“Lihatlah Kemalangan Kita…”

Tafsir Sosiologis Nehemiah 2:11-20
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Mencari Korelasi antara Dua Sistem Sosial
Teks ini menarik untuk ditelaah dalam konteks kebangsaan Indonesia. Walaupun ternyata sulit menemukan jalan mulus untuk menghubungkan dinamika Israel Alkitab di zaman Nehemiah taken for granted dengan dinamika Indonesia. Sebab saya kemudian menjadi sadar bahwa adalah tidak tepat melihat secara taken for granted dinamika kepemimpinan dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat monarkhi (Yahudi) dengan masyarakat demokratis (Indonesia).

Apalagi jika kita menyimak sejarah politik Israel kuno, bahwa mereka pernah masuk dalam suatu babakan ‘demokrasi’ yang tidak bertahan lama, melalui pemilihan saul menjadi Raja, karena kemudian Daud mengembangkan sikap anti-demokrasi dan membangun teokrasi yang sangat mapan (bnd. Gottwald). Di samping itu, memang komunitas Yahudi lebih dihayati sebagai suatu komunitas sosio-spiritualis; bukan politis-ekonomis (A.D.H. Mayes). Karena itu, sistem kepemimpinan dalam masyarakat dipegang oleh orang-orang, yang oleh Weber, memiliki kharisma legal dan tradisional (melalui dynasty model), dan kharismatik (dalam hal ini imam dari suku Lewi, dan para Nabi). Semuanya selalu atas ‘petunjuk’ atau ‘kehendak’ atau ‘panggilan’ Tuhan secara langsung, dan hukum (Taurat) seakan mensahkannya.

Sistem politik Israel kuno (monarkhi) baru berkembang 200 tahun setelah konfiderasi suku-suku itu dibentuk (Gottwald). Pada point ini kita perlu memberi sedikit perhatian, agar kita semakin terbantu untuk memahami gerakan pembangunan kembali tembok Yerusalem dalam narasi Nehemiah 2 ini.

Pertama, jika kita membaca teks-teks PL, ternyata karakter nomadik Israel kuno berbeda dari karakter nomadik bangsa Palestina kuno lainnya. Corak nomadik Israel kuno lebih menjurus pada pastoral nomadic, suatu tipikal penggembala, daripada agrarian nomadic, tipikal bertani (J.D.Martin). Makanya dalam kisah perjalanan Abraham (Kej.12 – lihat pula ketika Abraham menyuruh Lot yang terlebih dahulu memilih teritorinya. Mereka mencari tempat yang subur, bukan untuk bercocok tanam, tetapi sebagai tempat makan ternaknya), dan juga Yakub, baik pada saat bekerja di rumah Laban, maupun ketika keluar dari sana (Kej.29-32), unsur yang disertakan adalah ternak (kambing, domba). Corak agraris baru ditekuni orang Israel kuno ketika mereka dijajah Mesir. Hal itu pun berpengaruh dalam refleksi ketuhanan mereka. Israel kuno lebih familiar dengan identitas Tuhan seperti gembala (Mzm.2), atau burung rajawali, gunung batu, tempat perteduhan, penjaga yang setia, termasuk tiang awan dan tiang api (yang lebih bermakna militeristik).

Kedua, konteks tribalisme, atau komunitas suku adalah suatu komunitas eksklusif yang berkembang sepanjang sejarah nomadik dan pengembaraan Israel – pasca pembuangan di Mesir, selama mereka berserak dan menempati daerah yang mereka sebut ‘Kanaan’ (Diana Vikander Edelman), sampai membangun monarkhy. Fenomena ini menarik, sebab monarkhi memang berhasil membangun nasionalisme keyahudian dengan ideologi Yahwisme. Di sinilah menariknya memahami Israel kuno sebagai sebuah bangsa yang mendasarkan seluruh segmen kebangsaannya pada agama. Fenomena agama, melalui hukum dan ritus Yahwisme (di dalamnya, Torah) adalah fenomena bangsa itu sendiri. Tetapi satu hal yang tidak terselesaikan dalam monarkhi adalah terus mengentalnya primordialisme suku.

