DILEMMA “SALING PERCAYA”

Seorang anak kecil (mungkin berusia 6 tahun) di tepi jalan raya dengan gerobak, sedang menunggu bapaknya mengambil hasil kebun. Saya berjumpa dengan anak ketika saya berkunjung ke Jemaat Lumahlatal, Klasis GPM Taniwel, Seram Bagian Barat. Kala itu saya hendak mencari sebuah bangunan gereja yang katanya berada di dalam areal perkebunan satu keluarga di Ambon. Namanya gereja Eden, yang ternyata “terabaikan” padahal bangunan gereja itu “sangat mempesona” ibarat namanya, Eden.

Kepada anak itu saya bertanya tentang jalan masuk, karena ternyata saya sudah melewati jalan masuk itu sekitar 1 KM. Anak kecil yang baik hati itu menerangkan jalan masuk itu, dan akhirnya saya membalik arah lagi, dan menyusuri jalan raya sambil mencari jalan masuk tersebut.

Petunjuk yang diberinya ialah “sampai di ujung jembatan, di jalan beraspal, terus ada jalan mobil (jalang oto, dalam bahasanya) di sebelah kanan, lalu masuk saja, gereja Eden ada di situ”.
Dengan perlahan saya mengendarai sepeda motor, dan memperhatikan jalang oto seperti petunjuk si anak kecil yang baik hati itu. Di kiri kanan jalan bertebaran rerumputan, dan tidak ada jalang oto seperti yang saya kirakan dalam benak saya, yaitu suatu jalan yang bersih dan biasa dilalui kendaraan (oto) keluar masuk tempat itu.

Saya sempat terkejut seketika melintasi suatu tempat, persis di sebelah kanan jalan, yang mirip jalang oto, tetapi sudah ditumbuhi banyak sekali rumput, dan menutupi jalan itu. Saya lalu melewatinya dengan keyakinan mungkin di depan sana ada jalang oto yang dimaksud si anak kecil yang baik hati tadi. Tetapi sudah sekitar 300 m, tidak ada tanda-tanda jalang oto, akhirnya saya memutuskan kembali ke jalang oto yang sudah saya lewati itu.

Dengan berbesar hati, saya lalu masuk melewati jalang oto yang ditumbuhi rumput-rumputan setinggi pinggangku sendiri. Saya terus melintasinya, dengan prinsip “toh kalau salah, kan bisa kembali”. Sekitar 700 m, saya melintasi jalang oto itu, dan saya dikagetkan oleh sebuah pemandangan ironi di tengah hutan itu, kelihatan “ujung toreng gereja” di atas rimbunan pohon pakan ternak yang tumbuh di kiri-kanan jalanan itu. Saya yakin, jalang oto ini tidak salah, karena saya menemukan Gereja Eden, sesuai petunjuk si anak kecil tadi.

Ternyata, pemahaman saya tentang jalang oto berbeda dengan si anak kecil yang baik hati tadi. Saya membayangkan suatu jalan yang selalu atau sering dilalui kendaraan, tetapi bagi anak kecil yang baik hati tadi, itu jalan yang mungkin saja pernah dilalui kendaraan. Dia benar, pemahaman saya yang keliru, karena tidak menyesuaikan dengan pola pikir anak kecil yang baik hati tadi. Setibanya di depan gereja Eden itu, saya bukannya “kaget” dengan bangunan gereja yang “sangat mempesona itu” tetapi saya lalu berucap: “dangke lai ade, jalang ini batul”.


Saudara-saudara yang diberkati TUHAN!
Dari pengalaman saya dengan anak kecil yang baik hati tadi, dan oleh teks kita ini, ada beberapa hal yang penting kita simak tentang dilema untuk saling percaya:

KEPENTINGAN
Saudara-saudara yang diberkati TUHAN!
Menjadi “saling percaya” adalah hal yang kita perlukan, tetapi juga sulit terjadi di dalam proses hidup bersama, bahkan untuk kurun waktu yang panjang. Mengapa begitu? Perbedaan! Itulah alasan mendasar mengapa “saling percaya” itu suatu kebutuhan yang sulit terjadi dalam relasi bersama kita.

Saudara bisa mengatakan “perbedaan itu kan berkat TUHAN”. Benar! “Perbedaan itu kan potensi atau kekayaan bersama”. 100 untuk anda! “Biar berbeda, tetapi satu”. Anda betul! “Perbedaan itu kan bukti TUHAN itu kaya”. Anda jenius! Tetapi apakah semua hal itu sudah sangat menjadi kekuatan dalam “saling percaya”? Apakah semua orang sudah benar-benar menjadi sadar akan perbedaan itu? Saya juga kurang tahu.

