Filipi
2:5-11
J
|
ika kita belajar dari Yesus dan
merenungi jalan-jalan-Nya, maka sikap merendahkan diri atau merendahkan hati
merupakan bentuk perilaku kristen yang patut diwujudkan dalam membina hubungan
dengan sesama. Yesus melakukan hal itu melalui tindakan pengosongan diri (kenosis), sebagai wujud dari Allah yang menjadi manusia. Tujuannya ialah supaya
Ia mengalami langsung segala sesuatu yang dialami manusia. Ia berempati untuk
merasakan kesulitan-kesulitan manusia, dan bagaimana menanggung semuanya itu
dalam proses penyelamatan atau penebusan dosa.
Merendahkan
hati atau merendahkan diri adalah bentuk sikap orang kristen agar kita bisa
memahami keadaan orang lain, sebab tujuannya ialah supaya kita bisa melayani,
karena melayani adalah panggilan hidup sebagai orang Kristen.
Di sisi
lainnya, merendahkan hati atau merendahkan diri itu membuat kita bisa menerima
keadaan hidup orang lain secara jujur dan tulus. Apa pun sikap mereka terhadap
kita, apakah mereka menerima atau tidak kehadiran kita, tetapi kita harus bisa
menerima keadaan mereka. Sebab tujuan dari merendahkan hati ialah agar kita
bisa mengalahkan rasa angkuh orang lain. Jika karena itu mereka sadar dan tidak
hidup dalam keangkuhan, kita sudah memulihkan keadaan hidup mereka.
Yesus,
seperti dilukiskan dalam teks ini, rela melepaskan ke-Allah-an-Nya semata-mata
untuk memahami keadaan manusia dan mengajak manusia mengakui dosa-dosanya dan
melalui itu Ia melakukan tindakan penebusan dosa dengan jalan rela disalibkan.
Sebab itu
dalam merendahkan diri/hati, orang kristen dituntun untuk rela berkorban, sebab
sikap rela berkorban itu adalah ciri orang Kristen yang tidak mencari untung
bagi diri sendiri, ciri orang kristen yang mengasihi dengan tanpa pamrih, ciri orang
kristen yang percaya bahwa TUHAN sudah melakukan segala hal yang lebih dari apa
yang bisa kita lakukan.
Sikap itu
kini diperlukan dalam hidup orang kristen. Dalam relasi rumah tangga kristen,
sikap ini pun sangat penting. Bagaimana hal itu bisa dilakukan? Beberapa
langkah terapan yang bisa kita maknai dari teks ini antara lain:
Pertama,
memahami dan mengenal di antara anggota keluarga satu sama lainnya. Suami harus
memahami dan mengenal siapa istrinya dan sebaliknya pula. Begitu pula orang tua
dan anak-anak harus saling memahami dan mengenal. Termasuk mengenal karakter
masing-masing. Kadang kita tinggal serumah tetapi tidak mampu saling terbuka
satu sama lain. Jika kita tidak bisa saling terbuka, justru itulah penyebab
kita tidak saling memahami dan mengenal. Sebab itu setiap anggota keluarga
harus membiasakan diri untuk berjumpa, berkumpul, beribadah atau makan
bersama-sama. Sebab dengan demikian kualitas hubungan di dalam keluarga akan
terus meningkat.
Kedua,
mengakui kelemahan dan keterbatasan satu sama lain, supaya kita bisa saling
mengisi dan melengkapi. Di sini kita belajar untuk tidak sombong, orang tua pun
belajar untuk tidak arogan. Bahkan menutupi kesalahan dengan bersikap kasar dan
keras. Cukuplah kita tingkatkan komunikasi yang saling menasehati, menegur,
membimbing, dan mengingatkan satu sama lain. Dengan demikian kita belajar untuk
tidak menjadi sombong dan arogan.
Ketiga,
penting mewujudkan sikap rela berkorban. Suami harus bisa membela kehormatan
isterinya dan sebaliknya. Orang tua pun harus bisa membentuk kehormatan
anak-anak dan sebaliknya. Rela berkorban bisa dilakukan atas dasar kasih yang
tulus murni. Ini tidak berarti kita membela anak atau suami/isteri atas
kesalahan yang mereka lakukan. Sebaliknya kita membela mereka agar harkat
mereka tetap dihormati. Yesus melakukan itu dengan jalan disalibkan, supaya
harkat manusia sebagai milik Allah tetap terjaga dan dipulihkan. Untuk itu
dalam hal rela berkorban tujuan kita sebenarnya adalah memulihkan hidup anggota
keluarga kita.
Keempat,
bersyukur kepada TUHAN sebab Ia sudah memulihkan hidup kita secara utuh. Ia
telah menebus segala salah dan dosa kita dengan jalan menjadi manusia. Di dalam
keadaanNya sebagai manusia itulah, tindakan pengosongan dirinya terwujud dari
kasih Allah yang sejati. Amin!
No comments:
Post a Comment