Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Banyak barang elektronik yang adalah hasil dari ‘proyek gagal’. Barang itu tidak memadai dalam menjalankan fungsi sebagaimana ‘blue print’-nya. Sama dengan produk Jeans. Setelah disortir jika ada yang belum ditempelkan label, maka langsung dipisahkan dan dijual di pasar gelap. Proyek gagal itu biasa dijual dengan harga miring alias murah. Meski begitu, banyak orang yang suka membeli proyek gagal. Selain ternyata bagus-bagus, murah dan bisa dijangkau dengan mudah, termasuk oleh mereka ada dalam kelas menengah ke bawah. Apalagi jika proyek gagal itu dijual di pasar ‘Cakbo’ alias Cakar [dan] bongkar –yang memang hanya dikunjungi orang-orang miskin.
Kesan disukai tadi sama dengan sifat gamang sebagian besar orang di Republik ‘Gagal’ ini melakukan tindakan korupsi. Mulai dari pejabat golongan III sekelas Gayus Tambunan sampai pada Menteri dan Anggota DPR-RI. Ternyata kegamangan itu menjadi sebentuk perilaku karena sifatnya yang juga gampang. Gampang dilakukan, gampang juga menghindar hukuman. Sudah dihukum, toh gampang juga jalan-jalan dan menyuap dalam status terdakwa. Gamang + gampang = gancang [suka melakukan suatu hal sebagai hobi/habitus].
Manusia yang gancang korupsi mengalami kerusakan fungsi-fungsi asalinya. Ada yang macet di level kesadaran dan pengenalan dirinya. Ada jaringan yang tersumbat di level kepercayaannya, sehingga mereka terlalu percaya diri, mampu dan suka mencuri dan merampok milik orang lain secara ‘bertanggungjawab’: karena diketahui banyak orang. Kita tidak sedang menyoal tidak ada rasa malu lagi dalam dirinya. Kita sedang meresahkan sifat kebinatangan yang masih ternyata mengendap di level kesadaran bawahnya. Rasa rakus dan hasrat merampas begitu kuat sehingga menepikan akhlak dan kesadaran bathinnya.
Ternyata ada, malah banyak sekali makhluk manusia seperti itu di Indonesia. Jangankan hukum positif yang berlaku di bangsa dan negara ini, larangan jangan mencuri, jangan merampok, jangan mengingini barang sesamamu yang diajarakan agama juga tidak mempan bagi mereka. Mereka adalah manusia tetapi perilaku kebinatangan lebih dominan. Mereka hidup dalam masyarakat manusia tetapi memandang sesamanya sebagai lawan yang harus disikat, dirampok. Perilaku korupsi dilakukan secara sadar dan itu lebih berbahaya dari membunuh.
Bukan hanya para koruptor, para penegak hukum dan aparatur negara yang mudah dan suka terima suap dan memanipulasi fakta dan aturan hukum demi melindungi koruptor adalah proyek gagal TUHAN. Hukum dibuat untuk dilanggar oleh penegaknya sendiri. Hukum di tangan penegak yang mata sebelah kanannya terbuka sama dengan tangan kanannya yang memegang pundi-pundi. Mata kirinya tertutup dan tangan kirinya memegang pedang dan palu sekaligus. Akibatnya terhadap para koruptor, mata mereka melihat isi pundi-pundi; dan ibu Mina yang mengambil tiga buah kakau mata mereka tertutup lalu menebas pedang dan mengetok palu vonis.
Kenyataan seperti itu sudah menjadi fakta sosial dalam budaya penegakan hukum di Indonesia. Jika ada seseorang yang melanggar hukum, dengan melihat status sosialnya kita sudah bisa menduga sikap penegak hukum terhadapnya. Apalagi yang mau disesali? Masyarakat kecil dibelajarkan untuk terpaksa hidup sambil menerima nasib dan takdir bikinan para penguasa. [*]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
-
Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’ Saya memberi judul di...
No comments:
Post a Comment