Di dalam masyarakat yang majemuk, perbedaan itu selalu dijadikan alasan untuk “tidak sejalan” atau “tidak perlu sejalan”, sebab di dasar perbedaan itu kita sudah tidak lagi melihat pada apa yang menjadi kebutuhan bersama (the needs) tetapi kita berpegang pada “kepentingan”, entah kepentingan individu, atau kelompok. Faktor kepentingan itu yang selalu membuat kita berada di dalam dilema untuk saling percaya.

Pada saat kita mengeksploitasi kepentingan di dalam perbedaan (kemajemukan) kita, di situlah kita sedang menabur harapan kosong di dalam hidup bersama. Sebab kepentingan selalu dibangun di atas dasar “apa yang harus kita peroleh” (something to have) bukan “apa yang harus kita bagi (something to share)”. Oleh kepentingan, tidak ada sharing life yang mutual.
Teks kita menjelaskan bahwa persoalan kepentingan menjadi salah satu faktor mengapa dalam tugas-tugas kerasulan, Paulus dan kelompok 12 murid selalu berseberangan. Bagi kelompok 12 murid, injil hanya ditujukan kepada orang-orang Yahudi, yang “kudus”, dan bukan kepada orang-orang bukan Yahudi yang “kafir”. Berbeda dengan itu, Paulus, sebagai orang Yahudi, menisbikan tanda sunat dan ciri kekudusan dalam standar Yahudi, dan bekerja di kalangan orang-orang yang distigmakan “kafir”. Ia bahkan berteman, dan menjadikan teman-temannya pemberita injil, dengan orang-orang yang distigmakan “kafir”, termasuk dengan Titus.
Perbedaan sudut pandang itu bertahan lama di dalam masa-masa mereka bertugas mengabarkan injil. Konflik itu bahkan terus memanas, dan pokok soalnya hanya satu, yaitu apakah pantas mengabarkan injil kepada orang-orang bukan Yahudi, yang tidak bersunat?

PENYERAGAMAN (uniformitas)
Saudara-saudara yang diberkati TUHAN!
Faktor kedua dalam dilema untuk saling percaya adalah kecenderungan memaksa orang lain “menjadi sama dengan kita”. Ini juga yang menjadi titik dilema antara Paulus dengan kelompok 12 murid.

Dalam pengalaman saya dengan anak kecil yang baik hati tadi, saya terkesan “menyamakan” defenisi jalang oto sesuai standar pemikiran saya, dan bukan menerima defenisi dan bahkan sifat jalang oto seperti dipahami anak kecil yang baik hati tadi. Akibatnya ialah saya melakukan suatu perjalanan yang tidak efisien. Itu bisa menghambat pencapaian tujuan. Artinya bertentangan tentang standar defenisi kita bisa mengaburkan cara dan langkah mencapai tujuan yang kita cita-citakan.

Penyeragaman di sini biasa ada dalam bentuk pemahaman tetapi juga tanda-tanda (simbol) fisik. Kita selalu merasa “sama” karena faktor suku. “Beta dar’ Ambon”. Kata si Johny! “beta jua orang Ambon”, imbuh si Mery. “Oh, katong sama-sama Ambon”, kata mereka serentak. “Aku, Ambon”, kata si Marsel. “Aku, Jawa”, kata si Sugeng! “Oh…”, seru si Marsel.

Tanda fisik yang membedakan kita bisa karena suku, agama, ras, dll. Akibatnya, walau kita menggunakan bahasa yang sama, dan membahasa secara sama pula, seperti si Marsel dan si Sugeng tadi, tetap oleh tanda fisik yang lain tadi, kita akan tetap merasa kita beda. Apa jadinya? Kita akan tetap bertahan di dalam identitas yang berbeda itu, dan bisa saja mau agar orang lain itu menjadi sama dengan kita. “Cilaka”. Sebab, suatu perbedaan identitas bisa saling berbaur (adaptasi) tetapi tidak bisa diseragamkan, sebab penyeragamannya justru membentuk struktur dominan pada identitas tertentu yang dijadikan acuan/kiblat.

Paulus tidak melakukan hal itu. Dalam tugas kerasulannya, identitasnya sebagai Yahudi tetap diproklamasikan. Bahkan sebagai Yahudi, ia pernah membunuh (menganiaya) orang-orang Kristen yang mengaku percaya kepada Yesus. Itu pun tetap diceritakannya berulang-ulang. Ia pun mengakui bahwa dirinya bukan kelompok 12 rasul. Itu pun ia tegaskan di setiap kesempatan. Ia duduk semeja dengan orang-orang Yunani, tidak seperti Petrus yang memarahinya. Ia berkawan dengan Titus, Onesimus, Lidya, Priscila, dan orang Yunani lainnya. Ia bahkan berkelana ke Arab, dan berbagai tempat di luar keyahudian. Dia tetap Paulus, rasul Yesus Kristus.

Bahkan di dalam teks ini, Paulus tetap menjadikan Titus sahabatnya, tanpa memaksakan dia bersunat. Identitas Titus yang berbeda dari Paulus (ay.3) tetap dipertahankan dan dijadikan sebagai suatu orientasi baru, bahwa yang penting adalah komitmen mereka menjalankan tugas pekabaran injil. Paulus bahkan mengingatkan jemaat untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang lain yang memprovokasi mereka oleh keberadaan Titus tadi, sebab yang penting dari semuanya adalah kebenaran injil (kabar baik) yang ada pada jemaat (ay.5).

SALING MENERIMA dan SALING MENGAKUI (acceptence)
Saudara-saudara yang diberkati TUHAN!
Kedua persoalan tadi menunjukkan bahwa dilema untuk saling percaya juga diakibatkan karena kita tidak bersedia saling menerima dan saling mengakui keberadaan orang lain, termasuk saling menerima dan saling mengakui dalam seluruh status sosial dan kedudukan mereka.

Kita cenderung menerima dan mengakui orang lain, dengan syarat “kalau sama dengan kita”. Selalu ada syaratnya. Padahal dalam masyarakat plural, aspek saling menerima dan saling mengakui itu tanpa syarat (unconditional acceptence). Ini yang membuat selalu kerjasama atau dialog antar-sesama, antar-agama, antar-iman mengalami jalan buntu. Atau hanya terjadi di meja-meja seminar, dan melalui para elite agama.

Tetapi terkadang elite ini pun menampilkan suatu perilaku “munafik”. Di meja dialog mereka bersepakat, tetapi ketika kembali ke masyarakat, mereka menjadi provokator.

Oleh sebab itu, hal saling menerima dan saling mengakui hanya menjadi bahan diskusi dan tidak membentuk kesadaran bersama masyarakat. Struktur kesadaran kita menjadi rapuh karena kita kehilangan pengalaman hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda dari kita. Kita juga selalu mendapat nasehat dan bimbingan dari para pemimpin kita sendiri, dan kurang diberi kesempatan mendengar bimbingan orang lain. Kita bahkan membangun sikap yang eksklusif dan mau menang sendiri (triumphalistik), sehingga tidak mau mengakui adanya kebenaran di dalam agama orang lain. Lalu memutalakkan ajaran kita sebagai yang paling benar, dan bukan ajaran orang lain (truth claim).

Teks kita mengatakan Yakobus, Kefas dan Yohanes “berjabat tangan” dengan Paulus dan Barnabas, dan Titus (ay.9). Apakah ini mengalamatkan bahwa mereka sudah saling mengakui dan saling menerima? “Jabat tangan” merupakan simbol kesepakatan dan perdamaian. Ia harus terjadi karena ketulusan untuk menerima dan mengakui keberadaan orang lain, kemudian tanda itu harus melahirkan moral yang baru untuk hidup dan bekerja bersama.

Saya masih menaruh curiga terhadap akta “jabat tangan” di antara mereka. Karena dalam ay.9 itu pun terkesan bahwa akta itu hanyalah semacam tanda damai, untuk tidak lagi bertentangan tentang hal bersunat atau tidak bersunat. Artinya, hal itu jangan lagi dipolemikkan. Mengapa saya curiga, sebab setelah berjabat tangan itu, Petrus dan kawan-kawannya kembali kepada orang-orang bersunat, dan Paulus serta kawan-kawannya kembali kepada orang-orang yang tidak bersunat.

Petrus dan kawan-kawan kembali ke dalam eksklusifitasnya, dan Paulus melakukan kritik dengan mengingatkan bahwa “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya” (ay.10).

Paulus berbalik dari identitas bersunat atau tidak bersunat, kepada kondisi sosial-ekonomi jemaat, yaitu orang-orang miskin. Dengan begitu Paulus hendak menunjukkan bahwa debat tentang identitas agama, suku, tentang hal bersunat atau tidak bersunat, bukanlah hal yang penting.

Kepedulian kepada orang-orang miskin adalah hal yang penting dan tidak boleh ditenggelamkan oleh tanda-tanda keagamaan seperti sunat, dll itu. Dengan begitu, Paulus melakukan suatu reorientasi dalam tugas pekabaran injil, yaitu injil yang harus dapat membebaskan orang dari kemiskinan dan berbagai persoalan kemanusiaannya. Bentuk kepedulian sosial itu sekaligus adalah suatu pengingatan bahwa “perbedaan adalah kekayaan hidup bersama yang harus membuat kita berani berbagi dengan orang lain, agar kita menjadi kaya dan mereka pun mengalami pengkayaan”.

Adik kecil yang baik hati, akhirnya saya pun akan berkata: “dangke lai ade, jalang ini batul”. Amin

Materi Khotbah Minggu, 20 Januari 2008
Teks : Galatia 2:1-10
Pdt. Elifas Tomix Maspaitella
19 Januari 2008

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara