Fiksi Alkitab
(5)
Hakim-Hakim 11:29-40 dalam Perspektif Kesetaraan
Gender
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
I
“Papa,
bilakah engkau pergi berperang?”
Yefta
bingung menjawab pertanyaan anak perempuannya yang baru beranjak dewasa. Ia
mengelus kepala putrinya itu.
Dengan
wibawanya sebagai seorang papa dan seorang Hakim Israel, Yefta berkata kepada
putrinya itu: “Dengarlah padaku anakku, seperti segala taurat yang telah
kuajarkan kepadamu. Ketahuilah, jika TUHAN menghendaki aku melakukan segala
yang baik bagi bangsa ini, aku tidak bisa menolaknya. Hari-hari hidupku
hanyalah mendengar dan melakukan apa yang diperintahkan TUHAN, agar aku,
keluargaku dan seisi bangsa ini selamat dan hidup dalam kelimpahan berkat”.
“Papa,
jika setiap perempuan di luar sana bisa berteriak, mungkin mereka akan memujamu
sebagai pahlawan yang sejati. Pahlawan Israel yang gagah berani. Tetapi kalau
kau ijinkan aku berbisik, kan ku dengungkan di telingamu doaku: “kiranya engkau
selamat kembali kepada kami di rumah ini, dan kiranya TUHAN melindungimu
tanganmu agar tidak bergelimang darah”, tutur putrinya dengan nada tertahan dan
beberapa butir air bening turun sampai ke bibirnya yang merah.
Yefta
mulai gelisah. “Anakku, nenek moyangku, Abraham, Ishak dan Yakub, mengajariku, jika engkau telah bernazar,
lunasilah. Kepada TUHAN yang hidup dan yang membawa kita keluar dari
perbudakan, aku telah bernazar”.
“Papa,
sekiranya setiap perempuan berhak berdoa kepada TUHAN, aku tidak memintamu
mengingkari nazarmu. Aku akan meminta dari TUHAN jauhkan semua musuh dari
hadapanmu, dan biarlah engkau tidak bertemu dengan bayangan mereka sekalipun”.
Ia berlari dan memeluk ayahnya. Beberapa saat kemudian ia menengadahkan
wajahnya dan menatap ayahnya. “Pergilah papa, engkau tidak boleh kelihatan sebagai
pahlawan yang pengecut. Pergilah, seluruh pasukan telah diserahkan ke dalam
tanganmu. Jadilah laki-laki di tengah bangsamu, dan ketahuilah, engkaulah papa
di dalam rumah kami”.
II
Sebelum
melangkah melewati ambang pintu rumahnya, Yefta berdoa “TUHAN, aku tahu tidak
ada rencanaMu yang gagal. Jika anakku berdoa dan meminta segala yang telah ia
katakan kepadaMu, perhatikanlah hari-hari hidupnya, agar ia tetap berjalan pada
jalanmu.
Dengan
langkah tegap, Yefta meninggalkan rumahnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya
terus mengikuti langkahnya dengan pandangan mata mereka, sampai ia keluar dari
gerbang kota bersama pasukannya.
III
Ketika
mendekat kepada bani Amon, Yefta bernazar “TUHAN, jika Engkau sungguh-sungguh
menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu
rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani
Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai
korban bakaran”.
IV
Tersiar
kabar di seluruh Israel, Yefta menang dalam peperangan melawan bani Amon. Mulai
dari Aroƫr sampai dekat Minit, ada dua puluh kota dan sampai ke Abel-Keramim,
semua ditudukkan Yefta dan pasukan Israel.
Ketika
kabar itu sampai ke rumahnya, seisi rumahnya gembira. Terlebih anak
perempuannya itu. Ia tahu, papanya selamat dan kembali ke rumah untuk mereka.
Dan ketika didengarnya ayahnya telah kembali, ia segera berlari ke depan pintu.
Ibunya
berusaha mencegatnya, sebab sepatutnya seorang istrilah yang menerima suaminya
yang baru pulang berperang atau bepergian ke suatu tempat. Namun, ia didahului
anak gadisnya, dan segera ia membuka pintu dan melompat kegirangan dan
menjatuhkan tubuhnya ke pelukan papanya itu.
Ia
menangis karena girang hati, ‘TUHAN, telah kau dengar doaku, dan papa kembali
kepada kami”, doanya di pelukan papanya.
Saat
itu, jantung Yefta memburu kencang dan matanya nanar memandang putrinya itu. Ia
berbalik memandang istrinya, dan ia menangis sekencang-kencangnya ke dalam
pelukan istrinya.
“Suamiku,
tidak baik seorang laki-laki yang pulang dengan kemenangan menunjukkan
kesedihannya kepada seisi rumahnya. Aku tahu engkau pahlawan yang perkasa,
telah hilangkah keberanianmu itu?”, bisik istrinya sambil mengelus wajah
suaminya dan memberinya ciuman kudus.
Yefta
terus menangis dan tidak kuasa berkata apa pun.
“Papa,
apakah engkau menang dengan jalan tidak terhormat, seperti dilakukan banyak
pecundang di luar sana?”, tanya anaknya.
“Anakku, nenek moyangku adalah yang perkasa di antara pahlawan bangsa-bangsa. Jauhkan
daripadaku perbuatan tidak tercela jika untuk menang dalam peperangan ini.
Sebab aku berperang bersama dengan TUHAN. Ia memberi kepadaku kemenangan dan
aku telah menundukkan dua puluh lebih kota bani Amon”, ungkap Yefta yakin.
“Tetapi
mulutku telah berkata kepada TUHAN, aku akan mempersembahkan apa yang keluar
dari rumahku menyambut aku ketika aku kembali dengan kemenangan di tanganku,
dan kau anakku, mengapa kau yang pertama anakku?, itu telah menjadi nazarku,
anakku. Aku ingat kata bapak leluhurku, bahwa jika aku bernazar, lunasilah”,
kata-kata Yefta sambil terus menangisi anaknya itu.
V
“Papa,
bisakah aku menangis di pelukanmu?”, harap putrinya. Yefta memeluk kencang anaknya
itu, dan mereka beradu dalam tangis.
“Lakukanlah
papa”, kata anaknya sambil menegakan Yefta berdiri.
Ia
memandang kepada ibunya.
“Mama,
aku tahu kandunganmulah tempat aku bertumbuh dan dari sanalah aku lahir. Tetapi
jika kelahiranku adalah dari TUHAN, sebagaimana kematian semua orang percaya,
jangan kau halangi papa melunasi nazar seperti janji kakek-kakek leluhurku”, kata anak
itu kepada mamanya yang tidak kuat menahan tangisnya setelah mengetahui nazar
suaminya.
“Ya
TUHAN, hukuman apakah yang lebih berat kepadaku sekiranya aku tidak melunasi
nazarku kepadaMu, lakukanlah kepada hambaMu kini”, teriak Yefta dan langsung
dicegah istrinya.
“Setiap
kata yang telah keluar dari mulutmu dan jika itu adalah nazarmu, lakukanlah,
suamiku. Namun ketahuilah, aku akan berjanji kepada diriku dan semua keturunan
dari rahimku, bahwa aku tidak akan salah dengan ucapan mulutku. Akan aku
timbang seribu kali, segala kata yang hendak aku keluarkan dari mulutku, agar
kelak aku tidak mencabutnya dan tidak akan menyesalinya sekiranya aku telah
melakukan hal yang baik sekalipun. Kini berdirilah sebagai seorang lelaki dan
bertindaklah sebagai seorang pahlawan, namun, biarlahkan anakmu ini beroleh
cintamu yang tulus agar ia tahu bahwa, hidupnya berguna, walau ia tidak
mengecap segala hal yang manis sebagai seorang perempuan yang kelak harus
melahirkan pula seperti aku”. Kata-kata itu keluar dari mulut istri Yefta
dengan tidak ragu sedikitpun.
VI
Papa,
aku adalah korban nazarmu. Lakukanlah seperti nazarmu. Namun izinkan aku pergi
ke padang gurun dan bersama dengan perempuan-perempuan sebayaku, agar aku bisa
memuaskan diri memandang dunia ciptaan TUHAN ini sampai aku puas. Dan aku anak
kembali kepadamu, supaya engkau tidak malu di hadapan bangsa ini. Kata anaknya
dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke padang gurun sebagai perempuan
kudus yang tidak pernah bercacat di hadapan TUHAN dan semua orang.
Di
padang gurun, putri Yefta memuaskan dirinya dengan melihat semua ciptaan TUHAN,
dan memuja segala keagungan TUHAN.
“TUHAN,
jika esok adalah hariku yang terakhir dalam bilangan tahun yang telah Kau beri kepadaku, izinkan aku
meminta kepadaMu, ‘jangan biarkan setiap perempuan mati sia-sia di ujung pedang
dan di dalam pelukan kekerasan siapa pun di muka bumi ini. Kami berhak
mendapatkan keadilan, cinta kasih, dan kami tidak boleh dianggap rendah dan
dijadikan obyek atas nama apa pun. Dengan cinta kepadaMu dan kepada papaku, aku
akan kembali, dan biarlah ia melakukan apa pun sesuai nazarnya kepadaMu”.
Kembalilah
anak gadis Yefta itu ke rumahnya dan papanya melakukan segala yang sudah
dinazarkannya.
“TUHAN,
jauhkanlah aku dari perbuatan tidak adil kepada siapa pun, dan jangan biarkan
aku merampas hak hidup siapa pun di muka bumi ini, termasuk atas namaMu”, doa
Yefta di hari terakhir hidup anak gadisnya yang cantik jelita itu.
Ambon, 5 Mei 2018