Ketika terbentuk monarkhi, sesungguhnya terjadi perubahan politik yang sangat besar dalam masyarakat Israel kuno. Tribalisme telah membentuk suatu corak desentralisasi yang sangat establish, dan tribalisme telah menjadi sebuah kekuatan ekonomi suku yang efektif. Tetapi monarkhi, yang didahului oleh strategi membangun Liga Suku, mengubah pola desentralisasi itu dengan gaya sentralisasi yang mapan, dan kemapanannya dibentuk oleh: (a) terbangnnya ideologi Yahwisme yang direpresentasi secara praksis dalam ideologi raja (royal ideologi, dinasty), dimana Raja dipahami sebagai ‘pilihan Tuhan’; (b) yang mendapat legitimasinya melalui ritus-ritus Yahwisme (di dalamnya berkembang kultur peziarahan, artinya pada event-event agama semua suku wajib berziarah ke Yerusalem), dengan Torah sebagai sumber legal formilnya; (c) dan pemusatan aktifitas ritus, sosial, politik, ekonomi yang berlangsung di Yerusalem sebagai Kota Suci, kemudian dengan Bait Allah sebagai simbol kehadiran Yahweh.

Ketiga, mengikuti istilah Georg Simmel, saya kira penting pula kita melihat dimensi sosialita masyarakat Israel kuno. Aspek ini perlu untuk memahami solidaritas sosial, dan juga gerakan-gerakan sosial yang berlangsung di sana, seperti kita baca dalam PL.

Unit sosial Israel kuno berkembang dari suku-suku yang egaliter ke dalam konfiderasi atau liga suku. Liga suku ini memberi perhatian utama pada kultus Yahwisme, hukum dan ideologi, komitmen untuk membangung kehidupan ekonomi yang egaliter seperti dijelaskan dalam hukum-hukum sosio-ekonomi dan mendirikan organisasi untuk melawan kekuatan dari luar, yaitu orang-orang Kanani dan Filistin.

Liga suku ini terbentuk dari unit-unit sosial yang otonom, yaitu dari apa yang disebut mišpāhot (suku) dan keluarga (family). Unit-unit sosial dasar ini yang menjadi dasar dari sebuah organisasi yang besar, yaitu Liga Suku. Unit sosial yang kedua disebut dalam bahasa Ibraninya ialah mišpāhāh, yang diartikan ‘protective asociation’, yaitu anggota-anggota keluarga yang tinggal dalam suatu lingkungan yang sama, atau di suatu kawasan tertentu yang dekat dengan desa suku itu. Mereka bertugas untuk mengusahakan kestabilan ekonomi anggota keluarga, dan membantu suku Lewi. Unit sosial yang ketiga adalah keluarga besar, yang terdiri daribeberapa generasi dari satu orang laki-laki (leluhur).

Ini berarti bahwa dinamika sosial masyarakat Israel kuno selalu harus dilihat dalam persekutuan suku-suku itu; termasuk pun ketika kita membaca fenomena konflik kepentingan antara Israel Utara dan Selatan pasca Daud. Itu adalah sebuah reaksi suku-suku, atu keluarga-keluarga yang memprotes sentralisasi yang sudah korup dan tidak lagi menjalankan fungsi ekonomisnya, seperti corak dasar sosialita Israel kuno itu. Sentralisasi sudah sangat politis, dan gila kekuasaan, lalu menjadi semakin otoriter untuk menarik semua potensi ekonomi suku (termasuk pekerja – SDM), untuk bekerja ‘memperkaya pusat’ dan bukan keluarganya lagi. Demikian pun adalah kritik terhadap dinasty model dalam kepentingan sosial-politik yang melemahkan daerah-daerah pinggiran/marginal dan menekan emansipasi politik warga.

Keempat, jatuhnya Israel kuno ke dalam pembuangan (terutama Babel), adalah fenomena baru yang dialami monarkhy ini. Term ‘pembuangan’ (exile) perlu untuk memahami konteks kolonisme yang dialami Israel kuno. Sebab konteks kolonisme di Palestina kuni tidak saja berarti penaklukan. Serentak dengan penaklukan, warga bangsa yang ditaklukkan diangkut/dikirim keluar dari akar kebangsaannya (native) (lht. R.J. Coogins).

Point penting sekaligus point kritik sosial di sini ialah theokrasi Israel kuno jelas-jelas mengalami ujian berat dalam konteks pembuangan. Artinya, secara politis, pembuangan menjadi isyarat paling praktis bahwa ‘Yhwh’ sebagai supreme one dalam theokrasi itu ‘kehilangan muka’ dalam arti kalah. Inilah kelemahan politis sebuah negara yang cenderung mendasarkan ideologinya pada paham agama atau paham Tuhan. Agama dan Tuhan akan terjebak dalam retorika politik-militeristik. Hegemoni agama dan Tuhan akan turut dipengaruhi oleh konteks politik-militeristik itu pula.

Dalam sejarah Israel kuno, episode kelabu mereka terjadi dalam konteks pembuangan. Bukan semata karena mereka diperbudak, tetapi karena jatidiri Yahwistik mereka menjadi hilang. Ini pun kelemahan dari sentralisasi-religius Yahudi. Yerusalem sebagai Kota Suci, dan terutama Bait Allah sebagai center of life dari orang-orang Israel kuno sudah hancur. Serentak dengan itu, eksistensi keyahudian dan yahwisme mereka pun hilang. Di luar Yerusalem (dalam domain desentralisasi) Israel bukanlah sebuah bangsa, melainkan sekelompok kecil para budak. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap sentralisasi yang selalu dibangun dengan jargon ‘pusat’ lalu seakan-akan di pusat pun ada ‘simbol-simbol nasional’ yang mesti dipelihara (di Indonesia, semua simbol nasional ada di Jakarta – Monumen Nasional, Taman Nasional A dan B, termasuk tokoh nasional – selalu adalah orang yang ada di Jakarta, dan tokoh-tokoh lain yang tidak tinggal di Jakarta disebut tokoh daerah, demikian pun artis nasional dan artis daerah, pejabat negara dan pejabat daerah – yang ternyata sama-sama aparatur negara).

Namun secara teologis, pembuangan memberi kontribusi besar dalam ‘pengharapa’ (mesianik) sebagai salah satu unsur penting dari agama. Yang menariknya adalah pengharapan yang muncul dalam pembuangan (lihat juga teks-teks Deutro dan Trito Yesaya, tetapi terutama Ezra dan Yehezkiel) adalah ‘kebebasan’ secara sosial, ekonomi, politik, agama, atau kebebasan kemanusiaan. Spirit ini yang kuat muncul di dalam Nehemiah, dan agak sedikit berbeda dari Ezra sebagai kitab kembarnya yang lebih melihat pada aspek kesucian, terutama larangan kawin campur. Artinya, restorasi Nehemiah adalah sebuah restorasi dalam arti fisik, secara politis-ekonomis, kesejahteraan (bnd. 2:10), tetapi Ezra lebih menjurus pada dimensi sosio-psikologis, dalam arti spiritual (Ezra 10).

Dari penjelasan itu, di mana jalan yang mulus untuk menghubungkan konteks Nehemiah dengan Indonesia? Ini tidak bisa disederhanakan atau dipaksakan. Sebab monarkhy dan demokrasi memiliki perbedaan yang sangat tajam. Seperti itu pula theokrasi dan kebebasan rakyat. Tetapi persoalan sosial sebuah bangsa, dan harapan pemulihan kemanusiaan yang terpuruk, adalah isu sosial yang selalu menjadi titik temu semua bangsa dan semua agama di dunia. Kemanusiaan. Itulah subyek yang abadi dari semua persoalan kebangsaan dan keagamaan di dunia.

2. Nehemiah 2:11-20 – “masih ada hari esok”
Sebaiknya kita sudah membaca teks pasal 1-2:10, dan sudah memahami dengan benar pergulatan personal Nehemiah dalam doa-doanya pada saat mau menghadap raja Artahsasta (Persia) untuk meminta ijin kembali ke Yerusalem. Alangkah baiknya juga jika kita telah memahami niat baiknya kembali ke sana (2:10).

Teks pasal 2:11-20, bukan kulminasi dari gerakan pembaruan Nehemiah. Teks ini malah menjadi titik kritisnya. Maksudnya, dia masih berhadapan dengan konflik politik lokal, dengan orang Israel kuno, tetapi juga dengan pemerintah-pemerintah daerah, dan bangsa lain di sekitarnya (orang Horon, Amon dan Arab). Nehemiah berniat ‘kembali’ ke Yerusalem (coming home). Keingian itu yang membuat dia di suatu waktu kemudian mendapat kepercayaan dari raja untuk menjadi bupati (445 sM). Jadi dia bukan bupat yang pernah berkuasa lalu mau menjadi bupati lagi di periode baru (incumbent) di sebuah wilayah pemerintahan yang baru mau dipulihkan kembali (identik konteks pemekaran wilayah yang sekarang ramai terjadi di Indonesia, dan ramai pula diwarnai perebutan kekuasaan). Ini penting untuk memahami posisi politik Nehemiah dalam gerakan pembangunan kembali Yerusalem, sekaligus memahami konstelasi kepemimpinan di Yerusalem yang hendak dibangun kembali.

Ada beberapa aspek penting secara eksegetik yang perlu dimaknai, antara lain:
Pertama, instabilitas sosial sebagai konteks pembangunan kembali Yerusalem. Sikap politik Persia (melalui Koresh) yang memungkinkan Israel kuno kembali ke Yerusalem dan memberi kebebasan beragama kepada mereka selalu ditafsir secara spiritualis, bahwa Yhwh memakai mereka untuk memebaskan umatNya. Tafsir PL selalu menitikberatkan hal itu, dengan pengertian bahwa Tuhan juga bisa menggunakan bangsa lain (orang lain) untuk melaksanakan kehendak atau misiNya. Tafsir itu selalu jatuh pada klaim ‘karena Israel adalah bangsa pilihan Allah’.

Dalam teks Nehemiah 2, sikap politik Persia (melalui Arthasasta) adalah bagian dari strategi politik Persia yang sangat terbuka. Persia, tidak seperti Mesir yang menjadikan vesel (bangsa yang dijajah) untuk membangun national and military sovereignty, karena kekuatan nasional dan militer Persia sudah lebih stabil dibandingkan negara-negara Palestina kuno lainnya. Kolonisasi Persia lebih diarahkan pada bagaimana menyebarkan pengaruh budaya dan memperkuat posisi tawarnya secara ekonomis di internasional. Karena itu jika kehidupan ekonomi daerah-daerah koloni berkembang, itu menjadi kontribusi besar secara nasional dan internasional kepada Persia.

Dalam urusan keagamaan, pemerintah Persia tidak mencampuri urusan agama orang lain. Ada toleransi yang sangat besar dalam hal ini, sehingga ijin untuk membangun kembali Bait Allah dan kota Yerusalem sejak zaman Ezra – Nehemiah adalah bagian dari sikap politik Persia (bnd. Ezra 7).

Realitas sosio-politik itu membuat kita mengerti mengapa Arthasasta serta-merta memberi ijin kepada Nehemiah untuk kembali ke Yerusalem dan melakukan pembangunan kembali kota itu. Gambaran kontrasnya ada pada Firaun yang bersikeras melarang Musa membawa orang Israel keluar dari Mesir (bnd. Kel. 5). Hal itu sekaligus menunjuk pada posisi politik Israel kuno yang berbeda di bawah Mesir dan Persia.

Ijin Arthasasta kepada Nehemiah (2:2-8), adalah ijin yang sama kepada Ezra (Ezra 7). Dalam masanya, Ezra gagal merampungkan tugas pembangunan itu karena masih ada ketegangan politik lokal (Ezra 4), terutama polemik antara orang-orang yang baru pulang dari pembuangan dengan orang-orang yang menetap di Yerusalem (bnd. H.G.M. Williamson); dan dengan para pemimpin di sekitar Yerusalem menjadi cemburu dengan rencana pembangunan itu, dan kembali menghasut raja untuk menghentikan pembangunan dimaksud karena sudah melewati ijin yang diberikan. Ketegangan politik itu dipahami benar oleh Nehemiah, yang adalah juru minum raja, terutama mengenai sikap Zanbalat dan Tobia, dua orang bupati, yang masih memiliki hubungan persaudaraan dengan orang-orang Yahudi.

Dari gambaran teks itu, instabilitas sosial-politik adalah konteks sosio-politik dari rencana pembangunan kembali Yerusalem di zaman Ezra dan Nehemiah. Konteks itu memperlihatkan bahwa pembangunan kembali Yerusalem tidak mesti dipahami semata untuk tujuan pemurnian Yahwisme, artinya agar ada suatu tempat ibadah. Stabilitas sosial, terutama harmonisasi politik lokal, adalah hal yang perlu diperhatikan dalam menata kehidupan masyarakat yang fundamental.

Gesekan-gesekan politik lokal ini yang perlu menjadi perhatian kita dalam memahami teks ini. Artinya, masalah dalam pembangunan tidak terjadi semata oleh persoalan-persoalan ekonomis, tetapi ketegangan politik (political tension) yang disulut oleh interese yang berbeda.

Kehadiran Zanbalat dan Tobia penting dimaknai dalam konteks ini. Apalagi sejak Ezra memerintah, mereka sudah menjadi lawan politik (oposan). Teks Nehemiah menyebut mereka secara khusus (2:10,19; 6:1-17) dan ini jelas menggabarkan ketagangan politik saat itu. Jelas bahwa semua ini sangat terkait dengan karier politik mereka masing-masing sebagai bupati dalam kerajaan Persia. Karier politik adalah hal yang menjadi perhatian kedua tokoh politik lokal ini. Sebab keputusan apa pun yang dibuat, atau tindakan politik apa pun yang dilakukan, termasuk keputusan untuk membangun, selalu merefleksikan interese politik mereka, dan semuanya mengarah pada karier politik (bnd. Barbara Geddes).

Pentingnya karier politik merupakan unsur penting dalam ketegangan politik lokal kala itu. Membaca teks ini dalam konteks kita di Indonesia, membuat kita kembali merefleksikan dinamika sosial-politik Indonesia secara kritis. Satu hal yang kiranya menjadi bagian telaah kita adalah kenyataan bahwa pergantian setiap rezim di Indonesia, otomatis mengganti seluruh paradigma pembangunan dalam segala segi, termasuk misalnya kenaikan atau penurunan harga BBM, sampai pada bantuan bibit padi, dan itu sangat terkait dengan karier politik seseorang/partai. Termasuk dalam era reformasi. Memang ‘reformasi’ dalam sistem demokratisasi yang sudah sangat terbuka ini selalu berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan politik, karena setiap orang mau menjadi ‘penentu’ dalam sejarah bangsa ini. Suatu keputusan dan kebijakan politik, akan dilihat sebagai keputusan dan kebijakan rezim yang berkuasa. Kita selalu mencari celah untuk ‘tidak setuju’ ketimbang menjalankan policy yang ada sambil membenahi sistem perlahan-lahan. Karena itu, semua kelompok/partai mungkin lebih suka dengan jargon ‘tunggu kalau saya memerintah, saya akan melakukan ini dan itu’.

Kedua, pembangunan kembali Yerusalem: keberpihakan pada kesejahteraan. Ada dua aspek penting dari pembuangan (exile) yang membentuk dinamika Israel kuno, yaitu pemahaman diri (self-understanding) karena merasa telah tercabut dari akar-akar eksistensinya, dan bentuk rekonstruksi sosial dan pembangunan politik yang dicita-citakan (bnd. R.J. Cogins).

