(Yohanes
19:28-30)
Oleh.
Elifas Tomix Maspaitella
Gagal paham adalah sebuah fenomena di
dalam tradisi ilmu dan sosial. Dalam tradisi ilmu, gagal paham menjadi petanda
pengolahan rasio yang menjurus pada absurdisitas (unreasonable). Penolakan terhadap fakta/empiri yang menjadi jurang
gagal paham itu. Ketika empiri ditolak maka orang akan berkutat pada dunia
maya, suatu khayalan buta di luar diri dan lingkungan di mana ia ada. Para
ilmuan sejarah selalu menghindari hal ini dengan menunjukkan sekumpulan data
historis, sebab jika terjadi gagal paham dalam ilmu sejarah, sudah tentu narasi
yang terbangun adalah fiktif.
Dalam tradisi sosial, gagal paham
ditandai oleh penolakan atau sikap tidak mau menerima (refusing) suatu fakta atau seseorang. Fenomena ini biasa terjadi
pada para deviant~yaitu orang yang
tidak mau hidup menurut aturan-aturan normal, dan memaksakan kehendaknya
sebagai sebuah standard yang ternyata bertolak belakang dengan apa yang menjadi
kehendak umum. Kaum deviant tidak
saja mengucilkan dirinya, tetapi menganggap orang lain tidak ada.
Pada kisah penyaliban Yesus,
sebagaimana diceritakan dalam Injil Yohanes, bentuk gagal paham itu pun tampak.
Sejak awal (Yoh.1:1,14), penginjil telah berusaha menjelaskan siapa Yesus yang
ditolak oleh kaum gnostik. Hal ‘Firman yang menjadi manusia dan diam di antara
kita’, merupakan klarifikasi Yohanes tentang TUHAN yang berbicara langsung
kepada manusia, sebab Ia benar-benar menjadi manusia. Namun ternyata bentuk gagal
paham itu terus mewarnai debat Yohanes dan kaum gnostik di sepanjang injilnya.
Sampai pada penyaliban Yesus, di atas
kayu salib, Yesus berseru: ‘ ‘Aku haus’ (Yoh. 19:28). Seruan itu tidak berarti
Yesus haus seperti rasa haus yang kita rasakan. Itu ungkapan metafora, mengenai
orang yang menderita sesuai dengan kehendak kita.
Orang Yahudi dan pemerintah Romawi
menghendaki Ia disalibkan. Dan Ia sudah menjalani itu, seperti yang mereka mau.
Sebab itu seruan ‘Aku haus’ bagi Yohanes menunjukkan bahwa penyaliban Yesus itu
telah sesuai dengan apa yang dirancangkan oleh mereka.
Di sisi kedua, seruan itu bermakna
bahwa semua penderitaan manusia benar-benar sudah ditanggung olehNya. Ia sudah
merasakan semua penderitaan yang dirasakan manusia dalam hidupNya. Dengan
demikian seruan itu bermakna, Ia sudah menggantikan atau menanggung semua beban
dosa umat.
Ini pun disalahpahami oleh prajurit
Romawi, yang memberi kepadanya anggur asam pada sebatang hisop. Selain sebagai
bentuk kesalahpahaman, tetapi sekaligus penghinaan. Di sini Yohanes meneruskan
perbantahan dengan kaum gnostik yang salah memahami siapa Yesus sebenarnya.
Terlepas dari semua perbantahan dan
gagal paham itu, di Kamis Putih ini, kita percaya bahwa ada orang benar yang
menderita oleh sebab ketidakadilan. Namun lebih dari itu, Ia menderita sebagai
wujud ketaatannya kepada Bapa-Nya.
Selamat Menjalani Kamis Putih.
Selamat mempersiapkan diri memasuki
Jumat Agung.
Nos Autem Praedicamus Christum
Crucifixum
1 comment:
Post a Comment