PENGENALAN KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI LOKUS PEKABARAN INJIL

Bagian 1 - MASYARAKAT PESISIR: Suatu Peta Sosiologis di Kepulauan Lease

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Pengantar
Materi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi konteks sosial masyarakat pesisir untuk memahami bagaimana pendekatan Pekabaran Injil & Komunikasi (PIKOM) yang relevan. Sebab injil mesti ‘masuk’ ke dalam hidup masyarakat (manusia), dan beroperasi di dalam konteks hidup masyarakat (bnd. Yoh.1:1,14), sambil membangun pembebasan kepada yang terpenjara/terbelenggu, keadilan, kebenaran, kesejahteraan, penglihatan kepada yang buta, dll (bnd. Luk. 4:18,19). Pekabaran injil itu juga harus dilakukan secara operasional dengan solidaritas kepada yang lemah dan kaum marginal (bnd. Mat. 25:34-40).

Konteks kepulauan, adalah suatu kenyataan fisiologis Provinsi Maluku. Dan secara sosiologik, masyarakat Maluku tinggal dalam Pulau-pulau besar, sedang, kecil dan terkecil. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa banyak daerah atau masyarakat di Maluku berada pada “kawasan tertinggal”.

Kenyataan ini memerlukan identifikasi yang jelas. Sebab dalam ketersebaran pada setiap pulau itu, ciri sosial dan budaya masyarakat saling berbeda, malahan kebutuhan (the needs) pun berbeda. Selain itu, setiap masyarakat pada setiap pulau itu terdiri dari sub-sub suku yang berbeda. Setiap sub suku memiliki corak budaya, alam pemikiran (worldview) dan carapandang (point of view) yang berbeda.

Selain itu, mengapa penting diidentifikasi, karena masyarakat pada setiap pulau mengalami pertumbuhan dan perubahan sosial yang berbeda. Ini terkait dengan akses pembangunan yang terkadang kurang menyentuh masyarakat di setiap pulau secara merata, selain faktor keterbatasan transportasi, informasi dan komunikasi.

Perubahan dalam sistem politik-pemerintahan, melalui pemekaran wilayah (Kabupaten dan Kecamatan), turut menjadi faktor yang menentukan kemajuan setiap daerah dan tingkat pertumbuhan masyarakat yang berbeda. Apalagi dalam konteks kepulauan, pemekaran wilayah selalu didasarkan pada pertimbangan pemerataan akses pembangunan dan kesejahteraan. Dengan demikian, jika muncul kawasan pertumbuhan dan pusat produksi baru, pertanyaan pokoknya adalah apakah kapasitas masyarakat telah siap untuk itu? Jangan sampai masyarakat justru menjadi korban karena kapasitasnya yang belum siap.

Melalui materi ini, kita akan berusaha untuk mendiskusikan konteks masyarakat dalam kawasan kepulauan (masyarakat pesisir) sambil melihat metode dan model PIKOM yang lebih relevan.

2. Masyarakat Kepulauan dalam Konteks Pulau-pulau Lease
Komposisi Pulau Saparua, Nusahulawano (Nusalaut), Pulau Haruku, atau yang secara sosiologik disebut Lease/Uliaser, adalah suatu fakta masyarakat kepulauan (Laut-Pulau) yang memiliki dinamika sosial tinggi dalam sejarah kemasyarakatan di Maluku.

Sebagai kota legenda, Saparua atau Lease, merupakan titik pusat perubahan peta ekonomi di Maluku. Memang bandar terbesar kala itu berada di Ternate dan Hitu, sebagai akibat dari ekspansi pedagang-pedagang Islam dan Portugis. Tetapi perebutan kekuasaan oleh Belanda dari Portugis memunculkan suatu pusat produksi baru di Nusantara, yaitu Uliaser/Lease. Berbagai catatan sejarah merekam sampai dengan munculnya Kerajaan Iha, yang bertarung rapat dengan kekuatan Portugis (di Porto), sampai pada ekspansinya ke Haruku, lantaran kekuatan Kerajaan Amaika dan Kerajaan Hatuhaha, yang turut bersaing dengan Ternate dan Portugis.

Memang cengkih menjadi primadona dari sejarah Uliaser (Lease) yang turut melegenda itu. Tetapi jika kita meneliti lebih mendalam, posisi Uliaser menjadi sangat penting karena posisinya yang mengontrol jalur Ambon/Hitu ke Banda, Seram, dan lalu lintas Ternate dan Malaka. Sehingga jauh lebih efektif mengirim armada Hongi dari Ternate ke Seram, ketimbang dari Hitu, yang sudah lebih dahulu masuk dikuasai pedagang-pedagang Islam dan Kerajaan Ternate. Saat itu, Ambon belum begitu penting, karena bandarnya sempit. Kemudian Ambon pun hanya dijadikan pusat administratif pemerintahan yang mengontrol seluruh Hindia Belanda/Regent van Ambon.

Saya tidak akan mengulas sejarah itu secara detail. Baiklah kita melihat komposisi kepulauan Lease itu sebagai suatu kenyataan sosial masyarakat kepulauan.

a. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pulau Ambon-Lease tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan (mis. di Pulau Seram). Hal itu dapat dilihat dalam sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll. Malahan dalam mentalitas kerja pun tampak corak monodualitas. Sesekali bekerja di laut (mencari ikan), sesekali di kebun, tergantung pada musim (Timur/Barat). Pada aspek ini kita punya cukup alasan mengapa orang pesisir pun tidak berubah dalam mentalitas kerjanya, karena rata-rata orang-orang pesisir itu adalah kaum migran dari pedalaman pulau Seram yang pada saat bermigrasi ke Ambon-Lease, memilih tinggal di punggung-punggung bukit, jauh dari musuh, dan kemudian di zaman Belanda, ‘ditarik’ turun ke pesisir.

Secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni, bahwa fakta sosial selalu dilihat dalam kaitan dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.

Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.

Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Di Ambon, Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu. Demikian pun Lease turut mengalami hal itu. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]

Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]

Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon-Lease. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.

b. Ranji Pesisir
Telaahan kita ke pulau Ambon-Lease atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.

Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.

Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon-Lease. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.

Ewang



Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---


Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---


Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir

Laut


Tanjung Batas meti Tanjung


Laut lepas


Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon-Lease, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon-Lease pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.

Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon-Lease. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.

Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.
Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.

Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.

Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon-Lease. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon-Lease pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon-Lease. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.

Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.

Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.

Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai misalnya di Waai, Galala, Tial, Seri, Haria, Tuhaha. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon-Lease.

Masyarakat pesisir kita bermatapencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon-Lease, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon-Lease. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.

c. Desain Pembangunan Kawasan Kepulauan di Provinsi Maluku

Bagian ini dimaksudkan untuk melihat konteks masyarakat kepulauan dalam desain pembangunan daerah Maluku. Sejalan dengan itu, perjuangan pengakuan Maluku sebagai Provinsi Kepulauan kiranya kita lihat sebagai suatu cara mengembangkan kapasitas masyarakat di setiap pulau (besar, sedang, kecil dan terkecil), terutama dalam akses pengembangan potensi spatial yang ada. Dalam kacamata PIKOM, pengembangan mana menantang kita mengenai bagaimana gereja mampu membentuk karakter dan mentalitas jemaat, agar Injil pun dimengerti dalam arti yang lebih terbuka (tidak sebatas dimensi verbalistik).

Di Maluku terdapat 972 buah pulau dengan panjang garis pantai 10.552 Km, tersebar pada wilayah seluas 712.479 Km2. Wilayah daratannya seluas 7,6 % sedangkan wilayah laut 92,4 %. Ini adalah bukti bahwa Provinsi Maluku memiliki corak kepulauan yang tinggi.

Karena itu pembangunan di Maluku disusun dalam suatu Model Makro yang meliputi pengembangan di berbagai bidang pembangunan dengan berdasar pada empat pendekatan utama yaitu Pendekatan Bertahap, Komprehensif dan Terintegrasi, Pendekatan Kewilayahan, Pendekatan Komoditas Unggulan Spasial, dan Pendekatan Kultural yang memperhitungkan kearifan budaya lokal.

Model Makro pembangunan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan berbagai Model Mikro pembangunan di bidang ekonomi dan infrastruktur.

Di bidang ekonomi, sementara dikembangkan berbagai klaster-klaster prioritas baik di wilayah laut maupun darat. Pengembangan klaster prioritas yang dilakukan di wilayah laut misalnya adalah pengembangan klaster tuna, klaster rumput laut, klaster mutiara, ataupun kluster wisata bahari. Sedangkan contoh klaster prioritas yang sementara dikembangkan di wilayah darat adalah klaster pala, klaster cengkeh ataupun klaster minyak kayu putih.

Di bidang infrastruktur, sementara dikembangkan berbagai sarana dan prasarana ke-PU-an seperti jalan, jembatan, bendungan dan air bersih. Sementara dikembangkan pula sarana-prasarana Perhubungan yang dapat meningkatkan transportasi antarpulau di Seluruh Provinsi Maluku. Pembangunan prasarana pekerjaan umum dan perhubungan terutama akan diprioritaskan pada pembangunan Trans Maluku dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan membuka keterisolasian pada wilayah-wilayah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara, serta meningkatkan hubungan perdagangan antar daerah dalam provinsi Maluku maupun dengan daerah lainnya di Indonesia.

Pembangunan berbagai Prasarana dan Sarana energi juga dilakukan dengan melakukan pengembangan energi listrik dan berbagai energi alternatif lainnya seperti energi angin, air, sinar matahari maupun energi panas bumi.

Pengembangan infrastruktur komunikasi melalui pengembangan Pusat Komunikasi Daerah (Puskomda) diharapkan dapat meningkatkan arus informasi mulai dari Kota Ambon sampai dengan daerah-daerah yang relatif masih terpencil.

Di Bidang Sumberdaya Manusia, akan diprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis terutama kepada penduduk miskin serta di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara. Khususnya di Bidang pendidikan dengan program pendidikan wajib belajar 12 tahun (SD – SMA).

3. Identifikasi Masalah Sosial Masyarakat Kepulauan Lease
Dari paparan tadi, kita dituntut untuk melakukan identifikasi sosial masyarakat kepualauan Lease, dengan tujuan untuk melihat bagaimana model PIKOM yang relevan.
Beberapa hal sebagai instrumen untuk mengidentifikasi masyarakat kepulauan di Lease, adalah:

- Kondisi Kewilayahan. Jemaat-jemaat GPM dalam kawasan kepulauan di Lease menempati pulau-pulau kecil (Saparua, Haruku dan Nusalaut). Di dalam ruang sosial ini, daya dukung wilayah (carrying capacity) menjadi masalah tersendiri. Karena hampir sulit ditemukan ada peremajaan negeri. Orang-orang Ambon-Lease, terutama keluarga-keluarga baru, masih cenderung tinggal bersama dengan dan serumah dengan orang tua (patrilokal), atau tinggal berdekatan dengan kerabat suami/istri (untolokal). Karena itu, negeri-negeri di Ambon-Lease dari waktu ke waktu tidak mengalami perluasan teritori. Kepadatan rumah dan penduduk sudah menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri di beberapa negeri di Ambon-Lease.

Corak sosial lain yang tidak kalah pentingnya ialah, pola membangun permukiman atau rumah di areal dusun, yang dekat dengan permukiman warga (blakang negeri), atau terus ke perbatasan dengan negeri lain. Hal ini adalah suatu bentuk perluasan teritori yang positif. Tetapi karena faktor feodal, kadang menjadi titik picu pertikaian dengan negeri tetangga, masalah batas tanah.

- Solidaritas Sosial. Orang-orang di kawasan kepulauan, pesisir dan pegunungan, memiliki solidaritas sosial yang bervariasi. Orang-orang di kawasan pegunungan cenderung memiliki solidaritas yang rapat, karena pola berkelompok lebih kental di sana. Keputusan-keputusan penting bagi hidup perlu diambil secara bersama-sama dalam kelompok, karena kebiasaan bekerja yang juga berkelompok dan memerlukan keserasian, seperti ‘berburu’. Persekutuan sosialnya melibatkan keluarga luas, seperti tampak dalam badati, masohi, dll. Sebaliknya orang-orang di pesisir cenderung mengambil keputusan sendiri, sebagai akibat dari corak kerja di laut. Mereka jarang sekali berkelompok, atau kelompoknya sangat terbatas, karena persekutuan sosialnya melibatkan keluarga batih. Makanya, orang bekerja untuk kepentingan keluarga saja.
Tetapi di Maluku (Ambon-Lease), dua corak solidaritas itu ada pada semua kelompok masyarakat secara bersamaan. Sehingga model solidaritas sosialnya sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan atau aktifitas sosial yang hendak dikerjakan (apakah di darat/dusun atau lautan).

- Mobilitas Sosial. Orang-orang Lease adalah kelompok sosial dengan tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi, lebih dari orang-orang Ambon dan Seram, atau juga sebanding dengan orang-orang di Maluku Tenggara. Mobilitas sosial yang tinggi itu memperlihatkan bahwa kultur dan cara berpikir mereka dibentuk oleh kemauan ‘panggayo arumbae ka Ambon’. Dengan posisi Ambon sebagai sentrum ekonomi, administrasi, pendidikan, maka daya juang orang-orang Lease untuk mengatasi tantangan laut semata-mata untuk sampai ke Ambon itu sangat tinggi. Ini berdampak pada daya juang dan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek.

Karena itu, tidak heran jika ternyata di Ambon, orang-orang Lease yang menempati posisi-posisi penting di berbagai lini kehidupan sosial. Tetapi di sisi lain, hal itu berdampak pada terbatasnya kapasitas sumber daya umat/manusia di Lease sendiri. Akibatnya, harus diakui dengan jujur bahwa Lease, dengan pasokan sumber daya yang berlimpah itu, jauh tertinggal dari kawasan lain di Maluku; termasuk dari Kota Masohi yang baru berdiri pada zaman Kemerdekaan RI.

- Kultur Berusaha. Dalam kaitan dengan mobilitas yang tinggi itu, kultur berusaha orang Lease tergolong sangat tinggi. Dalam hal ini, budaya papalele, sebenarnya adalah budaya orang Lease, yang lambat laun diserap oleh orang-orang Ambon gunung, karena ekspansi pasar orang Lease ke Ambon. Sebab, ternyata papalele adalah suatu jenis usaha/kerja yang ditekuni oleh keluarga-keluarga tertentu dengan tujuan untuk mencukupi biaya pendidikan anak-anak yang bersekolah di Ambon.

Dari sisi produk, papalele dahulu lebih banyak menjual produk-produk lokal, seperti sagu mantah, buah-buahan (jenis buah-buahan ini mungkin dari Ambon gunung sebagai hasil serapan budaya papalele itu sendiri). Dalam sejarah perdagangan lokal (hal ini belum diteliti secara mendalam), orang-orang Ouw, Ulath, memiliki arumbae yang setiap waktu digunakan untuk mengangkut sagu ke pasar Ambon (ini juga yang kemudian membuat orang Ambon mengenal Sempe dan Porna Sagu lempeng). Kebiasaan ‘panggayo’ arumbae/belang, untuk kepentingan dagang, juga ditekuni oleh orang-orang Haria dan Porto (entah mengangkut produk apa? Perlu diteliti).

- Organisasi sosial. Hal ini akan lebih disoroti dalam Bagian kedua materi saya. Tetapi sebagai suatu kenyataan sosial, organisasi-organisasi sosial di Lease juga menjadi sesuatu yang bermakna penting dalam pemetaan sosial masyarakat kepulauan. Yang dimaksud di sini adalah organisasi-organisasi sosial dalam setiap negeri. Ada tipikal yang menarik. Orang Saparua tersusun dalam suatu perhimpunan berdasarkan kawasan dalam hal ini Jazirah Tenggara dan Hatawano. Pengelompokkan ini menunjuk pada corak kultur yang mirip/sama. Tipikal lain yang unik lagi yaitu persekutuan orang-orang di Nusalaut dalam ideologi Pusa Pulu. Ada ideologi pemersatu yang dibangun dari paham kepercayaan lokal setempat. Demikian pun orang-orang di Haruku, dengan struktur sosial Hatuhaha-Amarima, dan Uli Hatuhaha it sendiri.

- Kondisi Perekonomian. Mungkin tidak negeri/desa miskin di Lease. Tetapi perekonomian daerah di Lease perlu digerakkan dengan menumbuhkan kawasan pertumbuhan baru. Mari kita melihat, apakah produksi sempe tidak bisa berkembang lebih maju, dan bersaing dengan tembikar dan porselin? Apakah sagu tumbuh, bagea, gula tare, akan tetap menjadi produk-produk lokal yang kalah dalam pasar ekspor? Di Ambon, bagea Ternate lebih bernilai jual di pasar ekspor. Produk-produk lokal ini sudah saatnya dikembangkan dalam segala aspek.

Di sisi lain, potensi perikanan dan kelautan di Lease perlu pula dikembangkan untuk mendatangkan kesejahteraan dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Kawasan pertumbuhan baru perlu dimunculkan dari sini, dan itu terkait dengan penataan infrastruktur pembangunan/perekonomian daerah. Apakah gereja tidak bisa mendorong percepatan pembangunan itu? Tentu bisa.

5. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didisuksikan dalam rangka membangun suatu pola PIKOM yang mendorong proses “MENJADI GEREJA YANG MEMANUSIAKAN”.


Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008

[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara