Pancasila dalam Diskursus Pluralisme

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1 Juni 2008, kemarin, nuansa perayaan Hari Pancasila ternyata tidak terlalu menggema seperti 1 Abad Kebangkitan Nasional. Tetapi semoga spirit kelahiran Pancasila tidak pudar ditelan berbagai gejolak kenaikan harga BBM dan drama pembagian BLT.

Sejenak kita merenung pidato yang penuh gelora dari Bung Karno, pada saat memproklamirkan nama Pancasila sebagai pandangan hidup dan filsafat bangsa Indonesia yang kelak lahir pada 17 Agustus 1945 itu.

Tetapi sejarah lahirnya Pancasila harus kita dalami secara sungguh-sungguh, terutama mengenai bagaimana para pendiri negara (founding fathers) kita menyepakati suatu paham tunggal yang menjadi pandangan hidup dan cita-cita luhur bangsa kita.

Dalam sejarahnya, introduksi paham Negara Islam dan Sosialis/Komunis telah menjadi rekaman sejarah yang tidak bisa diabaikan dalam percaturan melahirkan Indonesia kala itu. Artinya bahwa keragaman atau pluralitas Indonesia adalah suatu fakta yang telah ada jauh sebelum bangsa ini lahir. Kita tidak bisa menyangkali hal itu sebagai realitas sosial, budaya dan politik daerah-daerah di kawasan Nusantara, yang kemudian kita namai Indonesia itu.

Kuatnya paham Islam dan perjuangan melahirkan sebuah Negara Islam di Indonesia menjadi pokok percakapan serius pada founding fathers kita itu. Pertanda bahwa Islam sebagai kelompok mayoritas di daerah-daerah Nusantara hendak menunjukkan eksistensinya sebagai suatu kekuatan agama dan sosial yang determinan.

Demikian pun paham Sosialis/komunis adalah bukti bahwa pergulatan paham kebangsaan di Indonesia juga turut dibentuk oleh paham lain dari bangsa-bangsa luar. Artinya, pergaulan Internasional sudah jauh terjadi di masa-masa sebelum Indonesia lahir, dan paham-paham global itu telah menjadi sebagian carapandang kebangsaan yang dianut sekelompok orang kala itu.

Ternyata para founding fathers bangsa kita tidak harus memilih di antara dua opsi paham kebangsaan itu. Ada suatu opsi lain yang dinilai penting sebagai ‘jalan ketiga’ yang mesti dipertimbangkan pula secara kontekstual. Paham nasionalisme adalah paham lain yang juga mengedepan dalam diskursus itu.

Paham ini muncul sebagai suatu carapandang yang lahir di tengah pluralitas daerah-daerah di Nusantara itu. Artinya, jika kemudian ‘Indonesia itu menjadi’ (have to be) maka Indonesia itu adalah suatu formasi kebangsaan yang jamak dari segi suku, ras, agama, adat istiadat, dan aliran politik. Indonesia yang majemuk itu bukanlah Indonesia yang didominasi oleh suatu paham yang sektaris, atau paham radikalis, tetapi suatu paham bersama yang sekaligus menjadi cerminan ideologi bangsa.

Di sinilah pentingnya kita melihat Pancasila sebagai suatu carapandang bersama yang merekatkan kemajemukan Indonesia itu menjadi suatu kekayaan dan kekuatan baru dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Munculnya Pancasila, dengan lima silanya, adalah suatu introduksi baru dalam sejarah masyarakat di dunia mengenai bagaimana suatu bangsa itu membangun kerukunan, keserasian, keharmonisan, keadilan dan kesejahteraan sebagai sesama warga bangsa.

Etika kebangsaan dari Pancasila itu menempatkan setiap warga bangsa sebagai sesama warga (citizen ethics) di mana, perilaku kebangsaan itu harus bisa dibangun dari fondasi nilai bersama yang solid dan egaliter. Semua orang dalam seluruh latar belakangnya adalah sama dan setara. Paham seperti itu memang tidak ada di bangsa mana pun di dunia ini. Karena itu, marilah bangga sebagai anak Indonesia yang Ber-PANCASILA.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara