Karakter Manusia dan Perbedaan Budaya

Book Review:
Erika Bourguignon, Psychological Anthropology: An Introduction to Human Nature and Cultural Differences, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kebetulan sekali, pada saat menyusun Tesis Magister Tahun 2000 di UKSW, dalam membahas dimensi antropologi dari tindakan masyarakat Maluku menyusun kerjasmaa antar-institusi yang disebut Tiga Batu Tungku, beta mendapat referensi yang mengulas tentang 'antropologi kognitif'. Point itu kemudian mengantar beta belajar tentang struktur 'meme', termasuk dikembangkan Rene Girard. Tetapi waktu itu beta bertanya-tanya, apakah memang antroplogi kognitif itu saja yang penting, atau sebenarnya juga antropologi psikologis?

Tahun 2008 ini, baru beta mendapat sebuah buku yang cukup menjawab keresahan sekian lama itu. Terdapat tiga bagian penting dari buku Bourguignon yang cukup menarik yakni Bagian 1 ‘What is Psychological Anthropology?’ dan Bagian 2 ‘Evolution: Behaviour and Culture, dan Bagian 3 ‘Do Group Differences Exist?’

1. Perbedaan Karakter dan Perbedaan Budaya
Bahasan Bourguignon dalam bukunya ini difokuskan pada kecenderungan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dibentuk oleh kebudayaan masyarakat setempat. Karena itu perbedaan-perbedaan secara tipikal pada perilaku tertentu adalah hasil bentukan kebudayaan, dan tidak terjadi semata-mata karena faktor psikologis manusia. Teori ini sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Psychological Anthropology (antropologi psikologi), sebagaimana mewarnai bukunya ini.

Bourguignon memulai dengan menyajikan peta perilaku anak-anak dalam tiga rumpun kebudayaan yang berbeda, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Haiti. Menariknya ialah, kejadian (event) yang diambilnya adalah perkelahian atau bentuk agresi fisik (physical aggression) di kalangan anak-anak pada ketiga rumpun kultur itu.

Di Amerika[E1] , suatu waktu ditemui, dalam penelitiannya, dua anak laki-laki yang berkelahi di tengah jalan pada saat pergi dan pulang sekolah. Tampak seorang anak memukul temannya, dan kemudian berlari meninggalkan temannya yang dipukuli itu. Sementara di Pyrane, sebuah desa di Selatan Prancis, dua anak kedapatan berkelahi. Seorang anak memukuli temannya, dan kemudian meninggalkan temannya itu. Seorang lainnya mendekati anak yang dipukuli itu, lalu melihat keadaannya, dan kemudian meninggalkannya juga. Sedangkan seorang anak perempuan sekitar delapan tahun, kedapatan memukuli adik lelakinya yang berusia enam tahun di Haiti, karena kedapatan tidak patuh padanya. Tetapi kemudian mereka tetap berjalan bersama-sama.

Bourguignon menekankan pada perbedaan-perbedaan itu dengan melihat bagaimana sehingga kejadian pada dua anak di Amerika itu terjadi justru di tengah masyarakat kota yang sudah sangat maju. Di tengah peradaban yang sudah semakin berkembang, dan tidak ada intervensi orang dewasa di dalamnya. Berbeda sedikit dengan desa-desa di Prancis, seperti dikutipnya dari tulisan Laurence Wylie, bahwa:

di Peyrene itu, jika dua anak berkelahi mereka harus dilerai oleh orang dewasa. Jika tidak ada yang melerai mereka, keduanya harus dihukum. Dalam hal ini tidak usah dimasalahkan siapa yang memulai perkelahian atau siapa yang benar. Mereka berdua berkelahi, dan konsekuensinya adalah mereka berdua bersalah (Wylie, Village in the Vaucluse, 3rd edition, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1974:49-50)

Sedangkan dalam kasus dua anak di Haiti, jelas posisi kedua anak ini tidak setara. Mereka adalah kakak-beradik; sang adik dipukuli karena kedapatan tidak patuh kepada kakaknya. Sang kakak mengambil tindakan demikian sebab ia mendapat mandat dan melaksanakan peran ibunya. Tindakan pembalasan dari sang adik adalah sesuatu yang tidak benar, sebab dalam kasus itu, memukuli kakak perempuan sama dengan memukuli ibu mereka. Dengan demikian itu yang disebut dosa. Kakak perempuannya itu memiliki otoritas dan tindakannya memukuli adiknya bertujuan untuk mendisiplinkan dia.

Bagi Bourguignon, beberapa contoh itu menjelaskan mengenai tipe interaksi sosial (social interaction) di antara masyarakat, serta orientasi budaya di dalam perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Peyrene di Prancis, keterlibatan orang dewasa dalam melerai perkelahian dua anak bersumber dari model regard, atau penghargaan yang sudah menjadi model di dalam perilaku orang dewasa.

Tentang hal itu, adakalanya kekerasan bisa juga menjadi suatu model yang kerap kedapatan di dalam masyarakat yang kurang terdidik (uneducated) dan komunitas miskin. Di sini kekerasan bahkan dilihat sebagai cara untuk menjadi “better people”[E2] .

Dalam kasus ini, contoh dari Haiti adalah contoh dari sosialisasi anak (child socialization), dengan fokus pada bagaimana seseorang anak dilatih untuk patuh kepada kakaknya. Dalam arti itu, anak perempuan yang memukuli adiknya dan menghukumnya patuh kepada perintah ibunya dalam mendisiplinkan adiknya. Pola seperti itu terjadi karena dalam masyarakat Haiti terdapat hierarkhi berdasarkan usia anak. Perbedaan seks tidak menjadi hal yang determinan, karena itu seorang kakak perempuan menjadi tuan atas adik lelakinya. Di sini terkandung nilai religious, bahwa memukuli kakak perempuan adalah dosa. Ini terjadi dalam sistem yang tidak seimbang, di mana seseorang berada di atas atau di bawah dalam ranking sosialnya. (hlm.4).

Sedangkan dalam contoh di Prancis, fokusnya terletak pada nilai (values), sehingga persoalan pokok dari perkelahian bukan “siapa yang memulai” atau “siapa yang benar”. Ini dibentuk oleh pengaruh pendidikan. Masyarakat yang terdidik akan lebih fokus pada nilai di dalam perilaku individu dan kelompok.

2. Fokus Studi Antropologi Psikologi
Pada halaman 14-17, Bourguignon menceritakan latar belakang sejarah munculnya Antropologi Psikologi sebagai suatu sub-bidang keilmuan yang independen.

Dijelaskannya bahwa sub-bidang keilmuan ini berkembang pertama kali melalui studi terhadap kebudayaan dan perkembangan personalitas manusia yang populer di Amerika Serikat, ketika psikoanalis semakin mantap berkembang di sana. Beberapa pakar yang mulai merintis jalan ke arah itu seperti Hallowell (1954). Ia menunjukkan bahwa sifat dasar psikologi dan antropologi sejak ratusan tahun pertama, hanyalah merupakan dampak dari hasil kerja Darwin. Dalam kaitan itu, beberapa karya antropologi Jerman awalnya, seperti karya T. Waiz dan A. Bastian, yang berorientasi psikologis. Psikologi awal ini adalah sebuah psikologi sosial. Dalam pandangan itu, E.B. Taylor (1871 – ia kemudian lebih dikenal melalui berbagai teori tentang Evolusi) mengemukakan sebuah anasir budaya yang cukup populer bahwa[E3] : kebudayaan, adalah kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, tradisi dan berbagai macam hasil karya manusia serta lingkungannya dan digunakan manusia sebagai bagian dari masyarakat; bukanlah milik khusus individu.

Seperti disebutkan F.L.K. Hsu, yang dikutip Bourguignon,
Apa yang diperlukan dalam antropologi adalah menentukan premis atau postulat dari karakter manusia melalui bentuk-bentuk dasar pada setiap budaya dan masyarakat…Manusia tidak sama dalam setiap masyarakat yang berbeda dalam hal anggotanya, barang-barang yang mereka miliki, obyek-obyek lainnya dan semua itu saling berbeda serta merupakan pengungkapan perilaku individu dan kelompoknya (Hsu, “The Art of Teaching the Human Science”, Report on Teaching, 5. Change: The Magazine of Learning, 1978a:7)

Suatu bentuk perbedaan lain tampak melalui bagaimana perasaan seseorang terhadap lainnya dan bagaimana hal itu terjadi sejak awalnya, dan begitu seterusnya menjadi cara yang berbeda dalam mengungkapkan perasaan. Ini menunjukkan bahwa budaya itu adalah suatu sistem; ibarat teka-teki silang yang mengandung berbagai bagian yang saling terhubung. Kita bisa memulai dengan suatu bagian tertentu, dan melanjutkan pada bagian lain agar bagian itu dapat dimengerti secara utuh.

Bourguignon membangun asumsi atropologi psikologi ini dengan mengedepankan beberapa terminologi metodologis yang kiranya menjadi rujukan kita dalam melakukan riset. Apa yang dikemukakannya tentang commonsense observation[E4] , secara metodologis adalah suatu usaha dalam antropologi psikologi untukmenemukan bagaimana setiap perbedaan itu terjadi, dan baaimana hubungannya dengan kehidupan sosial. Ia juga mengeksplorasi suatu dasar tentang hal-hal yang mungkin saja sama dalam kehidupan manusia, atau yang perbedaannya kecil saja. Bertumpu pada temuan itu, kita lalu belajar tentang apa yang telah ditemukan, metode apa yang bagus untuk menemukan bukti empiris, dan apakah ada pertanyaan baru dalam seluruh proses yang telah dijalani itu.

Proses metodologi berikutnya adalah cross-cultural, di mana kita mesti pahami bahwa masyarakat kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara hidup (way of life) yang khusus, sebagai suatu fenomena lokal.

Dalam kaitan itu, kebudayaan masyarakat kiranya dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masyarakat melalui proses belajar dan pengalaman, ia bukanlah suatu bentukan genetik seorang individu. Tetapi perkembangan adalah hasil dari relasi yang rapat antar manusia dengan warisan yang berbeda dari zaman leluhurnya, yang juga diproduksi dalam proses sosial dan budaya, seperti juga tampak melalui perang dan migrasi[E5] .

3. Evolusi Perilaku
Teori ini bertolak dari evolusi perilaku manusia secara biologis, artinya adanya perkembangan perilaku (dari semula yang identik dengan binatang). Dalam perkembangannya, perilaku manusia semakin berkembang, dan menjadi sesuatu yang berbeda dari binatang karena struktur kesadaran yang ada pada manusia.

Bentuk-bentuk perilaku awal itu terjadi dalam masa yang disebut protocultural. Dalam masa itu, perilaku manusia adalah sesuatu yang dibedakan secara tajam dari perilaku hewani. Hallowell menstudikan hal itu dengan melihat pada mode adaptasi budaya. Ia melihat tahapan protocultural itu sebagai masa preadaptasi di mana manusia belajar dari tipe-tipe perilaku yang sederhana, kemudian dibantu oleh proses sosialisasi individu dalam struktur sosial yang terus berkembang karena adanya peran-peran yang berbeda di antara setiap kelompok manusia.

Perubahan perilaku itu terjadi karena beberapa hal, yakni: pertama, learning (belajar). Proses ini mengacu dari kompleksitas kebudayaan, dengan demikian proses ini bertujuan agar orang belajar berperilaku (learned behavior). Yang hendak dicapai di sini adalah perkembangan kapasitas belajar [E6] di dalam konteks kebudayaan.

Proses kedua adalah socialization sebagai proses awal dari periode kehidupan manusia di dalam masyarakat. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi manusia, baik individu maupun kelompok. Proses ini berlangsung dalam suatu relasi khusus, ibarat relasi cinta orang dewasa, tetapi tidak seeksklusif seperti relasi antara seorang ibu dan bayinya. Durasinya bisa lama tetapi juga cepat, tergantung pada kemampuan manusia mengadaptasi dirinya dalam lingkungan itu.

Proses ketiga adalah pembentukan kelompok sosial, di sini Hallowell melihat berlangsungnya proses transmisi di dalam belajar berperilaku. Ada proses pengalihan perilaku dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, dan hal itu berlangsung melalui proses belajar yang telah ditempuh dari generasi ke generasi itu.

Di dalam proses transmisi itu, faktor bahasa memegang peran penting dalam upaya alih perilaku dalam sistem-sistem sosial yang ada. Hal itu yang dimaksudkan Steward sebagai ‘cultural type’, dan ‘level integrasi sosial budaya’. Dari segi perilaku, ia kemudian menyebutnya sebagai suatu pendekatan ‘evolusi multilinear’ (hlm.59).

4. Pendekatan dalam Hubungan Antara Budaya dan Kepribadian
Pertanyaan pokok dalam kaitan ini adalah (1) bagaimana konsep hubungan antara budaya dan kepribadian (personalitas); (2) kategori apa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian? Dan (3) metode apa yang biasanya digunakan untuk menginput kepribadian secara cross-culturally? Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, Bourguignon menetapkan adanya tiga pendekatan, masing-masing: pendekatan konfigurasional; pendekatan reduksi psikoanalis; dan pendekatan mediasi individu.

a. Pendekatan Konfigurasional
Contoh paling gamblang mengenai pendekatan ini mengacu dari tesis Ruth Benedict melalui bukunya Patterns of Culture, suatu hasil penelitian (konfigurasional) terhadap masyarakat dengan analisis terhadap pengaruh Pueblos dan Zuni di New Mexico, Dobuans di Melanisia, dan budaya juga pengaruh Pueblos di dataran Indian. Sebenarnya sebelum Benedict, Franz Boas telah melakukannya di masyarakat Kwaikiutl, dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk konfigurasi yang dominan.

Pola analisis seperti itu mengandung pengertian bahwa pendekatan konfigurasional melihat pada pengaruh beragam bentuk kebudayaan terhadap perilaku individu. Asumsinya dari pola perilaku seseorang kita bisa mengenal tipe kebudayaan masyarakatnya, atau sebaliknya. Mengenai hal itu, Bendict mengatakan:

Jika kita meneliti perilaku manusia, pertama-tama kita mesti memahami institusi sosial di dalam suatu masyarakat. Sebab tingkah laku manusia turut ditentukan oleh bentuk-bentuk institusi itu, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari kebudayaan setempat (Benedict[E7] 1961:236)

Dalam pandangan itu, budaya membangun tiap individu manusia, dan ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Walau demikian, Benedict melihat pada pentingnya integrasi kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia itu. Baginya, perilaku manusia itu adalah aktualisasi dari apa yang diberikan oleh budaya. Perilaku[E8] itu adalah suatu given dari kebudayaan.

b. Pendekatan Reduksi Psikoanalis
Mengacu dari kerja Benedict itu, Géza Róheim, antropolog asal Hungaria, mencoba menindaklanjuti analisis psikoanalisis yang dikerjakan oleh Marie Bonaparte, putri raja George dari Yunani, yang juga adalah murid Freud. Róheim kemudian fokus pada masyarakat Aborigin di Australia, dalam rangka melihat apa yang disebut Freud dengan Totem and Taboo.
Mengikuti alur pemikiran Freud, Róheim membahas kesadaran primitif [E9] (primitive neurotics), dan hubungannya dengan evolusi kebudyaan. Dengan penelitian ini Róheim sebenarnya hendak menjembatani kesenjangan yang selama ini terjadi pada analisis psikoanalisis dengan mengedepankan apa yang kemudian ia sebut psycho-analitic ethnology (pasikoanalisis etnologi).

Dari dasar penelitian lapangannya di bidang antropologi dan psikoanalisis, Róheim lalu mengembangkan ‘teori ontogenetik budaya’. Teori ini melihat kebudayaan sebagai hasil dari ‘human delay infancy’. Hal itu mengandung ‘karakter kelompok’ dari suatu masyarakat sebagai hasil atau respons terhadap tipe-tipe trauma dari masyarakat tertentu itu. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat aspek-aspek khusus dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa terutama aspek ‘painful’ (rasa sakit). Róheim mengakui eksistensi individu dalam masyarakat, dan variasi karakter individu (di era modern) itu adalah suatu perkembangan dari karakter masyarakat primitif.

Teori Róheim ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia itu tidak ditentukan secara biologis, melainkan juga oleh kebudayaan masyarakat. Sejak semula telah ada kesadaran (primitif).

c. Pendekatan Karakter Mediasi
Pendekatan ini berasal dari Abram Kardiner, dan beberapa antropolog seperti Ralph Linton dan Cora Du Bois. LeVine (1973) menyebutnya sebagai ‘pendekatan karakter mediasi’.

Para antropolog ini melihat pada basic personality structure. Du Bois malah melihat apa yang ia istilahkan modal personality. Istilah ini menerangkan pada karakter yang dibagi oleh anggota kelompok mayoritas adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak setiap orang. Karakter itu kadang dibagi dalam institusi keluarga[E10] , sebagai institusi paling dasar (primary institution). Aspek lain yang berpengaruh pada karakter mediasi itu adalah secondary institution, seperti dari agama, folklore, mitologi, seni, dll. Institusi sekunder ini menghasilkan ‘projective systems’ atau ‘projective screens’. Menurut teori ini, institusi utama suatu masyarakat menghasilkan struktur dasar perilaku, yang mengungkapkan perilaku-perilaku yang kelihatan di masa kini – konflik, fantasi, dll – dalam bentuk institusi sekunder.

Untuk memahami teori ini, Linton dan Kardiner mengajak melihat pada apa yang disebut ‘institusi’, yaitu apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai, atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi dalam institusi itu.

[E1]Hlm.1-3; perbedaan bentuk perilaku ini sebenarnya ada juga dalam masyarakat kita. Satu hal yang kiranya perlu dilihat adalah bagaimana sehingga terdapat perbedaan perilaku tersebut, dan apa konsep kebudayaan yang terkandung sehingga kedapatan bentuk perilaku yang berbeda itu.

[E2]Hlm.3 – dalam kasus ini, terkadang orang menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri. Faktor pendidikan memang selalu menjadi indikator utama dalam membentuk perilaku individu/kelompok. Masyarakat dengan tingkat pendidikan baik akan menggunakan model negosiasi (negotiation) untuk memecahkan perbedaan di antara mereka, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah akan menggunaka model aggression.

[E3]Teori ini pun sejalan dengan Klukholn, melalui term cultural universal, yakni adanya tujuh unsur budaya yang universal pada setiap masyarakat di dunia; teori yang kemudian dikembangkan juga oleh Koentjaraningrat tentang antropologi masyarakat di Indonesia.

[E4]Observasi terhadap pandangan umum. Dalam term penelitian sosial, common sense merupakan salah satu sumber kebenaran atau pengetahuan yang bisa dijadikan acuan ekspolrasi ilmiah. Kebenaran-kebenaran dalam common sense adalah kebenaran standard yang masih perlu diuji melalui penelitian ilmiah (science research method). Baca

[E5]Pada aspek perilaku, perang dan migrasi juga dapat membentuk suatu tipe perilaku masyarakat, seperti tampak dalam apa yang kerap disebut modeling, di mana seseorang akan berperilaku seperti orang/kelompok lain melalui cara meniru, atau karena kepadanya diperkenalkan cara perilaku tertentu.

[E6]Dalam hal belajar, orang bisa belajar dari pengalaman tertentu [di masa lampau] dan melihatnya sebagai perilaku yang membudaya. Akibatnya cenderung mengcopy perilaku lama itu menjadi perilaku komunitas yang baru [modeling].

[E7]Lht. Ruth Benedict, Patterns of Culture, New York: Houghton Mifflin (Paperback reprint, 1961)

[E8] Pertanyaan yang akan dikembangkan dalam tesis nanti adalah apakah perilaku pukul bini adalah juga given?

[E9]Aspek ini kemudian akan dikembankan dalam Tesis sebentar nanti untuk melihat motiv kebudayaan dalam perilaku individu/kelompok (informan dalam penelitian). Artinya, perilaku pukul bini, akan ditelusuri dari asumsi-asumsi kebudayaan sebagai bentuk primitive neurotics itu. Apakah perilaku ini telah ada dalam masyarakat Maluku di zaman lampau, dan mengapa masih ada dalam masyarakat dewasa ini.

[E10]Kadang pengalaman perilaku individu dibentuk oleh perilaku anggota keluarga lainnya. Umumnya kita mengidentikkan perilaku seorang anak dengan perilaku orang tuanya.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara