METAFORA-METAFORA KRISTOLOGIS

‘Son of God’ Dalam Diskusi "Grace" (Theology) dengan John Hicks
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Beta mencoba membangun diskusi ini dari sudut pandang ‘the historical Jesus’ atau Yesus Sejarah. Sebuah buku karya Ioanes Rakhmat pernah mengulas detail hal itu. Tentu tidak salah jika hal itu didiskusikan lebih lanjut. Untuk point ini, sebenarnya John Shelby Spong cukup radikal dalam penyampaian argumen akademis dan tafsir Kitab Suci, dengan perspektif yang cukup kritis dan terbuka. Untuk hal itu, beta pasti berusaha untuk mencoba melakukan studi kritik dari Spong secara khusus, dari beberapa referensi karya Spong yang diberikan kepada beta oleh Profesor John Titaley, seorang guru yang sangat telaten melatih kerangka berpikir kritis dalam teologi kristen di UKSW-Salatiga.

Ulasan apa adanya di sini coba beta kembangkan mengenai metafora-metafora Kristologi, hasil studi kritis John Hicks. Kebetulan ada beberapa bukunya yang beta miliki, termasuk “The Metaphor of God Incarnate”. Tetapi kebetulan buku itu ada di rumah di Karang Panjang (sekarang beta ada di rumah Kel. Hen Herwawan, yang ‘mengijinkan’ beta menempatinya di Halong). Buku yang baru sempat beta ‘angkut’ adalah karya Hicks juga, “A Christian Theology of Religions”, Lousville, Westminster John Knox Press, 1995. Pada halaman 93-95, terdapat ulasan kecil mengenai ‘Son of God’ – Anak Allah. Buku ini pun adalah pemberian seorang putra Seram, Izaak Y.M. Latu, MA, teolog muda yang sangat telaten dan patut diandalkan, dan kini adalah staf pengajar di Fakultas Teologi UKSW-Salatiga.

Dalam tiga halaman itu terdapat sebuah diskusi antara John Hicks dengan Grace (Grace sebenarnya adalah Teologi. Dalam buku ini Hicks menyusunnya sebagai semacam diskusi antara “Phil” (Philosophy) dan “Grace” (Theology) dengan dirinya sendiri “John”.

Pada pertanyaan-pertanyaan pokok, Grace misalnya bertanya kepada John, “anda sendiri turut mengembangkan ide mengenai Anak Allah’. Jawaban John di sini cukup menarik. Ia melihat “Anak Allah” sebagai sebuah gelar atau penyebutan umum yang di dalam masyarakat Timur Dekat Kuno, biasa dipakai sebagai gelar atributif kepada Raja dan Kaisar, atau juga para Leluhur, dan mereka biasanya disebut sebagai “Anak Allah” atau “manusia Ilahi” atau bahkan sebagai ‘tuhan” (gods).

Menurutnya pula, Yudhaisme malah menggunakan penyebutan ini secara khusus (Ibr. Bar e’nasa) untuk menyebut (1) Israel secara umum sebagai Anak Allah (Hosea 11:1). Para malaikat pun disebut sebagai Anak Allah (Ayub 38:7). Dan raja-raja Israel juga dihormati sebagai Anak Allah. Bahkan dalam penyebutan umum, seperti dalam Mazmur 2:7, “engkau adalah anakku, aku telah memperanakkan engkau pada hari ini”.

Namun, dalam penggunaan umum dewasa ini, sebutan “Anak Allah” itu adalah sebuah metafora. Coba perhatikan 2 Samuel 7:14, tersebut di sana Allah menyatakan “Aku akan menjadi Bapanya, dan dia akan menjadi anakKu”. Sebutan ini, menurut Hicks, adalah suatu penyebutan umum, yang tidak bisa dimengerti secara literer atau karena ada suatu ikatan biologis – seperti kita dengan anak biologis kita.

Sebagai sebuah metafora, bentuk-bentuk ungkapan seperti itu memperlihatkan bagaimana seseorang diposisikan atau mendapat justifikasi (religius) sebagai orang-orang yang ada dalam relasi atau misi khusus dari Tuhan sebagai figur Ilahi (deity).

Menurut Hicks, pemahaman “Anak Allah” dalam Yudhaisme seperti itu terus berlangsung sampai di zaman Yesus (Christ era). Misalnya dalam Injil Matius 1:1 – rujukan genealogis (keturunan secara biologis) dari Yesus dirunut dari Abraham. Sedangkan Lukas 3:38, lebih jauh ke belakang, yakni kepada Adam.

Jika kita mengikutinya dalam kerangka penulisan Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), maka cerita mengenai Adam (Penciptaan) dan Abraham (Leluhur) adalah sebuah mitologi yang disusun sedemikian rupa ketika suku-suku Israel berusaha memahami eksistensi mereka sebagai suatu liga yang besar. Daud, sebagai Raja yang bertindak mensistematisasi beragam tradisi lisan dalam masyarakat kala itu, telah menggunakan tradisi menulis untuk menyusun suatu cerita bersama (common story) dengan kepentingan ideologis untuk merekatkan sub-sub suku yang tersebar-sebar di daerah Trans-Jordan, agar menjadi suatu liga yang besar – sebagai cikal-bakal berdirinya Israel Raya (Dua buah buku Norman K. Gottwald, masing-masing: Hebrew Bible, dan The Politics of Ancient Israel, memberi kontribusi dalam hal itu, tetapi juga seri buku-bukunya Robert Coote, David Ord, dan Marry Coote, khususnya “Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab – terj. dari English edition “Power, Politics and Making of The Bible” oleh Minda Perangin-angin).

Kembali kepada diskusi “John” dan “Grace”. Karena itu menurut Hicks, sebutan Yesus Anak Allah adalah juga sebuah metafora yang dikenakan kepada Yesus oleh kelompok kristen perdana/gereja perdana. Jika kita menempatkannya dalam kerangka studi Kristologis, cara itu adalah bagian dari upaya gereja memberi citra Tuhan kepada Yesus. Kepadanya diberi ciri-ciri keilahian atau Yesus mengalami proses pentuhanan oleh gereja.

Sebab, seperti dilanjutkan Hicks, Yesus kemudian memanggil Allah sebagai Aba, dan mengajar murid-muridnya untuk melakukan hal yang sama. Sebagai tambahan, termasuk di dalamnya ketika Ia, menurut kesaksian penulis Injil Matius, mengajar mereka berdoa, dengan berkata “Bapa Kami yang di surga….” (Mat. 6:9-13). Yesus, masih menurut Injil Matius, bahkan berkata kepada murid-muridnya, begini: “…berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6). Di sini, seperti pendapat Hicks sebelumnya, Yesus ternyata menggunakan pola yang telah berlaku umum di dalam masyarakat Yahudi, bahwa Israel sendiri juga adalah Anak Allah.

Tidak ada dalam Injil ketika Yesus hanya mengklaim dirinya sebagai “Anak Allah”, dan menyatakan orang lain bukan sebagai “Anak Allah”. Pemahaman umat sebagai Anak Allah ternyata telah menjadi bentuk pemahaman umum dalam masyarakat Yahudi, karena itu semua orang selalu menggunakan carapandang itu.

Karena itu, pernyataan Hicks berikut ini menarik: “And in Jesus’ world to refer of him as ‘son of God’ did not imply that he was literally God’s son, with divine sperm entering his mother’s ovum at his conception – although the virgin birth story in Matthew and Luke does, at any rate to a modern reader, come perilously close to this. The term ‘son of God’ was not intended literally but as metaphor, indicating that he was close to God, open to God’s presence, doing God’s will. It was only later, in the different context of the Gentile world, that the familiar metaphor was transformed into a metaphysical doctrine” [beta sengaja tidak menterjemahkan kalimat itu, agar maksud dari Hicks bisa ditafsir secara pasti oleh setiap orang].

Menurut Hicks, dalam perkembangannya, termasuk sebagai bagian dari pengaruh Filsafat Yunani, dan dalam masa-masa kekristenan awal, penekanan pada transformasi metafora Anak Allah kepada Anak Allah dalam arti metafisik menjadi penting. Karena itu, Yesus dipahami kemudian sebagai subyek kedua dalam Trinitas, dan juga memiliki dua sifat sekaligus, yang satu manusia, dan lainnya Tuhan (lht. Rumusan konsili Chalcedon, 451).

Dan Hikcs mengaku tidak sejalan dengan pendapat gereja awal itu, sebab baginya “the fact that it was not taught by Jesus himself but is a creation of the church. You see, the realization that Jesus did not teach his own divinity is –“ demikian menurut Hicks.

Yesus bahkan mengajar murid-muridnya menyapa Allah sebagai Aba. Yang Yesus ajarkan adalah bagaimana mengasihi, melayani, membebaskan, memperlakukan orang secara setara tanpa melihat pada latat belakang sosial, suku, ras, etnis, bahasa, warna kulit, budak, orang merdeka. Ia ajarkan juga mengenai bagaimana berdoa, bagaimana bekerja yang jujur (seperti kritiknya terhadap Zakheus), dan bagaimana memperlakukan harta milik pribadi untuk juga melayani orang miskin. Ia mengajar juga tentang sikap hidup yang terbuka, termasuk bagaimana belajar memahami orang lain sebagai ‘sesama manusia’. (*)

Comments

Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara