Wednesday, August 7, 2024

ORANG MUDA YANG KAYA: Spiritualitas Kenosis Sebagai Gaya Hidup Pelayan (Matius 19:16-26)


Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

-Satu-

 

Hal mengikut Yesus merupakan salah satu cerita utama di dalam Injil Matius (baca. Mat.8:18-22). Mengapa Matius mengemas cerita-cerita itu? Sebab ia harus menyajikan secara gamblang kisah-kisah Yesus (Christ event) sebab ia bermaksud menyimpan, menulis secara jelas, dan memberitakan apa yang dikatakan Yesus. Pengajaran dan kata-kata langsung atau ucapan asli Yesus yang diutamakan oleh penulis Injil Matius.

Cerita tentang kesediaan orang-orang yang mendenga pengajaran-Nya untuk mengikut Yesus, adalah bagian dari cerita pemuridan (discipleship). Berkaitan dengan itu, murid adalah orang-orang yang dipilih langsung oleh Yesus (baca. Mat.3:18-22). Jadi Matius menceritakan mengenai tindakan langsung Yesus, dan dari situ tergambar kata-kata aslinya. Sebab itu penting sekali ucapan Yesus yang ini: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat.3:19). Para murid pertama, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya, langsung meninggalkan jala mereka dan mengikut Dia. Hal yang sama dilakukannya kepada dua orang bersaudara, yaitu Yakobus dan Yohanes, dan mereka juga meninggalkan orang tuanya, lalu mengikut Yesus (Mat.3:21-22). 

Bagi penulis injil Matius, apa yang diucapkan Yesus itu penting, sebab ucapan itu keluar dari tindakanNya memanggil dalam arti itu memilih murid-murid-Nya secara langsung. Selanjutnya, apa yang dilakukan para murid itu adalah hal yang lebih penting, sebagai lukisan nyata mengenai kesediaan menjadi murid, sehingga mereka mengikut Yesus, karena mereka ingin bersama dengan Dia, dan mengalami secara langsung pengajaran dan karya-karya-Nya. 

Nilai penting dalam rangkaian pemuridan, ada panggilan, ada tindakan mengikuti yang dibarengi dengan keberanian meninggalkan profesi awal dan orang tua. Panggilan itu bersumber langsung dari Yesus. Maka, respons kita pun adalah tindakan langsung yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Respons itu harus lahir dari kesediaan untuk mengikuti (sebagai jawaban “ya” atau “aku percaya”) dan meninggalkan segala sesuatu (sebagai jawaban “aku bersedia”). Respons itu adalah bagian awal dari proses pengosongan diri atau penyangkalan diri (kenosis), untuk melepaskan segala sesuatu dan hanya mengikut Yesus, atau bersedia di jalan-jalan Kristus. 

 

 

-dua-

 

Pada Matius 19:16-26 hal mengikut Yesus telah mengalami perluasan cakupan atau tujuan. Bukan lagi sekedar menjadi murid-Nya, tetapi pada konteks hidup kekal atau syarat masuk kerajaan surga. Karena itu, hal mengikut Yesus dalam pasal 19 diperluas kepada semua orang yang mengaku percaya kepada-Nya. Sebab itu dalam injil Matius, yang disebut murid adalah setiap orang yang mengaku percaya dan mengikut Yesus.  

Hal mengikut Yesus dalam Matius 19:16-26 ini bersumber dari teologi Yahudi, bahwa orientasi hidup kekal, pada hari kedatangan Tuhan, mensyaratkan ketaatan pada Taurat, sebagai syarat mutlak, jaminan dan sumber ajaran keselamatan pada hari kedatangan Tuhan. Bagi orang Yahudi, dengan melakukan segala ketentuan Taurat, maka jaminan keselamatan dimiliki secara langsung. Hal itu menuntut penguasaan tentang Taurat, karena itu pengajaran Taurat menjadi kewajiban pokok semua keluarga malah menjadi tugas pokok orang tua kepada anak-anaknya (baca. Ul. 6:6-9). 

Ini tergambar dalam dialog Yesus dengan orang muda yang kaya (Mat.19:16-21 - TB2):

OM :  Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?

Y    : Mengapa engkau beranya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanys Satu yang baik. Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah perintah Allah.

OM :  Perintah yang mana?

Y    :  Jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, hormatilah ayahmu dan ibumu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

OM :  Semuanya itu telah kuturuti, apalagi yang masih kurang?

Y    :  Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, dan engkau akan memiliki harta di surga. Kemudian, datanglah kemari dan ikutah Aku.

 

Yesus mereferensi Taurat sebagaimana tertulis dalam Kel.20:12-16; Ul.5:16-20; Im. 19:18 sebagai tradisi tua Taurat sebagai hal baik yang harus dilakukan supaya bisa hidup atau masuk kedalam hidup/kerajaan surga. Artinya Yesus melihat pada aspek ketaatan pada perintah Tuhan, yang bagi orang Yahudi, termaktub di dalam Taurat Musa. Ini referensi tua tentang standar-standar perilaku etik dalam keyahudian, dan Yesus pun dibentuk dalam lingkungan tersebut, serta mewujudkan ketaatan serupa itu. 

Menurut Sigel (2007:15) dan juga Finkel (1964:131-132), Yesus bukanlah orang Farisi yang menyimpang dari ajaran Taurat. Yesus adalah guru yang menerapkan hermeneutika yang diwarisi serta wahyu yang diberikan kepadanya untuk menjelaskan Taurat, menciptakan kebiasaan baru, atau membatalkan praktik lama.  

Penampilan orang muda yang kaya itu lebih condong pada ketaatan legalis, dan memahami rumusan Taurat itu secara harfiah. Hal serupa itu dijumpai pada banyak ahli Taurat, orang Farisi dan Saduki, yang kerap menganggap Yesus membawa suatu tradisi hukum baru yang bertentangan dengan Taurat Musa. Karena itu tidak salah juga jika dikatakan orang muda yang kaya di sini melakukan pengujian (test) kepada Yesus, kalau-kalau Yesus salah dalam menanamkan suatu etika yang bertentangan dengan Taurat.

Respons Yesus pada ayat 21 itu penting. “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, dan engkau akan memiliki harta di surga. Kemudian, datanglah kemari dan ikutah Aku.” Yesus tidak menyalahkan satu pun perbuatan baik yang sudah dilakukan orang muda yang kaya sebab itu sesuai dengan Taurat Musa. Karena itu Yesus berkata: “Jikalau engkau hendak sempurna...” Artinya, melakukan Taurat secara harfiah begitu tidak salah, tetapi bukan jaminan sempurna untuk hidup atau masuk kerajaan surga. Dalam arti yang sama, hal itu juga tidak menjamin ia bisa mengikut Yesus dan menjadi murid-Nya.

Yesus mengajukan parameter baru, dan menurut Matius, itu adalah kata-kata langsung Yesus, atau suatu ajaran sosial sebagai wujud praksis ketaatan kepada Taurat. Untuk menjadi sempurna menurut Yesus terwujud melalui tindakan: “...juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, dan engkau akan memiliki harta di surga.” Ini bentuk etika praksis berdasarkan pada Taurat yang mengajari juga untuk mengasihi sesama manusia seperi diri sendiri.

Artinya ketaatan legalis itu membawa dampak langsung pada diri pribadi. Ukurannya ada pada kesalehan pribadi, sehingga imajinasi tentang hidup dan kerajaan surga atau masuk surga, difokuskan pada pribadi pula. Yesus menampilkan sesuatu yang baru dan berbeda dari itu, yakni perhatian kepada orang-orang miskin, sebag cara atau tindakan keluar dari ruang kesalehan pribadi kepada kepedulian atau solidaritas sosial. Itu menerangkan pada aspek kenosis.

Universalitas keselamatan menjadi fokus injil Matius, sebab itu ajakan “mari, ikutlah Aku” merupakan undangan ke dalam hidup atau keselamatan yang universal itu. Konsistensi Matius pada univeralitas keselamatan telah dimulai pada 1:5, dimana Rahab, perempuan Moab disebut dalam silsilah Yesus, sebagai ibu dari Boas, dan Rut, istri Boas, yang juga orang Moab, sebagai ibu dari Obet, ayah dari Isai, bapaknya Daud. Hal yang sama dilanjutkan dengan kedatangan orang-orang Majus (2:1-12) untuk mencari “Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan” (2:2). Partisipasi ke dalam keselamatan yang universal itu juga digambarkan Matius melalui iman perwira Kapernaum yang meminta Yesus menyembuhkan seorang hambanya (8:5-13), perempuan Kanaan yang percaya (15:21-28).

Kembali ke cerita orang muda yang kaya, perintah Yesus untuk menjual semua hartanya dan membagikan hasilnya kepada orang-orang miskin merupakan standard etika baru. Ini yang disebut sebagai dimensi sosial injil Matius, atau etika sosial yang diajarkan Yesus, dan sekaligus menjadi cikal bakal gerakan kekristenan awal/purba (baca. Kisah Para Rasul 2:41-47; 4:32-37). Melalui perintah itu Yesus mengalihkan orientasi orang muda yang kaya itu dari dirinya kepada sesama, terutama orang-orang miskin, sebagai korban ketidakadilan dalam masyarakat. Namun sekaligus menunjukkan jalan baru (middle path) sebagai bentuk ketaatan pada Taurat Musa (=kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri - Im.19:18, 34). Artinya ketaatan pada Taurat tidak harus ditunjukkan secara legalis, melainkan melalui solidaritas sosial kepada sesama manusia, terutama orang miskin. Hal itu sekaligus menjadi kekuatan injil Yesus Kristus, atau modal spiritual baru dari Injil Yesus Kristus. 

Jika orang muda yang kaya itu bisa menunjukkan ketaatan yang baru itu, maka Yesus berkata: “Kemudian, datanglah kemari dan ikutah Aku.” Pada ajakan inilah, Yesus menghendaki setiap orang yang mengikuti-Nya atau menjadi murid-Nya haruslah mengalami proses kenotic, atau pengosongan diri. Jadi bukan soal melepaskan segala harta milik, tetapi tindakan kenotic, sebagai yang utama.

 

 

 

-Tiga-

Belajar dari Injil Matius, spiritualitas kenotic dalam mengikut Yesus tergambar jelas dalam tiga kisah yang cukup dramatis. 

Kisah Keterpanggilan

Aspek Kenotic

Yesus memanggil Simon dan Andreas

(Mat. 4:18-19)

Meninggalkan jalanya

(Mat.4:20)

Yesus memanggil Yohanes dan Yakobus

(Mat. 4:21)

Meninggalkan perahu dan ayahnya

(Mat.4:22)

Ajakan kepada orang muda yang kaya

(Mat. 19:16-26)

Jual semua harta dan bagikan kepada orang miskin

(Mat.19:21)

 

Panggilan harus ditempatkan pada level paling atas, dan dipahami sebagai panggilan langsung dari Yesus. Panggilan itu ditujkan kepada pribadi, dan harus diresponi atau dijawab oleh pribadi itu pula. Jawaban atau responnya melahirkan tindakan tertentu yang harus dikatakan sebagai keputusan radikal, sebab diikuti oleh tindakan pergi, meninggalkan, melepaskan. “Pergi” itu berarti mengikuti secara aktif/proaktif, mengikuti secara langsung, berjalan bersama, dan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan “meninggalkan” berarti meletakkan atau menganggap tidak ada lagi apa yang dimiliki dengan maksud masuk ke dalam suatu suasana atau lingkungan yang baru, ke dalam suatu model atau gaya kerja yang baru pula. Sedangkan “melepaskan” berarti tidak terikat lagi pada apa yang dimiliki, dan melepaskan semuanya menjadi milik orang-orang lemah, miskin, kaum marginal, tanpa takut miskin, melarat, sebab ada berkat baru yang tersedia. Keputusan “melepaskan” itu sama dengan menjadi saluran berkat kepada orang lain.

Pada tiga contoh di atas, hal mengikut Yesus berkaitan dengan “meninggalkan jala dan perahu”, sebagai gambaran dari kerja atau profesi awal. Artinya setiap orang yang mengikut Yesus punya kapasitas diri sebagai seorang pekerja. Meninggalkan jala dan perahu menerangkan pada kapasitas diri yang telah ada diberdayakan untuk suatu tugas baru yang jauh lebih besar (bd. menjadai penjala orang/mausia). Jadi “mengikut Yesus” membawa orientasi tugas baru yaitu kepada manusia. Sedangkan “meninggalkan orang tua”; bukan menyangkali keberadaan mereka. Setiap orang yang dipanggil untuk “mengikut Yesus” adalah anggota keluarga, anak dari orang tua, saudara dari saudaranya, warga dari komunitasnya. Meninggalkan orang tua, saudara dan kampung halaman, harus dipahami dalam kerangka menghadirkan keselamatan universal. Dalam perspektif injil Matius, adalah juga untuk menjalankan tugas mengajar dan mengajak orang lain terlibat ke dalam keselamatan universal yang dikerjakan Yesus itu. Sementara “menjual semua harta dan membagikannya kepada orang miskin”, menerangkan pada solidaritas sosial sebagai bentuk praksis ketaatan pada Taurat sesuai ajaran Yesus.  

Sebenarnya, Yesus menanamkan cara berperilaku baru (halakhah). Yesus memahami Taurat dengan sangat baik, sesuai apa yang dipelajarinya juga. Finkel (1946:132) mengatakan, Ia juga mematuhi peraturan imamat. Jadi anjurannya kepada orang muda yang kaya, sama saja dengan sikapnya terhadap pertanyaan orang Farisi mengenai perceraian (Mat.19:1-12; bd. 5:31-32).

Cara berperilaku baru yang Yesus anjurkan itu tidak meninggalkan sikap kritis, bahkan sikap kritis terhadap cara memahami ajaran yang kadang keliru, atau tafsir ajaran yang eksklusif dan terlalu monoton serta membentuk sikal alienasi, menjauhkan diri dari orang lain, terutama orang-orang miskin atau kaum marginal.

Jadi aspek kenotic dalam ajakan mengikut Yesus itu mengarah pada cara berperilaku baru yang ditanamkan oleh Yesus kepada setiap pengikut-Nya. Cara berperilaku itu diambil dari hermeneutik Yesus terhadap Taurat Musa dengan kharisma atau otoritas yang ada pada diri-Nya sendiri. 

 

-Empat-

 

Spiritualitas kenosis dengan belajar dari cerita Yesus memanggil murid-murid dan orang muda yang kaya, mengajari kita untuk mewujudkan perilaku yang baru sebagai konsistensi sikap etis-kristiani. Menjadi murid Yesus berarti mewarisi di dalam diri sikap dan karakter Yesus. Inkarnasi adalah dasar tindakan kenotic yang dipilih Allah sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia. Matius menjelaskan tindakan kenotic itu berbeda dari Yohanes yang menekankan Yesus sebagai logos. 

Dalam injil Matius, kenotic Yesus terjadi melalui kelahiran-Nya dari seorang perempuan, Maria, yang mengandung oleh Roh Kudus (1:18, 23). Dalam Matius, kelahiran Yesus bertujuan untuk menebus dosa-dosa manusia. Namun hakikat Yesus sedikit berbeda dari Markus dan Lukas, sebab Yesus adalah wujud sempurna Allah yang bersama dengan manusia. Sebab itu Matius menegaskan nama-Nya, Imanuel (1:23).

Karena itu, spiritualitas kenosis dalam Injil Matius berpusat pada keberadaan atau berada bersama (being together). Tindakan pengosongan diri dengan cara berada bersama, membuat kita lebih mengenal diri, kapasitas diri, batas kemampuan, dan terutama memahami ajaran-ajaran Yesus, sebagai etika perilaku yang baru sekaligus menjadikannya sebagai karakter pelayanan. Cara berperilaku yang baru itu membuat kita mencapai tujuan panggilan pelayanan itu, yakni semua orang sejahtera, bahagia, atau mengalami damai sejahtera.  

 

BAHAN BACAAN

 

Finkel, Asher, The Pharisees and the Teacher of Nazareth: A Study of Their Backround, Their Halachic and Midrashic Teachings, the Similarities and Differences, AGSU 4. Leiden: Brill, 1964

LAI, Alkitab - Terjemahan Baru Edisi ke-2, Jakarta: LAI, 2023

Sigal, Philip, The Halakhah of Jesus of Nazareth According to the Gospel of Matthew, Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007

 

Horison Ultima-Timika, 7 Agustus 2024

No comments:

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...