaimana masyarakat dalam budaya yang berbeda-beda di seluruh dunia dan membangun jembatan untuk menghubungkan kepelbagaian itu dalam memahami suatu tindakan misi.[18]

Van Volenhoefen, adalah Antropolog Belanda yang memberi sumbangan besar ke dalam pemetaan antropologis masyarakat di Indonesia, terutama di Maluku. Tesisnya mengenai keberadaan masyarakat adat, sebetulnya mampu membantu pemerian suatu bentuk strategi misi dan pendalaman terhadap “inner world” orang Maluku itu sendiri.

Namun, paparan Leonard Andaya mengenai “benturan pandangan dunia” antara penginjil dengan orang Maluku telah melukiskan bagaimana pemetaan antropologis itu diabaikan para misionaris untuk menyusun strateginya. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[19]

Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[20]

Sikap “melawan kafir” menjadi karakteristik dasar para pekabar injil. Di berbagai tempat, gerakan “melawan kafir” itu dilakukan. Metode mereka dapat disebut sebagai “metode main larang”, tanpa diikuti oleh penanaman pemahaman yang memadai mengenai hal-hal dimaksud. Masyarakat yang dibimbing menjadi kristen cukup hanya mampu menghafal beberapa rumusan iman, dan itu sudah menjadi prasyarat kekristenannya. Kemudian mahir menyanyikan lagu-lagu rohani, dan menjalankan doa-doa malam, sudah menjadi “kepuasan” bahwa mereka telah menjadi kristen.

Padahal “metode main larang” meninggalkan residu yang menjadi ciri kedua dari kekristenan orang-orang Maluku. Suatu corak kekristenan yang masih bertindih rapat dengan agama leluhurnya. Kekristenan mistis, yang merupakan kombinasi pietisme dengan agama lama.
Mereka dikenal sebagai “orang-orang beriman”[21] dan loyal kepada gereja. Mereka gemar beribadah dan menjaga lingkungan serta suasana bergerejanya di setiap negeri dengan sangat baik. Ini misalnya terlihat dari tidak adanya aktifitas kerja yang dilakukan pada hari minggu. Bagi siapa yang tidak beribadah ke gereja pada hari minggu, dilarang keluar dari rumah, sampai jam ibadah selesai.[22]

Namun “Agama Ambon” dinilai merupakan suatu corak baru dalam kekristenan. Kritik terhadap agama Ambon adalah sikap dualisnya yang kuat; percaya kepada Allah Bapa, dan percaya kepada Leluhur. Sebuah kekristenan yang dikatakan tidak terlepas seluruhnya dari ketergantungan pada adat.[23] Suatu kritik yang dilekatkan pada fenomena theistik di dalam Agama. Tuhan telah diposisikan kembali dalam kawasan pantheon, suatu tema klasik yang ditolak oleh kalangan monotheis.

Orientasi seperti itu dinilai sebagai yang “tidak murni” kristen. Kramer menyebutnya sebagai “kristen setengah hati”. Pomeo yang cukup populer pada waktu itu adalah “di sini, di Ambon, agama adalah produk masyarakat, seperti cengkeh”. Hanya dengan membuka penutup orang Ambon, dan agama akan keluar”. Pernyataan yang lain bahwa “pada orang Ambon, agama hanya lapisan varnish yang tipis” [a thin varnish]. Semua itu melukiskan bahwa “Agama Ambon” telah menjadi sesuatu yang dipuja, tetapi juga ditimpali kritikan tajam [yang menyakitkan hati].[24]

Van den End melukiskan, ketika mendapat kritik sebagai orang-orang yang tidak taat beragama, orang-orang Ambon kembali mengkritik orang-orang Belanda, termasuk para pendeta. Pada tahun-tahun pertama orang Belanda belum melakukan kebaktian umum di benteng [New Victoria-Ambon], orang-orang Ambon bertanya “apakah kaian tidak mempunyai agama?” Segera diselenggarakan kebaktian umum untuk membuktikan bahwa orang-orang Belanda itu beragama. Mengenai kehidupan moral, orang-orang Ambon juga ditimpali kritik tajam sebagai yang berkelakuan “barbarism”. Tetapi dari laporan para pendeta Belanda, rupanya kelakuan orang-orang Belanda, termasuk para perempuannya jauh lebih buruk dari kehidupan orang Ambon. Sikap para Pendeta Belanda pun dibandingkan dengan para imam Yesuit yang terlihat saleh, serta mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, dibanding para Pendeta Belanda yang juga lebih banyak melayani pekerjaan VOC.[25]

Dari situasi itu tampak bahwa eksistensi “Agama Ambon” tidak serta merta merupakan fenomena yang negatif. Ia dinilai negatif, justru karena para pengkritik menghakimi “Agama Ambon” dengan tanpa melihat pada struktur kepercayaan asali mereka yang telah lama mengakar. Di sini dapat diajukan beberapa argumen:
Pertama, eksistensi “Agama Ambon” sebagai “setengah kristen” telah mengabaikan fakta bahwa ia menjadi demikian sebagai akibat dari penerapan strategi penginjilan yang kurang memperhatikan budaya setempat. Budaya injil datang secara ekspansif, dan memposisikan diri pada struktur dominan. Komunikasi injil berlangsung, tetapi sebatas pada komunikasi simbol dan penggantian forma, tanpa mampu membangun korelasi dengan tatanan filsafatis masyarakat. Dinamika psikologis masyarakat kurang mendapat perhatian serius. Orang tidak dibimbing bagaimana menjadi percaya, tetapi “dimasukkan” ke dalam suatu Corpus Christianum Belanda.
Kedua, “Agama Ambon” membentuk sebagai bukti dari orientasi politis yang terlalu kuat dari menjadi kristen. Menjadi kristen, berarti bersekutu dengan Belanda. Ini menjadi semacam “merk dagang” yang diiklankan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Dua kepentingan berjalan sekaligus, kepentingan VOC dan Belanda untuk menanamkan pengaruh serta memperluas kekuasaan monopoli, tetapi juga kepentingan orang-orang Ambon [khusus Leitimor] untuk mendapat perlindungan dan bantuan melawan musuh dari Seram dan Leihitu. Otomatis menjadi kristen ibarat menerima pangkat sarani, yang terkesan mengabaikan fungsionalisasi kekristenan itu sendiri.
Ketiga, orang-orang Ambon yang telah dikristenkan [pada masa Katolik, dan kemudian masa Protestan], terlalu lama “ditinggalkan” tanpa ada pelayanan gerejawi. Dalam kondisi demikian, orientasi dan praktek agama lama muncul kembali. Struktur ini yang tidak terkesan diabaikan oleh para pengkritik. Mereka menyangka, kekristenan muda akan sanggup berkembang jika tidak “digembleng” oleh “yang tua”. Padahal justru di tengah masa kekosongan tadi, dan gencarnya ancaman yang mengurung mereka, kekristenan muda itu akan dapat jatuh ke suasana anomi, tanpa ada pegangan yang jelas. Kalangan Freudian akan menunjukkan bahwa, di situlah, bangkit memori akan pengalaman masa lalu, yang membuat “ego” kembali menemukan jati dirinya yang asali. Lalu berkembang di jalur itu, menjadi “ego” yang terasing dari “tubuh barunya”.

Di sini pun dapat dikatakan, “Agama Ambon” dalam kacamata antropologis, adalah suatu bentuk dari perjumpaan dan pengkomunikasian injil di Maluku. Ia menjadi demikian karena komunikasi injil telah memperkenalkan kepada mereka “apa yang mestinya mereka ketahui” tentang injil itu sendiri, dan dalam hal ini juga Tuhan. Tetapi pertanyaannya tidak sebatas pada “apa yang mereka ketahui”.

“Agama Ambon” mendiskrepansi suatu pertanyaan yang lebih mendalam yakni “bagaimana kita kemudian mengetahui apa yang kita [telah] ketahui”. Sebab fenomena “Agama Ambon” memperlihatkan bagimana ajaran-ajaran kristen itu telah dipercayai pada masa-masa yang lampau, melainkan juga bagaimana dan mengapa ia masih bertahan sampai kini.[26] Demikian pun “Agama Ambon” itu sendiri. Kritik terhadapnya mesti dibangun dari pertanyaan-pertanyaan dasar “bagaimana dan mengapa mereka masih percaya pada kepercayaan lama, dan bagaimana serta mengapa ia masih dipraktekkan sampai saat ini, ketika orang-orang Ambon telah menjadi Kristen”.

Kritik yang selama ini ada semata melihat fenomena itu sebagai hal yang mendikotomikan injil dan adat. Padahal fakta sosialnya justu lebih mendalam dari itu; yakni masyarakat telah terkonstruksi ke dalam dua sistem kepercayaan yang tidak mengalami asimilasi secara sempurna. Suatu fakta binaritas. Suatu waktu, dalam kasus tertentu, akan lebih menonjolkan sisi injil, atau sebaliknya sisi adat. Tetapi pada waktu dan kasus yang lain akan menampilkan interelasi kedua sisi itu secara bersama. Misalnya ketika injil dan institusi gereja terlibat di dalam suatu upacara adat, atau sebaliknya ketika adat dipakai sebagai “variasi” dalam ritus agama kristen.

4. “Agama Ambon”: Kekristenan Kultural
Agama memiliki ruang guna yang efektif jika agama itu dimengerti sebagai produk kebudayaan masyarakat setempat. Demikian pun kekristenan, akan semakin efektif jika dibangun dalam fondasi-fondasi kontekstual, suatu usaha menjadikan dirinya bagian yang co-inside dengan masyarakat pemeluknya.

“Agama Ambon” kiranya dipahami sebagai suatu produk kebudayaan yang pernah dihasilkan dalam sejarah kekristenan di Maluku. Ia memiliki kaitan yang kuat dengan latar budaya masyarakat. Suatu hal yang perlu didekonstruksi untuk mererekonstruksi suatu tipikal kekristenan yang relevan bagi orang Maluku. Tipikal kekristenan yang inklusif dan kultural.
“Agama Ambon” dalam sisi tertentu memperlihatkan perlunya usaha translasi injil ke dalam kehidupan masyarakat Maluku. Sebuah usaha hermeneutis yang sedapat-dapatnya mendorong pemahaman dan pengertian bersama mengenai hakekat ketuhanan dan hakekat kemanusiaan orang-orang Maluku.

Ketuhanan yang universal. Oleh sebab itu identitas-identitas budaya mengenai Tuhan dalam pandangan budaya orang Ambon, seperti konsep Upu [Maluku Tengah], Oplastalah [Buru], atau Duad [Maluku Tenggara-Kei], Up Ler dan Ratu [Tanimbar], adalah media kebudayaan yang bisa digunakan untuk mengkomunikasikan Tuhan itu sendiri. Selama ini konsep theistik “Agama Ambon” disalahpahamkan. Kita menuduh dalam “Agama Ambon” realitas ketuhanan dimengerti dalam konsep “Nene Moyang”. Suatu sikap prejudice sebagai bentuk kecurigaan missiologis yang muncul sebagai kenaifan dalam memahami totalitas worldview dalam “Agama Ambon”.

Sebetulnya, dalam “Agama Ambon” realitas ketuhanan itu dijumpai dalam terminologi budaya mengenai Tuhan seperti disebutkan tadi. Ia adalah nama-nama budaya dari Tuhan, menurut cara membahasa orang-orang Ambon. Maka matra ketuhanan dalam Agama Ambon, sebetulnya sama dengan matra ketuhanan dalam masyarakat Palestina, dan/atau Eropa, yang membawa agama Kristen itu. Pada sisi itu sebetulnya para penginjil, demikian juga orang kristen Ambon sendiri, terjebak dalam “fusi horizon” membahasa, lalu tidak menerima perbedaan terminologi sebagai hal yang menunjuk pada fondasi makna orang-orang setempat.

Disadari perlu defenisi baru mengenai “Agama Ambon” seperti telah dipaparkan tadi. Dengan defenisi baru itu, sebetulnya “Agama Ambon” dapat pula menjadi suatu kritik balik terhadap orientasi beragama di Maluku saat ini.

Ia bermaksud menekankan pentingnya kesadaran sejarah bersama untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat di Maluku. Suatu tatanan kultural, karena ada pertalian yang erat antara komunitas Salam dan Sarane di Maluku. Ia harus diwacanakan bukan sebagai suatu “corpus ritual”, melainkan sebuah “etika kehidupan”. “Agama Ambon”, adalah juga usaha menterjemahkan injil ke dalam struktur kebudayaan manusiawi. Suatu pergulatan sejarah yang harus mampu membawa orang Maluku keluar dari hegemoni keagamaan yang kaku, lalu membangun tatanan kultural bersama.

Sebuah tipikal beragama yang menjunjung kasih dan persaudaraan. Fenomena beragama seperti itu hanya dapat tersaji, ketika agama-agama bisa membuka diri dan menyadari identitas kebudayaan mereka. Suatu kemengadaan yang diperoleh atas kesadaran bahwa Injil adalah juga milik orang Maluku, dan pernah berkata-kata kepada orang Maluku. Injil adalah kabar baik yang ditemukan dalam persaudaraan orang-orang Maluku. Ia dikomunikasikan setiap hari, pada saat terjadi perjumpaan masyarakat Salam-Sarane. Injil adalah warta kedamaian untuk Maluku. Injil itu adalah Injil dari Tuhan, dan Injil mengenai Tuhan [Mark.1].


KEPUSTAKAAN


Andaya, Leonard, The World of Maluku, Hawaii: University of Hawaii, 1987.

Berger, Peter L., Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991.

Dea, Thomas O., The Sociology of Religion, New Jersey, Prentince Hall, Inc., 1966.

den End, Th van, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.

Enklaar, I.H., Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Hesselgrave, David J.,Communicating Christ Cross-Culturally: An Introduction to Missionary Communication, Michigan: Grand Rapids, 1978.

Hiebert, Paul G., Anthropological Insights for Missionaries, Michigan: Baker Boos House, 1988.

Kipp, Rita Smith, The Early Years of a Dutch Colonial Mission: The Karo Fiels, Michigan: The University of Michigan Press, 1990.

Kraemer, Hendrik, From Missionfield to Independent Church: Report on a decisive in the growth of indigenous churches in Indonesia, London: SCM Press, 1958.

Sanneh, Lamin, West African Christianity: The Religious Impact, Cambridge, Massachusetts, 1983.

Vriens, G., Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 1, Umat Katolik Perintis + 645 - + 1500, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974

------------, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 2, Wilayah Tunggal Prefektur-Vikariat abad ke-19 awal abad ke-20, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1972

------------, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3a, Wilayah-wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia abad ke-20 – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi-Maluku, Irian Jaya, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974.

[1] Perubahan juga terjadi pada tataran semantis. Tanda dan simbol-simbol kebudayaan dihilangkan dan diganti dengan tanda dan simbol-simbol agama baru [Abrahaimik]. Ini terlihat misalnya melalui penggantian nama, dari “nama-nama adat” menjadi nama-nama yang direferensi dari Alkitab atau Al’Quran. Demikian pun penghancuran ornamen-ornamen kebudayaan karena distigmakan sebagai kafir. Hal yang sama pula terjadi terhadap pengubahan “bahasa tanah” menjadi “bahasa Melayu Ambon”; walau pada sisi ini, orang-orang Ambon pun mendapat posisi tertentu secara politis, yaitu menjadi “setengah Belanda” [Blanda Itang – Black Dutchmen].
[2] Baca Thomas O. Dea, The Sociology of Religion, New Jersey, Prentince Hall, Inc., 1966, hlm.41
[3] Lamin Sanneh, West African Christianity: The Religious Impact, Cambridge, Massachusetts, 1983, h. 19
[4] Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church: Report on a decisive in the growth of indigenous churches in Indonesia, London: SCM Press, 1958, h.20. Peter Berger cenderung membahasakan fenomena itu sebagai suatu rangkaian dari aktivitas manusia dengan berpusat pada tiga pusaran dinamika yakni eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Namun sampai pada sisi tertentu, agama itu akan ada dalam lingkaran alienasi [keterasingan], yang tampak tidak semata sebagai fenomena kesadaran, melainkan sebuah fenomena yang sama sekali berbeda dari anomi. Artinya agama tidak saja mengalami alienasi, tetapi juga dealienasi. Baca. Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991, h. 104,105
[5] bnd. Rita Smith Kipp, The Early Years of a Dutch Colonial Mission: The Karo Fiels, Michigan: The University of Michigan Press, 1990, h. 30
[6] G. Vriens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 1, Umat Katolik Perintis + 645 - + 1500, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974, h.60
[7] G. Vriens, SGKI, Jilid 2, Wilayah Tunggal Prefektur-Vikariat abad ke-19 awal abad ke-20, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1972, h.195, dyb; G. Vriens, SGKI, jilid 3a, Wilayah-wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia abad ke-20 – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi-Maluku, Irian Jaya, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974, h.499, dyb.
[8] Leonard Andaya, The World of Maluku, Hawaii: University of Hawaii, 1987, h.123
[9] Di sini kita diingatkan mengenai pengkatolikan Kolano Mamuya, yang merasa terancam oleh Islam, lalu minta perlindungan dari Portugis. Ia kemudian dibaptis dan namanya diganti menjadi Don Joao. Setelah itu, atas pekerjaan Imam Simon Vaz, orang-orang Mamuya dikatolikkan pula. G. Vriens, SGKI, jilid 1, Umat Katolik Perintis + 645 - + 1500, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974, h.60; juga pembaptisan Raja Kaibobo [Seram] di negeri Waai [Ambon], ketika melakukan kunjungan ke negeri pelanya itu. Peristiwa dibaptisnya raja Kaibobo menjadi tanggal masuknya kristen di Kaibobo. Serta-merta orang-orang Kaibobo [terpaksa] menjadi kristen.
[10] G. Vriens, SGKI, jilid 1, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974, h.59
[11] G. Vriens, SGKI, jilid 1, h.81
[12] Istilah “orang kafir” adalah labelisasi yang dikenakan oleh orang-orang Leihitu, justru setelah mereka menjadi Islam. Pelabelan itu semakin menambah intensi dan gradasi konflik Leihitu-Leitimor. Motivasi Leihitu tidak saja karena konflik laten antar suku, melainkan telah ada alasan baru yaitu alasan agama. Sehingga dapat dimengerti bahwa konflik itu pun merupakan salah satu usaha “mengislamkan” Leitimor.
[13] H. Kraemer, op.cit, h. 18,19
[14] Ibid, h.21
[15] Padahal Pekabaran Injil Protestan pernah diusahakan berlangsung di sana sekitar tahun 1635, tetapi gagal. Justru di Tanimbar PI membuahkan hasil yang lebih baik antara tahun 1670-17.50. Th van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.78
[16] G. Vriens, SGKI, Jilid 3a, h. 502, 503
[17] Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries, Michigan: Baker Boos House, 1988, h.15,16
[18] loc.cit
[19] lht. Th. Van den End, op.cit, h.71,73
[20] ibid, h.23
[21] Bahkan Joseph Kam pun menemukan corak kekristenan yang tekun di kalangan orang-orang Ambon, ketika ia kemudian tahu bahwa di setiap rumah pada malam hari, terdengar kidung-kidung rohani dan orang khusuk berdoa. Baca. I.H. Enklaar, Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
[22] Kraemer mencontohkan hubungan orang-orang Salam Tulehu dengan Sarane Waay. Pada setiap hari minggu orang-orang Tulehu yang melintasi negeri Waay tidak sedikitpun bersuara [baribot], demikian pun orang-orang Waay tidak akan mengambil babi melintasi negeri Tulehu. Suasana yang sama tampak pula di Tial, di mana penduduk Islam dan Kristen tinggal berbaur. Kraemer, op.cit, h.22
[23] Padahal kekristenan di manapun akan menampilkan fenomena itu sebagai hasil kontekstualisasi dengan lingkungannya sendiri. Kekristenan di Eropa pun adalah hasil yang demikian.
[24] Ibid, h.19
[25] Van den End, op.cit, h.74
[26] bnd. David J. Hesselgrave,Communicating Christ Cross-Culturally: An Introduction to Missionary Communication, Michigan: Grand Rapids, 1978, h. 199

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara