Friday, May 4, 2018

IZINKANLAH AKU MELAKUKAN HAL INI, PAPA!


Fiksi Alkitab (5)

Hakim-Hakim 11:29-40 dalam Perspektif Kesetaraan Gender
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


I
“Papa, bilakah engkau pergi berperang?”
Yefta bingung menjawab pertanyaan anak perempuannya yang baru beranjak dewasa. Ia mengelus kepala putrinya itu.
Dengan wibawanya sebagai seorang papa dan seorang Hakim Israel, Yefta berkata kepada putrinya itu: “Dengarlah padaku anakku, seperti segala taurat yang telah kuajarkan kepadamu. Ketahuilah, jika TUHAN menghendaki aku melakukan segala yang baik bagi bangsa ini, aku tidak bisa menolaknya. Hari-hari hidupku hanyalah mendengar dan melakukan apa yang diperintahkan TUHAN, agar aku, keluargaku dan seisi bangsa ini selamat dan hidup dalam kelimpahan berkat”.
“Papa, jika setiap perempuan di luar sana bisa berteriak, mungkin mereka akan memujamu sebagai pahlawan yang sejati. Pahlawan Israel yang gagah berani. Tetapi kalau kau ijinkan aku berbisik, kan ku dengungkan di telingamu doaku: “kiranya engkau selamat kembali kepada kami di rumah ini, dan kiranya TUHAN melindungimu tanganmu agar tidak bergelimang darah”, tutur putrinya dengan nada tertahan dan beberapa butir air bening turun sampai ke bibirnya yang merah.
Yefta mulai gelisah. “Anakku, nenek moyangku, Abraham, Ishak dan Yakub, mengajariku, jika engkau telah bernazar, lunasilah. Kepada TUHAN yang hidup dan yang membawa kita keluar dari perbudakan, aku telah bernazar”.
“Papa, sekiranya setiap perempuan berhak berdoa kepada TUHAN, aku tidak memintamu mengingkari nazarmu. Aku akan meminta dari TUHAN jauhkan semua musuh dari hadapanmu, dan biarlah engkau tidak bertemu dengan bayangan mereka sekalipun”. Ia berlari dan memeluk ayahnya. Beberapa saat kemudian ia menengadahkan wajahnya dan menatap ayahnya. “Pergilah papa, engkau tidak boleh kelihatan sebagai pahlawan yang pengecut. Pergilah, seluruh pasukan telah diserahkan ke dalam tanganmu. Jadilah laki-laki di tengah bangsamu, dan ketahuilah, engkaulah papa di dalam rumah kami”.
II
Sebelum melangkah melewati ambang pintu rumahnya, Yefta berdoa “TUHAN, aku tahu tidak ada rencanaMu yang gagal. Jika anakku berdoa dan meminta segala yang telah ia katakan kepadaMu, perhatikanlah hari-hari hidupnya, agar ia tetap berjalan pada jalanmu.
Dengan langkah tegap, Yefta meninggalkan rumahnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya terus mengikuti langkahnya dengan pandangan mata mereka, sampai ia keluar dari gerbang kota bersama pasukannya.
III
Ketika mendekat kepada bani Amon, Yefta bernazar “TUHAN, jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran”.
IV
Tersiar kabar di seluruh Israel, Yefta menang dalam peperangan melawan bani Amon. Mulai dari Aroƫr sampai dekat Minit, ada dua puluh kota dan sampai ke Abel-Keramim, semua ditudukkan Yefta dan pasukan Israel.
Ketika kabar itu sampai ke rumahnya, seisi rumahnya gembira. Terlebih anak perempuannya itu. Ia tahu, papanya selamat dan kembali ke rumah untuk mereka. Dan ketika didengarnya ayahnya telah kembali, ia segera berlari ke depan pintu.
Ibunya berusaha mencegatnya, sebab sepatutnya seorang istrilah yang menerima suaminya yang baru pulang berperang atau bepergian ke suatu tempat. Namun, ia didahului anak gadisnya, dan segera ia membuka pintu dan melompat kegirangan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan papanya itu.
Ia menangis karena girang hati, ‘TUHAN, telah kau dengar doaku, dan papa kembali kepada kami”, doanya di pelukan papanya.
Saat itu, jantung Yefta memburu kencang dan matanya nanar memandang putrinya itu. Ia berbalik memandang istrinya, dan ia menangis sekencang-kencangnya ke dalam pelukan istrinya.
“Suamiku, tidak baik seorang laki-laki yang pulang dengan kemenangan menunjukkan kesedihannya kepada seisi rumahnya. Aku tahu engkau pahlawan yang perkasa, telah hilangkah keberanianmu itu?”, bisik istrinya sambil mengelus wajah suaminya dan memberinya ciuman kudus.
Yefta terus menangis dan tidak kuasa berkata apa pun.
“Papa, apakah engkau menang dengan jalan tidak terhormat, seperti dilakukan banyak pecundang di luar sana?”, tanya anaknya.
“Anakku, nenek moyangku adalah yang perkasa di antara pahlawan bangsa-bangsa. Jauhkan daripadaku perbuatan tidak tercela jika untuk menang dalam peperangan ini. Sebab aku berperang bersama dengan TUHAN. Ia memberi kepadaku kemenangan dan aku telah menundukkan dua puluh lebih kota bani Amon”, ungkap Yefta yakin.
“Tetapi mulutku telah berkata kepada TUHAN, aku akan mempersembahkan apa yang keluar dari rumahku menyambut aku ketika aku kembali dengan kemenangan di tanganku, dan kau anakku, mengapa kau yang pertama anakku?, itu telah menjadi nazarku, anakku. Aku ingat kata bapak leluhurku, bahwa jika aku bernazar, lunasilah”, kata-kata Yefta sambil terus menangisi anaknya itu.
V
“Papa, bisakah aku menangis di pelukanmu?”, harap putrinya. Yefta memeluk kencang anaknya itu, dan mereka beradu dalam tangis.
“Lakukanlah papa”, kata anaknya sambil menegakan Yefta berdiri.
Ia memandang kepada ibunya.
“Mama, aku tahu kandunganmulah tempat aku bertumbuh dan dari sanalah aku lahir. Tetapi jika kelahiranku adalah dari TUHAN, sebagaimana kematian semua orang percaya, jangan kau halangi papa melunasi nazar seperti janji kakek-kakek leluhurku”, kata anak itu kepada mamanya yang tidak kuat menahan tangisnya setelah mengetahui nazar suaminya.
“Ya TUHAN, hukuman apakah yang lebih berat kepadaku sekiranya aku tidak melunasi nazarku kepadaMu, lakukanlah kepada hambaMu kini”, teriak Yefta dan langsung dicegah istrinya.
“Setiap kata yang telah keluar dari mulutmu dan jika itu adalah nazarmu, lakukanlah, suamiku. Namun ketahuilah, aku akan berjanji kepada diriku dan semua keturunan dari rahimku, bahwa aku tidak akan salah dengan ucapan mulutku. Akan aku timbang seribu kali, segala kata yang hendak aku keluarkan dari mulutku, agar kelak aku tidak mencabutnya dan tidak akan menyesalinya sekiranya aku telah melakukan hal yang baik sekalipun. Kini berdirilah sebagai seorang lelaki dan bertindaklah sebagai seorang pahlawan, namun, biarlahkan anakmu ini beroleh cintamu yang tulus agar ia tahu bahwa, hidupnya berguna, walau ia tidak mengecap segala hal yang manis sebagai seorang perempuan yang kelak harus melahirkan pula seperti aku”. Kata-kata itu keluar dari mulut istri Yefta dengan tidak ragu sedikitpun.
VI
Papa, aku adalah korban nazarmu. Lakukanlah seperti nazarmu. Namun izinkan aku pergi ke padang gurun dan bersama dengan perempuan-perempuan sebayaku, agar aku bisa memuaskan diri memandang dunia ciptaan TUHAN ini sampai aku puas. Dan aku anak kembali kepadamu, supaya engkau tidak malu di hadapan bangsa ini. Kata anaknya dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke padang gurun sebagai perempuan kudus yang tidak pernah bercacat di hadapan TUHAN dan semua orang.
Di padang gurun, putri Yefta memuaskan dirinya dengan melihat semua ciptaan TUHAN, dan memuja segala keagungan TUHAN.
“TUHAN, jika esok adalah hariku yang terakhir dalam bilangan tahun  yang telah Kau beri kepadaku, izinkan aku meminta kepadaMu, ‘jangan biarkan setiap perempuan mati sia-sia di ujung pedang dan di dalam pelukan kekerasan siapa pun di muka bumi ini. Kami berhak mendapatkan keadilan, cinta kasih, dan kami tidak boleh dianggap rendah dan dijadikan obyek atas nama apa pun. Dengan cinta kepadaMu dan kepada papaku, aku akan kembali, dan biarlah ia melakukan apa pun sesuai  nazarnya kepadaMu”.
Kembalilah anak gadis Yefta itu ke rumahnya dan papanya melakukan segala yang sudah dinazarkannya.
“TUHAN, jauhkanlah aku dari perbuatan tidak adil kepada siapa pun, dan jangan biarkan aku merampas hak hidup siapa pun di muka bumi ini, termasuk atas namaMu”, doa Yefta di hari terakhir hidup anak gadisnya yang cantik jelita itu.

Ambon, 5 Mei 2018

BARIS-BARIS KATA



Kawanku,
Siapa bilang hidup ini drama?
Kau memainkan peran yang sebenarnya
Tidak ada fiksi di peranmu karena itu kaulah pelakon cerita yang berjudul KEHIDUPAN
Di tiap peranmu kau berkata-kata
Sebab hidup ini dipenuhi dialog
Bertutur kata, bertukar kata, berkata-kata, berbalas kata
Dan kalau jarimu pandai menulis dan ingatanmu cakap merekam
Maka hidupmu adalah rangkaian kata-katamu sendiri

Kawanku,
Orang mengira hidup ini kesendirian
Mereka salah
Sebab yang abadi dari hidup adalah kebersamaan
Kau lihatlah pada mamamu
Di waktu kecil kau hanya melihat tanpa bisa berkata
Isyaratmu ia jawab dengan ciuman
Ciumannya membisikkan kata di hatinya
Bahwa kau adalah baris kata hidupnya
Kau kemudian tahu siapa dia
Karena kau tidak sekedar melihat karyanya
Kau mendengar tuturan bijaknya
“jadilah anak baik, jangan jahat, Tete Manis marah”
Dan kala ia tiada seperti saat ini,
Bukan hanya kamu tetapi kami semua tidak melihatnya
Namun kau masih menyimpan baris katanya

Kau lihatlah pada papamu
Pahami kisahmu dari rekaman foto-fotomu
Sosok itu kau kagumi karena kaulah raja di hatinya
Dan karena kaulah yang paling tahu letak kelembutan hati dan katanya
Kau renungilah
Mungkin hari ini telah kau rancang bersamanya dan ia tiada
Tetapi aku hanya mau meyakinkan dikau, kawanku
Tidak semua pemenang naik pentas terima mahkota
Pemenang sejati adalah yang mengajarimu menguatkan kaki
Pemenang sehati adalah dia yang meneduhkan hati di riuk sorai sambutan
Pemenang sejati itu adalah dia yang mengatur suatu arah, memasang waktu, mengumpulkan mereka yang datang ke selebrasi kehidupan barumu
Dan lagi-lagi kaulah yang paling pahami kata doanya bahkan saat suaranya tak terdengar

Kawanku,
Ah
Berhentilah bersedih
Sebab hidup baru telah kau mulai sebagai laki-laki sejati
Aku suka sloganmu “we don’t make a war, but a game”
Dan hidup ini bukan permainan
Tetapi pertandingan untuk membawamu menguatkan hati para pemenang
Kuatkan hatimu
Sebab hari ini telah banyak orang datang untuk mendoakan bahagiamu
Yakinlah,
Kau pilih hari ini untuk mewujudkan satu kata yang penting di baris-baris hidupmu
Yaitu TANGGUNGJAWAB
Yakinlah kawanku
Yakinlah
Waooo
Kau telah bahagia
Kami pun demikian

Selamat bahagia Stevmon dan Villen
(Eltom, 24 Juni 2017)

MERENDAHKAN DIRI


Filipi 2:5-11

J
ika kita belajar dari Yesus dan merenungi jalan-jalan-Nya, maka sikap merendahkan diri atau merendahkan hati merupakan bentuk perilaku kristen yang patut diwujudkan dalam membina hubungan dengan sesama. Yesus melakukan hal itu melalui tindakan pengosongan diri (kenosis), sebagai wujud dari Allah  yang menjadi manusia. Tujuannya ialah supaya Ia mengalami langsung segala sesuatu yang dialami manusia. Ia berempati untuk merasakan kesulitan-kesulitan manusia, dan bagaimana menanggung semuanya itu dalam proses penyelamatan atau penebusan dosa.
Merendahkan hati atau merendahkan diri adalah bentuk sikap orang kristen agar kita bisa memahami keadaan orang lain, sebab tujuannya ialah supaya kita bisa melayani, karena melayani adalah panggilan hidup sebagai orang Kristen.
Di sisi lainnya, merendahkan hati atau merendahkan diri itu membuat kita bisa menerima keadaan hidup orang lain secara jujur dan tulus. Apa pun sikap mereka terhadap kita, apakah mereka menerima atau tidak kehadiran kita, tetapi kita harus bisa menerima keadaan mereka. Sebab tujuan dari merendahkan hati ialah agar kita bisa mengalahkan rasa angkuh orang lain. Jika karena itu mereka sadar dan tidak hidup dalam keangkuhan, kita sudah memulihkan keadaan hidup mereka.
Yesus, seperti dilukiskan dalam teks ini, rela melepaskan ke-Allah-an-Nya semata-mata untuk memahami keadaan manusia dan mengajak manusia mengakui dosa-dosanya dan melalui itu Ia melakukan tindakan penebusan dosa dengan jalan rela disalibkan.
Sebab itu dalam merendahkan diri/hati, orang kristen dituntun untuk rela berkorban, sebab sikap rela berkorban itu adalah ciri orang Kristen yang tidak mencari untung bagi diri sendiri, ciri orang kristen yang mengasihi dengan tanpa pamrih, ciri orang kristen yang percaya bahwa TUHAN sudah melakukan segala hal yang lebih dari apa yang bisa kita lakukan.
Sikap itu kini diperlukan dalam hidup orang kristen. Dalam relasi rumah tangga kristen, sikap ini pun sangat penting. Bagaimana hal itu bisa dilakukan? Beberapa langkah terapan yang bisa kita maknai dari teks ini antara lain:
Pertama, memahami dan mengenal di antara anggota keluarga satu sama lainnya. Suami harus memahami dan mengenal siapa istrinya dan sebaliknya pula. Begitu pula orang tua dan anak-anak harus saling memahami dan mengenal. Termasuk mengenal karakter masing-masing. Kadang kita tinggal serumah tetapi tidak mampu saling terbuka satu sama lain. Jika kita tidak bisa saling terbuka, justru itulah penyebab kita tidak saling memahami dan mengenal. Sebab itu setiap anggota keluarga harus membiasakan diri untuk berjumpa, berkumpul, beribadah atau makan bersama-sama. Sebab dengan demikian kualitas hubungan di dalam keluarga akan terus meningkat.
Kedua, mengakui kelemahan dan keterbatasan satu sama lain, supaya kita bisa saling mengisi dan melengkapi. Di sini kita belajar untuk tidak sombong, orang tua pun belajar untuk tidak arogan. Bahkan menutupi kesalahan dengan bersikap kasar dan keras. Cukuplah kita tingkatkan komunikasi yang saling menasehati, menegur, membimbing, dan mengingatkan satu sama lain. Dengan demikian kita belajar untuk tidak menjadi sombong dan arogan.
Ketiga, penting mewujudkan sikap rela berkorban. Suami harus bisa membela kehormatan isterinya dan sebaliknya. Orang tua pun harus bisa membentuk kehormatan anak-anak dan sebaliknya. Rela berkorban bisa dilakukan atas dasar kasih yang tulus murni. Ini tidak berarti kita membela anak atau suami/isteri atas kesalahan yang mereka lakukan. Sebaliknya kita membela mereka agar harkat mereka tetap dihormati. Yesus melakukan itu dengan jalan disalibkan, supaya harkat manusia sebagai milik Allah tetap terjaga dan dipulihkan. Untuk itu dalam hal rela berkorban tujuan kita sebenarnya adalah memulihkan hidup anggota keluarga kita.
Keempat, bersyukur kepada TUHAN sebab Ia sudah memulihkan hidup kita secara utuh. Ia telah menebus segala salah dan dosa kita dengan jalan menjadi manusia. Di dalam keadaanNya sebagai manusia itulah, tindakan pengosongan dirinya terwujud dari kasih Allah yang sejati. Amin!

MEMUSATKAN PIKIRAN KEPADA YESUS


1 Korintus 7:32-34
(Untuk Kaum Perempuan)

K
atong parampuang nih, musti pikir deng ator samua hal. Mulai dari bangong pagi, pikir balanja, mamasa, bacuci, urus laki deng anana, urus sagala macang rupa sampe tengah malang. Amper tar ada waktu par pikir diri sandiri lai. Sagala rupa macang hal tuh katong musti pikir deng karja akang.
Terkesan beban sebagai seorang perempuan begitu tinggi. Peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan/atau perempuan karier, tetap memberi kepada perempuan semacam beban khusus, sebab harus memikirkan segala sesuatu terutama urusan-urusan di dalam rumah. Apalagi jika tidak ada pengertian dan kerjasama dengan suami, maka otomatis perempuan memiliki beban fisik dan psikhis yang luar biasa.
Di sini kita pun patut memberi penghargaan tersendiri kepada para ibu tunggal atau ibu-ibu janda yang ternyata mampu mengatur segala sesuatu, terutama membimbing anak-anak mereka sehingga sukses. Sebab mereka mengalami harus menjalankan tugas keseharian sebagai perempuan dan penyanggah ekonomi utama dan satu-satunya bagi masa depan anak cucunya.
Di dalam kesejatian sebagai perempuan, terkandung satu hal pokok yang malah membuat kita memahami semua peran itu sebagai anugerah, yakni bahwa perempuan adalah juga ‘pemberita firman’.
Artinya, perempuan gereja, dalam seluruh perannya, harus memusatkan perhatian dan pikirannya kepada Kristus. Dalam teks bacaan kita hari ini, rasul Paulus bukan bermaksud mengatakan tidak usah kita susah hati memikirkan suami, anak, atau hal-hal yang menjurus pada urusan seksual. Ia lebih mau menekankan bahwa, jauh lebih dari semua itu ialah memikirkan bagaimana Kristus telah menyatakan kasih-Nya yang tulus kepada kita, terutama selaku kaum perempuan beriman.
Karena, ‘hidup dalam keadaan sewaktu dipanggil TUHAN’ itu jauh lebih mulia. Kita sejak awal dipanggil TUHAN untuk menjadi perempuan beriman. Perempuan beriman itu bisa melakukan tugas apa pun dengan setia dan tekun. Jika ia adalah isteri, ia menjalankan tugasnya sebagai isteri dengan penuh kasih dan setia. Ia tekun mengerjakan tugasnya itu sebagai wujud ketaatannya kepada TUHAN. Dalam hal itu ia tidak boleh direndahkan atau dianggap sebagai pelengkap kepada suaminya.
Justru dalam tugas selaku isteri, ia dihargai, dan penghargaan kepadanya itu harus bersumber dari hati yang tulus, sebagaimana setiap suami menaruh hormat kepada TUHAN (bd. Efesus 5:25-31).
Isteri-isteri tidak boleh menganggap dirinya adalah budak dalam rumah tangga. Sebab itu dengan memusatkan pikiran kepada Kristus, setiap isteri bersama suaminya harus bisa membagi peran dan tugas kepada seluruh anggota keluarga secara berimbang dan adil. Dengan demikian, iman kepada Kristus, membuat rumah tangga kita sejak awal dibina untuk saling menghormati dan saling membantu. Sebab Kristus rela melakukan pekerjaan penebusan kepada kita, Ia mau melayani dan bukan dilayani. Semangat itu harus dijadikan nilai di dalam pendidikan atau pembinaan keluarga (binakel).
Dengan memusatkan pikiran kepada Kristus, sesungguhnya rasul Paulus mau mengajak kita selaku perempuan gereja untuk mengembangkan spiritualitas iman. Suatu semangat di dalam turut menaruh seluruh harapan kepada Kristus yang sanggup melakukan segala sesuatu. Tidak usah cemas dengan berbagai tantangan dan keadaan, tidak perlu berkecil hati dalam setiap masalah.
Perempuan yang menaruh perhatian dan pikiran kepada Kristus akan menjadi tiang penopang iman yang kuat bagi rumah tangganya. Sebab ia selalu kedapatan mampu menjaga seisi rumah tangganya untuk tetap setia kepada TUHAN. Rumah tangganya akan disebut rumah tangga orang beriman, dan perempuan itu akan disebut ‘orang yang setia kepada TUHAN’. Amin!

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...