LHO, MENULIS KOK DI TANAH?
Debat Hukum dalam Yohanes 8:1-11
Ulasan berikut ini diambil dari akun facebook (fb) beta, saat mem-publish sebuah artikel di
group AMGPM, tanggal 28 Januari 2011.
Koruptor! ‘Proyek Gagal’ TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Banyak
barang elektronik yang adalah hasil dari ‘proyek gagal’. Barang itu tidak
memadai dalam menjalankan fungsi sebagaimana ‘blue print’-nya. Sama dengan
produk Jeans. Setelah disortir jika ada yang belum ditempelkan label, maka
langsung dipisahkan dan dijual di pasar gelap. Proyek gagal itu biasa dijual
dengan harga miring alias murah. Meski begitu, banyak orang yang suka membeli
proyek gagal. Selain ternyata bagus-bagus, murah dan bisa dijangkau dengan
mudah, termasuk oleh mereka ada dalam kelas menengah ke bawah. Apalagi jika
proyek gagal itu dijual di pasar ‘Cakbo’ alias Cakar [dan] bongkar –yang memang
hanya dikunjungi orang-orang miskin.
Kesan
disukai tadi sama dengan sifat gamang sebagian besar orang di Republik ‘Gagal’
ini melakukan tindakan korupsi. Mulai dari pejabat golongan III sekelas Gayus
Tambunan sampai pada Menteri dan Anggota DPR-RI. Ternyata kegamangan itu
menjadi sebentuk perilaku karena sifatnya yang juga gampang. Gampang dilakukan,
gampang juga menghindar hukuman. Sudah dihukum, toh gampang juga jalan-jalan
dan menyuap dalam status terdakwa. Gamang + gampang = gancang [suka melakukan
suatu hal sebagai hobi/habitus].
Manusia
yang gancang korupsi mengalami kerusakan fungsi-fungsi asalinya. Ada yang macet
di level kesadaran dan pengenalan dirinya. Ada jaringan yang tersumbat di level
kepercayaannya, sehingga mereka terlalu percaya diri, mampu dan suka mencuri
dan merampok milik orang lain secara ‘bertanggungjawab’: karena diketahui
banyak orang. Kita tidak sedang menyoal tidak ada rasa malu lagi dalam dirinya.
Kita sedang meresahkan sifat kebinatangan yang masih ternyata mengendap di
level kesadaran bawahnya. Rasa rakus dan hasrat merampas begitu kuat sehingga
menepikan akhlak dan kesadaran bathinnya.
Ternyata
ada, malah banyak sekali makhluk manusia seperti itu di Indonesia. Jangankan
hukum positif yang berlaku di bangsa dan negara ini, larangan jangan mencuri,
jangan merampok, jangan mengingini barang sesamamu yang diajarakan agama juga
tidak mempan bagi mereka. Mereka adalah manusia tetapi perilaku kebinatangan
lebih dominan. Mereka hidup dalam masyarakat manusia tetapi memandang sesamanya
sebagai lawan yang harus disikat, dirampok. Perilaku korupsi dilakukan secara
sadar dan itu lebih berbahaya dari membunuh.
Bukan
hanya para koruptor, para penegak hukum dan aparatur negara yang mudah dan suka
terima suap dan memanipulasi fakta dan aturan hukum demi melindungi koruptor
adalah proyek gagal TUHAN. Hukum dibuat untuk dilanggar oleh penegaknya
sendiri. Hukum di tangan penegak yang mata sebelah kanannya terbuka sama dengan
tangan kanannya yang memegang pundi-pundi. Mata kirinya tertutup dan tangan
kirinya memegang pedang dan palu sekaligus. Akibatnya terhadap para koruptor,
mata mereka melihat isi pundi-pundi; dan ibu Mina yang mengambil tiga buah
kakau mata mereka tertutup lalu menebas pedang dan mengetok palu vonis.
Kenyataan
seperti itu sudah menjadi fakta sosial dalam budaya penegakan hukum di
Indonesia. Jika ada seseorang yang melanggar hukum, dengan melihat status
sosialnya kita sudah bisa menduga sikap penegak hukum terhadapnya. Apalagi yang
mau disesali? Masyarakat kecil dibelajarkan untuk terpaksa hidup sambil
menerima nasib dan takdir bikinan para penguasa. [*]
about
2 months ago · View Doc · Like · ·
Unsubscribe
Anamofa
Jusnick, Yonas Leleury, Gerald Akerina and 2 others like this.
Rudi Fofid
Pelacur dan preman, dua kelompok "profesi" yang hina dina. Mereka
kerap dianggap sampah. Tapi kelak jika bertemu mereka, saya ingin membungkukkan
badan, memberi hormat atas kejujuran mereka menyatakan eksistensi sebagai orang
yang kalah t...See More
February
4 at 10:27am · Like
Elifas Tomix Maspaitella
Itu benar bung. Nanti besok beta posting mereka sebagai 'Proyek Tuhan yang kita
lupakan'. hahahaha
February
4 at 10:29am · Like
Weslly Johannes
sadap bu e... akang bacubi ! padis2 !!! Beta tunggu "proyek tuhan yang
lain".
February
4 at 10:35am · Like
Ulis Patty
kapan dan di tingkat mana pengaruh korupsi menyerbu kehidupan pribadi,
masyarakat dan umum?
February
4 at 2:01pm · Like
Victor Touwely
jelas bung.. hukum di desain sedemikian rupa oleh orang-orang
"munafik" untuk kepentingan dorang. sedang justru menjadi
"momok" untuk kaum miskin dan tertinggal untuk lebih di tindas
'tertindas'.
February
4 at 8:59pm · Like
Peter Robert
korusi ada diman-mana dan meresahkan..... akibatnya banyak bagi anak dan
keluarga.... heheheeee jangan marah tulis disini...
February
4 at 11:39pm · Like
Anamofa Jusnick
Topik menarik dan ditulis dengan bahasa yang sangat .. sangat .. santun.
Perangi korupsi dari diri sendiri, dari dalam keluarga sendiri. Kalau ada diri,
oom, tante, keluarga, kenalan yang disinyalir melakukan itu, bilang dong
"stop samua mulai dari sakarang jua".
February
6 at 2:33pm · Like
Ulis Patty
apaka orang tatua, yang bilang beragama didik anak anak untuk ...?apaka
keluarga famili yang beriman ajar anak anak untuk..? apaka negri yang di sebut
kristen ajar anak untuk...? , apaka pendeta ajar anak anak untuk koruspi
pancuri, kolusi dan nepotisme ? Kalau jawab dengan tidak? syapa jang tangung
jawab sampai korupsi bisa berakar dalam hidup, orang kristen sehari hari? angan
cuma bilang di nanti
February
6 at 3:35pm · Like
Siake Manue
guru2 skola minggu deng tunas mangkali musti ajar anana seng bole makang
makanang korupsi, nanti garser seng batul hehehe
February
8 at 10:58am · Like · 1 person
Beta mengutip artikel itu dan percakapan
sesama rekan fb untuk melihat cerita dalam teks kita ini dengan fokus pada
mekanisme hukum yang dihadapkan penginjil dalam cerita tersebut.
Komunitas Belajar Yesus
Teks-teks PB menggambarkan bahwa perlawanan terhadap Yesus
dan karya kerasulan lebih banyak datang dari kelompok menengah ke atas; mulai
dari kelompok yang berkuasa, elite agama, masyarakat yang mapan secara ekonomi.
Sedangkan masyarakat kelas bawah, sampai pada orang sakit, pekerja seks
komersil, merupakan kelompok loyal secara sosial dan religius terhadap Yesus.
Kelas elite sosial-ekonomi dan religius
merupakan kelompok yang digambarkan memiliki hubungan kontroversial dengan
Yesus. Orang kaya, Farisi, Saduki, Ahli-ahli Taurat, pegawai kekaisaran, adalah
kelompok yang mengerumuni Yesus tetapi dengan motiv yang berbeda dari kelas
‘elite’ (ekonomi sulit).
Kelas menengah ekonomi seperti Zakheus
menjadi salah seorang loyalist didahului oleh inisiatifnya sendiri untuk
bertobat (bnd. tindakannya memanjat pohon ara, Luk.19:4; bnd. juga tindakan
Matius pemungut cukai menjawab ajakan Yesus dengan meninggalkan pekerjaannya
–lht. Mat.9:9-13). Bagi penulis Injil Lukas, loyalist seperti Zakheus adalah
cerminan dari realitas sosial komunitas kristen perdana, yakni kelas ekonomi
menengah, termasuk tuan-tuan tanah yang mulai tertarik dengan kelompok kristen
itu, dan menjadi bagian darinya. Mereka ini yang menjual tanah-tanah mereka dan
hasilnya diperuntukkan kepada orang-orang miskin(Kisah Para Rasul 4:34).
Gambaran lain dari sikap kelas ekonomi menengah ada pada Ananias dan Safira
(KPR.5:1-11), di mana penulis memperlihatkan disorientasi moral-etik sebagian
dari kalangan ekonomi menengah.
Lazarus merupakan orang miskin yang
cukup populer dalam injil Lukas (Luk.16:19-31), tetapi telah diceritakan secara
mistis oleh penulis injil, berbeda dengan Yohanes yang secara gamblang
menceritakan Lazarus dari perspektif sosial (Yoh.11:1-44).
Selain itu orang-orang miskin, orang
sakit, termasuk kusta, perempuan pezinah, dan mereka yang dianggap kafir dan
tidak selamat (komunitas Samaria) merupakan kelompok sosial yang terlibat dalam
interaksi keseharian Yesus serta menjadi loyalist-loyalist baru ke dalam
kelompok komunitas belajar Yesus. Di situ tampak orientasi keseharian Yesus,
guru Yahudi, yang berbeda dari guru-guru Yahudi lainnya. Secara sosiologis
komunitas guru-guru Yahudi disebut dalam istilah paideia, suatu komunitas sosio-genealogis yang eksklusif yaitu
komunitas orang-orang Yahudi yang memiliki pertalian keleluhuran yang sama (ancestral relationship). Di dalam arti
itu, Yesus adalah bagian dari paideia dengan
orang-orang Yahudi lainnya, sebab Ia memiliki garis keturunan/keleluhuran
Yahudi yang jelas. Tetapi mengapa Ia berbeda?
Paideia juga lebih merujuk kepada orang-orang
yang sepaham atau menganut suatu aliran pemikiran yang sama. Dalam arti ini Yesus
dan murid-muridnya atau komunitas belajarnya adalah suatu paideia yang berbeda dari paidea
sosio-genealogis tadi. Paideia dalam
arti ini sering terjebak dalam disharmoni seperti yang dilukiskan Paulus dalam
1 Korintus 3:1-9.
Cara Yesus memilih komunitas belajar
berbeda dari cara yang lazim dan ‘konstitusional’ seperti dianut guru-guru
Yahudi. Karena itu sering muncul pertentangan di antara mereka, dan menjadi
salah satu faktor kecemburuan terhadap Yesus. Padahal dari sisi pengajaran,
mereka mereferensi dokumen dan sumber yang sama. Perbedaannya hanya pada sikap
etis, yang meliputi carapandang (worldview)
dan hermeneutika di antara mereka. Injil sering menunjukkan hermeneutika Yesus
terhadap hukum musa dan nubuat nabi sebagai yang menjurus kepada dirinya. Penginjil
membingkai identitas Yesus dengan gelar-gelar kemesiasan seperti Anak Allah,
atau dengan fungsi-fungsi keilahian yakni mengampuni dosa seseorang, padahal
hal itu ditolak oleh guru-guru Yahudi.
Di masa kemudian, atau dua abad setelah
masa Yesus (Jesus time), paideia itu dimaknai sebagai ekklesia tetapi dalam formasi sosial
yang baru dan lebih terbuka, tidak sebatas pada relasi-relasi genealogis. Malah
orang-orang yang setiap waktu mengikut Yesus, dalam cerita injil, dimengerti
secara baru pula dengan menonjolkan corak organisasi, sehingga tidak lagi
dilihat sebagai sebuah kerumunan (crowd)
yang datang menyaksikan Yesus menyembuhkan orang sakit dan lainnya. Ekklesia sudah mengalami perubahan
secara organisatoris. Sebab itu para rasul dan Paulus menjadi semacam
‘pemimpin’ organisasi ekklesia.
Dari sisi pengajaran, topik tentang
Hukum Musa yang paling sering menjadi sumber debat. Menariknya ialah guru-guru
Yahudi berusaha menggiring Yesus ke dalam semacam ‘hermeneutic trap’ (perangkap
hermeneutika), dengan tendensi bahwa Ia akan memberi tafsir yang bertentangan
dengan hukum Musa. Hal yang mengesankan dalam dikotomi itu ialah Yesus selalu
menjawab soalan mereka dengan perumpamaan. Sebuah cara baru yang memerangkapkan
guru-guru Yahudi itu sendiri ke dalam ‘hermeneutic trap’ mereka. Cerita yang
akan kita coba maknai ini adalah salah satu cerita tentang ‘hermeneutic trap’ tersebut.
Lagi-lagi Pezinah
Hukum-hukum kesucian (holiness
code) dan hukum perjanjian (covenant
code) selalu dijadikan ‘hermeneutic trap’ para guru Yahudi terhadap Yesus.
Cerita dalam Yoh.8:1-11terjadi dalam situasi ketika Ahli Taurat dan orang-orang
Farisi menghadapkan seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah.
Mereka mengutip hukum Musa seperti
dalam Imamat 20:10, dan Ulangan 22:22-24 sebagai pasal hukum untuk menghukum
perempuan yang tertangkap basah berzinah. Penting disimak dahulu bunyi hukum tersebut:
Versi Imamat 20:10:
Bila
seorang laki-laki kedapatan berzinah dengan istriorang lain, yakni berzinah
dengan istri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang berzinah itu.
Versi Ulangan 22:22-24:
Apabila
seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah
keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan
perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat dari antara orang
Israel.
Apabila
ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan –jika seorang
laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka
keduanya kamu bawa ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga
mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan
laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya manusia. Demikian
harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Kutipan ini menjadi alasan kuat dari
‘hermeneutic trap’ yang dimaksudkan tadi. Tuntutan mereka dalam cerita Injil
Yohanes menjadi bukti bahwa sangat gampang menjadikan perempuan sebagai obyek
viktimisasi (korban) dalam patriakhi Yahudi.
Tampak pula adanya disorientasi etika
dan hukum dalam praksis berpatokan dari tindakan Ahli Taurat dan orang Farisi
yang membawa perempuan yang tertangkap basah berzinah kepada Yesus. Hilangnyanya
laki-laki yang berzinah dengan dia membuktikan bahwa patriakhi ini sangat
arogan, tetapi disorientasi etik membuat banyak orang cenderung berpihak pada
mereka yang kuat dan mengorbankan mereka yang lemah. Padahal cerita-cerita
injil seperti ini menarasikan ternyata sangat gampang orang-orang yang berzinah
tertangkap basah.
Beta lalu menduga kebiasaan sweeping tempat
makziat, hotel-hotel atau penginapan yang sering terjadi di Indonesia dahulu
terjadi juga di masa Yesus. Di Indonesia juga begitu. Laki-laki ‘dapat
meloloskan diri’, dan yang digiring dan diangkut dalam kendaraan petugas adalah
kaum perempuan. Lihat saja di layar TV, sorot kamera mengarah kepada mereka
yang tak berdaya menutup wajahnya dengan tangan, rambut, dompet, atau
bersembunyi di balik badan petugas.
Dalam patriakhi Indonesia, laki-laki
sering juga hilangnya dari penggebrekan tempat makziat itu. Ada apa dengan
patriakhi di dunia ini? Sebab itu sudah bisa dipastikan, hukum dapat juga
bernuansa dan bertendensi patriakhal. Penyelesaian masalah pelecehan seksual pun
sering bertendensi patriakhal, dalam arti tidak usah sampai ke meja hijau. Beta tidak sedang bermaksud mengatakan
bahwa mari kita ramai-ramai masukkan orang-orang seperti itu ke dalam penjara,
melainkan sejauhmana keadilan ditegakan secara adil dan merata. Sejauhmana
hukum itu ‘membanjiri’ semua orang secara sama.
Ah, Menulis di Tanah Saja!
Tindakan Yesus menulis di tanah menimbulkan asumsi bahwa Ia
sedang mempertanyakan sejauhmana hukum ‘membanjiri’ semua orang secara sama.
Baiklah dimaknai bahwa Ahli Taurat dan
orang Farisi gencar melakukan apa saja agar bisa menemukan kesalahan Yesus. Bagi
mereka selain Ia menyatakan diri sebagai TUHAN, kesalahan vatal yang bisa
menjeratnya kedalam hukum adalah ketika Ia merombak hukum Musa. Tetapi Yohanes
menampilkan Yesus sebagai tokoh ‘tanpa salah’, sehingga tindakan Yesus menulis
di tanah merupakan cara Yesus mengkritik penyimpangan hukum Musa yang sedang
terjadi atau dilakukan Ahli Tauran dan orang Farisi.
Dengan membawa perempuan yang
tertangkap basah berzinah, dan hendak menghukum dia sampai mati, mereka telah
menyimpang dari hukum Musa, padahal mereka menghadapkan perempuan itu kepada
Yesus dengan referensi hukum Musa itu pula.
Ada dua hal yang bisa ditafsir dari
tindakan Yesus membungkuk dan menulis di tanah. Pertama, Yesus sedang menyerang guru-guru palsu (false teacher) yang datang kepadanya sambil
mempertontonkan ajaran palsu mereka atas Taurat Musa. Hubungan kontroversial
Yesus dengan guru-guru Yahudi dalam kasus-kasus seperti ini perlu dimaknai
dalam konteks itu. Ajaran-ajaran taurat diselewengkan atas nama kepentingan
mereka, dan Yesus dijebak dalam ‘hermeneutic trap’ seakan-akan Yesus akan
memberikan tafsir baru yang bertentangan terhadap taurat Musa.
Inti dari pesan ini adalah bahwa
kebenaran TUHAN sedang dikorupsi habis-habisan oleh guru-guru palsu. Ini
merupakan suatu hal yang tidak bisa dibiarkan terjadi begitu saja. Maka
tindakan Yesus membungkuk dan menulis di tanah merupakan refleksi dari serangan
ironi kepada mereka. Beta percaya
orang banyak yang hadir hari itu ketika melihat tindakan Yesus yang tidak
meresponi Ahli Taurat dan orang Farisi akan mudah memahami pesan di balik
tindakan Yesus.
Kedua, dimensi humaniterian dari hukum yang
hendak ditonjolkan dari tindakan Yesus. Tepatlah kata Ignatius, bapa gereja,
dalam risalahnya bahwa ‘tindakan Yesus perlu dlihat dalam esensi kemanusiaannya
dan kemanusiaan manusia, ketimbang dibawa ke dalam dimensi keilahian yang bisa
saja bersifat spekulatif’ (lht. Wagner, 1994:1146-151). Hilangnya laki-laki pezinah
dari kasus tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa keadilan sebagai esensi
dari hukum Musa dipinggirkan oleh orang Farisi dan Ahli Taurat. Hukum telah
‘disetel’ (baca.diatur/direkayasa) untuk kepentingan patriakhi, tetapi agenda
terselubung dari hilangnya laki-laki pezinah tersebut yakni memerangkapkan
Yesus ke dalam tafsir yang berbeda, sebagai indikasi kesalahannya.
Ketiga, Yohanes, juga Lukas, menggambarkan
Yesus sebagai sosok yang tenang. Bart Ehrman menulis bahwa, ‘tidak seperti
Markus, Injil Lukas tidak pernah menyatakan bahwa Yesus menjadi marah. Malah,
di sini Yesus tidak pernah tampak terganggu sama sekali. Alih-alih Yesus yang
marah, Lukas menggambarkan Yesus yang tenang’ (Ehrman, 2006, ed.terj).
Ketenangan Yesus mengandung pesan bahwa
Ia tidak mau tersangkut dengan perkara ketidakadilan yang sedang dipertontonkan
Ahli Taurat dan orang Farisi di antara orang banyak yang sedang bersama-sama
dengan dia.
Dari situ komentar Yesus: ‘barangsiapa
diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu’ (Yoh.8:7), menjadi bukti bahwa Ia tidak masuk dalam kolaborasi
ketidakadilan Yahudi, sebab kolaborasi ketidakadilan di mana-mana selalu
mengkambinghitamkan satu orang untuk menyelamatkan muka orang lain. Kolaborasi
ketidakadilan tidak mengorbankan rumusan pasal hukum sebaliknya mengorbankan
manusia. Realitas ini sudah sangat tua dan masih ada sampai kini.
Perempuan pezinah itu menjadi korban di
dalam kolaborasi ketidakadilan tadi. Makna keempat dari tindakan Yesus itu adalah
pemulihan hak perempuan pezinah yang diperlakukan tidak adil oleh masyarakat.
Dialognya menjadi penting disimak:
Setelah
orang-orang yang merasa [pernah] berdosa itu pergi, tinggal Yesus sendiri
bersama dengan perempuan itu, lalu Yesus berhenti menulis di tanah dan bangkit
berdiri lalu berkata kepadanya: ‘Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah
seorang yang menghukum engkau?’
Perempuan pezinah itu menjawab: ‘Tidak ada Tuhan’. Yesus pun berkata:
‘Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai
dari sekarang’ (adaptasi Yoh.8:10-11).
Dialog ini menegaskan bahwa keadilan
seperti ditegaskan dalam hukum Musa telah diabaikan. Logika hukumnya jelas.
Jika ada perempuan pezinah yang tertangkap basah, maka tentu bersama dengan
laki-laki pezinah. Hukum Musa menegaskan mereka berdua harus mendapat hukuman
yang sama. Logika hukum ini tidak ada dalam praksis hukum. Apa yang dewasa ini
dibahasakan budaya hukum menjadi suatu hal yang spekulatif. Sistem dan materi
hukum sudah baik dan adil, budaya hukum yang selalu meminggirkan sistem dan
materi itu.
Budaya hukum menjadi rancu dan bergantung
pada dua aspek: tafsir hukum di satu sisi dan tafsir kepentingan di sisi
lainnya. Kedua sisi ini dipraktekkan oleh manusia (baca. penegak hukum). Ini
yang terjadi dalam cerita Yohanes, dan sering juga terjadi dalam dunia kita
dewasa ini. Skandal hukum di negeri kita ini telah berhasil menyembunyikan
aktor utama pelanggaran hukum dalam berbagai kasus.
‘Kaum imun’ itu tidak bisa dihukum,
bahkan jika dipaksa kekuatan sipil, mereka akan terus disembunyikan. Malah di
negeri kita ‘kaum imun’ menjadi semacam ‘community-maker’ yang berhasil
menciptakan orang-orang yang bersedia memunculkan letupan-letupan tertentu
ketika kasus mereka sedang diperkarakan baik di lembaga penegak hukum
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) maupun oleh lembaga legislatif.
Komunitas mereka itu menyebar di semua
segmen sosial, ada di pasar, di kantor, di lembaga hukum; dan memiliki peran
sosial yang bervariasi, semisal preman, pegawai, pengusaha, penegak hukum
sampai pada politisi. Komunitas itu yang membuat kolaborasi ketidakadilan tetap
hidup dan semakin tua di dunia para manusia ini.(*)
1 comment:
Post a Comment