Friday, August 4, 2017

Cukup

Lukas 3:10-14
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


K
isah dalam Lukas 3:10-14 merupakan bagian dari kesaksian Yohanes Pembaptis. Tokoh ini penting di zamannya, dan juga di zaman kita untuk memahami bahwa menyambut kedatangan TUHAN itu memerlukan pertobatan dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran-ajaran TUHAN yaitu ajaran tentang hidup baik dan berkualitas. Ia datang guna mempersiapkan kedatangan Mesias. Ajaran-ajarannya bertujuan agar umat mempersiapkan hidup bagi kedatangan mesias.
Ajaran Yohanes Pembaptis dalam injil yang kita baca ini, menegaskan beberapa hal penting, antara lain:
Pertama, pentingnya berbagi agar tercipta keseimbangan. Dalam hal berbagi diperlukan kepedulian dan pengorbanan. Contoh dalam ay.11, soal memberi baju dan pakaian kepada yang tidak mempunyai baju dan makanan, menjurus pada upaya menjaminkan hidup orang lain. Sebab hal tidak mempunyai baju dan pakaian adalah gambaran kemiskinan; dan bahwa orang yang telanjang dan lapar itu seakan sudah berada di ujung kematian. Jika kita yang memiliki kelebihan itu bisa berbagi dengan mereka, sudah tentu mereka hidup dalam arti tidak mati. Dan apa yang kita dapati? Jawabannya ialah kebahagiaan karena sudah menyelamatkan hidup sesama.
Pada ay.12, pertanyaan para pemungut cukai dijawab Yohanes untuk menegaskan nilai keadilan dan kejujuran. Ini penting untuk melawan perilaku pemerasan atau korupsi berlebihan dengan menekan orang kecil. Para pemungut cukai adalah kelompok orang yang tidak puas dengan gaji atau upah mereka sendiri. Sebab itu mereka menarik pajak yang tinggi, melebihi standar resmi. Kelebihan itu tidak disetor ke kantor cukai melainkan digunakan untuk diri sendiri. Yohanes mempersoalkan hal itu sebagai tindakan yang tidak baik, sebab itu ia melarang mereka melakukannya. Dengan kata lain, mereka bisa hidup dari upah yang sudah ditentukan kepada mereka tanpa merampas milik orang lain secara paksa. Jadi jangan ingin sesuatu yang lebih apalagi karena itu kita harus merampas milik orang lain.
Sedangkan pada ay.14, ketika yang datang adalah para prajurit, maka Yohanes Pembaptis menganjurkan mereka untuk tidak boleh merampas dan memeras, apalagi jika itu harus dilakukan dengan pengerahan kekuatan atau kekerasan. Para prajurit dianjurkan puaskan diri dengan gaji yang ada. Ini pelajaran yang berharga, sebab setiap orang digajikan menurut kerjanya. Sebab itu kita tidak perlu melakukan pekerjaan yang tidak ditentukan kepada kita. Kerjalah saja sesuai dengan tugas yang dipercayakan untuk kita.
Pada ajaran-ajaran ini, Yohanes Pembaptis mau supaya orang-orang yang mengikutinya menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah mendapatkan berkat yang terbaik sesuai dengan kadar profesi dan tanggungjawab masing-masing. Itu adalah cara TUHAN memelihara mereka. TUHAN juga memelihara orang lain dengan caraNya, dan melalui pekerjaan atau keadaan hidup masing-masing.
Baiklah kita memuaskan diri dengan apa yang ada, sebab yang paling penting adalah mempersiapkan hati. Setiap kali kita berjumpa dengan TUHAN, karena itu mempersiapkan hati dan hidup kudus jauh lebih penting daripada memuaskan diri dengan harta duniawi yang tidak kekal sifatnya.
Upaya kearah itu juga penting menjadi perhatian gereja karena apa pun yang terjadi, kita dituntut menjadi teladan dalam berbuat baik. Mengapa demikian? Kita bertugas mendewasakan seisi rumah tangga. Dan jangan lupa bahwa anak kita berpola dari diri orang tuanya.
Bersamaan dengan itu, ternyata suka sekali tergoda, baik oleh kekuasaan, jabatan, kedudukan, uang, atau harta benda lain yang memberi kepuasan sesaat. Di situlah makanya kita perlu meningkatkan kualitas spiritual sebagai laki-laki gereja agar kita tidak mudah terjebak dalam kenikmatan dunia, dan membuat kita tidak pernah puas dengan apa yang sudah kita miliki selama ini.
Kecenderungan tidak pernah puas itu adalah sumber godaan yang dapat meruntuhkan spiritualitas kristen. Spiritualitas kristen itu harus selalu merasa cukup dengan apa yang ada, sebab itu adalah pemberian TUHAN. Bahwa TUHAN tahu kadar kemampuan kita mengelolah berkat yang telah IA berikan. Jika kita tergoda dengan rasa puas, dan terjebak untuk juga mengambil milik orang lain, kita mengabaikan TUHAN yang tetap ada bersama kita.
Spiritualitas kristen mengajarkan bahwa di saat kita bekerja atau berusaha, TUHAN ada dan ia selalu akan memberi kepada kita kuasaNya yang menuntun untuk melakukan kebaikan. Cukuplah dengan apa yang dimiliki, karena itu yakinlah bahwa itu bagian pemberian yang kudus dari TUHAN. Itulah berkat. Amin!

Monday, April 17, 2017

Yusuf dari Arimatea

Cerita Fiksi Alkitab:
YUSUF DARI ARIMATEA

Pagi itu, orang semakin banyak memenuhi alun-alun Kota. Di teras atas Istana, tampak Pilatus hilir mudik, bersama beberapa pejabat lain. Beberapa orang Imam Besar Yahudi, Anggota Mahkamah Agung dan Majelis Besar (Bouleutes) juga terlihat di situ.

Sesekali Pilatus tampak marah. Di saat berikutnya ia seperti sedang berpikir keras. Bingung bercampur geram. Ternyata, ia berharap Herodes, rekannya itu, yang menjatuhkan vonis terhadap Yesus, namun Herodes malah mengembalikan Yesus kepadanya selaku gubernur wilayah.

Pilatus : (menggerutu dalam hati) Aku jadi bingung dengan keadaan ini. Tahukah kalian, aku semakin yakin, orang ini tidak melakukan satu pun pelanggaran, baik terhadap hukum negara maupun terhadap hukum agama kalian (sambil menunjuk pada beberapa anggota Mahkamah Agama dan majelis Besar).

Mereka semua terdiam

Anggota Mahkamah Agama : Yang Mulia, Tuanku. Sekiranya tuanku berkenan, biarlah tuanku menyatakan ia bersalah, dan biarlah ia dihukum sesuai aturan agama kami, sebab pada hari paskah harus ada domba yang dikorbankan

Pilatus : Kau berkata seenakmu saja. Bukankah hari paskahmu itu hari pembebasan? Lupakah kau akan sejarahmu sendiri? Bagaimana caranya kalian keluar dari Mesir? Dalam enskilik Mesir pun disebutkan bahwa ada tangan yang lebih kuat yang membawa kalian dari sana.

Anggota Mahkamah Agama : Yang Mulia, Tuanku. Benarlah kata tuanku. Bangsa Mesir, demikian pun Persia, sewaktu kami keluar dari Babilonia, telah mengakui kuasa Yahweh, TUHAN kami. Sebab itulah yang mereka lihat sewaktu kami dibawa keluar dari perbudakan. Dan untuk itulah kami merayakan Paskah

Pilatus : Lalu apa hubungannya dengang orang ini? Dia Yesus, bukan seekor domba yang harus kalian korbankan di hari Paskah

Anggota Mahkamah Agama : Yang Mulia, Tuanku. Itulah sebabnya, biarlah semua ini terjadi menurut hukum agama kami, asal tuanku bertitah untuk salibkan Dia seperti suara orang banyak di luar sana

Pilatus terdiam. Hening di dalam ruangan itu. Terdengar ribut-ribut di alun-alun, dan orang-orang tetap meneriakkan ‘Salibkan Dia’ berulang-ulang.

Pilatus : Yusuf dari Arimatea, aku tau engkau seorang anggota Majelis Besar. Apa pendapatmu tentang hal ini?

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Hambamu ini hanyalah anggota biasa. Biarlah hambamu tidak mengotori bibir dan hati ini dengan apa yang bukan menjadi hak hambamu ini.

Pilatus : Tetapi aku dengar diam-diam engkau telah mengikuti Yesus dan kagum akan pengajarannya

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Selama ini hambamu ini bersahabat dengan tuanku. Terima kasih karena bisa diundang makan di meja tuanku dan dari hidangan terbaik di istana ini. Hamba mengingat benar kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego di istana Babel. Sebab itu, jangan tuanku mengira-ngirakan hal yang tidak bisa hamba sangkali atau pun akui di hadapan tuanku. Biarlah itu menjadi jawabku kepada Yahweh, TUHANku

Pilatus : Kau membuat aku semakin bingung, sahabatku. Sebab dari semua anggota Majelis ini, kaulah yang aku lihat sangat tenang dan baik hati

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Hambamu ini hanyalah anggota biasa

Pilatus kemudian memanggil staf hukumnya dan berkonsultasi beberapa hal secara tertutup. Lalu ia keluar ke teras istana itu dan memakumkan pembebasan Barabas, dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan.

Orang-orang banyak itu bersorak girang. Majelis Besar dan Mahkamah Agama pun bersukaria. Dan mulailah mereka menyiksa Yesus, memukulinya dengan cambuk. Beberapa perempuan dan murid-murid Yesus yang hadir di situ tampak sedih dan menangisi Yesus yang dicambuk.

Yusuf dari Arimatea berlari ke sisi tembok istana. Dengan sangat sedih dan menyesal ia merobek-robek bajunya, dan membuangnya dan menginjak-injak dan sambil memukul kepala dan dadanya sendiri. Ia sungguh menyesal, sebab tidak kuasa membebaskan Yesus dari vonis itu.

Sambil menangis:

Yusuf dari Arimatea : Yesus, Guruku. Jika Engkau berkenan, ampunilah aku. Sebab aku tak sanggup menjawab tanya Pilatus di hadapan para majelis lainnya.

Ia lalu pergi ke alun-alun, dan dari kejauhan ia melihat Yesus terus disiksa, dan ditarik oleh para prajurit untuk berdiri, sambil terus dicambuk dan dipukuli, Ia dipaksa memikul balok  kayu yang berat. Yesus pun disuruh berjalan menyusuri lorong-lorong kota ke luar menuju ke Golgota.

Di tengah hari, ketika Yesus telah disalibkan, terjadilah gempa teramat hebat, dan Yesus pun menyerahkan nyawaNya kepada Yahweh, Bapa-Nya. Ia mati. Para prajurit yang menjaga di bawah salibnya menikam lambungnya dengan tombak untuk membuktikan apakah Ia masih hidup atau sudah mati.

Yusuf dari Arimatea melihat semua itu, dan dengan hati berat, ia bergegas ke istana Pilatus dan meminta untuk menghadap.

Pilatus : Ada apa kau datang ke sini, Yusuf, sahabatku?

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Telah Tuanku tahu, bahwa Yesus telah mati di salib.

Pilatus: benar. Aku baru mendapat kabarnya beberapa jam yang lalu.

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Aku tahu akan seluruh hukum Romawi. Tentang orang yang tersalib, biarlah ia tergantung di sana dan binatang buas dan burung gagak akan memakan habis dagingnya. Namun, biarlah hambamu ini mendapati sedikit belas kasih Tuanku. Ijinkan hambamu ini menurunkan tubuh Yesus, dan mengapaninya, agar dimakamkan ke kuburan milik hambamu ini. Dengan begitu, hamba tidak terikat hutang kepada siapa pun.

Pilatus : sudah aku duga, engkau pasti telah menjadi pengikutnya

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Jika itu sangka tuanku, dan hambamu ini harus dihukumkan, biarlah hambamu ini mendapat kasihmu terlebih dahulu, dan setelah itu, hukumlah hambamu menurut mau tuanku

Pilatus : Yusuf, sahabatku. Tidak ada alasan bagiku menghukum engkau. Aku tahu, tidak ada salah pada diri Yesus. Yang membuatku menyesal, mengapa Ia tidak mau berbicara sekata pun, padahal Dia tahu, dari mulutku, aku bisa mengatakan hukum dan membatalkan hukum

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Biarlah itu terjadi sebab sudah seperti itulah Ia harus memenuhi kehendak Bapa-Nya.

Pilatus : dari mana engkau tahu?

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Dari mulut-Nya dan dari cerita para murid-Nya sendiri.

Pilatus : Karena engkau sahabatku dan ternyata hatimu tulus dan karena kerendahan hatimu itulah, layanilah Yesus seperti yang engkau kehendaki. Jika ada siapa pun yang mencegahnya, katakan: ‘Pilatus yang mengatakannya”.

Yusuf dari Arimatea : Yang Mulia, Tuanku. Kiranya Tuanku tetap sehat, bahagia dan hidup selamanya. Hambamu mohon diri

Yusuf dari Arimatea kemudian meninggalkan hadapan Pilatus. Ia bergegas keluar. Namun ia dicegat oleh seorang rekan Majelis Besar lainnya, Nikodemus.

Nikodemus : Yusuf, apa yang kau mintakan dari Pilatus?

Yusuf dari Arimatea : Sahabatku, apakah engkau bersama dengan aku?

Nikodemus : Iya, aku bersama dengan engkau. Di mana engkau mati, hukuman itu pun akan kena kepadaku

Yusuf dari Arimatea : Aku meminta supaya aku diijinkan mengapani Yesus dan membawanya ke kubur milikku

Nikodemus : demi kebaikan hatimu, biarlah aku ada dalam bagian yang sama dengan engkau, sebab aku pun tahu, Ia adalah TUHAN

Yusuf dari Arimatea : Jangan sebutkan itu di sini. Masih banyak orang yang melihat kita

Nikodemus : Tentu aku yakin, aku akan lahir kembali, seperti pernah dikatakan-Nya

Yusuf dari Arimatea : Sudahlah. Semakin lama kita berdua di sini, senja semakin rembang dan malam segera turun. Tidak baik kita membawanya ke kubur di malam hari.

Mereka lalu bergegas ke rumah Yusuf. Nikodemus memilih kain lenan terbaik dari persediaan Yusuf di rumahnya, dan mereka bergegas ke Golgota dan menurunkan tubuh Yesus dari Salib. Nikodemus mengapaninya dengan sangat rapih. Mereka memberi rempah-rempah ke tubuh-Nya seperti kebiasaan orang Yahudi, dan membawanya ke kuburan, tidak jauh dari Golgota. Kuburan itu sudah disiapkan Yusuf beberapa waktu lalu untuk keluarganya. Belum ada satu orang pun yang dikuburkan di situ.
Setelah tubuh Yesus diletakkan, mereka keluar dan menggulingkan batu penutup kubur itu.

Nikodemus : sahabatku, terima kasih engkau telah menjadikan aku bagianmu

Yusuf dari Arimatea : Hatiku bersukacita, karena Allah Juruselamatku. Hari ini, segala kebaikan-Nya aku alami. Tanganku yang penuh cela ini telah dikuduskan untuk menatang tubuh-Nya, dan tempatku yang aku sediakan untuk diriku dan keluargaku telah dijadikan-Nya kudus bagi Anak Domba Allah.

Yusuf berbalik melihat Nikodemus dan beberapa orang keluarga yang membantunya dan berkata:

Yusuf : Ingatlah jalan ini. Ke sinilah kita mambawa tubuh Yesus. Dan dalam kubur inilah kita memakamkannya. Suatu waktu jika ada orang yang sangsi akan hal ini, kitalah saksinya.

Mereka pun mengangguk, dan tanpa bersuara sedikit pun, mereka semua kembali ke tempat masing-masing.

Setiba di rumahnya, Yusuf mengumpulkan semua anggota keluarganya, dan membagi roti untuk mereka makan.

Yusuf dari Arimatea : Makanlah dengan hati penuh sukacita, sebab hari ini kita sudah dimungkinkan melakukan apa yang baik kepada TUHAN. Ketahuilah, bahwa Yesus telah dikuburkan ke dalam kubur kita semua. Dari mana kita berasal, orang tidak tahu. Kota kita pun hampir hilang. Yang diingat orang hanyalah Ramataim-Zofim. Tetapi orang tidak tahu, bapa kita ialah Daud. Jadi, yang ada di dalam kubur kita itu, adalah saudara kita sendiri, Anak Daud. Maka tepatlah ia ada di sana.

Dalam diam, mereka memakan makanan malam itu, dan semuanya pergi tidur di pembaringan masing-masing. Yusuf pun pergi tidur dengan hati penuh sukacita.(eltom)

Ambon, 13 April 2017
Elifas Tomix Maspaitella






Wednesday, April 12, 2017

AKU HAUS: Masih Saja Ada Gagal Paham

(Yohanes 19:28-30)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Gagal paham adalah sebuah fenomena di dalam tradisi ilmu dan sosial. Dalam tradisi ilmu, gagal paham menjadi petanda pengolahan rasio yang menjurus pada absurdisitas (unreasonable). Penolakan terhadap fakta/empiri yang menjadi jurang gagal paham itu. Ketika empiri ditolak maka orang akan berkutat pada dunia maya, suatu khayalan buta di luar diri dan lingkungan di mana ia ada. Para ilmuan sejarah selalu menghindari hal ini dengan menunjukkan sekumpulan data historis, sebab jika terjadi gagal paham dalam ilmu sejarah, sudah tentu narasi yang terbangun adalah fiktif.
Dalam tradisi sosial, gagal paham ditandai oleh penolakan atau sikap tidak mau menerima (refusing) suatu fakta atau seseorang. Fenomena ini biasa terjadi pada para deviant~yaitu orang yang tidak mau hidup menurut aturan-aturan normal, dan memaksakan kehendaknya sebagai sebuah standard yang ternyata bertolak belakang dengan apa yang menjadi kehendak umum. Kaum deviant tidak saja mengucilkan dirinya, tetapi menganggap orang lain tidak ada.
Pada kisah penyaliban Yesus, sebagaimana diceritakan dalam Injil Yohanes, bentuk gagal paham itu pun tampak. Sejak awal (Yoh.1:1,14), penginjil telah berusaha menjelaskan siapa Yesus yang ditolak oleh kaum gnostik. Hal ‘Firman yang menjadi manusia dan diam di antara kita’, merupakan klarifikasi Yohanes tentang TUHAN yang berbicara langsung kepada manusia, sebab Ia benar-benar menjadi manusia. Namun ternyata bentuk gagal paham itu terus mewarnai debat Yohanes dan kaum gnostik di sepanjang injilnya.
Sampai pada penyaliban Yesus, di atas kayu salib, Yesus berseru: ‘ ‘Aku haus’ (Yoh. 19:28). Seruan itu tidak berarti Yesus haus seperti rasa haus yang kita rasakan. Itu ungkapan metafora, mengenai orang yang menderita sesuai dengan kehendak kita.
Orang Yahudi dan pemerintah Romawi menghendaki Ia disalibkan. Dan Ia sudah menjalani itu, seperti yang mereka mau. Sebab itu seruan ‘Aku haus’ bagi Yohanes menunjukkan bahwa penyaliban Yesus itu telah sesuai dengan apa yang dirancangkan oleh mereka.
Di sisi kedua, seruan itu bermakna bahwa semua penderitaan manusia benar-benar sudah ditanggung olehNya. Ia sudah merasakan semua penderitaan yang dirasakan manusia dalam hidupNya. Dengan demikian seruan itu bermakna, Ia sudah menggantikan atau menanggung semua beban dosa umat.
Ini pun disalahpahami oleh prajurit Romawi, yang memberi kepadanya anggur asam pada sebatang hisop. Selain sebagai bentuk kesalahpahaman, tetapi sekaligus penghinaan. Di sini Yohanes meneruskan perbantahan dengan kaum gnostik yang salah memahami siapa Yesus sebenarnya.
Terlepas dari semua perbantahan dan gagal paham itu, di Kamis Putih ini, kita percaya bahwa ada orang benar yang menderita oleh sebab ketidakadilan. Namun lebih dari itu, Ia menderita sebagai wujud ketaatannya kepada Bapa-Nya.
Selamat Menjalani Kamis Putih.
Selamat mempersiapkan diri memasuki Jumat Agung.

Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum

Saturday, March 11, 2017

CERITA FIKSI ALKITAB (1)

YESUS DI KAPERNAUM
(Berdasar Yohanes 2:12)

I ~ Esok Paginya
Ilustrasi: Air berubah menjadi anggur
“Ibu, terima kasih, karena ibu dan bapak serta semua saudaraku, sudah mengikut aku dan murid-muridku ke sini, di Kapernaum”, kata Yesus kepada ibunya, Maria.
“Anakku, maafkan Ibu, jika ada sesuatu yang salah semalam”, kata Maria, Ibunda Yesus, pagi-pagi, saat ia melihat anak kesayangannya itu baru saja bangun dan hendak membasuh mukanya.
“Tidak usah dipikirkan, ibu. Aku mengerti, ibu tidak mau keluarga kita malu oleh karena tidak bisa memberi yang terbaik kepada tamu-tamu itu. Kita berdoa, semoga rumah tangga saudaraku itu bahagia, ia dan istrinya hidup selamanya, seperti ditetapkan dalam hukum Musa”, kata Yesus sambil mencium kedua pipi ibunya.
Saat hendak pergi menghampiri Johanes, Joses, Judas dan Simon, saudara-saudaranya, ibunya menarik tangannya dan berkata: “Maaf, jika memang waktumu belum tiba, seperti dikehendaki oleh Yang Maha Tinggi, anakku. Tetapi kau benar, ibu tidak mau kalau-kalau para tamu kecewa atas pelayanan kita”, terang Maria.
“Ibu, terima kasih!”, sahut Yesus
“Jangan mengatakan hal yang membuat hatiku berat, anakku”, tanya Maria
“Engkau yang kupuja, ibu. Semula aku berpikir, memang belum saatnya aku menyatakan kemuliaan Bapa, namun ketika ibu berlalu dan menghampiri para pelayan itu, lalu aku tersadar, Bapa selalu menyatakan waktuNya bagiku melalui ibu. Karena itu, aku berterima kasih, sebab engkau telah membuat aku memuliakan Bapa, semalam itu”, urai Yesus. Dan ia pun melanjutkan, “keluarga kita sudah menjamu tamu, dengan mencuci kaki mereka, seperti diatur dalam hukum adat kita. Buli-buli itu adalah buktinya, sebab semua tamu telah ada di dalam ruang pesta. Pikirku, jika mereka sudah melakukan semuanya sesuai adat kebiasaan kita, maka aku harus melakukan suatu hal yang memuliakan Bapa. Dan anggur itu, adalah tanda aku memuliakan Dia Yang Maha Tinggi”. Sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Maria, ibunya, Yesus pun berbisik “terima kasih ibu, itu semua karena dirimu. Aku mengasihimu, ibuku”.
Lalu Yesus menghampiri saudara-saudaranya yang sedang bercengkerama sambil makan buah anggur segar di pagi hari, sebelum mereka pergi ke danau mencari ikan. Maria menatap Yesus dengan wajah sayu, dan beberapa butir air bening menetes dari sudut matanya. “Sungguh, akulah yang disebut orang ‘bahagia”, bisik Maria di dalam hatinya.

II ~ Apa Yang Aneh?
“Yesus, tuan pesta semalam berkata kepada saudara kita yang menikah, bahwa ia menyediakan anggur terbaik dari awal sampai akhir pesta”, kata Joses, saudaranya.
“Para tamu pun berkata begitu”, sambung Johanes, dan Judas serta Simon, saudaranya yang lain turut mengangguk kepala tanda setuju. “Ada yang bertanya kepadaku, dari mana kami membelinya”, sambung Johanes lagi. “Apakah kau tahu, tempat orang menjual anggur yang baik? Sebab engkau saat ini kan suka berkeliling ke hampir semua pelosok tanah Yudea ini”, imbuhnya lagi.
Yesus memandang sambil tersenyum kepada saudara-saudaranya dan berkata: “Aku tidak tahu dari mana saudara kita itu mendapati anggur terbaik itu saudara-saudaraku. Tetapi yakinlah satu hal, jika Bapa hadir di dalam pesta pernikahan, dan pernikahan itu didasarkan pada Taurat, segala kelimpahan berkat akan dicurahkanNya, dan Anak Manusia akan menyatakannya pula.”
Seorang saudaranya, Joses bertanya selidik kepadanya “tetapi di antara para pelayan itu ada yang berkata, mereka mengenal orang yang menyuruh mereka mengisi penuh buli-buli itu dengan air. Jangan-jangan.....” “Kau bermimpi apa semalam Joses? Jangan-jangan kau turut mabuk dalam pesta itu”, pungkas Simon. “Tidak, seorang di antaranya berkata begitu kepadaku”, sanggah Joses. “Ah sudahlah, tidak ada tukang tenung yang diundang ke pesta keluarga kita semalam”, bantah Simon lagi.
Yesus hanya mendengar mereka bertukar kata dan menuju ke murid-muridNya yang sedang menunggunya.
“Akan ke mana kita hari ini, Guru”, tanya Petrus. “Mungkin kita beristirahat sejenak dahulu, dan kita akan ke Bait Allah, sebab aku mau mengunjungi Imam Lewi dan melihat kalau-kalau ada yang bisa aku lakukan bersama-sama dengan dia, sebelum kita berkeliling lagi”, ungkap Yesus sambil duduk dan mulai menikmati minuman dan makanan yang sudah dihidangkan saudara-saudara perempuannya kepada para muridnya itu.
Yesus melihat ada yang aneh dalam pandangan Andreas, dan berkata “aku tahu pikiran yang berkecamuk dalam hatimu, Andreas. Janganlah seperti Simon, ia sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan yang juga ia simpan, dan aku tahu, ia akan memburuku dengan pertanyaan itu ketika kita berjalan nanti”. Para murid lainnya tertawa karena tiba-tiba wajah Andreas dan Simon berubah malu.
‘Guru...”, belum lagi kata-katanya dilanjutkan, Yesus memotong dengan berkata “Simon, dari semua yang akan aku lakukan, apa yang kau lihat itu adalah salah satu tanda bahwa aku datang agar Bapa dimuliakan. Jika engkau memahaminya, ingatlah bahwa, aku akan melakukan banyak tanda, supaya BapaKu dimuliakan”. “Mari, bersiaplah, orang sudah beranjak ke pasar, dan kita harus ke rumah BapaKu”.
Yesus masuk ke dalam tenda dan berpamitan kepada ibu dan saudara-saudaranya. Maria dan Yusuf mengantarnya ke depan tenda.
“Bapa, jangan risaukan daku. Aku harus pergi, sebab BapaKu harus dimuliakan dalam semua perbuatan dan perkataanku. Aku mau, engkau dan ibu menjaga saudara-saudaraku, dan ingatkan mereka bahwa di mana aku ada, aku akan selalu mengingat mereka”. Yesus pun mencium pipi Yusuf, bapaknya itu, dan menghampiri Maria, ibunya. Namun ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menyeka pipi ibundanya itu, dan menciumnya.
Maria dan Yusuf melihatnya berlalu bersama para muridnya.
“Istriku, aku merasa, tugas kita sudah dijalankan dengan baik. Kini permuliakanlah Yang Maha Tinggi bersama-sama dengan aku, dan biarlah namaNya dimuliakan atas segala perbuatan dan perkataan, Yesus, sebab begitulah yang difirmankanNya bagi kita”, kata Yusuf untuk meneguhkan hati Maria, istrinya.
Sejak hari itu, Maria dan Yusuf sesekali hanya berjumpa dengan Yesus. Lebih banyak mereka hanya mendengar kabar tentang seluruh karyaNya di Nazareth dan seluruh tanah Yudea.
Hari itu, di Kapernaum, segala rahasia pesta pernikahan saudara Yesus tersimpan lagi dalam hati Maria, ibundanya, seperti sediakala.

[Wisma PGI, Jakarta. Sebuah karya untuk mensyukuri 10 tahun Penahbisanku sebagai Pendeta GPM, 11 Maret 2007 yang lalu. Saat itu aku pernah berkata kepada dia yang kini telah menjadi istriku, Pdt. Desembrina Loura Aipassa, sebuah kalimat yang (minta maaf) akan menjadi rahasia pernikahan kami]

Pendeta Elifas Tomix Maspaitella

Friday, March 10, 2017





LHO, MENULIS KOK DI TANAH?
Debat Hukum dalam Yohanes 8:1-11

Ulasan berikut ini diambil dari akun facebook (fb) beta, saat mem-publish sebuah artikel di group AMGPM, tanggal 28 Januari 2011.




Koruptor! ‘Proyek Gagal’ TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Banyak barang elektronik yang adalah hasil dari ‘proyek gagal’. Barang itu tidak memadai dalam menjalankan fungsi sebagaimana ‘blue print’-nya. Sama dengan produk Jeans. Setelah disortir jika ada yang belum ditempelkan label, maka langsung dipisahkan dan dijual di pasar gelap. Proyek gagal itu biasa dijual dengan harga miring alias murah. Meski begitu, banyak orang yang suka membeli proyek gagal. Selain ternyata bagus-bagus, murah dan bisa dijangkau dengan mudah, termasuk oleh mereka ada dalam kelas menengah ke bawah. Apalagi jika proyek gagal itu dijual di pasar ‘Cakbo’ alias Cakar [dan] bongkar –yang memang hanya dikunjungi orang-orang miskin.
Kesan disukai tadi sama dengan sifat gamang sebagian besar orang di Republik ‘Gagal’ ini melakukan tindakan korupsi. Mulai dari pejabat golongan III sekelas Gayus Tambunan sampai pada Menteri dan Anggota DPR-RI. Ternyata kegamangan itu menjadi sebentuk perilaku karena sifatnya yang juga gampang. Gampang dilakukan, gampang juga menghindar hukuman. Sudah dihukum, toh gampang juga jalan-jalan dan menyuap dalam status terdakwa. Gamang + gampang = gancang [suka melakukan suatu hal sebagai hobi/habitus].
Manusia yang gancang korupsi mengalami kerusakan fungsi-fungsi asalinya. Ada yang macet di level kesadaran dan pengenalan dirinya. Ada jaringan yang tersumbat di level kepercayaannya, sehingga mereka terlalu percaya diri, mampu dan suka mencuri dan merampok milik orang lain secara ‘bertanggungjawab’: karena diketahui banyak orang. Kita tidak sedang menyoal tidak ada rasa malu lagi dalam dirinya. Kita sedang meresahkan sifat kebinatangan yang masih ternyata mengendap di level kesadaran bawahnya. Rasa rakus dan hasrat merampas begitu kuat sehingga menepikan akhlak dan kesadaran bathinnya.
Ternyata ada, malah banyak sekali makhluk manusia seperti itu di Indonesia. Jangankan hukum positif yang berlaku di bangsa dan negara ini, larangan jangan mencuri, jangan merampok, jangan mengingini barang sesamamu yang diajarakan agama juga tidak mempan bagi mereka. Mereka adalah manusia tetapi perilaku kebinatangan lebih dominan. Mereka hidup dalam masyarakat manusia tetapi memandang sesamanya sebagai lawan yang harus disikat, dirampok. Perilaku korupsi dilakukan secara sadar dan itu lebih berbahaya dari membunuh.
Bukan hanya para koruptor, para penegak hukum dan aparatur negara yang mudah dan suka terima suap dan memanipulasi fakta dan aturan hukum demi melindungi koruptor adalah proyek gagal TUHAN. Hukum dibuat untuk dilanggar oleh penegaknya sendiri. Hukum di tangan penegak yang mata sebelah kanannya terbuka sama dengan tangan kanannya yang memegang pundi-pundi. Mata kirinya tertutup dan tangan kirinya memegang pedang dan palu sekaligus. Akibatnya terhadap para koruptor, mata mereka melihat isi pundi-pundi; dan ibu Mina yang mengambil tiga buah kakau mata mereka tertutup lalu menebas pedang dan mengetok palu vonis.
Kenyataan seperti itu sudah menjadi fakta sosial dalam budaya penegakan hukum di Indonesia. Jika ada seseorang yang melanggar hukum, dengan melihat status sosialnya kita sudah bisa menduga sikap penegak hukum terhadapnya. Apalagi yang mau disesali? Masyarakat kecil dibelajarkan untuk terpaksa hidup sambil menerima nasib dan takdir bikinan para penguasa. [*]

about 2 months ago · View Doc · Like ·  ·
Unsubscribe

Anamofa Jusnick, Yonas Leleury, Gerald Akerina and 2 others like this.

Rudi Fofid Pelacur dan preman, dua kelompok "profesi" yang hina dina. Mereka kerap dianggap sampah. Tapi kelak jika bertemu mereka, saya ingin membungkukkan badan, memberi hormat atas kejujuran mereka menyatakan eksistensi sebagai orang yang kalah t...See More
February 4 at 10:27am · Like

Elifas Tomix Maspaitella Itu benar bung. Nanti besok beta posting mereka sebagai 'Proyek Tuhan yang kita lupakan'. hahahaha
February 4 at 10:29am · Like

Weslly Johannes sadap bu e... akang bacubi ! padis2 !!! Beta tunggu "proyek tuhan yang lain".
February 4 at 10:35am · Like

Ulis Patty kapan dan di tingkat mana pengaruh korupsi menyerbu kehidupan pribadi, masyarakat dan umum?
February 4 at 2:01pm · Like

Victor Touwely jelas bung.. hukum di desain sedemikian rupa oleh orang-orang "munafik" untuk kepentingan dorang. sedang justru menjadi "momok" untuk kaum miskin dan tertinggal untuk lebih di tindas 'tertindas'.
February 4 at 8:59pm · Like

Peter Robert korusi ada diman-mana dan meresahkan..... akibatnya banyak bagi anak dan keluarga.... heheheeee jangan marah tulis disini...
February 4 at 11:39pm · Like

Anamofa Jusnick Topik menarik dan ditulis dengan bahasa yang sangat .. sangat .. santun. Perangi korupsi dari diri sendiri, dari dalam keluarga sendiri. Kalau ada diri, oom, tante, keluarga, kenalan yang disinyalir melakukan itu, bilang dong "stop samua mulai dari sakarang jua".
February 6 at 2:33pm · Like

Ulis Patty apaka orang tatua, yang bilang beragama didik anak anak untuk ...?apaka keluarga famili yang beriman ajar anak anak untuk..? apaka negri yang di sebut kristen ajar anak untuk...? , apaka pendeta ajar anak anak untuk koruspi pancuri, kolusi dan nepotisme ? Kalau jawab dengan tidak? syapa jang tangung jawab sampai korupsi bisa berakar dalam hidup, orang kristen sehari hari? angan cuma bilang di nanti
February 6 at 3:35pm · Like

Siake Manue guru2 skola minggu deng tunas mangkali musti ajar anana seng bole makang makanang korupsi, nanti garser seng batul hehehe
February 8 at 10:58am · Like ·  1 person

Beta mengutip artikel itu dan percakapan sesama rekan fb untuk melihat cerita dalam teks kita ini dengan fokus pada mekanisme hukum yang dihadapkan penginjil dalam cerita tersebut.

Komunitas Belajar Yesus
Teks-teks PB menggambarkan bahwa perlawanan terhadap Yesus dan karya kerasulan lebih banyak datang dari kelompok menengah ke atas; mulai dari kelompok yang berkuasa, elite agama, masyarakat yang mapan secara ekonomi. Sedangkan masyarakat kelas bawah, sampai pada orang sakit, pekerja seks komersil, merupakan kelompok loyal secara sosial dan religius terhadap Yesus.
Kelas elite sosial-ekonomi dan religius merupakan kelompok yang digambarkan memiliki hubungan kontroversial dengan Yesus. Orang kaya, Farisi, Saduki, Ahli-ahli Taurat, pegawai kekaisaran, adalah kelompok yang mengerumuni Yesus tetapi dengan motiv yang berbeda dari kelas ‘elite’ (ekonomi sulit).
Kelas menengah ekonomi seperti Zakheus menjadi salah seorang loyalist didahului oleh inisiatifnya sendiri untuk bertobat (bnd. tindakannya memanjat pohon ara, Luk.19:4; bnd. juga tindakan Matius pemungut cukai menjawab ajakan Yesus dengan meninggalkan pekerjaannya –lht. Mat.9:9-13). Bagi penulis Injil Lukas, loyalist seperti Zakheus adalah cerminan dari realitas sosial komunitas kristen perdana, yakni kelas ekonomi menengah, termasuk tuan-tuan tanah yang mulai tertarik dengan kelompok kristen itu, dan menjadi bagian darinya. Mereka ini yang menjual tanah-tanah mereka dan hasilnya diperuntukkan kepada orang-orang miskin(Kisah Para Rasul 4:34). Gambaran lain dari sikap kelas ekonomi menengah ada pada Ananias dan Safira (KPR.5:1-11), di mana penulis memperlihatkan disorientasi moral-etik sebagian dari kalangan ekonomi menengah.
Lazarus merupakan orang miskin yang cukup populer dalam injil Lukas (Luk.16:19-31), tetapi telah diceritakan secara mistis oleh penulis injil, berbeda dengan Yohanes yang secara gamblang menceritakan Lazarus dari perspektif sosial (Yoh.11:1-44).
Selain itu orang-orang miskin, orang sakit, termasuk kusta, perempuan pezinah, dan mereka yang dianggap kafir dan tidak selamat (komunitas Samaria) merupakan kelompok sosial yang terlibat dalam interaksi keseharian Yesus serta menjadi loyalist-loyalist baru ke dalam kelompok komunitas belajar Yesus. Di situ tampak orientasi keseharian Yesus, guru Yahudi, yang berbeda dari guru-guru Yahudi lainnya. Secara sosiologis komunitas guru-guru Yahudi disebut dalam istilah paideia, suatu komunitas sosio-genealogis yang eksklusif yaitu komunitas orang-orang Yahudi yang memiliki pertalian keleluhuran yang sama (ancestral relationship). Di dalam arti itu, Yesus adalah bagian dari paideia dengan orang-orang Yahudi lainnya, sebab Ia memiliki garis keturunan/keleluhuran Yahudi yang jelas. Tetapi mengapa Ia berbeda?
Paideia juga lebih merujuk kepada orang-orang yang sepaham atau menganut suatu aliran pemikiran yang sama. Dalam arti ini Yesus dan murid-muridnya atau komunitas belajarnya adalah suatu paideia yang berbeda dari paidea sosio-genealogis tadi. Paideia dalam arti ini sering terjebak dalam disharmoni seperti yang dilukiskan Paulus dalam 1 Korintus 3:1-9.
Cara Yesus memilih komunitas belajar berbeda dari cara yang lazim dan ‘konstitusional’ seperti dianut guru-guru Yahudi. Karena itu sering muncul pertentangan di antara mereka, dan menjadi salah satu faktor kecemburuan terhadap Yesus. Padahal dari sisi pengajaran, mereka mereferensi dokumen dan sumber yang sama. Perbedaannya hanya pada sikap etis, yang meliputi carapandang (worldview) dan hermeneutika di antara mereka. Injil sering menunjukkan hermeneutika Yesus terhadap hukum musa dan nubuat nabi sebagai yang menjurus kepada dirinya. Penginjil membingkai identitas Yesus dengan gelar-gelar kemesiasan seperti Anak Allah, atau dengan fungsi-fungsi keilahian yakni mengampuni dosa seseorang, padahal hal itu ditolak oleh guru-guru Yahudi.
Di masa kemudian, atau dua abad setelah masa Yesus (Jesus time), paideia itu dimaknai sebagai ekklesia tetapi dalam formasi sosial yang baru dan lebih terbuka, tidak sebatas pada relasi-relasi genealogis. Malah orang-orang yang setiap waktu mengikut Yesus, dalam cerita injil, dimengerti secara baru pula dengan menonjolkan corak organisasi, sehingga tidak lagi dilihat sebagai sebuah kerumunan (crowd) yang datang menyaksikan Yesus menyembuhkan orang sakit dan lainnya. Ekklesia sudah mengalami perubahan secara organisatoris. Sebab itu para rasul dan Paulus menjadi semacam ‘pemimpin’ organisasi ekklesia.
Dari sisi pengajaran, topik tentang Hukum Musa yang paling sering menjadi sumber debat. Menariknya ialah guru-guru Yahudi berusaha menggiring Yesus ke dalam semacam ‘hermeneutic trap’ (perangkap hermeneutika), dengan tendensi bahwa Ia akan memberi tafsir yang bertentangan dengan hukum Musa. Hal yang mengesankan dalam dikotomi itu ialah Yesus selalu menjawab soalan mereka dengan perumpamaan. Sebuah cara baru yang memerangkapkan guru-guru Yahudi itu sendiri ke dalam ‘hermeneutic trap’ mereka. Cerita yang akan kita coba maknai ini adalah salah satu cerita tentang ‘hermeneutic trap’ tersebut.

Lagi-lagi Pezinah
Hukum-hukum kesucian (holiness code) dan hukum perjanjian (covenant code) selalu dijadikan ‘hermeneutic trap’ para guru Yahudi terhadap Yesus. Cerita dalam Yoh.8:1-11terjadi dalam situasi ketika Ahli Taurat dan orang-orang Farisi menghadapkan seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah.
Mereka mengutip hukum Musa seperti dalam Imamat 20:10, dan Ulangan 22:22-24 sebagai pasal hukum untuk menghukum perempuan yang tertangkap basah berzinah. Penting disimak dahulu bunyi hukum tersebut:
Versi Imamat 20:10:
Bila seorang laki-laki kedapatan berzinah dengan istriorang lain, yakni berzinah dengan istri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.

Versi Ulangan 22:22-24:
Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat dari antara orang Israel.
Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan –jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya manusia. Demikian harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Kutipan ini menjadi alasan kuat dari ‘hermeneutic trap’ yang dimaksudkan tadi. Tuntutan mereka dalam cerita Injil Yohanes menjadi bukti bahwa sangat gampang menjadikan perempuan sebagai obyek viktimisasi (korban) dalam patriakhi Yahudi.
Tampak pula adanya disorientasi etika dan hukum dalam praksis berpatokan dari tindakan Ahli Taurat dan orang Farisi yang membawa perempuan yang tertangkap basah berzinah kepada Yesus. Hilangnyanya laki-laki yang berzinah dengan dia membuktikan bahwa patriakhi ini sangat arogan, tetapi disorientasi etik membuat banyak orang cenderung berpihak pada mereka yang kuat dan mengorbankan mereka yang lemah. Padahal cerita-cerita injil seperti ini menarasikan ternyata sangat gampang orang-orang yang berzinah tertangkap basah.
Beta lalu menduga kebiasaan sweeping tempat makziat, hotel-hotel atau penginapan yang sering terjadi di Indonesia dahulu terjadi juga di masa Yesus. Di Indonesia juga begitu. Laki-laki ‘dapat meloloskan diri’, dan yang digiring dan diangkut dalam kendaraan petugas adalah kaum perempuan. Lihat saja di layar TV, sorot kamera mengarah kepada mereka yang tak berdaya menutup wajahnya dengan tangan, rambut, dompet, atau bersembunyi di balik badan petugas.
Dalam patriakhi Indonesia, laki-laki sering juga hilangnya dari penggebrekan tempat makziat itu. Ada apa dengan patriakhi di dunia ini? Sebab itu sudah bisa dipastikan, hukum dapat juga bernuansa dan bertendensi patriakhal. Penyelesaian masalah pelecehan seksual pun sering bertendensi patriakhal, dalam arti tidak usah sampai ke meja hijau. Beta tidak sedang bermaksud mengatakan bahwa mari kita ramai-ramai masukkan orang-orang seperti itu ke dalam penjara, melainkan sejauhmana keadilan ditegakan secara adil dan merata. Sejauhmana hukum itu ‘membanjiri’ semua orang secara sama.

Ah, Menulis di Tanah Saja!
Tindakan Yesus menulis di tanah menimbulkan asumsi bahwa Ia sedang mempertanyakan sejauhmana hukum ‘membanjiri’ semua orang secara sama.
Baiklah dimaknai bahwa Ahli Taurat dan orang Farisi gencar melakukan apa saja agar bisa menemukan kesalahan Yesus. Bagi mereka selain Ia menyatakan diri sebagai TUHAN, kesalahan vatal yang bisa menjeratnya kedalam hukum adalah ketika Ia merombak hukum Musa. Tetapi Yohanes menampilkan Yesus sebagai tokoh ‘tanpa salah’, sehingga tindakan Yesus menulis di tanah merupakan cara Yesus mengkritik penyimpangan hukum Musa yang sedang terjadi atau dilakukan Ahli Tauran dan orang Farisi. 
Dengan membawa perempuan yang tertangkap basah berzinah, dan hendak menghukum dia sampai mati, mereka telah menyimpang dari hukum Musa, padahal mereka menghadapkan perempuan itu kepada Yesus dengan referensi hukum Musa itu pula.
Ada dua hal yang bisa ditafsir dari tindakan Yesus membungkuk dan menulis di tanah. Pertama, Yesus sedang menyerang guru-guru palsu (false teacher) yang datang kepadanya sambil mempertontonkan ajaran palsu mereka atas Taurat Musa. Hubungan kontroversial Yesus dengan guru-guru Yahudi dalam kasus-kasus seperti ini perlu dimaknai dalam konteks itu. Ajaran-ajaran taurat diselewengkan atas nama kepentingan mereka, dan Yesus dijebak dalam ‘hermeneutic trap’ seakan-akan Yesus akan memberikan tafsir baru yang bertentangan terhadap taurat Musa.
Inti dari pesan ini adalah bahwa kebenaran TUHAN sedang dikorupsi habis-habisan oleh guru-guru palsu. Ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dibiarkan terjadi begitu saja. Maka tindakan Yesus membungkuk dan menulis di tanah merupakan refleksi dari serangan ironi kepada mereka. Beta percaya orang banyak yang hadir hari itu ketika melihat tindakan Yesus yang tidak meresponi Ahli Taurat dan orang Farisi akan mudah memahami pesan di balik tindakan Yesus.
Kedua, dimensi humaniterian dari hukum yang hendak ditonjolkan dari tindakan Yesus. Tepatlah kata Ignatius, bapa gereja, dalam risalahnya bahwa ‘tindakan Yesus perlu dlihat dalam esensi kemanusiaannya dan kemanusiaan manusia, ketimbang dibawa ke dalam dimensi keilahian yang bisa saja bersifat spekulatif’ (lht. Wagner, 1994:1146-151). Hilangnya laki-laki pezinah dari kasus tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa keadilan sebagai esensi dari hukum Musa dipinggirkan oleh orang Farisi dan Ahli Taurat. Hukum telah ‘disetel’ (baca.diatur/direkayasa) untuk kepentingan patriakhi, tetapi agenda terselubung dari hilangnya laki-laki pezinah tersebut yakni memerangkapkan Yesus ke dalam tafsir yang berbeda, sebagai indikasi kesalahannya.
Ketiga, Yohanes, juga Lukas, menggambarkan Yesus sebagai sosok yang tenang. Bart Ehrman menulis bahwa, ‘tidak seperti Markus, Injil Lukas tidak pernah menyatakan bahwa Yesus menjadi marah. Malah, di sini Yesus tidak pernah tampak terganggu sama sekali. Alih-alih Yesus yang marah, Lukas menggambarkan Yesus yang tenang’ (Ehrman, 2006, ed.terj).
Ketenangan Yesus mengandung pesan bahwa Ia tidak mau tersangkut dengan perkara ketidakadilan yang sedang dipertontonkan Ahli Taurat dan orang Farisi di antara orang banyak yang sedang bersama-sama dengan dia.
Dari situ komentar Yesus: ‘barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’ (Yoh.8:7), menjadi bukti bahwa Ia tidak masuk dalam kolaborasi ketidakadilan Yahudi, sebab kolaborasi ketidakadilan di mana-mana selalu mengkambinghitamkan satu orang untuk menyelamatkan muka orang lain. Kolaborasi ketidakadilan tidak mengorbankan rumusan pasal hukum sebaliknya mengorbankan manusia. Realitas ini sudah sangat tua dan masih ada sampai kini.
Perempuan pezinah itu menjadi korban di dalam kolaborasi ketidakadilan tadi. Makna keempat dari tindakan Yesus itu adalah pemulihan hak perempuan pezinah yang diperlakukan tidak adil oleh masyarakat. Dialognya menjadi penting disimak:
Setelah orang-orang yang merasa [pernah] berdosa itu pergi, tinggal Yesus sendiri bersama dengan perempuan itu, lalu Yesus berhenti menulis di tanah dan bangkit berdiri lalu berkata kepadanya: ‘Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?’  Perempuan pezinah itu menjawab: ‘Tidak ada Tuhan’. Yesus pun berkata: ‘Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang’ (adaptasi Yoh.8:10-11).
Dialog ini menegaskan bahwa keadilan seperti ditegaskan dalam hukum Musa telah diabaikan. Logika hukumnya jelas. Jika ada perempuan pezinah yang tertangkap basah, maka tentu bersama dengan laki-laki pezinah. Hukum Musa menegaskan mereka berdua harus mendapat hukuman yang sama. Logika hukum ini tidak ada dalam praksis hukum. Apa yang dewasa ini dibahasakan budaya hukum menjadi suatu hal yang spekulatif. Sistem dan materi hukum sudah baik dan adil, budaya hukum yang selalu meminggirkan sistem dan materi itu.
Budaya hukum menjadi rancu dan bergantung pada dua aspek: tafsir hukum di satu sisi dan tafsir kepentingan di sisi lainnya. Kedua sisi ini dipraktekkan oleh manusia (baca. penegak hukum). Ini yang terjadi dalam cerita Yohanes, dan sering juga terjadi dalam dunia kita dewasa ini. Skandal hukum di negeri kita ini telah berhasil menyembunyikan aktor utama pelanggaran hukum dalam berbagai kasus.
‘Kaum imun’ itu tidak bisa dihukum, bahkan jika dipaksa kekuatan sipil, mereka akan terus disembunyikan. Malah di negeri kita ‘kaum imun’ menjadi semacam ‘community-maker’ yang berhasil menciptakan orang-orang yang bersedia memunculkan letupan-letupan tertentu ketika kasus mereka sedang diperkarakan baik di lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) maupun oleh lembaga legislatif.
Komunitas mereka itu menyebar di semua segmen sosial, ada di pasar, di kantor, di lembaga hukum; dan memiliki peran sosial yang bervariasi, semisal preman, pegawai, pengusaha, penegak hukum sampai pada politisi. Komunitas itu yang membuat kolaborasi ketidakadilan tetap hidup dan semakin tua di dunia para manusia ini.(*)



TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...