AMBTENAR dan PENDATANG:

Klaim Landscape dan Interelasi Demografis di Ambon

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


A. “Orang Bisu” dalam Sejarah Masyarakat

Sejarah kita cukup lama didominasi oleh cerita mengenai “orang-orang kuat”. Suatu sejarah yang elitis; memamerkan prestasi-prestasi para penguasa. Sejarah itu terkesan ditulis untuk memperkuat suatu hegemoni; padahal ketika terjadi – historical event – semua orang terlibat di dalamnya. Orang-orang di kemudian hari yang secara ajek menyusun suatu klasifikasi dan periodisasi yang hanya menonjolkan “salah satu bagian” serta “sekelompok aktor” dari sejarah itu.[1]

Orang kebanyakan yang justru besar perannya dalam sejarah itu terabaikan. Akibatnya, kita – di kemudian hari –hanya melihat dan memahami sejarah dari suatu sisi yang primordialistik, tidak komprehensif/utuh. Usaha memahamkan sejarah secara utuh kemudian terbentur oleh kendala data, karena tindakan menyejarah dari orang-orang kebanyakan sudah terlupakan, atau bahkan hilang ditinggal tradisi penulisan sejarah yang seperti tadi. Di sisi lain, sejarah lisan dan tradisi lisan,[2] masih terkadang kurang akurat, pelaku sejarahnya pun sudah lama “meninggal”, atau terlalu lama “dibungkamkan”.[3]

Sejarah dalam arti itu bukanlah suatu diskripsi atas historisitas yang konkruen, yang mendramatisasikan dinamika setiap “pelaku sejarah”. Historisitas – dalam tradisi ilmu – adalah suatu gambaran menyeluruh (detail) mengenai waktu dan ruang keberadaan manusia. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan bahkan eksistensinya adalah eksistensi historis, suatu eksistensi mutual antara seseorang dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben).[4]

Sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah masyarakat, tetapi sebetulnya sejarah kependudukan (demografis). Konsekuensinya ialah, perlu mendiskripsikan seluk-beluk dan lika-liku kependudukan yang tidak bisa dipisahkan dari beberapa aspek, yakni:

- Pertumbuhan masyarakat manusia. Spesifiknya ialah pertambahan penduduk di suatu wilayah sebagai akibat langsung dari natalitas (angka kelahiran), serta migrasi dan pembentukan teritori. Sebetulnya mortalitas menjadi juga cakupan data yang tidak bisa diabaikan dari pembicaraan ini. Namun, studi ini akan difokuskan khusus pada ratio pertambahan penduduk sebagai “ranah” yang mencakupi pokok kajian di atas.[5]

- Pola alokasi permukiman dan daya dukung kewilayahan (carrying capacity). Secara khusus menyoroti aspek-aspek pembangunan dan penetapan suatu teritori permukiman. Di sini tampak bahwa suatu wilayah permukiman dapat dibentuk karena aspek sosio-kultural, sehingga misalnya terjadi suatu teritori yang lebih bersifat genealogis; atau juga karena faktor perekonomian. Di sini penting dilihat interelasi-demografis, yang terkait dengan pola pembagian tempat tinggal.[6] Pola pembagian tempat tinggal itu lalu ~ secara geografis ~ membentuk domain-domain yang disebut landscape, atau region-region struktural dan fungsional.[7]

- Pembauran sosial di antara warga di suatu lingkungan. Aspek historis yang perlu dilihat dalam kaitan dengan ini ialah bentuk-bentuk institusionalisasi sosial di antara warga dan bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin di antara mereka.

Mempersoalkan dan/atau mendiskusikan sejarah kependudukan di Ambon, mengantar masuk ke dalam suatu paparan sejarah pertemuan orang-orang setempat dengan para pengelana dari luar. Suatu pertemuan antarkomunitas yang membawa di dalam dirinya fondasi nilai sosial masing-masing. Pertemuan itu terjadi baik dengan bangsa asing, seperti Arab, Cina, India, yang datang dengan murni misi dagang, atau dengan “bangsawan Jawa” yakni “orang Mojopahit”, para penyiar agama (Islam) khususnya dari Tuban dan Gresik, tetapi juga para pedagang dari Malaka,[8] manusia perahu dari Sulawesi (Buton, Bugis dan Makasar)[9]. Kelompok-kelompok ini kemudian membentuk komposisi kependudukan masyarakat Ambon yang plural.
Masih dalam garis sejarah yang sama, penting pula didisuksikan pertemuan orang-orang Ambon - yang plural itu - dengan kolonial, sejak Portugis, Belanda hingga zaman pendudukan Jepang. Relasi kaum kolonial dengan orang-orang Ambon, berpengaruh pula dalam peta demografis dan alokasi permukiman khusus di Kota Ambon (Distric van Amboina).[10]

Tetapi jika pokok diskusi dikembangkan masuk ke wilayah permukiman penduduk, maka akan tampak suatu potret perkampungan yang umumnya heterogen. Ini tentu saja terjadi sejak zaman leluhur, tetapi yang kemudian pula mendapat pengaruh dari kolonial, terutama Belanda. Potret lain yang tak kalah menariknya, yaitu terbentuknya “kampung-kampung Buton” di dalam teritori negeri-negeri Kristen, khusus pada beberapa lokasi di Pulau Ambon.

Kedua potret itu merupakan suatu hasil pertemuan interpersonal orang-orang Ambon dengan pendatang, yang serta merta membawa terjadinya pertukaran ide dan pemahaman sosial masyarakat. Penduduk seperti dimaksudkan dalam potret yang kedua, lambat laun mengalami sentuhan nilai setempat, sehingga pemahaman dirinya juga berubah. Mereka “tidak mau” disebut sebagai “pendatang” melainkan lebih suka disebut sebagai juga “orang setempat”. Kasus ini menjadi menarik terkait dengan semantik kebudayaan yang digunakan, seperti akan diulas lebih jauh dalam tulisan ini.

“Orang-orang bisu” dalam apa yang dimaksudkan pada bagian ini, tidak menunjuk kepada person tertentu secara real. Istilah itu tentu adalah suatu kesengajaan. Tetapi jika kemudian ditilik dari sejarah kontak orang Ambon dengan pendatang, istilah itu sarat makna semantiknya. Memang, jika kemudian tarikh yang diambil adalah pada zaman kolonial, kesan umum (public opinion) yang selama ini ada ialah, betapa orang-orang di Leitimor, yang kemudian identik dengan Kristen, sangat dekat dengan Kolonial. Paparan sejarah seperti ditulis J.A. Keuning, atau juga beberapa risalah dari Paramitha Abdurahman, kemudian juga diskripsi panjang lebar dari R.Z. Leirissa, dan terakhir sejarah terbentuknya negeri-negeri di pulau Ambon buah karya J.A. Pattikaihatu, akan memperlihatkan “kedekatan” hubungan orang-orang Leitimor dengan Belanda. Bahkan Richard Chauvel lebih tegas lagi memperlihatkan data bahwa orang-orang Leitimor, yang kala itu adalah Kristen, mendapat hak istimewa dalam dunia pendidikan dan militer ketimbang orang-orang Leihitu.

Sejarah, akan mengatakan, benar. Bahwa “close relationship” antara orang-orang Leitimor dengan Belanda berpengaruh bagi posisi sosial mereka. Tetapi sejarah pun tidak bisa menyembunyikan kenyataan, sejak akhir abad ke-19, para pendatang dari Sulawesi, dan sebagian orang-orang Arab, malah keluar dari Hitu, masuk ke wilayah Leitimor, dan “membangun” lokasi permukiman mereka di dalam teritori negeri-negeri Kristen. Bahkan kiprah ekonomi orang-orang Arab, dan tentu saja Cina, justru semakin meningkat, dan malah menjadi suatu kongsi baru, menyaningi VOC.[11]

Pada masa kolonial, Belanda telah membentuk permukiman homogen, berdasarkan agama yang dianut penduduk di Ambon. Tetapi dalam masa itu pula, telah terjadi permukiman heterogen, khusus kampung-kampung baru di negeri-negeri Kristen, yang dihuni oleh para pendatang dari Buton. Afiliasi itu sebetulnya menjadi model dari kontak interpersonal orang-orang Ambon dengan para pendatang.

“Orang-orang bisu” yang dimaksud dalam bagian ini adalah figurasi sejarah dari afiliasi sosial yang hampir tidak diperhatikan dalam berbagai tulisan sejarah masyarakat di Ambon.[12] Padahal ia sudah turut membentuk basis sosial kehidupan orang Ambon, dan bahkan “mematahkan” percaturan hegemoni antara orang-orang Leihitu dan Leitimor yang telah lama bertikai, jauh sebelum masuknya agama dan orang Barat.[13]

B. Benteng dan Terbentuknya Pemukiman “Kuli” di Ambon
Paparan ini sebetulnya harus mencakup komposisi permukiman penduduk Ambon dari waktu-waktu yang paling awal, yaitu permukiman orang-orang asli, dan pembauran yang kemudian terjadi dengan migran dari Seram. Atau perlu penilikan ke masa leluhur. Usaha itu akan menyajikan konteks terbentuknya negeri-negeri yang genealogis. Suatu perikatan sosial yang dibangun atas relasi kekerabatan dan kekeluargaan. Secara sosiologis, dari corak genealogis itu, di Ambon dan Maluku pada umumnya, seseorang dikenal asalnya dari fam/marga.
Usaha itu tentu tidak bisa diabaikan sebab penting untuk memperlihatkan dimensi sejarah kependudukan Ambon secara detail. Tetapi tulisan ini akan lebih cenderung difokuskan pada komposisi kependudukan Ambon pada masa kolonial, sebagai titik berangkat (tarikh) yang signifikan untuk melihat difergensi sosial dan sebetulnya corak afiliasi di dalam masyarakat itu sendiri.

Data-data sejarah mengenai “Ambon” pada masa awal datangnya Portugis, hanya mengkisahkan kondisi lingkungan yang hijau ditumbuhi aneka pohon, suatu lokasi yang sejuk, dan dikelilingi oleh deretan bukit kecil di bagian selatan. Bagian teluknya diapit dua buah tanjung (Nusanive dan Alang). Permukiman penduduk sangat jarang, karena penduduknya berserak di kampung-kampung terpencil.[14]

Sejak datangnya di Maluku, Portugis lebih banyak melakukan kontak dagang dengan Ternate-Tidore. Kedua wilayah ini merupakan kekuatan politik di Kolano Moluko. Berbagai persepakatan dagang terjadi di sana, sampai dengan kongsi-kongsi yang sudah berkembang dalam berbagai hubungan di antara mereka. Tetapi pusat produksi pala ada juga di Banda, sehingga Portugis pun masuk ke daerah-daerah itu. Rentang hubungan Ternate – Banda itulah yang kemudian menjadikan Hitu di Pulau Ambon, sebagai juga bagian dari kekuasaan Ternate, mulai dikenal dan dijadikan salah satu bandar yang penting (1512).

Intensitas perjumpaan dengan orang-orang Hitu, dan atas bantuannya dalam mengembangkan kehidupan perekonomian, Portugis diberi izin membangun perumahan (castil) di tepi pantai Hitu (1525).[15] Pendirian rumah ini sekaligus menandai berdirinya kekuasaan Portugis di Pulau Ambon. Tetapi usia benteng itu tidak terlalu lama, sebab, seiring dengan pembunuhan atas Sultan Hairun di Ternate, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap Portugis dari sana. Hitu, yang telah masuk dalam aliansi Ternate pun melakukan tindakan yang sama.[16]

Tindakan mana membuat Portugis masuk ke wilayah Leitimor. Penduduk di kawasan ini telah lama bertikai dengan orang-orang Leihitu. Kelompok ini ~ oleh Leihitu yang telah masuk dalam aliansi Islam Ternate-Tidore, dipandang kafir (musyrik). Konflik semula Leihitu-Leitimor, sebetulnya dibidani oleh prestisius tradisional, menyangkut batas-batas kewilayahan.
Namun, dengan masuknya Portugis ke kawasan ini, konflik juga menyertakan di dalamnya simbol-simbol keagamanaan, dan sarat dengan sentimen kelompok yang terus menguat.
Hal itu ~ bukan tidak penting ~ tidak akan dibicarakan panjang lebar dalam tulisan ini. Pada prinsipnya, bergesernya Portugis ke Leitimor, lalu menjadikan Ambon sebagai salah satu bandar dagang yang penting. Teluk Ambon menjadi salah satu mata rantai perdagangan yang baru dalam lintang Ternate – Banda – Ambon – Malaka.

Di Ambon, Portugis mendirikan benteng (New Victoria) sebagai simbol kekuasaan mereka. Dengan begitu, terjadi kontak yang intensif dengan penduduk setempat ~ termasuk secara efektif melalui penyiaran agama kristen (proselitisme) di kalangan orang-orang pegunungan Ambon.

Kontak dengan orang-orang Ambon umumnya untuk kepentingan dagang dan politik ~ termasuk agama. Masyarakat di sekeliling benteng (seperti kampung Mardika) telah membangun relasi yang baik dengan Portugis. Di samping itu, penduduk Hative Besar, sebagai lokasi tempat tinggal pertama Portugis setelah dari Hitu, terus mengadakan kontak dengan Benteng, dan juga orang-orang Uliaser, untuk mendagangkan hasil-hasil perkebunan mereka. Di samping itu, penduduk di negeri-negeri yang sudah dikatolikkan[17] juga masih dalam hubungan yang baik dengan benteng di Ambon.

Dari kontak itu, terjadi perkawinan campuran di antara mereka. Namun pada saat Casper de Melo menyerah keada Steven van der Haghen (23 Februari 1605), terdapat 35 orang Portugis yang telah kawin dengan perempuan Ambon. Atas permintaan Diego Barbudo, mereka diperbolehkan menetap, dan tidak terangkut pulang bersama armada Portugis lainnya.[18] Mereka menetap di perkampungan yang dikenal bermana “Vardeis dan da Silva”.
Bertepatan dengan peralihan kekuasaan dari Portugis ke Belanda, orang-orang yang semula tinggal di sekitar benteng mengungsi ke pegunungan. Van der Haghen, sebagai pimpinan armada Belanda langsung menghubungi Pater Massonio (Katolik-Portugis) untuk membujuk penduduk-penduduk itu agar kembali ke tempat tinggalnya semula. Salah satu bentuknya melalui perjanjian dengan tiga raja di Leitimor, yakni Raja Soya, Kilang dan Ema. Dari perjanjian itu, masyarakat di ketiga wilayah ini memiliki kewajiban bekerja di Benteng. Perjanjian itu bertujuan agar Belanda membantu mereka mengatasi serangan dari Pulau Seram dan Leihitu. Jaminannya adalah mereka akan terlibat dalam Hongi dan bekerja di benteng. Akibatnya terbentuklah perkampungan “kuli” yang dikenal dengan sebutan “Soa Ema”, “Soya Kecil/Belakang Soya”, dan “Soa Kilang”.

Setiap hari mereka berkewajiban melayani orang-orang di Benteng, dan juga membangun tembok serta parit di sekeliling benteng. Lambat laun kaum “kuli” ini merasa tersiksa oleh pekerjaan itu, sehingga menolak untuk bekerja di sana. Alasannya ialah pekerjaan terlalu keras seperti mempertinggi tembok benteng, menggali parit yang lebar, mendirikan bangunan baru; bekerja tanpa dibayar; menjadi pendayung kora-kora Gubernur Jenderal, tanpa dibayar, dan malah harus menyiapkan perbekalan sendiri. Di samping itu, khusus bagi para pendayung, mereka trauma dengan sikap Belanda ketika menculik orang Siau (Sangihe) dan Solor untuk dibuang sebagai “kuli” di Banda (1616).[19]

Perkampungan “kuli” ini tidak pernah disorot dalam catatan dan manuskrip sejarah kependudukan di Ambon. Sejarah kependudukan hanya menceritakan interelasi demografis, tetapi mengabaikan jeritan para “kuli” yang bekerja tanpa upah yang memadai.
Bahkan orang Ambon sendiri pun merasakan sebuah romantisme yang indah dalam hubungan dengan Belanda ~ termasuk orang-orang Soya, Kilang dan Ema ~ tanpa pernah merefleksikan kesengsaraan para kuli benteng ini. Para kuli benteng adalah orang-orang yang terbungkam dalam sejarah kontak orang Ambon dengan Belanda, dan perkampungan para kuli ini pun masih menjadi saksi bisu dari drama kesengsaraan yang pernah dialami masyarakat ini.

C. “Kampung Buton” : Formasi Landscape Leitimor
Orang Buton adalah sekelompok kecil dari migran yang masuk ke Maluku. Penjajakan sejarah lalu dapat memperlihatkan bahwa kelompok ini bahkan sudah datang dari abad ke-7, dan semakin banyak pada abad-abad ke-13/14.

Mereka semula adalah kelana yang datang untuk kepentingan dagang. Pada awal kedatangannya mereka tergolong sebagai migran temporal, yang termotivasi hanya untuk kerja (dagang), tidak untuk mencari tempat yang baru sebagai tempat tinggal. Oleh sebab itu, daerah yang dimasukinya hanya wilayah pantai Hitu, dan umumnya tinggal di atas kapal-kapal (jung) mereka.

Bersamaan dengan tergesernya Portugis ke daerah Teluk Ambon (Leitimor), kelompok ini juga lalu mulai bermigrasi ke area tersebut. Namun bukan menjadi bagian dari kelompok orang-orang Portugis.

Perpindahan Portugis ke Leitimor, dan kemudian Belanda, dalam strategi kependudukan, merupakan bagian dari usaha menegakan kepentingan Kolonial atas hubungan politik dan dagang yang ada kala itu. Oleh karena itu, kasus perkawinan dengan orang-orang setempat, dalam studi demografis, adalah juga bagian dari usaha mempercepat distribusi penduduk untuk kepentingan kekuasaan.[20]

Kelompok orang-orang Buton mulai membangun permukiman [sementara] di pinggiran pantai Teluk Ambon. Mengenai orang-orang Cina dan Arab lebih banyak menguasai urusan dagang dan ekonomi di Ambon kala itu. Mereka telah ada di Maluku jauh sebelum datangnya bangsa Eropah. Bahkan orang-orang Cina yang pertama-tama mendagangkan rempah-rempah, dan sebetulnya berusaha menyembunyikan tempat asal rempah-rempah itu.

Mengenai pola bermukim, kelompok ini tidak membangun suatu wilayah permukiman tersendiri yang bercorak ekonomis [seperti misalnya Pecinan atau Chinas Town di beberapa negara seperti Kualalumpur, Amerika Serikat, dll]. Mereka tinggal berbaur dengan penduduk setempat, dan bahkan ada yang sudah sampai ke negeri-negeri di pegunungan Leitimor.[21]

Berbeda dengan kelompok migran Buton. Lambat laun mereka bergeser dari pantai Teluk Ambon menuju ke negeri-negeri yang ada di Leitimor. Pergeseran ini terbatas pada satu atau dua keluarga untuk keperluan berusaha (nelayan dan berkebun). Di negeri-negeri yang didatangi, mereka meminta sebidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal, dan umumnya di tepi pantai.

Lambat laun, dari satu atau dua keluarga itu, berdatanganlah keluarga-keluarga Buton yang lain, sehingga lokasi bermukim mereka menjadi semakin luas, seiring dengan dibangunnya rumah-rumah yang baru. Perkawinan di antara mereka pun lalu mengubah formasi demografis orang-orang Buton di negeri-negeri Leitimor itu.

Dari perkampungan-perkampungan Buton yang terbentuk itu, dapat dikenal seperti Buton Airlow, Buton Amahusu (di Nusaniwe), Wara, Wangsi, beberapa rumah kebun di Hatalae, Soya, Kusu-Kusu Sereh (Sirimau), Buton Waeputih dan Lawena (di Hutumuri), Buton Larela (di Rutong), Buton Waisuirisa (di Leahari). Kampung-kampung Buton ini tergolong besar, seperdua dari negeri-negeri asli setempat. Bahkan penduduknya ada yang lebih besar dari total penduduk setempat, misalnya ratio penduduk Buton Larela dengan Penduduk Rutong (2:3), dan terutama penduduk Buton Waisuirisa dengan penduduk Leahari (3:3).[22]

Implikasi yang cukup menarik dari persebaran kampung-kampung Buton itu adalah mentalitas kerja yang cukup tinggi dari orang-orang Buton, yang memberikan kontribusi cukup tinggi bagi perekonomian di wilayah-wilayah pedesaan.[23]

Mereka menjadi kelompok yang intens dalam bidang perkebunan dan usaha penangkapan ikan. Hasil produksi mereka digunakan bukan untuk sekedar subsistensi, melainkan juga dipasarkan.
Dalam kaitan itu, mata rantai perdagangan di kalangan orang-orang Ambon, sebetulnya digerakkan oleh para pendatang, dan bukan oleh orang-orang setempat. Kelompok pendatang ini menjadi barometer pasang surutnya perdagangan atau dunia perekonomian di Ambon, bahkan sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum konflik Maluku 1999.

Kampung-kampung Buton, selain mampu mendeskripsikan tingkat afiliasi sosial di kalangan orang-orang Leitimor yang umumnya Kristen dengan pendatang yang beragama Islam, juga menggambarkan secara aktual terbentuknya sentra-sentra produksi yang sekaligus menjadi pemasok barang-barang kebutuhan masyarakat. Ia hadir dalam suatu lingkaran perekonomian yang mendukung stabilitas pasar di Kota Ambon.

Suatu gelombang sentripetal, di mana wilayah-wilayah periphery secara aktif dan intensif memberikan kontribusi bagi dunia pasar di Ambon. Di samping itu, pasokan pekerja jasa di Ambon ~ sampai tahun-tahun terakhir sebelum konflik ~ juga datang dari kelompok pendatang ini. Suatu peta perubahan yang cukup vulgar menampilkan dinamisnya kaum pendatang dalam dunia perekonomian, daripada orang-orang setempat. Gejala itu sebetulnya yang membuat, kelompok pendatang ini tidak lagi menjadi migran temporal, tetapi lebih suka menjadi migran seumur hidup.

Hal ini disajikan untuk mengatakan bahwa aspek demografis melalui persebaran penduduk dan migrasi, merupakan faktor yang penting dalam menggerakkan perubahan sosial di suatu wiayah, karena serentak terjadi peralihan dan transformasi sosial yang luas, meliputi hampir seluruh aspek kehidupan perekonomian itu sendiri. Di sini kita penting pula mencatat trasmigrasi sebagai salah satu strategi demografis yang juga membawa perubahan yang cukup signifikan bagi dunia perekonomian di Maluku.[24]

D. Negeri dan Kampung Buton
Kolonialisme membawa pengaruh yang besar dalam perubahan sosial di mana pun ia berada. Menurut Malinowski, kelompok ini sangat aktif dan dinamis, serta mendominasi struktur kehidupan masyarakat. Ia mampu mengubah sistem-sistem sosial di tempat mana ia datang, dan karena itu membangun suatu tatanan yang baru, yang identik ~ jika tidak sama seluruhnya ~ dengan sistem sosial kolonial itu.[25] Konteks mana bertujuan untuk memperkuat posisi dan kekuasaan kolonial; menjadikannya superstruktur dan orang-orang setempat (vesel) adalah subordinat.

Di mana pun, Kolonial pertama-tama membangun komunikasi dengan pimpinan-pimpinan wilayah, yang kemudian menjadi orang dekat kolonial. Dalam konteks Maluku, kelompok ini adalah para Raja, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi bagian dari pegawai adminstratif Residen Belanda di Amboina.[26]

Jika kemudian ada identifikasi atau semacam stereotype (citra baku) orang Ambon sebagai kelas Ambtenar, kelompok ini hanyalah kalangan keluarga para raja, yang memang berhak atas pendidikan dan pekerjaan yang “lumayan” bagus pada masa itu. Kelompok rakyat terbesar, adalah para kuli yang bekerja di benteng-benteng dan rumah-rumah Mester Belanda.
Kebetulan sekali, kelompok yang memiliki hubungan dekat dengan Belanda itu adalah orang-orang Leitimor yang beragama Kristen ~ juga di Uliaser, maka kelas Ambtenar ini menjadi semacam penanda yang general bagi orang Leitimor. Padahal di lapisan bawah masyarakat, terkonstruksi kelas kuli yang selama sejarah diabaikan. Orang hanya mengacu pada penggolongan umum yang hegemonik mengenai orang Ambon.

Ironisnya lagi, stereotype Ambtenar ini menjadi semacam status sosial, yang berpengaruh ke dalam cara berpikir dan mentalitas kerja orang-orang Ambon secara umum. Kecenderungan menjadi “soldadu” dan “pegawai pemerintah” (ambtenar) telah menjadi orientasi kerja yang digeneralisasikan kepada orang Ambon. Akibatnya mentalitas ini terbentuk kuat. Orang Ambon akhirnya kurang meminati kerja jasa dan berdagang (wirausaha). Alasannya tidak sesederhana pada besarnya keuntungan atau rendah tingginya harkat pekerjaan itu, tetapi karena kerja telah dilihat sebagai bagian dari perjuangan memperoleh status sosial.

Kerja dikonstruksi sebagai bagian dari cara orang memperoleh kekuasaan, sehingga para soldadu dan pegawai pemerintahan adalah kelompok superstruktur, dan orang lain adalah substruktur di bawahnya.

Berbeda secara tajam dengan pendatang orang-orang Buton. Kelompok ini melihat kerja sebagai bagian dari usaha memperbaiki kondisi ekonominya. Mentalitas kerja yang tinggi, dibarengi oleh tingkat produksi yang memadai, membuat kerja bagi kelompok ini adalah bagian dari survavilitas mereka. Dari sisi pendapatan, justru kelompok ini yang lebih mapan.
Ironisnya, kelompok pendatang ini sering dipandang secara pejoratif. “Buton” atau “binungku”, tidak sekedar menjadi identitas etnik, melainkan istilah yang memojokkan. Jika ada orang yang tidak baik kelakuannya menurut standar etik umum, akan dikatakan “parsis buton” (=mirip orang buton). Atau jika ada yang buruk penampilannya, dalam hal ini berpakaian kotor, akan disebut “binungku”. Bahkan istilah-istilah yang pejorasi itu pun sampai dengan embel-embel nama, seperti “Wa Saena” – untuk perempuan yang buruk penampilannya, atau “La Mbogo atau La Koromo” untuk lelaki yang buruk kelakuannya.

Bagian ini tidak akan membahas hal itu secara detail. Sebagaimana tergambar dalam sub judul tulisan ini, maka interelasi demografis antara orang-orang Ambon dengan pendatang, terutama terbentuknya kampung-kampung Buton, telah melahirkan suatu region yang bercorak fungsional, di mana terdiri dari wilayah-wilayah yang saling berhubungan.[27] Matra hubungan itu adalah matra ekonomi, melalui pertukaran produksi dan modal.

Interelasi demografis antar penduduk suatu negeri dengan penduduk kampung Buton di dalam teritori negeri itu, seperti contoh tadi, menggambarkan perubahan dalam landscape negeri-negeri Kristen di Leitimor. Landscape ini menggambarkan afiliasi orang setempat dengan pendatang, yang lebih banyak didasarkan pada hubungan ekonomi produksi. Corak homogenisasi dalam landscape ini memang tetap tampak, karena permukiman yang terpisah, tetapi interelasi demografis berlangsung cukup intens.

Negeri tetap menjadi kekuatan dominan (pada hierarkhy sosio-politis), sedangkan kampung-kampung Buton merupakan wilayah bawahan dari teritori negeri itu. Kampung Buton merupakan klaim teritori negeri.

Tidak ada friksi yang terlalu tajam dalam hubungan antara keduanya. Hal itu terjadi karena kontak kedua komunitas ini telah berlangsung lama, dan kelompok Buton sudah mengidentikkan diri sebagai “orang setempat”. Mereka telah berurat akar di wilayah setempat, sehingga tidak lagi memandang perbedaan etnis sebagai titik krusial dalam hubungannya.
Suasana itu tampak sangat harmonis, walau di dalam klaim teritori yang homogen. Faktor agama tidak lalu menjadi point persinggungan, karena pola permukiman seperti itu. Setiap kelompok bebas menjalankan kewajiban agamanya masing-masing.

Realitas itu berubah secara drastis pada saat konflik Maluku. Kelompok pendatang di kampung-kampung Buton tergeser ke region lain yang mayoritas beragama Islam. Akibatnya permukiman homogen terbentuk kembali secara mapan, tanpa ada interelasi demografis dengan penduduk lain.

Seiring dengan perkembangan konflik itu, khusus pada masa kini, telah terbentuk permukiman homogen dalam wacana yang baru. Suatu permukiman yang terkonstruksi karena faktor agama, dan tidak lagi karena faktor sosio-kultural dan ekonomi.
Interelasi demografis ditandai oleh perbedaan-perbedaan identitas keagamaan masyarakat. Jika tidak disiasati secara baik, pola permukiman mana akan justru menjadi titik krusial hubungan penduduk di Ambon pada masa-masa yang akan datang.
Klaim teritori telah menjadi suatu wilayah hunian sekelompok masyarakat yang memiliki identitas agama yang sama. Relasi antar teritori akan terjadi dalam realitas perbedaan itu. Teritori itu sudah tidak lagi menjadi region fungsional seperti sebelumnya, melainkan akan menjadi region struktural, di mana masyarakat yang menetap di dalamnya memiliki banyak keseragaman.[28]

Wajah permukiman penduduk di Ambon akan menjadi suatu region yang mapan, karena relasi-relasi sosial berlangsung dalam suasana yang monoton. Apalagi jika telah terjadi pertukaran peran-peran ekonomis di antara penduduk. Misalnya, orang Ambon [Kristen] atau “kelompok Ambtenar” yang sudah menekuni pekerjaan sebagai penjual di pasar, penarik becak, dll, yang dulunya menjadi domain pendatang dan penduduk Islam.

Interelasi demografis akan berlangsung hanya di sentra-sentra perekonomian, dalam suasana dan gradasi yang minimal. Tidak ada perjumpaan yang intens dalam durasi yang panjang. Akibatnya relasi masyarakat akan tampak sebagai suatu relasi barter, di mana ditandai oleh ada tidaknya modal (capital).

E. Penutup
Relasi “ambtenar” dan “pendatang”, sebagaimana dipaparkan tadi adalah sebuah refleksi sejarah kependudukan yang masih harus dirunut tuntas. Perlu ada penjajakan secara mendalam mengenai perkembangan dan pergeseran region atau permukiman sosial di Ambon.
Formasi kependudukan menjadi data yang penting untuk membahas seluk-beluk interelasi demografis, daripada hanya melihat pada total jumlah penduduk dan perkembangan kepadatannya. Karena studi kependudukan, tidak hanya mengenai kepadatan (density), melainkan juga intensity dalam apa yang disebut interelasi demografis itu.

KEPUSTAKAAN

Bagian Dokumentasi – Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974.
Breman, Jan, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal abad ke-20, terj. dari edisi Belanda “Koelies, planters en koloniale politiek, Het arbeidsregime op de grootlandbouwonderneingen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw” (Leiden: KITLV, 1992), edisi Indonesia diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.
Chauvel, Richard, “Ambon: Not A Revolution But Conterrevolution”, dalam Audrey R. Kahin, Regional Dynamic of Indonesian Revolution, Honolulu: University of Hawaii Press, 1985.
Colson, E., “Migration in Africa: Trends and Possibilities” (1960), dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966.
Harris, M., “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959), dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966.
Juillard, Etienne, “The Region: An Essay of Defenition” dalam Man, Space and Enviroment: Concepts in Contemporary Human Geograpgy, edited by. Paul Ward English & Robert C. Mayfield, London: Oxford University Press, 1972.
Keuning, J.A., Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad ke-17, Jakarta: Bhratara, 1973.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003.
Malinowski, B., “Dynamic of Culture Change”, dalam dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966.
Rumphius, “Ambonsche Landbeschrijving”, 1983.
Scurhamme,r Georg, Francis Xavier: His Life, His Time, Vol.III – Indonesia and India 1545-1549, Trans. By. M. Joseph Castelloe, Italy: The Jesuit Historical Institute, 1980.
Smith, T. Lynn & Paul E. Zopft, Jr, Demography Principles & Methods, New York: Alfred Publ., Co., Inc., 1976.
Suprapti, Mc. (eds.), Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Maluku, Jakarta: Dep. P&K, 1977/1978.
Van Leur, J.C., Abad ke-18 Sebagai Kategori dalam Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Bhratara, 1973.
Van Velsen, J., “Labour Migration as a Possitive Factor in The Continuity of Thonga Tribal Society (1961), dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966.
Wachterhauser, Brice R., “History and Language in Understanding”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wactherhauser, New York: State University of New York, 1986.
Wriggins, W. Howard & James F. Guyot, Population, Politics, & Future of Southern Asia, New York & London: Columbia University Press, 1973.
[1] Dalam kaitan ini misalnya Du Bois, menggunakan event pergantian Gubernur Jenderal sebagai kriteria menetapkan periodisasi sejarah Hindia Belanda. Demikian pun De Jonge van Deventer, atau juga Colenbrander dalam bukunya “Koloniale Geschiedenis II”.
[2] Mengenai nuansa antara sejarah lisan dan tradisi lisan, lih. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003, h.29-31 dst
[3] Di sini tentu saja kita mencatat betapa sejarah itu pun dapat menjadi alat perjuangan politik yang penting. Dalam konteks itu, tidak jarang terjadi manipulasi data, dan/atau pula suatu usaha menutupi “awan kelam” seorang aktor sejarah yang diidolakan. Akibatnya, dimensi edukasi dari sejarah melambung ke alam fantasi (Freud: memoire), lalu muncul romantisme berlebihan, terhadap suatu masa dan tokoh tertentu. Akibatnya, kita melupakan ke-kini-an dan ke-depan-an sejarah kita. Kita juga kurang melihat ke-sejarah-an kita, dan mungkin serba berharap, di masa mendatang, generasi kitalah yang akan bercerita tentang kita.
[4] Dalam tradisi hermeneutis, historisitas menerangkan tentang hubungan antara “manusia hidup” dan “penemuan jati dirinya” di dalam suatu lingkungan sejarah khusus bukan sebagai suatu “kecelakaan” melainkan esensial atau “ontologis”. Lih. Brice R. Wachterhauser, “History and Language in Understanding”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wactherhauser, New York: State University of New York, 1986, h. 7.
[5] Howard dan Guyot secara detail membahas faktor natalitas, mortalitas, migrasi, sebagai indikator sosial pertambahan dan kepadatan penduduk (density) di suatu wilayah. W. Howard Wriggins & James F. Guyot, Population, Politics, & Future of Southern Asia, New York & London: Columbia University Press, 1973, h.33-35
[6] bnd. T. Lynn Sminth & Paul E. Zopft, Jr, Demography Principles & Methods, New York: Alfred Publ., Co., Inc., 1976, h.89
[7] Etienne Juillard, “The Region: An Essay of Defenition” dalam Man, Space and Enviroment: Concepts in Contemporary Human Geograpgy, edited by. Paul Ward English & Robert C. Mayfield, London: Oxford University Press, 1972, h.430-443
[8] Keterangan tua mengenai kontak dengan suku-suku lain, sebelum masuknya bangsa asing dapat dilihat dalam “Pararaton” dan “Nagarakertagama”, Het Oud-Javaansch Lofdicht Nagarakertagama van Prapanca, oleh Prof. Dr. H. Kern, ‘s Grafenhage, 1919
[9] Jargon (BBM) yang dalam konflik Maluku 1999 menjadi citra baku (stereotype); dan digunakan dalam rangka mempertajam pertentangan di antara orang-orang setempat dengan pendatang.
[10] Dalam hal ini seperti terbentuknya beberapa konsentrasi permukiman sekitar benteng New Victoria, seperti Soa-Ema, Soa Kilang dan Soya Kecil. Ini merupakan permukiman yang terdiri dari orang-orang setempat. Sebagian penduduk di desa-desa pegunungan Sirimau Pulau Ambon, diambil untuk melayani kebutuhan kolonial dalam benteng. Mereka menjadi pekerja-pekerja (bnd. "abdi” dalam konteks keraton di Jawa) yang melayani kebutuhan subsistensi para koloni. Demikian juga permukiman seperti Mardika dan Da Silva, di samping Benteng New Victoria. Penduduk Mardika adalah “budak-budak” yang dibawa Belanda dan setiba di Ambon dibebaskan dari pekerjaan budak. Sedangkan penduduk Da Silva adalah orang-orang Belanda yang kawin campur dengan orang-orang setempat.
[11] Menurut Keuning, mereka harus berdagang secara sembunyi-sembunyi, termasuk para pedagang dari Jawa. Misalnya untuk membeli cengkih dan pala dari orang-orang Ambon, mereka harus membuka bandar baru di pantai Seram Bagian Utara. Baca. J.A. Keuning, Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad ke-17, Jakarta: Bhratara, 1973, h. 30.
[12] Jan Breman melukiskan hal yang sama pada nasib Kuli-kuli Perkebunan di Aceh dan Jawa, yang juga terbungkam karena kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda. Padahal telah terjadi berbagai ketimpangan dan penyalahgunaan tenaga kuli oleh para mandor dan tuan tanah. Lht. Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal abad ke-20, terj. dari edisi Belanda “Koelies, planters en koloniale politiek, Het arbeidsregime op de grootlandbouwonderneingen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw” (Leiden: KITLV, 1992), edisi Indonesia diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.
[13] Pertikaian masyarakat kedua jazirah itu lebih banyak karena faktor hegemoni sosial dari orang-orang Pata/Uli Lima dan Pata/Uli Siva. Konflik ini sebetulnya berakar dari konflik kedua kelompok ini di Pulau Seram, dan terus terbawa bersama dengan gelombang migrasi leluhur dari sana ke Ambon dan Ulias (Lease). Penelitian sejarah pun harus dapat menyingkap tabir konflik ini; sebab ada suatu perjalanan sejarah konflik yang cukup panjang. Sejarah konflik suku/kelompok kultural, yang kemudian terkonstruksi langsung menjadi konflik antar pemeluk agama. Napak tilas sejarah ini pun akan bisa menjelaskan “basis emosional” (sejarah psikologi masyarakat) masyarakat dalam konflik Maluku 1999.
[14] Keterangan Rumphius dalam “Ambonsche Landbeschrijving”, 1983, h.24,75
[15] J.C. Van Leur, Abad ke-18 Sebagai Kategori dalam Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Bhratara, 1973, h.16
[16] Dalam masa kemudian kebencian terhadap Portugis bukan saja karena faktor politis tersebut, tetapi juga faktor agama. Suatu alasan baru yang tambah memperuncing hubungan Aliansi Islam Ternate-Tidore (Hitu di dalamnya) dengan orang-orang Leitimor yang selanjutnya berhubungan dengan Portugis. Prejudice yang sama bertahan dan malah semakin tajam ketika masuknya VOC dan Belanda, dengan misi kekristenan di dalamnya.
[17] Dari catatan sejarah gereja di Maluku, sampai dengan datangnya Franciscus Xaverius, telah ada tujuh jemaat Katolik di Leitimor, yaitu Hative, Nusanive, Kapa, Urimesing (Puta, Soya), Kilang, Soya, Ema dan Halong – lht. Bagian Dokumentasi – Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1974, h.96; bnd. Georg Scurhammer, Francis Xavier: His Life, His Time, Vol.III – Indonesia and India 1545-1549, Trans. By. M. Joseph Castelloe, Italy: The Jesuit Historical Institute, 1980.
[18] J.C. Van Leur, Abad ke-18 Sebagai Kategori dalam Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Bhratara, 1973, h.19-24.
[19] J.C. van Leur, op.cit, h.28-29
[20] M. Harris, dalam tulisannya “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959), mengurai secara cermat kepentingan kolonial mengambil para migran pribumi Afrika sebagai tenaga kerja sebagai tenaga bongkar muat, pelayan, washboy,office boy, dengan sistem kontrak. Juga tulisan E. Colson, “Migration in Africa: Trends and Possibilities (1960). Lht. di dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966, h.91-92, 108.
[21] Di Rutong sejak zaman Belanda (1890-an) sudah ada bangunan Toko Cina milik Tjang, orang Cina yang kemudian kawin dengan penduduk setempat. Demikian pun di sebagian besar wilayah Uliaser dan sampai ke Maluku Tenggara. Sehingga kerap kita mendengar istilah “Cina Saparua”, “Cina Banda”, “Cina Dobo”, dll. Demikian pun orang-orang Arab, walau lebih banyak ke Banda.
[22] Data terakhir pada masa konflik Maluku 1999.
[23] Baca. J. Van Velsen, “Labour Migration as a Possitive Factor in The Continuity of Thonga Tribal Society (1961), dalam Immanuel Walerstein, op.cit, h.163-164
[24] Yang dimaksudkan misalnya pengenalan pola persawahan sebagai salah satu teknik pertanian, dan perubahan lain dalam bidang perekonomian. Lht. Mc. Suprapti (eds.), Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Maluku, Jakarta: Dep. P&K, 1977/1978, h. 20 dst.
[25] Baca. B. Malinowski, “Dynamic of Culture Change”, dalam Immanuel Walerstein, op.cit, h.12
[26] bnd. Richard Chauvel, “Ambon: Not A Revolution But Conterrevolution”, dalam Audrey R. Kahin, Regional Dynamic of Indonesian Revolution, Honolulu: University of Hawaii Press, 1985, h.239, juga h.10 mengenai hak istimewa para raja dari penduduknya yang terlibat di dalam armada Hongi.
[27] Etinne Juilard, “The Region: An Essay of Defenition”, dalam Paul Word English (eds.), op,cit, h.443.
[28] bnd. Etinne Juillard, op.cit, h.443

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara