Monday, May 20, 2024

YELIM DAN STRUKTUR SIFAT ORANG KEI

  



OLEH. ELIFAS TOMIX MASPAITELLA

 

Sesungguhnya ini adalah tulisan saya dalam Arahan Gereja yang disampaikan pada saat Penahbisan Gedung Gereja Elim, Jemaat GPM Ohoidertawun, Kei Kecil dan Kota Tual, pada Minggu, 28 April 2024 yang lalu. Pada kesempatan itu, saya bermaksud menyampaikan rasa terimakasih kepada warga gereja di sana, tetapi saya tidak tahu tema apa yang pas untuk mengungkapkan semuanya.

Kemudian saya tiba pada satu tindakan berbudaya yang hidup di kalangan masyarakat Kei, yaitu yelim, atau tradisi saling memberi di kalangan masyarakat Kei, atau tepatnya saya sebut Anak-anak Kei. Struktur Arahan itu telah saya ubah sehingga tertulis sebagai sebuah tulisan reflektif ini.

 

Dari pengalaman berjumpa dan mengalami secara langsung indahnya budaya dan kehidupan sosial orang Kei, maka pada momentum beriman saat ini, melalui penahbisan Gedung gereja Elim Jemaat GPM Ohoidertawun, perkenankan saya menyampaikan arahan ini dalam bentuk refleksi mengenai KELUHURAN HATI ANAK KEI.

Saya menyebut secara khusus anak Kei, bukan orang Kei, untuk menegaskan bahwa Anak Kei, yaitu siapa yang terlahir menjadi Kei, adalah pemilik sah dari hati nurani yang luhur. Anak Kei itu terlahir karena hati yang luhur dan hidup dengan hati nurani yang luhur. 

Yelim adalah tindakan berbudaya yang saya pinjam untuk melukiskan bahwa anak Kei itu pemilik hati nurani yang luhur. Artinya, saya tidak bisa disebut anak Kei tanpa menjadikan yelim sebagai gaya dan pandangan hidup. Atau, tanpa menjadikan yelim sebagai gaya dan pandangan hidup saya bukan anak Kei yang sejati. Yelim adalah jiwa kebudayaan yang luhur, sebagai bukti bahwa anak Kei itu tidak bisa dipisahkan satu dari lainnya, dan lebih lagi, anak Kei itu tidak bisa membiarkan dan melihat saudaranya susah atau dalam sengsara. Ada dorongan yang lahir dari hati nurani yang murni, bukan sekedar untuk menolong, tetapi merasakan kesusahan saudara sebagai kesusahan kita pula, supaya sukacitanya adalah sukacita kita pun. Yelim membuat ain ni ain menjadi norma luhur yang menegaskan bahwa kesatuan anak Kei itu adalah janji kehidupan untuk tetap menjadi satu tak terpisahkan, satu tak terbagi, satu tak terceraikan, satu yang memberi hidup dan menghidupkan.

Saya pernah menyaksikan bagaimana anak Kei mengantar Yelim kepada saudaranya, saat MPL di Elat dan Peresmian Tugu Injil di Taar, dan di sini, Ohoidertawun, saat penahbisan gereja Elim ini pun kita menyaksikan hal itu sebagai suatu akta kebudayaan yang membuat semua beban menjadi ringan. Gereja ini pun merasakan bahwa ternyata melalui yelim dari Jemaat-jemaat dan para PendetaGPM mampu membangun Kampus UKIM di Suli dan Aula Sitanala Learning Center di Ambon. Yelim adalah pemberian, yang mengajari kita bahwa setiap ketulusan membuahkan berkat besar, yaitu beban menjadi ringan. 

Yelim tidak dikirimkan, melainkan diantar. Artinya melalui yelim kita merayakan perjumpaan sebagai saudara yang setara. Jadi yelim tidak bisa dipandang pada barang material melainkan harus dipandang pada orang, yaitu saudara yang mengantarnya. Karena itu yelim adalah gambaran hati yang tulus dan wujud hidup yang menyatu, ain ni ain dan itu tidak bisa digantikan bahkan di era modern ini tidak ada praktek budaya yang lahir dari ketulusan yang bisa mengalahkan yelim. 

Apa arti dari semua ini? Artinya, menjadi Kei itu berkat besar. Sebab kita bukan hanya mewarisi keluarga, alam yang indah, persaudaraan yang rukun, tetapi kita mewarisi hati yang tulus murni. Hati yang melukiskan sukarela dalam yelim pun maren, hati yang putih seperti enbal, ketulusan itu lahir dari perjuangan untuk hidup, dan demi kehidupan itu anak Kei memberi yang terbaik untuk semua.

Di era modern dalam konteks masyarakat majemuk, yelim menjadi pelajaran peradaban bahwa hidup itu harus dibangun dari dasar ketulusan hati. Maka anak Kei memiliki kepekaan yang tinggi atas masalah-masalah kemanusiaan. Dari falsafah yelim, anak Kei pasti mau memberi yang terbaik kepada semua orang. Sebab ia lahir dari ketulusan hati seorang perempuan, dan ia dibesarkan dalam budaya yang memandang bahwa jauh lebih indah memberi yang terbaik kepada saudara daripada membiarkan saudara hidup dalam kesusahan. 

Dalam konteks agama-agama, yelim mengajari kita bahwa kemanusiaan dan kehidupan adalah puncak dari semua bentuk kasih sayang dan ketulusan. Yelim tidak memandang perbedaan agama, yelim adalah pemberian tanpa batas waktu, sebab itu yelim adalah jantung dari setiap agama, dan tanpanya agama-agama kehilangan fungsi sebagai tiang moral dan etika. Yelim memperhalus budi dan akhlak umat beragama, sebab inti yelim ialah rela memberi diri dan memberi yang terbaik untuk semua. 

Sebagai pimpinan Gereja Protestan Maluku, di momentum bahagia bersama semua anak Kei di Ohoidertawun inilah, saya harus menyampaikan terimakasih tulus sebab telah berkesempatan belajar dari totalitas kehidupan anak Kei, dan itu meyakinkan saya bahwa di Kei ini tidak akan ada pergesekan, apalagi konflik, jika itu hanya demi kepentingan sekelompok orang atau bahkan satu orang. Hati anak Kei terlalu tulus demi saudara dan demi keutuhan. Maka mari jaga suasana penuh persaudaraan, sebab ain ni ain – saya seutuhnya adalah saudaraku dan saudaraku adalah seutuhnya diri saya sendiri. 

Yelim menjadi bukti bahwa ada kelimpahan, bukan kekurangan. Kelimpahan itu bersumber dari pemberian yang dikumpulkan dan terus bertambah. Artinya, kelimpahan itu bukan berarti memiliki banyak harta atau sumber pangan, melainkan apa yang diberi dan dikumpulkan itu sanggup memenuhi kebutuhan dan ada sisa sebagai cadangan bagi keperluan pasca sebuah seremoni budaya. 

Bila diteologikan, Yelim menjadi bukti bahwa hal yang ajaib itu bersumber dari kesediaan dan ketulusan kita memberi apa yang kita punyai/miliki guna kepentingan bersama. Di sini, sebagai orang Kristen kita diingatkan pada kisah Yesus memberi makan lima ribu orang, terutama tindakan seorang anak kecil yang memberi kepada Yesus lima roti dan dua ekor ikan miliknya. Hal ini telah saya tulis dalam buku saya, Siapa Empunya Lima Roti (Jakarta, 2017). 

PERAN PASTORAL GEREJA DALAM TAHUN POLITIK 2024[1]


Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

(Ketua MPH Sinode GPM)

 

 

 

I.        PENGANTAR

 

Saya meminjam dua contoh yang secara paradigmatik relevan untuk mendiskusikan peran pastoral gereja dalam tahun politik 2024 di Indonesia. Contoh pertama adalah pada gerakan pembebasan yang dijalankan Marthin Lutger King (1954-1968) di Amerika Serikat, sebagai yang berintikan pada empati pastoral dari orang yang mengalami langsung diskriminasi terhadap sesama warga kulit hitamnya, dan contoh kedua pada paradigma kenosis atau penyangkalan diri Yesus sebagaimana tertulis dalam beberapa catatan injil.

Tujuan saya dengan dua contoh itu ialah untuk bersama-sama berdiskusi mengenai bentuk peran pastoral gereja dengan melihat dunia dan tanggungjawab politik sebagai bagian dari panggilan untuk melayani semua (calling to serve) dan panggilan untuk menjadi satu (ut omnes unum sint).

 

 

1.   Paradigma Keadilan Marthin Luther King, Jr

 

There comes a time when one must take a position that is neither safe, 

nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right.

(Marthin Luther King, Jr, 1986)

 

 

Kutipan di atas merupakan pernyataan Marthin Luther King, Jr, seorang tokoh sekaligus theolog pembebasan yang bersikukuh di jalan pembebasan rasialis Amerika (1954-1968), bahwa perbedaan ras tidak boleh menghambat hak sipil seseorang. Pilihan sikapnya untuk melawan diskriminasi ras di Amerika serikat pada saat itu adalah pilihan yang tidak populer dan sudah tentu sarat resiko, sebab ia pada akhirnya ditembak oleh James Earl Ray di Motel Lorraine Memphis, Tennessee (4 April 1968). Namun keberaniannya telah memberi inspirasi bagi gerakan pembebasan di seluruh dunia. Dapat dikatakan dalam jangka waktu yang lama setelah ia meninggal, baru kelihatan “buah sulung” perjuangan tersebut tatkala Barak Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (20 Januari 2009).

 Keberpihakan King kepada bangsa kulit hitam atau yang berulang kali tanpa malu ia sebut orang-orang negro merupakan bentuk empati pastoral politik yang nyata (Washington, 1986). Ia adalah bagian dari masyarakat kulit hitam Amerika yang sejak lahirnya mengalami diskriminasi, malah diskriminasi ras merupakan jati dirinya sebagai orang kulit hitam. Ia bertumbuh sambil mengalami persoalan tersebut secara faktual dan melihat bentuk-bentuk diskriminasi itu setiap hari dalam berbagai bentuknya. Boikot bus Montgomery (1955) merupakan bukti bahwa dalam hal yang paling simpel, soal tempat duduk dalam bus saja, orang kulit hitam tidak mendapat perlakuan yang setara atau adil. Sebab itu, tindakan King, yang adalah seorang pendeta, merefleksikan bahwa diskriminasi sosial tersebut merupakan beban besar bagi teologi gereja, atau hal tersebut merupakan persoalan teologia yang harus dijawab dengan sikap berteologi pula. Dalam hal itu saya memahami boikot bus Montgomery dan bentuk-bentuk protes King yang lain adalah tindakan berteologi yang sangat kontekstual dan lahir dari pengalaman langsung malah dirinya sendiri merupakan wadah berteologi itu sendiri.

King menampilkan suatu bentuk empati pastoral untuk mendorong upaya pemulihan, pembebasan, suatu tindakan membangun kemaslahatan dan dignitas (kehormatan diri) satu ras atau satu suku bangsa, bukan untuk memisahkan diri dari bangsa Amerika melainkan untuk menjadi bagian yang sama, setara, dan diperlakukan dengan adil dalam kehidupan bangsa tersebut. Ia berjuang secara politik namun sebagai tindakan berteologi, yakni sebuah refleksi pada aksi dan aksi yang berdasarkan pada refleksi yang koheren dalam arti dialami sendiri olehnya dan masyarakatnya. Keterlibatan King dalam berbagai bentuk protes merupakan caranya memposisikan diri (positioning) dan itu merupakan caranya mengada atau menghadirkan diri (presence) di tengah masyarakat yang kehilangan hak untuk diperlakukan adil. Kesamaan hak, dalam perjuangan King, merupakan bentuk keadilan yang esensial, dan itu harus diberi negara. Di situ King memperkenalkan paradigma keadilan bagi semua (justice for all) sebagai suatu amanat demokrasi, dan pada sisi yang sama kesetaraan (equality), suatu model masyarakat yang ideal (the good society).

 

 

2.   Paradigma Kenosis Yesus 

 

 

Inkarnasi sesuai catatan Injil Yohanes terpaut erat dengan Kristologinya. Dalam Yohanes 1:14, tertulis: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”. Dikaitkan dengan Yohanes 3:16, dalam menerangkan esensi kedatangan dan kehadiran Yesus sebagai Anak Manusia, kepada Nikodemus Yesus berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Yohanes menghadirkan Kristologi yang universal, membawa Yesus keluar dari lingkaran keyahudian dengan menjadikan Yesus milik orang-orang Yunani helenistik bahkan milik manusia secara universal. Dengan menjadi manusia (λόγος σάρξ γίνομαι), Yohanes menerangkan esensi kenosis sebagai tindakan keluar dari diri dan meninggalkan kebesaran/kemuliaan untuk menjadi sama dengan manusia. Ini bukan sekedar bentuk keberpihakan melainkan menjadikan diri-Nya sama seperti/dengan manusia. Tindakan ini hanya dapat terjadi karena kasih (ἀγαπάω) sebagai sifat dasar yang melekat langsung atau menjadi esensi dari diri Allah, sang Logos, yang telah menjadi manusia.

Moore mengutip Markus 10:32-45 sebagai gambaran real dari kenosis. Menurut Moore, jawaban Yesus terhadap permintaan Yakobus dan Yohanes yang meminta tempat utama dalam kerajaan yang akan datang memperlihatkan mereka berfokus pada cara-cara mencapai kekuasaan. Memang ide kerajaan Allah muncul beberapa kali dalam dialog Yesus dengan para murid, namun gambaran metafora kerajaan Allah itu dimengerti secara leterlag sebagai suatu ide dan agenda politik Yesus. Tetapi kepada Yakobus dan Yohanes, menurut Moore, Yesus menyarankan agar mereka melakukannya dengan jalan penyangkalan diri (kenosis). Ada tiga anasir yang diajukan Moore untuk memahami jawaban Yesus kepada dua saudara-Nya itu: Pertama, Politik Kenosis Yesus berlawanan dengan semua kerajaan duniawi lainnya. Kedua, Yesus menginstruksikan Yakobus dan Yohanes tentang cara mencapai kebesaran, bukannya menegur mereka karena pencarian mereka yang agresif. Dalam Markus 10:43b-44, tertulis: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (διάκονος), dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba (δοῦλος) untuk semuanya”. Ketiga, Yesus akan mencontohkan Politik Kenosis dengan pengorbanan-Nya sendiri, bahwa “Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Dengan demikian, Ia memperkenalkan paradigma baru dalam tindakan politik, yaitu kenosis sebagai tindakan melayani, menghamba, dan memberi diri sendiri demi kepentingan orang banyak. 

Ada praksis politik baru yang dilakukan Yesus, dan semua itu diluar segala sesuatu yang normatif. Pelayanan (διάκονος) dan kehambaan (δοῦλος) menjelaskan bukan hanya pada positioning diri melainkan akta kehidupan sekaligus sifat hakiki dari kekuasaan. Itu adalah model keberadaan diri yang operatif dan fungsional, sebagaimana tampak dalam tindakan Yesus membasuh kaki para murid (Yoh.13). Sikap Yesus itu jelas-jelas kontras dengan para tokoh yang lain di zaman itu. Sikap-Nya menerima penderitaan atau resiko penyaliban menjadikan diri-Nya jelas berbeda, dan memperlihatkan bahwa kekuasaan itu sesuatu yang usang jika hanya soal kedudukan dan kehormatan. 

Mereka yang merasa berkuasa, dalam perspektif kenosis, hanyalah memerintah bukan diperintah. Jadi mereka tidak bisa dipaksa, melainkan suka memaksa sehingga cenderung otoriter dan menjaga wibawa kekuasaannya, anti-kritik dan mencari popularitas melalui kedudukan. Orang yang dipandang sebagai yang berbeda dalam pemikiran dan tindakan dipandang sebagai rival yang karena itu tidak segan-segan untuk disingkirkan dengan berbagai cara. Malah di tangan penguasa seperti itu, hukum sangat mudah dimanipulasi. 

Catatan penginjil Markus (12:13-17; Mat. 22:15-22; Luk.20:20-26) tentang kewajiban membayar pajak kepada Kaisar merupakan salah satu, dari sekian banyak diskusi Yesus dengan orang Farisi mengenai torah Musa:

 

“Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran. Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?” (Mrk.12:14)

 

Ini semacam mekanisme ujian dengan harapan menambah lagi daftar kesalahan Yesus supaya cukup bukti untuk menimpakan hukuman atasnya sebagai penghujat Allah yang melawan taurat. Respons Yesus menjadi penting untuk disimak:

 

“Mengapa kamu mencobai Aku? Bawalah ke mari satu dinar supaya Kulihat! Gambar dan tulisan siapakah ini? Jawab mereka: Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Mrk. 12:15b-17)

 

Jelas bahwa Yesus tidak menganjurkan mereka melawan ketentuan hukum negara mengenai pajak, malah menyuruh mereka memenuhinya sebagai kewajiban terhadap hukum, bukan ketaklukan kepada Kaisar. Namun sebagai umat beragama, wajib juga mereka menjalankan kewajiban keagamaannya yakni memberi persembahan korban, korban syukur, korban bakaran dan lainnya. Pada teks ini tampaklah posisi masyarakat sebagai warga bangsa dan umat beragama, dan kewajibannya kepada negara serta kewajiban agama penting untuk dijalankan. Yesus tidak menganjurkan suatu tindakan subversif, melainkan kooperatif.

Kenosis yang sempurna terjadi pada penyaliban Yesus. Ucapan-Nya di salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34) merupakan model empaty yang mesti dipahami dalam perspektif penyelamatan (salvation) bukan sekedar pengampunan (redemption). Selama ini kita memahami penyaliban sebagai akta di mana Yesus menghubungkan kembali manusia dengan Allah. Salib diilustrasikan seperti jembatan yang membentang pada jurang yang lebar, yakni dosa yang memisahkan manusia dari Allahnya. Kesannya Yesus menjadi “jembatan” atau “mediator”. Padahal ada satu proses yang lebih substansial dari sekedar itu, yakni penyelamatan, sekaligus sebagai kulminasi kenotic Yesus.   

 

 

II.      DEMOKRASI LANGSUNG SEBAGAI KONTEKS PASTORAL POLITIK GEREJA

 

Demokrasi langsung atau sistem demokrasi terbuka, dimana rakyat, sesuai ketentuan UU, berhak memilih dan dipilih memberi “beban” tersendiri kepada gereja sebagai institusi dan juga pelayan atau pimpinan lembaga gereja. Bagi gereja-gereja di Indonesia, sesuai PPTB, peran dalam demokrasi merupakan bagian dari peran gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi langsung atau terbuka di Indonesia saat ini sarat dengan masalah, dan salah satunya adalah konflik antar-warga sebagai akibat dari pendidikan politik yang kurang sehat. Beberapa variabel dari kurang sehatnya pendidikan politik di Indonesia antara lain:

-       Konflik kepentingan (conflict of interese) masih sering terjadi di antara kontestan (contestant): antar-partai dan antar-calon atau kontestan suatu proses pemilihan umum (Pilpers dan Wapres, Pilgub dan Wagub, Pilbup dan Wabub, PilWalkot dan Wawali, Pilkades) dengan melibatkan masyarakat (constituent).

-       Keberpihakan penyelenggara kepada pihak yang berkuasa sebagai indikator pemilu yang tidak jujur, bersih dan transparan. Ujung-ujungnya kelompok masyarakat dihadap-hadapkan dalam aksi demonstrasi pro vs kontra. 

-       Perebutan kekuasaan (power struggle) di antara partai politik, pasangan calon, calon anggota legislatif bahkan OKP dan ormas, termasuk dengan membawa sentiment agama, misalnya pada daerah di mana satu kelompok agama (merasa) mayoritas. 

-       Bagi-bagi jatah atau kue politik (political cake sharing) di antara para kontestan dan kelompok pendukung, sehingga kepentingan kelompok (oligarki) lebih diutamakan, pembangunan bagi kesejahteraan rakyat terbengkalai.

-       Perselingkuhan politik (political infidelity) antara politisi, penguasa, pengusaha, militer dalam kancah politik praktis, sehingga kehendak oligarki lebih diutamakan ketimbang aspirasi rakyat. 

-       Kampanye negatif (black campaign), yang terkadang berdasar pada fitnah (blasphemy) sehingga menciderai seseorang atau satu kelompok orang.

-       Politik uang (money politics) sebagai faktor determinan tidak tuntasnya perilaku korupsi tetapi juga menciptakan orientasi uang sebagai daya pikat bagi konstituent dalam pemilihan umum.

-       Pembodohan politik (political dumbing down) yang sering dilakukan saat kampanye dengan menjelek-jelekkan satu atau sekelompok orang, dan menarik sentimen agama ke dalam politik praktis. Terkadang menjurus ke adu-domba antar-pendukung.

-       Golongan Putih (golput) sebagai bentuk boikot atau perlawanan terhadap tujuan utama demokrasi atau juga tidak tercapainya aspirasi sekelompok rakyat pada satu atau beberapa resim yang berkuasa.

 

Yang hendak saya katakan sebagai “beban” gereja adalah variabel-variabel itu mengisyaratkan dua hal penting sebagai bagian dari agenda pastoral gereja dalam kehidupan demokrasi atau politik nasional, yaitu: pertama, kecenderungan perilaku warga, dan kedua, perilaku struktur politik yang harus ditangani secara baik agar di satu sisi menunjang berlangsungnya demokrasi substansial, sebagai demokrasi yang berpihak pada keadilan, perdamaian, keutuhan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat, serta pada sisi lainnya dihidupi oleh manusia-manusia bermoral, beretika, kritis-profetik dan memiliki spiritualitas melayani yang tinggi. 

 

 

III.     KENOSIS SEBAGAI TITIK TOLAK AGENDA PASTORAL-POLITIK GEREJA

 

Saya meminjam dua teori pastoral untuk merumuskan peran pastoral gereja dalam konteks politik. Teori pertama dari Clebsch dan Jaekle (1967) tentang fungsi dasar pendampingan pastoral, yaitu fungsi menyembuhkan, menguatkan, membimbing dan memperbaiki hubungan. Kedua, teori kritis dari Ronaldo Sathler Rosa (1994), yang menyebut bahwa: “Gereja dinilai tidak mengarahkan perhatian pada persoalan-persoalan konkrit dari masyarakat, padahal melalui pastoral gereja harus mendorong warganya untuk terlibat bersama dalam tiap masalah sosial, termasuk masalah-masalah yang timbul sebagai ekses dari suatu perubahan sosial”.

Kedua kutipan itu dijadikan rujukan untuk melihat bentuk dan tujuan dari pastoral gereja dalam konteks politik/demokrasi di Indonesia, sekaligus percikan pemahaman dan sikap bersama menghadapi pemilihan umum langsung dan serentak di Indonesia pada tahun 2024 yang akan datang. 

Sesungguhnya Pendidikan politik dengan seperangkat kurikulum yang sudah dimiliki oleh gereja (PGI dan gereja-gereja anggotanya) merupakan salah satu tindakan pastoral politik yang mesti diterapkan secara berkelanjutan di semua gereja. Saya tidak akan menyinggung materi itu, dengan harapan gereja-gereja anggota fokus menjalankan pendidikan politik kewargaan sebagai cara mencerdaskan dan membentuk kesadaran politik dan demokrasi. Tujuan Pendidikan politik sendiri ialah membentuk dua aspek itu agar warga dapat berpartisipasi dalam agenda demokrasi dan pembangunan bangsa, sambil memahami hak dan kewajibannya. Jika mereka mesti berjuang untuk hak-haknya, perjuangan itu mesti dilakukan dalam jalur-jalur konstitusional sehingga tidak melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan perjuangan itu tetap untuk memelihara kesatuan bangsa dan negara yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.

Saya melihat peran pastoral gereja pada beberapa bentuk dan tujuan, dengan menjadikan Pendidikan karakter dan kontrol sipil sebagai bentuk sikap teologi-profetik gereja dan warga gereja yang adalah warga bangsa dan negara Indonesia. Kenosis menjadi titik tolak sekaligus dasar motivasi untuk seluruh sikap kritis dan keterlibatan gereja/warga gereja dalam konteks politik dan demokrasi. Untuk itu berikut ini beberapa bentuk dan tujuan peran pastoral gereja, yaitu:

 

B E N T U K

T U J U A N

Pembinaan kesadaran demokrasi

Agar warga gereja memahami hak dan kewajiban serta berjuang melalui jalur demokrasi yang konstitusional

Pembinaan karakter politik

Membimbing warga untuk mewujudkan perilaku anti-politik uang, kampanye negatif, politik identitas

Pembinaan kesadaran kritik-profetik

Membimbing warga menjalankan fungsi kritik-profetik dalam konteks politik dan demokrasi

Pembinaan kesadaran kebangsaan

Membimbing warga membangun kehidupan sebagai warga negara sambil memelihara keutuhan bangsa

Pengarusutamaan Pancasila

Membimbing warga mengamalkan nilai Pancasila dalam kehidupan demokrasi bangsa dan negara

Memajukan politik persaudaraan

Menguatkan pemahaman kewargaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika

Mendorong peranserta warga dalam pemilu

Mengarahkan warga untuk tidak golput; meningkatkan angka partisipasi warga dalam memilih secara sah

Mendorong partisipasi warga dalam pembangunan daerah dan nasional

Meyakinkan warga untuk mendukung program pembangunan di daerah dan nasional dengan menciptakan stabilitas sosial, politik dan ekonomi

Memperluas jejaring advokasi warga dan kebijakan publik

Memperkuat kelembagaan gereja untuk melakukan advokasi kebijakan publik sebagai bentuk kontrol sipil  

 

Demikian beberapa catatan yang dapat disampaikan pada kesempatan ini. Kiranya kita dapat mensukseskan agenda Pemilihan Umum tahun 2024 sebagai wujud terbangunnya kesadaran berbangsa dalam bingkai kebhinnekaan di Indonesia.

 

 

 

Buku Rujukan:

 

Clebsch, William A & Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, New York, 1967

Moore, Mark E., Kenotic Politics: The Reconfiguration of Power in Jesus’s Political Praxis, The Library of New Testament Studies, Bloomsbury T&T Clark, 2013

Rosa, Ronaldo Sathler, “Opening Address in Pastoral Theology’s & Pastoral Psychology’s Constitutions to Helping Heal a Violent World”, edited by. G. Michael Coundner, Santa Severe, Italy, 1994

Washington, James Melvin (eds.), A Testament of Hope: The Essential Writings and Speeches of Marthin Luther King, Jr, 1986

 

 



[1] Materi Rakernas PGIW tahun 2023, Gereja Maranatha-Ambon, 11 Agustus 2023

KARAKTER ETIS POLITIK KRISTEN[1]


Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

0.    PENGANTAR

 

Topik di atas sekaligus menjadi tujuan dari tulisan ini, berpijak pada tema utama “Memperkuat Demokrasi dari Basis”. Memperkuat demokrasi merupakan suatu usaha memperkuat rakyat (demos) dalam arti menggerakkan seluruh masyarakat secara bersama-sama, baik personal, komunal, dan juga menggerakkan institusi-institusi sosial termasuk institusi agama supaya bersama-sama menjadikan masyarakat sebagai kekuatan di dalam demokrasi itu sendiri. Istilah memperkuat (strengthening) mengasumsikan rakyat tidak sekedar sebagai subyek melainkan kekuatan langsung dan hakiki dari demokrasi. 

Jadi kekuatan (baca. rakyat) itu yang diperkuat, oleh sebab politik telah menjadikan rakyat sebagai “alat” yang terus menerus dimanipulasi atas nama “suara”. Rakyat dijadikan sebagai “instrument” politik praktis, sehingga tujuan politik yang seharusnya untuk melayani rakyat menjadi untuk merebut dan membagi-bagi kekuasaan. Politik telah menggiring rakyat untuk menjual hak absolutnya menjadi subtitutif setelah nafsu berkuasa tercapai. Sebab itu tepatnya, rakyat tidak harus diberdayakan (empowering) melainkan diperkuat (strengthening). Demokrasi harus dikembalikan kepada pemilik sahnya. 

Selanjutnya, saya memahami istilah “basis” secara langsung menunjuk kepada posisi berdiri rakyat di dalam “polis” (yun. πόλις), bukan sekedar tempat/lokus. Istilah “polis” diartikan sebagai “kota, kota negara”, namun juga berarti “badan masyarakat” atau menunjuk pada suatu lembaga yang dibentuk untuk mewakili masyarakat untuk mengatur akselerasi hak-hak masyarakat. Polis itu terbentuk dalam suatu yang kompleks, ketika jenis kebutuhan turut berkembang dan persaingan terus terjadi, terutama persaingan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kembali ke istilah “basis” tadi, maka di dalam “polis” sebagai “badan masyarakat” itulah seluruh kekuatan rakyat mesti dikuatkan atau dikerahkan. Proses ini mesti dijalankan melalui keterlibatan (engagement) langsung baik personal maupun institusional.

 

1.    INKARNASI SEBAGAI KETERLIBATAN POLITIK 

Bentuk keterlibatan politik itu bersifat personal dan institusional. Secara teologis, keterlibatan politik itu dapat dipahami sebagai model empaty, atau keberpihakan langsung ke dalam situasi hidup orang lain, agar bisa menolongnya menemukan jalan keluar dari masalahnya sambil memelihara integritas dirinya sebagai manusia. Artinya, kesendirian itu tidak manusiawi, tetapi berempaty ke dalam hidup sesama menjadikan kita lebih manusiawi. 

Saya memahami hal itu dari teologi inkarnasi, atau ketika Allah menjadi manusia. Allah mendorong diri-Nya sendiri untuk menjadi manusia. Artinya Allah itu galau melihat umat-Nya menderita dan terus hidup dalam keberdosaan. Ia galau jika hanya harus memberi titah melalui orang-orang kudus-Nya. Kegalauan itu mengasumsikan bahwa Allah tidak bisa sendiri dalam ke-Allahan-Nya. Ia memilih satu cara yang trans-rasional, yaitu dengan menjadi manusia (inkarnasi), sehingga Ia ada di dalam dunia dan masyarakat secara nyata, karena Ia berdiam di antara manusia (Yoh. 1:1,14). Ia terlibat secara personal-operatif dalam kemanusiaan tersebut. Ia tidak mewakilkan diri-Nya kepada seseorang atau di dalam sebuah lembaga, melainkan Ia sendirilah yang terlibat.

Inkarnasi adalah cara Allah melaksanakan tugas mesianik yang nyata. Yesus, sebagai Allah yang menjadi manusia, menjadikan diri-Nya sentral dalam seluruh tugas mesianik itu. Meski demikian, Ia hidup di antara manusia dan merangkul orang-orang pinggiran yang dikucilkan dan mengalami diskriminasi berlapis (sosial, politik, ekonomi dan agama). Posisi diri Yesus tersebut merupakan sebuah pilihan yang tidak populis saat itu, apalagi Ia ditemui bergaul erat dengan orang-orang miskin dan perempuan termasuk dari kalangan orang kafir, seperti perempuan Samaria (bd. Yoh. 4:1-42).

Ide tentang inkarnasi saya gunakan di sini untuk memberi dasar bagi usaha-usaha gereja (personal dan institusi) melibatkan diri secara operatif di level basis. Ada pendapat yang menarik tentang motif keterlibatan politik dari Alexius A.L. Binawan[2] yang bisa membantu kita melihat bentuk dan cara memperkuat demokrasi.

Menurut Binawan, motif pertama adalah keterlibatan langsung, yaitu bentuk keterlibatan yang bertujuan menduduki jabatan pemerintahan sebagai motif dalam politik praktis. Motif ini paling sering terjadi malah menjadi model utama sehingga orang mencap politik dan demokrasi itu secara langsung dengan atau sebagai kekuasaan itu sendiri.  Kedua, motif yang berupaya ikut memengaruhi pendapat umum (policy making) dan keputusan politis tetapi dengan cara di luar struktur pemerintahan. Ketiga, cara memengaruhi kebijakan publik secara tidak langsung, misalnya dengan jalan membuat surat terbuka atau petisi onlineKeempat, motif menggumuli kepentingan umum dengan menggerakkan masyarakat secara bersama-sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menanamkan nilai-nilai moral agama dalam kehidupan sesehari. Kelima, afiliasi lembaga agama ke dalam partai politik tertentu, yang ujung-ujungnya demi kekuasaan institusional. Targetnya adalah kepentingan institusi agama dalam hubungan dengan institusi lain. Keenam, motif keterlibatan umum melalui pendekatan iman, di mana motif politik pribadi – dengan basis imannya – dalam “menggarami” masyarakat sangat menonjol. Tidak ada kaitan institusional antara keterlibatannya dengan agamanya. Menurut Binayan, yang menjadi target dari motif ini bukanlah kepentingan pribadi itu atau imannya itu, melainkan kepentingan umum dan kebaikan bersama dalam arti yang paling luas, dan kepentingan umum itu tetap mempunyai nuansa politis. Ketujuh, motif keterlibatan personal yang memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya. Kedelapan, motif iman dalam wacana keseharian, yaitu bagaimana umat berkumpul dalam lingkungan masyarakatnya, lalu secara pribadi melakukan lobi-lobi politis, menulis surat pembaca di koran, atau di media sosial. 

Pendapat Binawan di atas menjelaskan bahwa keterlibatan politik itu bersifat personal dan institusional serta bertujuan untuk memenuhi kepentingan politik secara personal dan juga institusional. 

Apapun tujuannya, inti dari keterlibatan politik ialah membangun komunikasi yang intens dan memahami secara benar masalah yang berkecamuk di level basis/masyarakat, untuk mendorong upaya-upaya yang pro-eksisten untuk memperjuangkan kepentingan bersama dengan tetap menjaga kesatuan di dalam masyarakat.  

Inkarnasi membuat Allah, di dalam Yesus, membangun komunikasi langsung secara intens dengan manusia. Komunikasi tanpa sekat yang berlangsung di dalam hidup keseharian Yesus. Ide besar inkarnasi dalam injil Yohanes menerangkan tentang motif dan tujuan yang paling hakiki dari tujuan Allah menjadi manusia. Dorongan utama dari inkarnasi adalah kasih Allah yang besar (yun. agapao - ἀγαπάω), yaitu kasih yang rela memberi diri, rela meninggalkan ke-Allahan-Nya sendiri, kasih yang tidak terbatas, tidak bertepi, tidak berujung dan tidak berakhir (intinity), kasih yang mengosongkan diri (kenotic). Sedangkan tujuan dari inkarnasi itu ialah memberi kepada manusia, hidup kekal (yun. zoe aionios - zóé αἰώνιος).

Kasih itu yang terjelma dalam setiap tindakan Yesus, seperti menyembuhkan orang sakit, mencelikkan mata orang buta, membangkitkan Lazarus, atau juga pada tanda-tanda ajaib yang tidak disadari oleh Yesus sendiri, seperti kesembuhan seorang perempuan yang sakit pendarahan yang yakin bahwa Ia akan sembuh hanya dengan menyentuh puncah jubah Yesus. Kasih itu pula yang dituntut Yesus, dengan tiga kali bertanya kepada Petrus setelah Ia bangkit dari kematian-Nya, agar Petrus menggembalakan domba-domba Kristus (Yoh.21:15-18).

Inkarnasi Allah dapat dipahami sebagai motif kasih yang rela untuk memberi kepada manusia (masyarakat di level basis) suatu kondisi hidup baru pada level tertinggi, yaitu hidup dalam damai sejahtera yang tidak akan dapat diambil alih atau dirampas oleh siapapun di waktu kapanpun. Tindakan itu tidak hanya membekas sebagai semacam legacy melainkan tindakan itu adalah tujuan ideal yang dilakukan Yesus secara sempurna tanpa cacat dan cela sedikitpun pada diri-Nya. Malah, meski cara itu penuh resiko, Ia tidak melarikan diri atau memilih cara lain. Ia tetap memilih cara itu dengan menempuh jalan penderitaan-Nya (via dolorosa).

 

2.    PENGUTUSAN SEBAGAI MODEL KEBERPIHAKAN POLITIK (REFLEKSI ATAS MATIUS 10:5-15)

Saya meminjam Injil Matius 10:5-15[3] untuk melihat aspek pengutusan sebagai model keberpihakan politik Kristen di tengah masyarakat. Hakekat dan makna inkarnasi seperti dijelaskan tadi menjadi daya dorong teologis di dalam memahami dimensi pengutusan ini, sebab Yesus telah mempercayakan gereja (personal dan institusional) untuk melanjutkan tugas mesianik-Nya itu dengan tetap belajar dan mengikuti pola-Nya.

Penginjil Matius mengelaborasi kegalauan hati Yesus ketika Ia berkeliling semua kota dan desa di Galilea. Di situ Ia menyembuhkan banyak orang dari berbagai penyakit dan dan melihat banyak orang terlantar seperti domba-domba yang tidak memiliki gembala. Menurut keterangan Matius, pada kondisi itulah, “tergeraklah Yesus oleh belas kasihan” (Mat. 9:36), untuk segera menolong mereka dan membawa mereka keluar dari situasi yang sulit itu. Ungkapan-Nya “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat.9:37) menjadi introduksi dari pemilihan 12 murid (Mat.10:1-4) dan pengutusan mereka (Mat.10:5-15). Sebagai “pemilik” tuaian, Yesus mengutus secara langsung para “pengirik” (baca. murid-murid-Nya) atas dasar “belas kasih” tadi, supaya orang-orang yang terlantar tanpa ada pemimpin/pelayan itu bisa dibawa keluar dari kesulitan-kesulitan dan keterbatasan hidup.

Sebab itu pengutusan mesti dipahami dalam ide dasarnya yaitu belas kasih Yesus yang tidak bisa dibendung. Tanpa itu kehadiran kita di tengah hidup orang-orang susah tidak akan memberi faedah apapun sebab kita kehilangan spirit dasar. Akhirnya dengan mudahnya kita menjadikan sesama sebagai obyek, padahal Yesus menghendaki kita menjadikan mereka subyek. 

Mari kita simak tahap-tahap dan pesan-pesan Yesus dalam akta pengutusan para murid-Nya sesuai catatan penginjil Matius.

       PESAN – Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan surga sudah dekat (Mat.10:5b-7). 

Focus group dari pesan pengutusan itu ialah domba-domba yang hilang dari umat Israel, itu sekaligus menjadi koridor atau jalan yang harus ditempuh dan dituju. Pesan untuk “jangan menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria” merefleksikan ada hal besar yang mesti diurus terlebih dahulu di level basis sebelum kita melakukan lompatan-lompatan besar dalam tugas pengutusan itu. 

Dalam ide Matius, istilah “domba-domba yang hilang” dapat dialamatkan langsung kepada orang-orang yang mengalami diskriminasi berlapis, seperti orang sakit, miskin, dlsb. Ada hubungan yang kuat dengan Mat. 25:35-40, dimana mereka yang dimaksudkan itu ialah orang yang sakit, lapar, haus, dipenjarakan, tidak memiliki rumah, dlsb, dengan demikian gagasan tentang kerajaan Allah di sini tidak sama dengan apa yang dikhotbahkan Yohanes pembaptis. Sebab ide Yohanes pembaptis tentang kerajaan surga ditautkan langsung dengan seruan pertobatan (Mat.3:2), karena itu baptisan menjadi akta sentral dalam tugas Yohanes pembaptis.

Kerajaan surga dalam ide Yesus di sini dikaitkan dengan pelayanan dan solidaritas sosial, dan hal ini telah diintroduksi oleh Yesus dalam kumpulan khotbah di bukit (Mat.5-7), sehingga pengutusan dengan gagasan kerajaan surga di sini perlu dipahami terkait ucapan-ucapan bahagia itu (Mat. 5:3-12) dan sekumpulan tuntutan etis yang terkumpul dalam Mat.5:13-7:27.

       TUGAS – Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang yang sakit kulit; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, berikanlah pula dengan cuma-cuma (Mat.10:8).

 Tugas ini secara serentak diberi bersamaan dengan karunia, artinya Yesus memberi kuasa-Nya kepada para murid untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut sebagai cara untuk menghadirkan kerajaan surga di waktu kini (present, today). Karena itu gagasan kerajaan surga di atas lebih pada perubahan kondisi dan peningkatan kualitas kehidupan dari orang-orang yang terbatas itu. 

Tugas ini adalah tugas karitas (charity), tugas yang dikerjakan sesuai karunia yang kita terima secara cuma-cuma, jadi harus dilakukan juga secara cuma-cuma. Tugas yang bersifat karitas itu adalah tugas yang didorong oleh kasih/belas kasih, maka dengan melakukannya, kita menghadirkan kasih Kristus dan kuasa-Nya di dalam hidup orang yang dilayani.  Karitas membuat keterlibatan Kristen dalam bentuk apapun, termasuk politik memiliki jiwa dan benar-benar untuk kepentingan bersama. Keterlibatan kristen untuk melayani bukan untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.

       SYARAT – Janganlah membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah membawa kantong perbekalan dalam perjalanan, janganlah membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat nafkahnya (Mat.10:9-10). 

Karitas itu menjurus pada pola kenotic, atau pengosongan diri, dan itu yang membuat inkarnasi serta keterlibatan Kristen dalam dunia menjadi sesuatu yang unik karena memiliki nilai yang tidak terbandingi. Tanpa itu, inkarnasi adalah proyek gagal Allah, dan keterlibatan Kristen pun menjadi hambar karena ditunggangi oleh kepentingan berkuasa.

Keterlibatan politik baik personal maupun institusional dewasa ini sarat dengan soal capital. Orang berpendapat bahwa untuk menjadi politisi, harus banyak duit. Untuk menjadi calon kepala daerah, atau Presiden, harus persiapkan uang milyaran rupiah. Karena itu perlu dukungan orang-orang kaya, para milyarder dan trilyuners, serta dukungan korporasi yang bonafid, sekelas pengusaha pertambangan nikel. Akibatnya orang-orang baik dan cerdas yang miskin hanya bisa berkhayal untuk menjadi seorang pelayan politik yang baik. Politik praktis akhirnya diisi oleh orang-orang sombong, yang “berlagak” banyak duit. Akibatnya politisi pun dikurung oleh tuntutan “ganti pinjaman” atau “cash-back” kepada pihak kreditur, yakni para pengusaha/donatur. Ujung-ujungnya menjadi jelas, semua proyek harus dibagi kembali kepada pemilik modal. Maka politik praktis menjadi cara untuk melanggengkan oligarki. 

       STRATEGI – Apabila kamu masuk kota atau desa, carilah di situ orang yang layak dan tinggallah padanya sampai kamu berangkat. Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. Jika mereka layak menerimanya, salam damaimu itu turun ke atasnya, jika tidak, salam damaimu itu kembali kepadamu. Apabila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu (Mat.10:11-14). 

Kelompok masyarakat di basis adalah kekuatan yang vital dan menentukan berhasil tidaknya kita menjalankan tugas. Kekuatan mereka itu perlu dijadikan sebagai unsur utama dalam setiap tugas, sebab reaksi penerimaan dan penolakan merupakan bagian dari tugas publik. Penerimaan akan sangat berkaitan dengan ada tidaknya rasa percaya (trust). Bangunan kepercayaan publik/masyarakat yang kuat menentukan penerimaan, sebaliknya ketidakpercayaan (distrust) melahirkan penolakan secara massive.

Strategi di atas menunjukkan ada figure sentral atau orang kunci (key person) yang mesti didekati terlebih dahulu, guna menjamin penerimaan tersebut. Peran key person begitu penting, dan mereka mesti ditempatkan dalam posisi utama sebuah pergerakan sosial. 

Strategi di atas menunjuk pada pentingnya komunikasi personal dengan key person dan masyarakat secara langsung, terbuka. Ada model komunikasi setara, sebagai komunikasi yang berdimensi damai sejahtera (shalom). Suatu model komunikasi yang bertujuan untuk menghadirkan kehidupan itu sendiri. Artinya, dengan datang ke dalam suatu masyarakat, komunikasi atau membahasa menjadi vital, entah untuk menyampaikan gagasan/ide, cita-cita, harapan bersama, atau juga mengajak, membimbing untuk bertumbuh dan berubah. Komunikasi yang berdimensi shalom itu merupakan model komunikasi yang etis sehingga diperlukan keterbukaan seluas-luasnya, tanpa ada intrik dan kepentingan pribadi. Sejatinya komunikasi yang berdimensi shalom menjadi batu uji kepada semua pengerja Kristen di medan layanan apapun.

Penerimaan dan penolakan mesti dipahami sebagai bagian yang inheren dalam komunikasi yang berdimensi shalom itu pula. Karena kesadaran masyarakat (consciousness) adalah hal yang diutamakan, bukan pemaksaan. Komunikasi yang berdimensi shalom harus mendorong bertumbuhnya kesadaran ke arah perubahan. 

       KONSEKUENSI – Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya daripada kota itu (Mat.10:15).

Ayat ini lebih condong sebagai dampak ikutan dari penolakan, dengan asumsi kita harus berusaha agar melalui komunikasi yang berdimensi shalom, ada rasa saling percaya yang berbuah pada penerimaan. 

Jika dihubungkan dengan PESAN dalam ayat 7 dan 8, maka derita Sodom dan Gomora dalam ayat 15 ini lebih ringan dibandingkan masyarakat yang tetap hidup dalam berbagai penyakit, miskin dan lapar, karena itu bisa dikategorikan sebagai derita berkepanjangan. Dengan demikian penolakan terhadap para rasul berdampak pada penderitaan berkelanjutan, sebaliknya penerimaan berbuah manis yakni pemulihan. Karena itu dibutuhkan strategi yang tepat dan bentuk-bentuk adaptasi diri yang jitu pula. 

Hal tersebut terkait dengan pesan Yesus berikutnya dalam Mat.10:16 “Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ulat dan tulus seperti merpati”. Saya melihat ayat ini sebagai bagian dari strategis adapatasi diri seorang rasul/pengutus di dalam masyarakat majemuk, dengan tujuan bahwa misi atau tugas mesianik itu tidak boleh dibiarkan gagal hanya karena ada penolakan.

 

3.    KARAKTER ETIS POLITIK KRISTEN

Konsep teologis tentang inkarnasi sebagai bentuk keterlibatan politik Yesus dan pengutusan sebagai tugas layanan para rasul, penting dipahami kini sebagai imperative teologi politik sebagai suatu cara gereja (personal dan institusional) menghadirkan diri secara langsung di level basis agar memastikan pekerjaan damai sejahtera berlangsung secara nyata demi kualitas kehidupan manusia secara hakiki.


Sebelum sampai ke point itu saya hendak mengajak kita melihat gereja (ekklesia) dalam jaringan pengelolaan politik Yunani di abad ke-4.[4] Gambar di bawah ini menerangkan posisi ekklesia[5] sebagai sebuah lembaga sosial yang penting dalam masyarakat Yunani.

 

Dalam struktur politik Yunani abad ke-4, ada tujuh (7) yang berperan penting, yaitu Heliaia, pengadilan umum (Popular Tribunal), Areopagus, pengadilan kuno Yunani (Ancient Tribunal), Boule suatu badan yang beranggotakan 500 orang, Prytany, yaitu badan eksekutif sebagai wakil suku-suku/daerah, Ekklesia, suatu badan umum, mewakili kurang dari 6000 penduduk, Military Magistracies, lembaga militer, Civil Magistacies, semacam lembaga tinggi yang beranggotakan orang-orang dari masyarakat, dan terakhir adalah Archons yang bertanggungjawab untuk ritus-ritus masyarakat Yunani Kuno.

Ekklesia itu adalah suatu badan yang diisi oleh penduduk berusia 30 tahun ke atas melalui proses pemilihan, dengan mengacungkan tangan (raising hand) dan duduk untuk mengurus kepentingan orang-orang yang diwakilinya. Posisi ini vital sebagai suatu kekuatan sosial politik, karena ekklesia bertanggungjawab atas suara yang diwakilinya. Dalam konteks politik populer saat ini, ekklesia tidaklah menjadi satu partai politik melainkan gerakan teologi politik yang dilakoni oleh gereja dalam arti personal dan institusional. Untuk itu wawasan politik Kristen kita mesti berkembang, dengan melihat politik praktis sebagai luasan dari karya kesaksian Injil melalui perjuangan personal (politisi) dan institusional (gereja) pada jalurnya masing-masing.

Jika saya katakan perjuangan personal, maka ruang ini menjadi ruang pelayanan warga gereja profesi di bidang politik, sebagai bagian dari pengutusannya, atas dasar belas kasih Yesus kepada orang-orang yang lemah. Sebaliknya sebagai ruang perjuangan institusional, tidak berarti bahwa gereja sebagai lembaga (sinode) mendirikan partai politik Kristen atau sinode terlibat langsung dalam politik praktis. Peran institusional gereja ialah menjadikan politik sebagai bagian dari panggilan iman untuk mendorong warganya menghadirkan politik yang berdimensi shalom itu. Lembaga gereja bertugas membentuk warga yang matang, visioner, misioner dan profetik untuk berperan dalam ruang politik praktis. Ada tanggungjawab gereja sebagai lembaga untuk membentuk warga untuk berkiprah di lembaga politik, namun bukan untuk membangun oligarki baru, tetapi untuk menghadirkan politik yang berdimensi shalom. 

Pada posisi itu, gereja dan AMGPM bertugas membentuk karakter etis politisi Kristen. Seorang politisi Kristen harus meresapi hakekat inkarnasi Allah dan tujuan pengutusan dirinya. Ia harus menjaga moralitas dan etika sebagaimana ia memelihara imannya. Ia harus menjalankan tugas politik sebagai luasan tugas pemberitaan Injil yang memanusiakan manusia. Ia harus kritis sebagai seorang nabi yang berwibawa, agar kata-katanya, tindakannya dapat dipercaya. Ia tidak boleh takut menempuh suatu resiko demi keselamatan publik, meskipun pada hal itu ia harus habis. Ia tidak boleh menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, sebaliknya melayani dengan sepenuh hati. Ia tidak bisa dengan mudah dibujuk dan disuap, sebab itu ia tidak boleh takut miskin apalagi melarat. Ia harus cermat mempertimbangkan masa depan, sebab itu di saat ia diutus, ia harus bekerja dan berjuang sekuat tenaga. Ia harus memilih untuk “berdiam di antara masyarakat” daripada bergaul erat dengan penguasa yang lalim. Ia harus mencerdaskan masyarakat, mencerahkan pemikiran mereka, supaya jangan ia menjadi pembohong yang suka menceritakan dongeng. Ia harus memengaruhi pengambilan keputusan public sebagai suatu keputusan etis pemerintah untuk memajukan daerah, kota, desa, bangsa, negara dan masyarakat. Ia harus menjaga agar demokrasi langsung membentuk pemerintah yang baik, sebab pemerintah yang baik berasal dari Allah (Roma 13:1,2).

Demikian beberapa pokok pemikiran untuk didiskusikan.

 

DAFTAR BACAAN:

Binawan, Alexius Andang Listya, “Menautkan (Kembali) Agama dan Iman Dengan Menjaga Gawang Hak Asasi Manusia”, dalam H. Dwi Kristanto dan L. Eko Anggun S (eds.), Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia: Kumpulan Esai Untuk KArlina Supelli, Kanisius: Yogyakarta, 2022

Hansen, Mogens Herman, Fischer-Hansen, Tobias (1994), "Political Architecture in Archaic and Classical Greek Poleis", dalam Whitehead, David, From Political Architecture to Stephanus Byzantius: Sources for the Ancient Greek Polis, Historia: Einzelschriften, vol. 87, Stuttgart: Franz Steiner Verlag

Wilken, Robert L., Christian As Roman Saw Them, Philadelphia: Fortress Press, 1993

© Pastori Klasis GPM Kisar, 21-22 Oktober 2023



[1] Materi Study Meeting MPP ke-35 AMGPM, Lebelau, Daerah Pulau-pulau Kisar, 22 Oktober 2023

[2] Alexius Andang Listya Binawan, “Menautkan (Kembali) Agama dan Iman Dengan Menjaga Gawang Hak Asasi Manusia”, dalam H. Dwi Kristanto dan L. Eko Anggun S (eds.), Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia: Kumpulan Esai Untuk KArlina Supelli, Kanisius: Yogyakarta, 2022, hlm. 276-282

[3] Kutipan Alkitab di sini saya gunakan dari Alkitab TB 2 LAI, 2023

[4] Hansen, Mogens Herman; Fischer-Hansen, Tobias (1994), "Political Architecture in Archaic and Classical Greek Poleis", dalam Whitehead, David, From Political Architecture to Stephanus Byzantius: Sources for the Ancient Greek Polis, Historia: Einzelschriften, vol. 87, Stuttgart: Franz Steiner Verlag, hlm. 23–90

[5] Robert Wilken menyebut ekklesia sebagai suatu kelompok/organisasi sosial yang lebih banyak beranggotakan para pekerja rendah, namun karena besar jumlahnya maka mereka diwadahi dalam satu kelompok sosial. Lambat laun kelompok ini berkembang dan sebagian besar dari mereka terhisab ke dalam gerakan pemikiran teologi baru sesuai ajaran-ajaran Yesus. Kelompok ini yang kemudian berkembang menjadi Kristen. Baca Robert Wilken, Christian As Roman Saw Them, Philadelphia: Fortress Press, 1993

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...