Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].
Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.
‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.
Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.
Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.
Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.
‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!
Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!
Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).
Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.
Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.
Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.
‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.
Rujukan:
Flip P.B. Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewarganegaraan di Indonesia, Salatiga: Satya Wacana Press, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
-
Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’ Saya memberi judul di...
1 comment:
Post a Comment