Cerita Orang Basudara Dalam
Praksis Natal
Oleh. Elifas Tomix
Maspaitella
1. AGAMA: SEMANTIK PEMBEDA(?)
Apakah agama adalah pembeda? Dalam Sosiologi, agama adalahbentuk dan
hasil ekspresi kebudayaan yang dibentuk (to
be created) seturut kesadaran manusia. Manusia sebagai pencipta agama
mengisi ke dalam ‘bakul’ agama itu segala seautu yang berkembang menjadi ‘the
cult, creed and community’ dari apa yang dinamakan agama. Proses berbudaya
membuat manusia terus mengkonstruksi agama menjadi beragam dan pembelajaran
terhadapnya menjadikan agama itu masuk ke wilayah sakral. Sampai pada proses
itu, agama sudah dibawake ranah yang lebih abstrak, dan diperangkapkan sebagai
hanya melulu pengajaran mengenai Tuhan. Lalu muncullah beberapa item kecil dari
agama, antara lain dogma. Dengan sendirinya agama menjadi semakin legalistik.
Sejauh agama itu beroperasi dalam relasi kemanusiaan dan menjadi
setumpuk ekspresi berbudaya manusia, maka agama menjadi tali pengikat individu
atau transindividu. Namun diakui penafsiran legalistik terhadap agama membuat
agama menjadi tanda pembeda yang konstitutif. Mungkin ini yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu ‘lubang hitam agama’ ~meminjam istilah Prof.
Sumanto Al Qurtuby.
2. SAAT DOKTRIN DIKRITIK
BUDAYA POPULER
Budaya populer membangun matra baru dalam komunikasi antarwarga.
Berkembanglah media sosial (medsos) dan parade spanduk serta baligo. Kartu
Ucapan Selamat Natal sudah mulai berkurang konsumennya. Masyarakat dari
berbagai lapisan semakin kreatif mengoperasikan photoshop dengan aneka design
grafis yang indah. Hasilnya lebih cepat dipublikasi melalui medsos. Demikian
pula perilaku selfie, telah menjadi semacam perilaku massal yang menjangkiti
semua orang. Mereka lebih suka merekayasa fotonya dengan deret kalimat yang
menyentuh kalbu. Masih via medsos, orang suka menghitung berapa banyak ‘like’
dan ‘comment’ terhadap postingan atau updating statusnya.
Ketika budaya massa sudah mengalami lompatan yang sangat cepat dan
meluas, agama merasa tergerus. Kalangan fundamentalis mengumbar tuduhan bahwa
medos telah menjelama menjadi ‘agama baru’, dan gadget telah menjadi budaya
material berkekuatan demonik. Padahal perilaku beragama manusia semakin jauh
meninggalkan habitus atau tempat hidupnya. Manusia yang menyebut diri beragama
itu seakan hidup di alam transisional antara dunia dan surga. Identitas mereka
pun ada dalam transisi antara menjadi manusia dan memaksa diri menjadi
malaikat. Agama meninggalkan manusia yang menciptakannya. Agama menjadi
teraliansi dari relasi antarwarga.
Orang beragama lebih suka membangun pagar (baca. dogma) untuk
membentengi agamanya, dan mengambil ‘pentungan’ (baca. fatwa, malah senjata)
untuk mengejar orang yang dinilai mau coba-coba ‘lompat pagar’ (baca.tidak taat
pada dogma/fatwa). Bahkan ketika negara berusaha mengontrol hidup beragama
dengan aneka kosmetik dan asesories (baca. UU, Perda, SKB 3 Menteri, dll),
kecerdasan dan ketegasan sikap pemerintah terhadap pelanggaran hukum semakin
menjadi-jadi. Itu yang membuat banyak
isu kemanusiaan lepas dari kepekaan keagamaan masyarakat.
Larangan menyampaikan Selamat Hari Natal kepada umat Kristen menjadi
salah satu fenomena beragama di Indonesia sejak tiga tahun belakangan ini.
Majelis Ulama Indonesia lagi-lagi kelihatan sulit bersikap sebagai penjaga
dogma. Karena mereka telah terjebak dalam isu lama mengenai ‘penolakan’
terhadap pluralisme, namun mengakui kemajemukan, dlsb.
Di antara realitas kemanusiaan dan alienasi agama dari relasi
antarwarga itu, umat beragama melakukan kritik pedas terhadap para penjaga
agama melalui medsos dan perjumpaan langsung dalam ceremoni persaudaraan
antarumat beragama yang akbar.
3. UMAT KRITIK PENJAGA DOGMA
Di wall facebook, terpampang beberapa orang membentang spanduk
bertuliskan: HARAM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL. Tulisan itu ditujukan kepada umat
Muslim di Indonesia, dengan maksud tidak boleh mengucapkan selamat natal kepada
saudaranya yang Kristen. Masih dari medsos, beberapa waktu lalu, ada diskusi
tentang ‘larangan memakai topi Santa Claus’ yang dikeluarkan justru oleh
Menteri Agama RI, sebagai representasi negara, padahal di Istana Negara,
terdapat pohon natal yang germerlap lampunya.
Namun, masih juga dari medsos, warga muslim di luar negeri
berpartisipasi aktif dalam memeriahkan natal. Artinya bagi mereka, natal adalah
ceremony dunia, seperti halnya pula hari raya keagamaan lainnya. Di beberapa
Masjid di Luar Negeri terlihat pohon natal yang tinggi menjulang dengan lampu
aneka warna.
Masih dari medsos, anak piara saya, Laily Fitri, justru memposting foto
lama, saat ia beribadah bersama dengan semua Jemaat GPM Rumahtiga dan Jemaat
GPM Silo di dalam gereja, dan selfie bersama Pendeta dan Majelis Jemaat di
depan mimbar. Tampak para pendeta dan majelis jemaat mengenakan pakaian
jabatan/liturgis, dan Laily tetap dengan jilbabnya, dan itu membuatnya menjadi
perempuan Muslim yang cantik di dalam Gereja.
Di sisi Kota Ambon, tepatnya di Jalan Raya Pattimura, di pelataran
gereja Maranatha, diselenggarakan Christmas Carols (21-22 Desember 2015), dan
ribuan pengisi acara mementaskan karya mereka di panggung terbuka tanpa karcis
itu. Sanggar Kayla, adalah sanggar dari basudara Muslim yang turut memeriahkan
Christmas Carols. Mereka mementaskan seni bernuansa Islam di panggung Christmas
Carols. Sungguh mereka membawa wajah Islam yang sesungguhnya ke panggung
Christmas Carols itu. Mereka bukan tukang sulap, tetapi mereka adalah
manusia-manusia sejati, yang pandai mengikuti irama, bersuara merdu, pemain musiknya
pun sangat mahir, dan jadilah panggung itu orkestra kehidupan orang basudara.
Sebuah kritik dalam realitas agama yang ironis di Indonesia. Partisipasi umat
Hindu dan Buddha pun membuat natal memang suatu berkat bagi kemanusiaan.
Jika ditelusuri alasan-alasan terdasar mengapa realitas seperti itu
terjadi, jawabannya adalah karena kemanusiaan dan ruang kesadaran kita tidak
bisa diperangkapkan dalam penjara dogma yang membuat kita teralianasi dari
sahabat, saudara, dan orang tua kita. Umat beragama bukanlah entitas surgawi.
Seperti itu pula harusnya pimpinan umat beragama sadar bahwa mereka juga bukan
malaikat penjaga istana agama. Kita sama, yakni manusia yang terus menciptakan
agama menjadi agama yang semakin manusiawi.
Dalam perspektif kebudayaan Maluku, realitas itu adalah realitas yang
jauh melebihi sebaris kata toleransi. Pela dan gandong adalah pengakuan
(afirmasi) budaya bahwa Salam dan Sarane di Maluku sedarah, segandong
(sekandung), dan itu pula yang membuat orang Maluku mengafirmasi siapa saja
dari luar Maluku sebagai saudaranya. Afirmasi kebudayaan itu adalah ajaran
agama pokok yang universal di Maluku. Menghilangkan afirmasi itu membuat Islam
dan Kristen semakin jauh dari ruang hidupnya. Salam dan Sarane adalah hasil
re-created (baca. kontekstualisasi) orang Maluku terhadap ide beragama dari
Arab dan Eropa. Kontekstualisasi itu dipintal bukan dari cerita Kitab Suci,
tetapi cerita perpisahan nenek moyang bahkan perang antara para Kapitan
(Panglima Perang) yang kemudian melegalkan Pela dan Gandong.
Yang membuat Natal tahun 2015 menjadi indah ialah, natal ini dirayakan
bersama basudara Salam Nusantara merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, 24
Desember 2015. Dua momentum beragama berlangsung dalam waktu yang sama. Namun sejatinya
ialah masyarakat Salam Sarane, Hindu, Buddha, selalu bertemu setiap waktu. Itu yang
harus dirayakan.
Mari kita jadikan Natal sebagai ‘bakul’ kecil yang harus kita isi dalam
‘atiting’ agama Maluku yang besar.
Selamat Natal basudara Salam di Nusantara!
Rumahtiga, 23 Desember 2015
1 comment:
Post a Comment