Monday, February 23, 2009

Renungan Harian: Mazmur 107:33-38

Teologi Kitab Ulangan (Karya Sasatra Deuteronomium) dalam formulasi “berkat dan kutuk” menjadi inspirasi dalam kemasan syair, lagu, puisi, seloka, soneta, dan bahkan prosa di dalam kitab-kitab Sastra Hikmat, atau juga himpunan Tulisan-tulisan (khethubhim), termasuk Mazmur.

Di dalam kaitan itu, paham retribusi (balas jasa seimbang), tetap menjadi model pengemasan puisi, prosa dan syair Mazmur. Orang fasik cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mencelakakan orang lain, dan karena itu selalu ditimpakan penghukuman. Orang benar cenderung melakukan perbuatan-perbuatan keadilan, dan bahkan sabar menghadapi fitnahan orang fasik, dan karena itu mendapat berkat. Ini menjadi isyarat pokok dalam memahami teks-teks Mazmur, dan tulisan-tulisan hikmat lainnya.

Dalam gaya paralelismenya, dilukiskan di dalam Mazmur 107:33-34, bagaimana bentuk tindakan Tuhan dalam memberikan penghukuman kepada orang fasik. “sungai-sungai menjadi kering…pancaran air menjadi tanah gersang”. Kawasan-kawasan potensial itu berubah menjadi kawasan-kawasan kritis, akibat dari ulah kefasikan tadi. Ini adalah simbol bahwa apa yang diperoleh (berkat) dengan jalan kefasikan, temporer dan akan habis dengan sendirinya, tanpa bekas.

Sebaliknya, ay.35-38, paralelismenya terus dikembangkan dalam ragam simbol kehidupan, a.l: “…padang gurun menjadi kolam air, tanah kering menjadi pancaran air. Orang-orang lapar akan tinggal di sana (dikawasan produktif), mereka akan berdiam di situ, bekerja di situ, dan beranak-cucu di situ”.

Ay.35-38 itu adalah kebalikan dari ay.33-34. Apa maksudnya? Kata ‘DibuatNya…” dalam ay.35a memberi jawaban bahwa Allah berpihak kepada keadilan. Keberpihakan Allah adalah keberpihakan kepada kehidupan: suatu suasana baru ketika segala potensi kehidupan yang ada, dalam segala keterbatasannya mengalami pemulihan atau dipulihkan kembali (renewable).
Dimensi pemulihan kembali sumber-sumber penghidupan itu adalah semangat untuk keluar dari krisis multidimensional. Di sini kita perlu memberi perhatian pada tanggungjawab pengelolaan dalam tatanan keutuhan ciptaan Tuhan.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin Maluku yang dahulu menjadi incaran dunia internasional karena kekayaan rempah-rempah, dan juga menjadi lumbung devisa bagi Indonesia, kini hanya menjadi “Kawasan Indonesia Timur”, yang jauh dari sentuhan perubahan.
Apakah sumber-sumber penghidupan itu sudah mengering seiring cengkeh yang terus jatuh harga? (eltom)

Kasih Setia TUHAN

Mazmur 147:12-20 (Tematis)

Teks ini bertujuan untuk (1) memahami bentuk-bentuk perbuatan/pemberian Tuhan sang Penolong; dan (2) memahami tanggungjawab kita.

Memahami ‘kasih setia Tuhan’, mengajak kita untuk melihat bagaimana pemazmur mengkonkritkannya. Dalam Mazmur 147, ada beberapa bentuk kasih setia Tuhan, yakni:
- IA melakukan keadilan: dimensi hukum (ay.13a)

- memberkati manusia dan keturunannya: dimensi pro-kreasi/reproduksi – jaminan kelangsungan generasi manusia (ay.13b)

- memberikan kesejahteraan: mencukupkan semua kebutuhan manusia, termasuk akan bahan makanan (berkat di tempat kerja, dalam analogi kebun gandum, dan juga berkat makanan) (ay.14)

- memberikan bimbingan: dalam arti menegaskan berulang-ulang firmanNya – termasuk melalui perantaraan nabi (aspek nubuat dan pengharapan eskatologis) (ay.15,18b,19)
- memberikan kenyamanan di tengah lingkungan: termasuk di dalamnya iklim dan cuaca yang baik, dan lingkungan hidup yang lestari – termasuk bebas dari polusi (bnd. gambaran salju dan pecahan air, simbol kesejukan) (ay.16-18)

Mazmur ini terkenal sebagai mazmur hymne, sebuah nyanyian pengagungan. Karena itu, perbuatan-perbuatan Tuhan itu adalah lukisan dari kemahakuasaan dan keagunganNya, bukan dalam simbol-simbol yang abstrak, melainkan dalam pengalaman manusia sesehari.
Sebab itu, dalam ay.20, dijelaskan bahwa perbuatan Tuhan yang nyata itu, terjadi karena alasan keterpilihan umat olehNya. Dimensi keterpilihan ini tidak semata-mata memberi status eksklusif kepada umat, melainkan tanggungjawab. Pada ay.12, dimensi tanggungjawab itu tampak melalui tindakan ‘megahkan Tuhan’, dan ‘pujilah Allahmu’.

Dua perbuatan ritual, sebagai simbol pengudusan hidup manusia. Di situ, aktifitas leutorgia/abodah – sebagai kata untuk ‘megahkan dan pujilah’ tidak mesti dipahami sebagai aktifitas statis, melainkan pelayanan, bhakti, kerja, ketundukan. Artinya, respons manusia atas perbuatan-perbuatan kasih setia tadi harus tampak dalam praktek hidup yang nyata. Manusia terlibat langsung dalam beragam bentuk perbuatan Tuhan tadi sebagai agenNya. (eltom)

Takut TUHAN, Bukan ‘panako’

Ulangan 10:12-22 (Fokus ay.8)

Hal ‘takut Tuhan’ kembali menjadi isyarat penting dalam pembaruan hidup umat pada segala segi. Hal ‘takut’ di sini bukanlah semacam perasaan akibat adanya ‘teror’, tetapi suatu sikap tunduk, menyembah, dan bertelut di hadapan kemahakuasaan Tuhan yang menghidupkan.
Konsekuensi dari hal ‘takut Tuhan’ itu adalah keputusan-keputusan etis, a.l:
- hidup menurut segala jalan yang ditunjukkanNya; dalam arti konsisten untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, tidak bertindak menurut kehendak dan maunya kita yang kadang lebih didominasi oleh keangkuhan dan cari hormat diri sendiri.

- mengasihi Dia; dalam arti berpegang pada janji yang telah diikat dengan Tuhan. Matius 25:35-40 malah mengimplementasinya dalam kepedulian kepada orang-orang yang menderita, sebagai wujud melayani Tuhan.

- beribadah kepadaNya, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwamu; dalam arti memberi kepada Tuhan totalitas hidup. Ibadah di sini tidak hanya dalam arti ritual, tetapi juga ibadah sosial atau ibadah karya – dalam membangun relasi pelayanan kepada sesama, lingkungan hidup, dan kepada Tuhan

- berpegang pada perintah dan ketetapan Tuhan; sebagai penegasan akan hal ‘hidup menurut jalan Tuhan’. Namun aspek penting di sini adalah menjadikan perintah Tuhan itu sebagai norma yang mengatur dan mengontrol aktifitas hidup sesehari.

- sunatlah hati dan jangan tegar tengkuk; dalam arti setia hanya kepada Tuhan. Di sini terkandung motivasi sosial yang sangat kuat. Kesetiaan manusia kepada Tuhan itu harus diimplementasi, sebab dalam kasihNya, Tuhan turut membela hak orang-orang miskin, para janda, dan anak yatim, dan melayani orang-orang asing, termasuk memberikan kepada mereka pakaian.

Sikap-sikap etis itu menjadi semacam aturan moral-agama. Tujuannya agar orang berusaha melaksanakan perbaikan dalam kehidupan bersama (dalam setiap aspek hidup). Panggilan sosial agama menjadi sesuatu yang penting di sini. Karena itu, rangkaian perintah-perintah itu dialamatkan untuk setiap orang yang peduli untuk panggilan kemanusiaannya.(eltom)

Beta dan Kasih Tuhan [yang bombong]

Mazmur 106:44-48 (Fokus ay.44)

Teks kali ini mengantar kita untuk berusaha memahami bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan di dalam seluruh pengalaman hidup, termasuk pengalaman krisis. Atau sebenarnya, mengapa Tuhan berpihak kepada [keselamatan] manusia (bnd. Mzm.103:1-22).

Teks Mazmur 106:44-48 adalah bagian terakhir dari Jilid IV Mazmur (90-106) yang berkisar di seputar hal: (1) perlindungan Allah terhadap umat; (2) sikap umat terhadap Tuhan; (4) kemahakuasaan Tuhan; dan (4) kebaikan hati Tuhan – dimensi kasih setia (ibr. hesed).

(a) ‘Kasih setia Tuhan’: kasih yang bombong. Ay.44-48, Ibarat kata, kasih setia itu adalah pemberian Tuhan yang melebihi standar umum yang ada. Ibarat ukuran cupak beras, kasih setia Tuhan itu ‘bombong’, melebihi standar umum.

Konsepsi ‘bombong’ tadi tampak dalam gambaran personifikasi Tuhan oleh pemazmur, bahwa ‘Ia menilik, dalam arti memeriksa sampai hal sekecil-kecilnya, kesusahan mereka. Ini adalah suatu aktifitas yang hanya bisa terjadi jika ada ‘bela rasa’ atau ‘rasa solider’. Dalam istilah pastoral, sebuah bentuk ‘compasion’, kepedulian yang benar-benar membuat kita terdorong untuk terlibat bersama dengan orang yang menderita (empati).

Kemudian ‘Ia mendengar teriak mereka’. Aktifitas ‘mendengar’ di sini tidak hanya dengan menggunakan indera telinga, tetapi melibatkan ‘suasana hati yang mendalam’. Apalagi umat digambarkan sedang ‘berteriak’ [meminta pertolongan]. Pertanda, mereka sudah berada dalam situasi yang benar-benar memerlukan campur tangan orang lain [seorang penolong].
Menariknya ialah, pemazmur melukiskan bentuk ‘kebaikan Tuhan’ yang membuat Ia terlibat bersama dalam hidup dan pengalaman [penderitaan] manusia.

(b) Setia pada Janji. Memang relasi janji adalah relasi permanen Allah dengan Israel. Bahkan Allah digambarkan sebagai pihak yang selalu setia dan berpegang, atau mengingat janji itu, lalu menggenapinya. Di sisi lain, janji itu juga membuat Israel cenderung angkuh, dan ‘tegar tengkuk’. Karena itu, mereka telah berbiasa dengan ‘tobat-murtad, tobat-murtad lagi’. Dalam teks PL, termasuk teks telaahan kita (ay.45-46), malah janji itu membuat Allah menyesal telah menimpakan kemalangan kepada Israel. Apakah sifat Allah seperti demikian? Aspek penting di sini adalah tanggungjawab etis manusia atas kasih setia dan janji [keputusan iman] dengan Tuhan.

(c) Keselamatan dan Puji-pujian. Ada hal menarik di sini. Keselamatan itu menjadi tanda persekutuan atau penyatuan kembali (reunion) umat yang telah terserak-serak. Di dalam penyatuan kembali itu, dimensi pujian (worship) menjadi tuntutan etis yang tidak bisa dielak. Nah, di sinilah kita berusaha untuk memaknai apa yang disebut selama ini sebagai ‘pembaruan’ atau ‘perubahan’ oleh budi. Termasuk karena itu, pembangunan kembali hidup kita pascakonflik, di mana relasi antarwarga semakin longgar, kontrol sosial yang semakin longgar. Kemudian, untuk direfleksikan saja, bahwa pada saat kita terpuruk, semangat dan intensitas memuji dan beribadah sangat tinggi [melalui Posko-posko doa], tetapi setelah keluar dari keterpurukan, pascakonflik, aktifitas sosial berjalan apa adanya ibadah dan doa mulai suam-suam kuku. (eltom)

Tuesday, February 17, 2009

Renungan : Mazmur 18:21-30

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Doa Buka Kerja:
TUHAN, kuatkanlah tanganku untuk tetap bekerja, dan dalam segala sesuatu tidak menajiskan hidup karena tanganku. Amin

Ayat Fokus: ay. 21 – “Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku”

Renungan:
Mencuri itu bukan saja mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuannya. Kini mencuri itu juga adalah mengambil barang yang bukan milik kita untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan diri sendiri. Karena terkait dengan mengambil, maka mencuri itu adalah aktifitas tangan yang tidak lagi kudus.

Orang Ambon selalu bilang begini: “tangan balong sarane kapa?” Tapi ingat, kalimat itu kita gunakan pada masa kanak-kanak, pada saat kita ‘salah kuti mutel’, atau ‘salah medi gacu’. Bukan pada masa ketika kita sudah dewasa, sudah punya pekerjaan, sudah mendapat jabatan penting, sudah menjadi pejabat, sudah menjadi wakil rakyat, sudah menjadi boss, sudah menjadi majelis, sudah menjadi pendeta, dll.

Perbuatan masa kanak-kanak ‘yang salah medi’ itu, kita lakoni pada saat ‘bermain’. Kini, kita tidak sedang bermain, tetapi ‘berkarya dan melayani’. Bukan untuk kepuasan hati seperti pada masa kanak-kanak lagi, tetapi untuk kesejahteraan banyak orang, maka, jangan ‘salah menggunakan tangan’.

Menu:
Bekerjalah, dan dasarilah semuanya dengan dua lutut yang terlipat dan tangan yang meminta, agar Tuhan mengalirkan berkat

Renungan: Yehezkiel 18:21-29

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Doa Buka Kerja:
TUHAN, aku mau tetap hidup sebagai orang benar; maka ajarlah aku tetap menjadi benar dan melakukan hal yang benar. Amin

Ayat Fokus: ay. 26-27 – “Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya”.

Renungan:
Katanya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalimat ini sudah sering digunakan untuk melegitimasi ketidakdisiplinan kita, atau sifat ‘jam karet’. Kalimat lain, ‘biking saja, ada pengakuan dosa di gereja pada hari minggu’. Kalimat ini pun sudah sering digunakan untuk melegitimasi hobi kita melakukan perbuatan yang salah.
Masih banyak kalimat lainnya, yang sudah dijadikan alat legitimasi. Nah, ternyata itu sudah menjadi semacam pola dalam perilaku beriman kita. Karena kita tahu, Tuhan maha pengampun, dan pasti mengampuni setiap orang yang mengaku dosanya dengan jujur dan tulus, jadi lakukan saja perbuatan dosa, toh nanti juga diampuni Tuhan. Benar!!
Tetapi ayat bacaan kita menunjukkan bahwa pengampunan dosa itu dikerjakan Tuhan kepada orang yang sejak semulanya fasik, lalu karena mengenal Tuhan, berbalik kepadaNya. Bukan kepada orang-orang yang sudah diselamatkan, atau telah dibenarkan oleh Tuhan.
Seperti kita tidak suka atau benci jika ditipu, Tuhan juga tidak mau ditipu. Ia juga tidak mau kita berdusta dalam hal apa sekalipun, dan sekecil apa pun.

Menu:
Tetaplah menjadi orang benar, dan lakukanlah yang benar

Renungan Harian: 1 Yohanes 2:22-29

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Ayat Fokus: ay. 29 “Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu juga, bahwa setiap orang, yang berbuat kebenaran, lahir dari pada-Nya”.

Renungan:
Tentu tidak sulit untuk melakukan kebenaran di dalam hidup. Apalagi sebagai pekerja Kristen. Sebab melakukan kebenaran adalah esensi hidup kita. Rahasianya adalah kita telah dibenarkan oleh Kristus, melalui suatu jalan yang sangat mahal, yaitu Salib, kematian, dan kebangkitanNya.
Tetapi memang kita kerap menyaksikan, sulit juga orang melakukan hal-hal yang benar. Ayat bacaan kita mengatakan, kesulitan itu terletak karena sikap kita yang malu untuk melakukan hal-hal yang benar. Nah, tentu kita akan kembali bertanya, mengapa harus malu melakukan hal yang benar? Jawabannya, yaitu kita sudah terbiasa menyaksikan orang memutar-balikkan kebenaran. Lalu kita memandang: ‘ah, sudah biasa’. Akibatnya, jika tidak melakukan hal serupa, kadang dipandang ‘tidak ikut trend’. Malah ada bujukan seperti ini: “biking saja, seng ada yang tau”, atau “dia jua biking, jadi biking saja”.

Entah, siapakah yang harus kita contohi? Berpegang pada jati diri sebagai orang Kristen di tengah tantangan seperti itu harus menjadi keputusan kita. Sebab, kita telah dilahirkan dalam kebenaran Kristus melalui salib, jadi kita dipanggil untuk tetap melakukan kebenaran, dalam kondisi apa pun.

Menu:
Kebenaran itu mahal, tetapi melakukan kebenaran itu ‘gratis’. Jadi selagi tidak dibeli, lakukanlah hal-hal yang benar.

Friday, February 13, 2009

Kupu-Kupu Murkele





Kupu-kupu Murkele


Situs yang disebut sebagai "Kubur Musa" Murkele


Foto Dokumen Murkele

Rumah Tempat penyimpanan "Kain Kafan" Murkele
Tulisan pada "Kain Kafan" Murkele

"Dua Loh Batu" Murkele



Abjad Kerajaan Nunusaku



Gunung Murkele dan Pinaiya, tampak dari Jemaat Maraina




Dokumen Murkele:



Fenomena Agama Nunusaku (?)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Dari Mana Labelisasi itu?
Salah satu bukti pengaruh agama wahyu pada saat masuk ke suatu wilayah adalah pola identifikasi diri atau labelisasi yang bertahan puluhan bahkan ratusan tahun. Jangka waktu yang panjang itu membuat orang-orang setempat, yang semula menganut agama asli/agama suku, tidak hanya meninggalkan cerita-cerita mitos mereka, tetapi menjadikan mitos agama wahyu sebagai sesuatu yang ada di dalam kehidupan mereka.

Di Maluku, seperti salah satu tulisan saya, Solohua Kasale Patai, mitos gunung suci dianut oleh sebagian besar masyarakat. Salah satu gunung yang cukup kuat, dan menjadi situs pertumbuhan agama asli di Maluku Tengah adalah Gunung Murkele.

Kita akan menelisik lebih lanjut mitos Gunung Murkele. Tetapi ada satu fenomena yang memang mesti diklarifikasi, yakni semacam pola labelisasi atau identifikasi masyarakat penganut agama asli, terhadap mitos mereka, dengan mitos suci yang ada dalam cerita agama wahyu.

John Ruhulessin, dalam Disertasinya, menyebut bahwa “Puncak gunung Nunusaku, puncak gunung kosmik, tidak saja dilihat sebagai titik tinggi bumi, tetapi juga merupakan pusat, titik dimulainya penciptaan manusia pertama. Firdaus bagi manusia Maluku adalah Nunusaku. Nunusaku diidentikkan dengan gunung Ararat. Nunusaku dilihat sebagai tempat penghukuman terakhir, tempat dimana kebenaran setelah penghakiman".

Pola identifikasi atau labelisasi itu memperlihatkan bahwa telah ada kontak yang cukup intens antara masyarakat penganut agama asli dengan para pekabar injil (Guru Djemaat) yang bertugas di pedalaman Pulau Seram.

Menariknya ialah kontak itu menanamkan suatu pola labelisasi, di mana masyarakat setempat mengkaitkan seluruh kerangka mitos, bahkan lokasi-lokasi sakral di wilayah mereka dengan mitos dan lokasi sakral dalam cerita Alkitab.

Apakah mereka merelokasi mitos dan lokasi sakral dalam cerita Alkitab ke dalam mitos dan wilayah mereka? Jika demikian, apakah relokasi itu dilakukan oleh mereka, atau para penginjil? Tujuannya sudah bisa kita duga, yakni proselitasi, agar penganut agama asli menganut Kristen; yang ternyata mengakomodasi mitos mereka itu. Jika demikian, di sini muncul Tesis baru, bahwa kontekstualisasi Injil telah dilakukan dengan jalan labelisasi, atau identifikasi, sehingga masyarakat setempat merasakan menjadi bagian dari komunias agama wahyu.


2. Gunung Murkele
Keterangan mengenai Gunung Murkele ini saya angkat dari sebuah buku "klasik", yang ditulis Z.M.A. Matulessy, yaitu "Pandu Ringkasan/Cuplikan Sejarah Nusa Ina". Pada Kata Pengantar, diketahui tulisan ini rampung pada 31 Agustus 1992.

Diceritakannya bahwa:
"Murkele" atau "Nurkele", adalah sebuah gunung suci yang dimiliki bangsa tertua asli Alifuru Ina, yang hidup di Nunusaku, atau pada kawasan dari Manusa Manuwei di Seram Barat sampai Manusela di Seram Tengah. Sebenarnya, ada dua gunung yang terkenal, yaitu Murkele dan Pinaia (atau Binaya).

Murkele sendiri berarti "besar", atau "Cahaya Terbit" (dalam bentuk tegak). Tinggi gunung ini adalah 2.750M, letaknya 3010' LS, 120027' 10,4"BT.

Gunung ini, dalam hamana (tuturan sejarah) orang Alifuru Ina, disebut sebagai "gunung dunia bertangga sembilan", dan dianggap sebagai gunung suci. Menurut kepercayaan Sima-sima, Nusa Ina dan seluruh dunia semula dikelilingi laut. Lalu muncul bukit Hoale, yang terlebih dahulu mengambil tempat di Murkele, karena bila telah meninggalkan Manusela, maka gunung suci itu hilang dari pemandangan.

Gunung dunia ini digambarkan terdiri dari sembilan kepingan silinder yang dari bawah ke atas semakin mengecil. Gunung dunia ini berbentuk bundar. Tangga keliling itu masing-masing merupakan lingkaran sejati yang tertutup. Para penganut Sima-sima menyebutnya "Ohe" (tangga), atau "ha lea" (tangga matahari) bila dihitung dari atas ke bawah.

Masing-masing tangga memiliki anak tangga tertentu, dan merupakan tempat kediaman roh tertentu pula. Gunung itu disebut kekal seperti UPUA (Upu El, Eli, Elo Lanite, Upu Kahuresi Leha Benua/Bewana = Allah yang Esa).

Puncak gunung ini disebut "Nia", yaitu suatu pemukiman indah dan besar dengan banyak rumah, dihuni oleh jiwa-jiwa yang baik (seperti gambaran Surga). Di sana UPUA berada di tengah-tengah mereka di dalam sebuah rumah panggung yang besar dan bagus (semacam istana di pegunungan).
Di sana leluhur menempatkan batu Nisan, yang disebut "Nusa Ama", artinya "Pulau Bapa" (3 SM).

3. Kekayaan Agama Asli dari Murkele
Pada 7 Desember 2008, saya diundang Klasis GPM Seram Utara- Wahai untuk menyampaikan Materi Analisa Sosial, dengan tujuan agar dalam Persidangan Klasis dan Persidangan Jemaat di Seram Utara-Wahai, ada gambaran (secara metodologis) bagaimana menghasilkan program pelayanan Gereja dengan mengacu dari Kebutuhan Jemaat.

Pada bulan 20 Januari 2009, rekan-rekan Pendeta di sana berangkat ke Jemaat Maraina untuk menghadiri Musyawarah Pimpinan Paripurna Daerah (MPPD) Angkatan Muda GPM; kemudian dilanjutkan ke Jemaat Manusela untuk Sidang Klasis.

Sekembali dari sana, Pdt. Jondry Paays, mengirimkan SMS bahwa dia memiliki sebuah dokumen klasik dari Murkele, ada kain lusuh yang bertuliskan tertentu, dan cerita mengenai Kematian Musa, Bukit Nebo, Bahtera Nuh, Dua Loh Batu (10 Hukum Taurat), dll. Saya menduga bahwa ada dokumen seperti naskah Nag Hamadi yang spektakuler itu. Padahal, saat Pdt. Paays ke Ambon (3 Februari), ternyata yang ditunjukkan kepada saya hanya foto yang diambil dengan Kameranya: XENOX S630/Samsung S630.

Di situ, ada beberapa foto yang menunjuk tentang Dokumen-dokumen Murkele itu, a.l:
1. Kain Kafan. Menurut tua adat setempat, kain itu adalah kain kafan. Mereka membangun sebuah rumah di badan Gunung Murkele untuk yang secara khusus sebagai tempat penyimpanan kain kafan itu. Hanya tua adat yang bertugas khusus menjaganya yang bisa masuk dan memegang kain kafan itu.

Setelah dilihat secara detail, tentu dari hasil jepretan itu, ada bagian yang bertuliskan tertentu. Jenis aksaranya agak sulit dipastikan. Dari buku Z.M.A. Matulessy yang saya sebutkan tadi, ada ragam abjad Nunusaku, tetapi cukup sulit untuk melihat kemiripannya dengan semacam tulisan pada kain kafan itu (lht. Foto Murkele, Abjad Kerajaan Nunusaku).
Artinya, ini masih sebuah misteri, yang mungkin bisa menjelaskan suatu fenomena tertentu.

2. Dua Loh Batu. Ada pula foto yang menurut masyarakat setempat adalah dua loh batu, tempat Musa menulis 10 Hukum Taurat. Menurut cerita Pdt. Paays, siapa pun yang mencarinya tidak akan menemukan, kecuali ditunjukkan oleh kepala adat. Ada ragam tulisan tertentu, berupa 'garis-garis', dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

3. Kuburan Musa. Seperti halnya 2 Loh Batu itu, hanya kepala adat yang bisa menunjukkan tempatnya pula, baru bisa dilihat oleh orang biasa lainnya. Jika mengikuti keterangan Matulessy tadi, lokasi ini mungkin ada di silinder yang kesekian dari Murkele, yang mereka sebut sebagai Bukit Nebo. Kabarnya, dari punggung bukit ini, terlihat kawasan pesisir yang terbentang jauh di kaki bukit.

4. Puncaknya, atau kawasan NIA, menurut keterangan mereka, terdapat Bahtera Nuh. Kepastian itu mereka yakni, sebab kabarnya pula di hutan di Kawasan Murkele itu terdapat pohon Gofir yang digunakan untuk membangun Bahtera itu. Selain itu, sejak lama, orang dibuat terpesona pula dengan beraneka ragam bunga, pohon- pohon, bahkan fauna yang memang tampak aneh, termasuk beberapa kupu-kupu yang cukup unik.

4. Fenomena Agama Nunusaku (?)
Di Pedalaman Pulau Buru, orang-orang gunung di kawasan Danau Rana, menyebut agama asli mereka dengan sebutan "Manuntut". Apakah Agama Nunusaku itu adalah suatu bentuk agama asli di Pulau Seram? Memang selama ini, nama-nama agama asli itu sudah tidak diketahui secara umum lagi. Paling tidak, Kakehan, juga kita sebut sebagai sebuah persekutuan agama yang dianut orang-orang Wemale dan Alune di Pulau Seram.

Dalam tulisannya, “Tribal religions di Indonesia”, Waldemar Stohr, menjelaskan bahwa suatu kelompok etnik tidak saja dapat dipahami sebagai atau diidentifikasi sebagai suatu kelompok manusia yang memikirkan tentang mereka sendiri sebagaimana mereka ada, di mana ada kebudayaan, bahasa, keturunan. Lebih dari itu, suatu kelompok etnik adalah suatu jaringan, dari ikatan atau interelasi kehidupan, interelasi atau jaringan-jaringan yang meliputi dewa-dewa, spirit atau roh, tanah dan fenomena-fenomena lain dari lingkungannya.

Pencarian akan bentuk Agama Nunusaku itu memerlukan penelitian mendalam, sebab ia tidak hanya harus masuk ke tataran simbolik, atau semacam bentuk ritus, tetapi harus turut mempercakapkan apa yang disebut juga sebagai ultimate meaning.

Setidaknya, dokumen-dokumen Murkele ini menugaskan kita untuk menelusuri jejak-jejak agama asli dari beragam kekayaan simbolik yang masih terpelihara oleh sebagian komunitasnya.

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...