Aspek pemahaman diri muncul dalam konteks keterpurukan secara multidimensional. Ritus-ritus Yahwisme hilang karena mereka sudah keluar dari Yerusalem. Sikap Israel seperti ini, maka dalam pembuangan mereka mengalami split personality baik individu maupun kelompok. Beragama mereka terlalu dikiblatkan pada teritori-domestik. Karena itu ketika mereka tercabut dari teritori-domestik itu, semua penyanggah moral dari agama ambruk.

Dampak teologisnya ialah Tuhan seakan jauh, karena Tuhan sudah didomestikasikan di Yerusalem (Bait Allah). Entah apa yang bisa dijelaskan dari fenomena beragama seperti itu jika memang Bait Allah sebagai tempat kediaman Tuhan pun sudah hancur. Artinya, Tuhan mungkin juga sudah tertimbun reruntuhannya.

Dampak politisnya ialah pembuangan dimaknai sebagai sebuah ideological victory kepada orang-orang Babel. Karena itu, pemahaman diri sebagai bangsa dan terutama manusia yang berhak atas kesejahteraan turut tenggelam. Spirit kebebasan menjadi utopia, dan ironisnya lagi, ketika muncul tokoh pembebas, mereka dicurigai sebagai orang-orang yang hendak mencari untung dan reputasi politik (bnd. ketegangan awal Musa dengan Israel – Kel. 6:8. Nasib yang sama pun dialami Yesaya dan Yeremia dalam karya-karya kenabian mereka).

Episode dalam Nehemiah lebih memperlihatkan dimensi kedua dari pembuangan, yaitu tipe rekonstruksi sosial-politik seperti apa yang dicita-citakan. Di dalam teks Nehemiah 2:11-20, ide reformasi ini didorong oleh perspektif kesejahteraan sosial (2:10). Artinya, tipe rekonstruksi yang dicita-citakan adalah kesejahteraan itu.

Perspektif itu harus menjadi perspektif kita dalam membaca teks 2:11-20 secara kritis. Ayat 11-13a, menunjukkan kepada kita, Nehemiah memulai reformasi itu dengan melakukan ‘pengamatan secara diam-diam’. Ada suatu aktifitas penting di sini, yaitu setibanya di Yerusalem, ia dengan ditemani beberapa orang saja, mengelilingi kota itu pada malam hari. Bahkan, ia pun tidak memberitahukan niatnya membangun Yerusalem ‘kepada siapa pun’.

Apakah artinya Nehemiah memiliki agenda terselubuh (the hidden agenda) dalam reformasi ini? Atau ia tidak mau terjebak dalam retorika politik yang kemudian gagal? Atau agar jangan sampai oposan menggagalkan proyeknya sebelum dilaksanakan?

Sikap Nehemiah ini dapat dipahami. Sikap itu beralasan, sebab ia sebenarnya meneruskan proyek lama (di zaman Ezra) yang sudah ‘macet’. Tindakannya itu memperlihatkan bahwa yang mesti diurus adalah bagaimana merampungkan pembangunan Yerusalem, dan bukan konflik politik lokal yang ada. Para oposan akan tetap melawannya, tetapi pembangunan itu perlu berjalan, dengan orang-orang yang memiliki perhatian yang sama dengannya. Orang-orang yang bersama-sama dengan Nehemia malam itu adalah mereka yang memiliki harapan dan cita-cita sosial yang sama.

Perbedaan Nehemiah dengan para oposan terletak pada perspektif mereka membangun Yerusalem. Perspektif Nehemiah adalah kesejahteraan, dan bukan politik militeristik. Di sini pun masih tergambar jelas perbedaannya dengan Ezra. Ezra lebih melihat pada aspek-aspek kultik, dan bagaimana menegakan kembali hukum Musa. Di samping itu, Ezra merasa terpanggil untuk mempersatukan kembali Israel, seperti dahulu di Zaman Daud. Berbeda dengan itu, Nehemiah lebih fokus pada bagaimana membangun kembali ketahanan ekonomi dan sosial orang-orang Israel yang selama ini terisolasi, terutama dari Samaria.

Perjalanan Nehemiah di malam hari, mulai dari pintu gerbang Lebak ke mata air Ular Naga dan pintu gerbang Sampah, kemudian ke mata air dan ke kolam raja, lalu kembali ke pintu gerbang Lebak (2:13-15) adalah upaya memahami kondisi masyarakat Israel.

Dari perjalanan itu, ayat 17 adalah penjelasan dari hasil ‘observasi diam-diam’ Nehemiah; ‘kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakat. Mari kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela’.

Ayat ini menjadi kunci masuk untuk memahami keterpurukan sosial-ekonomi dan politik Yahudi. ‘Kamu lihat…’ adalah sebuah istilah teologi PL yang setara dengan ‘dengarlah Israel…’ (shéma). Artinya dituntut perhatian dan kesadaran penuh terhadap firman Tuhan dan hukum, serta keberadaan manusia. Ada realitas yang terjadi, seperti ada hukum yang sudah ditetapkan, dan realitas itu terabaikan dari perhatian manusia setiap hari. Istilah: ‘kamu lihat…’ bukan karena realitas itu tersembunyi, atau terselubung, atau jauh di suatu tempat. Sebaliknya karena realitas itu nyata, tetapi orang menganggapnya sebagai hal yang biasa dan tidak penting. Ironinya, orang sudah merasa berbiasa dengan realitas itu.

Realitas yang dimaksudkan di sini adalah ‘kemalangan yang kita alami’. Di sinilah kita patut memberi kritik terhadap paradigma religiosentrik (corak pandangan divine system) yang cenderung mengabaikan realitas sosial (corak pandangan human system). Israel selalu melihat ‘kemalangan’ mereka sebagai bentuk ketercabutan Yahwisme semata. Seakan mereka bukan suat bangsa (dalam arti komunitas masyarakat) jika mengalami pembuangan. Kegagalan pembangunan yang dilakukan Ezra pun bagi mereka hanya berimplikasi religius, dalam arti mereka belum bisa menjalankan kewajiban beragama secara murni. Makanya reformasi Ezra ditegaskan melalui larangan kawin-campur, dan kewajiban menceraikan suami/istri yang bukan Yahudi.

Implikasi sosial akibat kegagalan itu tidak dilihat. Malah dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Kemalangan secara sosial, ekonomi, politik, itulah yang dituntut Nehemiah agar menjadi perhatian kembali secara bersama.

Nehemiah meminta kepedulian sosial dari para imam, para pemuka, para penguasa, dan petugas-petugas yang ada di dalam masyarakat (2:16b-18), sebab kemalangan itu sudah sangat parah. Kemalangan itu sudah menjadikan Israel berada di dalam situasi colapse atau katastrophal, situasi yang membingungkan karena tiada daya untuk melakukan hal yang positif/membangun, bukan karena tidak ada daya, tetapi karena semua jalan ke arah itu diliputi berbagai tantangan (situasi kelam kabut).

Ayat 18b ‘kami siap untuk membangun. Dan dengan sekuat tenaga mereka mulai melakukan pekerjaan yang baik itu’. Ini adalah suatu dinamika yang menarik disimak. Rupanya naskah-naskah PL dalam era pra dan pasca pembuangan dibentuk oleh pemahaman mengenai krisis panggilan. Bandingkan ungkapan dalam Yesaya 6:8b-c ‘…siapakah yang akan Ku-utus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ maka sahutku: ‘ini aku, utuslah aku…’, atau pledoid Yeremia: ‘ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda’ (1:6). Teks-teks itu memperlihatkan bahwa krisis panggilan itu dialami secara massal, sehingga hampir tidak ada orang lagi untuk menjalankan suatu tugas konstruktif. Ini terjadi tentu karena keterpurukan sosial, ekonomi, poliitk, dan moral masyarakat. Suatu kebangkrutan yang terjadi pada level moral, etik dan sosial.

Kesediaan orang Israel untuk membangun bersama Nehemiah dalam ayat 18 ini menunjukkan bahwa tujuan reformasi itu sudah dipahami, tetapi yang terutama adalah orang Israel benar-benar hendak keluar dari keterpurukan itu. Reformasi ini adalah tahapan baru untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah proses reformasi memerlukan komunikasi yang setara dan transparan. Komunikasi reformasi bukanlah suatu proses penawaran karier politik, sebaliknya sebuah proses kontrak kesejahteraan yang murni dan tulus. Dimensi ini yang perlu dalam pembangunan kembali Yerusalem.

Komunikasi reformasi juga harus terjadi litas batas dan status sosial-politik. Suatu komunikasi setara, di mana setiap orang memiliki posisi yang sama, dan karena itu membicarakan cita-cita bersama. Suatu komunikasi kemanusiaan. Dari situ kita dapat memahami ‘aktifitas Nehemiah berjalan di malam hari’ (ayat 12). Maksudnya, ia mengamati dan berusaha memahami terlebih dahulu kondisi sosial masyarakat. Kondisi itu kemudian dijadikan sebagai content dari proyek reformasinya, dan itulah yang dikomunikasikan kepada para imam, para pemuka, para penguasa, dan petugas-petugas lain di dalam masyarakat. Suatu proses need assessment yang dikaitkan dengan tujuan bersama (general will) untuk dijadikan isi dari proyek bersama (general agenda).

Ketiga, tujuan boleh sama, kepentingan selalu berbeda. Saya kira ini adalah suatu jargon politik yang agaknya paling digemari dalam pentas politik dari abad ke abad. Niat baik Nehemiah dipolitisir oleh para penguasa di sekitar (Zanbalat dan Tobia) sebagai sikapnya berontak terhadap raja (ayat 19).

Di sinilah terletak paradigma yang berbeda dalam karier politik Nehemiah dengan kedua oposannya. Paradigma Nehemiah adalah kesejahteraan. Tembok Yerusalem yang hendak dibangunnya adalah strategi menciptakan stabilitas sosial, memelihara potensi air, dan melindungi teritori Yehuda dari perebutan tapal batas dengan bangsa lain. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat melakukan aktifitas ekonomi dengan aman, tanpa gangguan orang lain. Ini ditafsir secara politis-militeristik oleh Zanbalat dan Tobia, sebagai suatu strategi Nehemiah membangun kembali hegemoni Israel Raya sebagai sebuah monarkhi. Ternyata cara yang sama dipakai untukmenggagalkan reformasi Ezra.

Ayat 20 adalah jawaban Nehemiah kepada kedua oposannya itu. Suatu jawaban yang menunjuk pada spirit religius yang menjadi senyawa reformasinya. Artinya iman itu menjadi sumber motivasi dari semua gerakan pembaruan sosial yang dikerjakannya. Dia memberi isi iman ke dalam kerjanya, dan bukan sebaliknya membangun hegemoni agama sebagai proyek tunggal reformasinya. Reformasi Nehemiah adalah reformasi sosial yang dimotivasi oleh nilai-nilai etika dalam agama.

Dengan demikian Yerusalem yang dibangunnya adalah sebuah ‘residental teritory’, sebuah tempat tingal, yang di dalamnya orang bebas melakukan aktifitas sosial ekonomi untuk kesejahteraan kota. Kota dalam arti ini bukan kota berkubu, tetapi kota sebagai tempat berlangsungnya seluruh aktifitas kehidupan.

Selamat melakukan pekerjaan ‘perubahan’.
Tuhan memberkati

[Materi ini disusun untuk menjadi materi Penelaahan Alkitab dalam Kongres Nasional JKPLK di Ambon, Tahun 2007, tetapi tidak sempat dibawakan karena alasan yang tidak jelas]

Comments

Weslly said…
Salut !!!

Bage-bage jurus tafsir par beta lai bu...

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara