Friday, June 27, 2008

Amos, Kritik Terhadap Agama dan Politik

Materi Khotbah
Teks : Amos 5:14-15

oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Saudara-saudaraku,
Semoga kita semakin mengerti istilah-istilah seperti ini: “vox dei, vox populi”, atau “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Setidaknya itulah dua istilah yang patut dijadikan konsep ideal politik dan demokrasi di dalam suatu masyarakat yang beradab. Artinya kita tahu benar bahwa jantung demokrasi itu adalah rakyat, dan kehendak rakyat (people will) adalah manifestasi dari kehendak Tuhan (God will). Setidaknya itulah pemahaman dasar yang kiranya membuat semua orang memahami bahwa tentu dunia politik bukanlah suatu dunia yang kotor, atau tabu untuk dibicarakan dan bahkan dimasuki. Dengan dua istilah itu, malah kita harus yakin bahwa dunia politik adalah dunia yang juga dikuduskan TUHAN untuk kesejahteraan, keadilan, dan kebenaran bagi masyarakat dan bangsa.

Kita memang tidak usah melanjutkan polemik bahwa politik itu kotor, walau kita tahu bahwa ada politisi busuk (polbus). Sebaliknya kita bisa mengatakan bahwa di politik itu hanya ada lawan yang sejati, sebab hanya kepentingan yang dikejar. Tetapi kita tentu kiranya tidak melupakan bahwa politik itu adalah juga seni kehidupan dan seni untuk melayani orang lain/sesama.

Saya hendak mengajak kita menelisik sedikit ke dalam konteks sosial dan politik yang digumuli nabi Amos. Teks kita, Amos 5:14-15 dihasilkan dari suatu situasi sosial dan politik yang dihadapi Amos secara langsung. Suatu konteks demokrasi yang carut-marut, yang turut memperlihatkan bagaimana lembaga keagamaan dilibatkan dalam politik.

Amos tidak hanya berhadapan dengan pemerintah yang sudah sangat korup, atau para pimpinan agama yang telah mengabaikan peran kritik agama di dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat. Jauh daripada itu, masyarakat di zaman Amos telah menjadi korban kekuasaan dan lembaga agama yang korup itu. Apa indikasi situasi korup yang dihadapi masyarakat di zaman Amos? Yaitu ketika keadilan dan kebenaran tidak lagi menjadi norma standar (standard norm) dalam menata kehidupan bersama (kehidupan publik).

Kemunculan Amos adalah suatu pertanda bahwa keresahan sosial itu tidak hanya dialami oleh orang-orang di kota. Warga di pedesaan pun begitu resah dengan kondisi sosial, politik dan agama yang sudah sangat korup dan demoral itu. Orang-orang desa, termasuk Amos, terpaksa harus melakukan aksi protes dalam bentuk kritik terhadap orientasi kekuasaan dan keagamaan yang sudah sedemikian parahnya itu. Ini bukan hanya masalah bias, tetapi lembaga-lembaga kekuasaan dan keagamaan telah kehilangan orientasi dan meninggalkan kesejatiannya sebagai lembaga-lembaga pelayanan publik.

Sepintas kritik Amos dalam 5:14 menjelaskan kepada kita bahwa orang sudah gemar sekali melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan kepentingan umum. Hal itu dijelaskan dalam beberapa bentuk, seperti praktek suap di pengadilan (2:6), manipulasi dan perampasan hak orang miskin (2:6), penindasan, terutama kepada kaum marginal (2:7) dan keadilan yang diputarbalikkan (2:7), bahkan kasus-kasus asusila seperti pelecehan seksual (2:7), pungutan liar dan pelacuran bakti (2:8).

Ini adalah konteks sosial yang ternyata terjadi karena lembaga-lembaga kekuasaan itu telah menjadi rakus, dan lebih mementingkan status sosial serta pembangunan institusi yang mapan. Bahkan lembaga pengadilan sudah tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan, tetapi di sana pun terjadi manipulasi hak dan keadilan, terutama terhadap orang-orang miskin dan kaum marginal. Ringkasnya, situasi sosial di zaman itu ibarat situasi tanpa norma (normless), karena tidak ada lagi elemen sosial-politik yang bersih/berwibawa.

Saudara-saudaraku,
Di dalam situasi seperti itu, para pimpinan umat beragama, yakni imam malah terjebak di dalam settingan politik yang korup. Para imam telah menjadi representasi kekuasaan yang korup, karena tidak lagi menjalankan fungsi kritisnya terhadap kekuasaan. Kedekatan imam dengan raja membuat imam mengalami disorientasi, dan menjadi imam kultik, yaitu imam yang melayani raja dan kekuasaan untuk kepentingan status sosialnya sendiri (bnd. Kritik Amos kepada imam Amazia dalam 7:10-17).

Kolaborasi imam dengan kekuasaan seperti itu membuat masyarakat tidak lagi memiliki tempat berpaut, dan karena itu imam atau agama-agama turut bertanggungjawab terhadap kerusakan moral pemimpin atau terhadap situasi bangsa yang korup; karena imam dan agama telah menjadi bagian di dalamnya.

Ini adalah sebuah contoh klasik yang kiranya menjadi point kritis bersama, bahwa terhisabnya agama di dalam kekuasaan berdampak pada disorientasi agama yang patut disayangkan. Dalam kondisi itu agama tidak memiliki kekuatan penetrasi yang mampu membuat lembaga kekuasaan itu semakin energik untuk melakukan hal-hal baik yang mendatangkan untung. Malah penetrasi kekuasaan ke dalam agama membuat agama sepertinya memberi restu atau tidak berdaya menyaksikan keterpurukan dan kejatuhan moral pemimpin itu sendiri. Agama malah menjadi penonton dari drama kesengsaraan dan keresahan publik.

Saudara-saudaraku,
Persoalan riil seperti itu yang dihadapi Amos kala itu. Ia berhadapan dengan situasi yang harus segera dipulihkan. Tujuan dari pemulihan itu adalah untuk menjamin hak-hak sipil atau hak-hak warga, baik dalam bidang ekonomi, dalam hal ini kesejahteraan, dalam bidang hukum, yakni keadilan dan kebenaran, dalam bidang politik, dan dalam bidang agama, terutama kemurnian ibadah dan kelembagaan.

Dalam pasal 5:14-15 ini, kita melihat dengan jelas bagaimana posisi Amos dalam melancarkan kritik kepada para pimpinan masyarakat dan pimpinan agama. Selain itu, terkandung pesan moral kepada masyarakat/umat.

Seruan Amos, “carilah yang baik dan jangan yang jahat” (5:14a) merupakan sebuah imperative yang menarik. Jika dicermati dalam tradisi Amos sang Nabi, maka imperative ini muncul dari keresahan sang Nabi karena tiang-tiang moral telah hancur, dan para pemimpinlah yang bertindak di dalam kehancuran itu. Ini bukan hanya suatu krisis, tetapi lebih dalam dari krisis, yaitu kematian moral (the death of morality). Kematian itu semakin dibenarkan ketika agama sebagai lembaga moral sudah tidak lagi menjadi kekuatan pembangun yang efektif.

Karena itu, imperative ini adalah suatu tindakan restorasi sosial dan moral yang hendak dikumandangkan Amos. Tujuannya semata-mata agar tertib sosial (social order) kembali terbangun dengan baik. Suatu social order di mana semua elemen sosial dan masyarakat kedapatan dalam relasi mutual untuk saling menopang dan menjamin berlangsungnya pemenuhan kesejahteraan, keadilan, kebenaran, kesetaraan dan kemurnian agama.

Untuk itu ungkapan “carilah yang baik dan jangan yang jahat” adalah perintah moral yang ideal. Hal baik itu adalah kondisi di mana setiap orang berfungsi sesuai dengan hakekatnya di dalam masyarakat. Pemerintah berfungsi sebagai pelayan masyarakat, dan masyarakat bisa menikmati haknya secara wajar tanpa manipulasi, ekspolitasi dan obyektifasi.

Ayat 15a dari teks ini mengandung imperative yang sama, tetapi dalam bentuk negatif, yaitu “bencilah yang jahat dan cintailah yang baik”. Ini adalah dua cara membahasa dari satu mulut yang sama, tentu dengan pesan khusus. Pada ayat 14a, Amos melihat bahwa kebaikan, kebenaran, keujuran itu telah hilang dan malah terkapar di dasar-dasar kerakusan, otoritarianisme, praktek manipulasi, ekspolitasi, pemerkosaan hukum dan kebenaran. Artinya juga bahwa nasib masyarakat kecil benar-benar tidak terjamin. Ungkapan “carilah” menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi hal baik dalam perilaku pemimpin, dan karena itu hak-hak sipil menjadi sangat terabaikan. Dimensi “carilah” di sini menunjukkan bahwa harus ada suatu gerakan baru yang benar-benar proaktif untuk menjamin hak-hak sipil itu. Suatu people power dalam rangka memperjuangkan tegaknya kembali kebenaran dan keadilan, agar masyarakat bisa menikmati apa yang sepantasnya menjadi hak mereka.

Sedangkan ungkapan “bencilah yang jahat dan cintailah yang baik” adalah suatu imperative yang bertujuan untuk menegakkan kembali tiang moralitas bangsa dan agama. Kejahatan harus dibenci, karena kejahatan itu telah melecehkan hak-hak sipil. Ini bukan budaya politik dan demokrasi yang sejati. Ini pun bukan budaya agama yang sejati. Seruan “bencilah…” menandakan bahwa kerusakan moral itu sudah sangat parah, dan untuk kebangunan kembali, diperlukan konsistensi. Konsistensi itu akan benar-benar terjamin jika orang mulai mengembangkan sikap “cintailah yang baik”. Ini kondisi ideal di mana kekuatan penetrasi agama semakin perlu.
Saudara-saudaraku,
Dua seruan itu ternyata diikuti juga dengan garansi teologis yang menarik. Dalam ay 14a, garansinya adalah “supaya kamu hidup”. Sedangkan dalam ay 15a, tidak terkandung garansi sebaliknya kondisi baru yang harus diwujudkan yaitu ‘dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang’, baru diikuti dengan garansi ‘Tuhan…akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf’.

Ini dua hal yang menarik disimak. Garansi dalam ay 14a menunjukkan bahwa hidup itu harus dilihat sebagai suatu kondisi yang juga diperjuangkan. Mengapa? Sebab banyak kejadian dan perbuatan orang yang tidak menghargai hakekat hidup itu. Di sini kita bisa melihat bahwa hak sipil yang dimaksudkan Amos tidak terfokus pada barang/materi yang mereka miliki, seperti tanah, jubah, dan lainnya. Hak sipil bagi Amos adalah hidup itu sendiri. Karena itu manipulasi, ekspolitasi, obyektifasi terhadap kaum miskin adalah tindakan pembunuhan, yang berarti tidak menjamin hidup orang miskin. Fokus pada hidup itu yang membuat Amos tiba pada suatu refleksi teologis yang kuat bahwa menjamin hak hidup orang lain itu jauh lebih berharga bagi Tuhan, ketimbang ibadah dan puji-pujian yang sia-sia (bnd. 5:21-25).

Karena itu, dalam 15a, Amos lalu menuju pada suatu kondisi baru yang harus diwujudkan yakni “tegakkanlah keadilan di pintu gerbang”. Kita telah sama mengerti bahwa ‘pintu gerbang’ adalah simbolisasi penegakan hukum. Simbol ini sudah patah, dan dilecehkan. Perlu pemurnian dengan jalan kembali memfungsikan lembaga hukum itu sebagaimana seharusnya. Karena itu perlu bagi Amos untuk mengajak umat kembali kepada tatanan hukum yang benar.

Kita akan memahami seruan Amos itu sebagai kritik sosial, politik, tetapi juga kritik teologi. Di sini sebenarnya Amos hendak menunjukkan bagaimana sepantasnya para imam itu menjaga jarak kritisnya dengan negara atau kekuasaan.

Bagi Amos, perintah “carilah yang baik dan jangan yang jahat”, serta “bencilah yang jahat dan cintailah yang baik”, adalah kondisi dinamis yang dikehendaki Tuhan. Ayat 14 dan 15 melukiskan hal itu secara gamblang dalam hal bagaimana Tuhan mengasihi dan menyertai umatNya. Bahkan ungkapan “sisa keturunan Yusuf” bisa dipahami secara ganda. Pertama, bahwa masih ada orang baik di negeri ini, tetapi yang kedua, secara dinamis bahwa perlakukan keadilan dan kebenaran itu akan menerbitkan masa depan yang baru bagi keturunan dan generasi manusia.

Saudara-saudaraku,
Pertanyaan kepada kita kini adalah apakah dunia politik dan demokrasi kita di Indonesia sudah sebegitu korup juga, sehingga akses masyarakat pada kesejahteraan, keadilan, kebenaran, kesetaraan juga kurang terjamin? Dan apakah agama-agama di Indonesia pun telah turut memainkan peran di dalam kerusakan moral bangsa dan keterpurukan berbagai sistem di negara ini? Apakah pimpinan-pimpinan umat beragama pun telah kehilangan disorientasi mereka, yang juga membuat para pimpinan masyarakat turut mengalami hal yang sama? Lalu bagaimana kondisi pelayanan publik itu sendiri?

Kita tidak perlu menjadi orang yang pesimistis tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Tetapi kita pun tidak boleh menjadi orang-orang yang terus diam di tengah berbagai praktek ketidakadilan, pemutarbalikan fakta hukum dan penindasan ekonomi terhadap kaum miskin di negeri ini.

Kita pun tidak usah menjadi sok moralis, lalu terkesan hendak menjauhkan agama dari politik. Tetapi Amos telah menunjukkan kepada kita sebab-sebab terdasar dari jatuhnya peradaban demokrasi atau peradaban politik bangsa. Yaitu ketika tidak lembaga-lembaga moral (dalam hal ini agama) sudah tidak lagi menjadi penunjuk jalan ke arah yang baik, tetapi malah telah menjadi bagian dari perbuatan jahat di bangsa ini.

Di sinilah point penting bagi kita untuk merefleksikan bagaimana fungsi agama dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Memang, kerusakan moral bangsa ini tidak harus dibebankan sepenuhnya kepada agama. Tetapi agama yang fungsional, pimpinan umat beragama yang fungsional dan profetik, adalah agama dan pimpinan agama yang tetap menjaga relasi yang kritis dengan semua elemen sosial, politik; malah bisa memulihkan situasi sosial dan politik yang korup.


Saudara-saudaraku,
Semoga kita masih tetap berada dalam kesadaran bersama bahwa melayani orang lain, termasuk dalam politik, adalah panggilan kudus sebagai bangsa dan umat TUHAN. Tidak ada pilihan lain, kecuali “bencilah yang jahat dan cintailah yang baik”.
Amin

Sunday, June 8, 2008

1st day to Church


1 Juni 2008, bertepatan Hari Pancasila, Ellexia pertama kali masuk Gereja. Ini dia, posenya dengan seragam Pramugari, bersama mamanya.

Ellexia


Ellexia Delima Maspaitella, Anak kami yang lahir pada Selasa, 15 April 2008 (BB 3000, PB 51), melalui proses seksio sesarea, di RSUD Dr. Haulussy Ambon.

Friday, June 6, 2008

Agama dan Geopolitik

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Telah dibentangkan bersama pokok “Agama dan Politik” . Kini kita membahas satu persoalan menarik lainnya, yakni “agama dan geopolitik’. Teori politik akan menunjukkan kepada kita bahwa klaim teritori selalu dapat menjadi suatu wilayah politik yang bisa juga didominasi oleh satu aliansi politik tertentu.

Tetapi kita tidak akan mendapati dalam satu wilayah, seluruh penduduk di situ berada dalam satu aliansi politik yang sama. Jika pun ada, hal itu adalah suatu kekecualian di dalam realitas politik yang jamak.

Geopolitik di sini dapat dilihat secara jelas dalam apa yang disebut ‘daerah pemilihan’. Dalam era Pemilu Legislatif, daerah pemilihan menjadi faktor penentu keterwakilan seseorang sebagai anggota legislatif. Fenomena lain dari ‘daerah pemilihan’ adalah keterwakilan beberapa anggota legislatif dari partai politik yang berbeda di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat [Daerah]. Satu daerah pemilihan bisa diwakili oleh lebih dari satu orang, dari partai politik yang berbeda pula.

Geopolitik seperti itu menunjuk pada jumlah pemilih di satu daerah pemilihan; atau jumlah penduduk dewasa (17 tahun ke atas), yang memiliki hak politik, untuk memilih dan dipilih. Artinya, suatu geopolitik adalah wilayah independen, di mana setiap warga di dalam geopolitik itu bisa [berhak] menentukan nasibnya.

Dalam kondisi politik Indonesia yang jamak, suatu geopolitik kini juga terbentuk dalam klaim etnisitas [dan agama]. Fakta seperti ini kita peroleh dari hasil Pemekaran Provinsi, Kabupaten/Kota, bahkan mungkin juga Kecamatan, atau pembentukan Dusun menjadi Desa defenitif.

Pemekaran Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom akhir-akhir ini terjadi pada satu kelompok sub-kultur di suatu provinsi. Ambil misal di Maluku, Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur dari Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kepulauan Aru dari Maluku Tenggara; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara; dan [nantinya] Kabupaten Buru Selatan dari Kabupaten Pulau Buru, dan Kabupaten Maluku Barat Daya dari MTB.

Konstruksi geopolitik baru itu beranggotakan satu sub-kultur tertentu. Wilayah sub-kultur itu kemudian menjadi domain politik yang independen, terlepas dari domain politik yang beranggotakan sub-kultur lainnya.

Tanpa sadar, geopolitik itu pun tersusun atas mayoritas agama tertentu, baik Islam maupun Kristen. Di sinilah mengapa titik sentimen kedaerahan, jargon putra daerah dan agama menjadi jargon politik yang cukup dipolemikkan, antara hak warga negara dan kepentingan putra daerah.

Kita tidak tahu seberapa jauh geopolitik itu memberi sumbangan bagi pembentukan karakter politik dan demokrasi yang dewasa, terkait dengan moment-moment politik seperti Pemilu dan Pilkada.Tetapi sejauh kita amati, susunan geopolitik seperti itu memperlihatkan bahwa kita memerlukan suatu energi politik baru untuk membangun kultur politik yang lebih terbuka dan lintas batas perbedaan yang ada.

Agama dan Politik

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Membuat pemetaan agama dan politik di Indonesia sama halnya dengan membuat pemetaan sosial masyarakat Indonesia itu sendiri. Agama memang tidak harus dikurung dalam domain ‘sakral’ dan politik dalam domain ‘profan’, seperti Durkheim membaginya; karena toh agama adalah produk masyarakat berbudaya, dibentuk sesuai kreasi kebudayaan masyarakat setempat. Simbol-simbol di dalam agama pun adalah produk budaya yang lahir dari adanya ‘sense of belief’ yang kuat.

Di situ, agama pun memiliki di dalamnya nuansa politik yang kuat, dalam hal menyatukan umat [masyarakat yang telah teraliansi] dan dalam hal membangun hubungan interelasi personal antara satu dengan lain, serta dalam apa yang kerap disebut ‘koinonia’ [the unity].

Teori-teori agama [dan teologi] juga telah melihat bahwa agama dan politik adalah dua aspek dasar dalam hidup seorang manusia dan komunitas. Seperti kita tidak bisa memisahkan personalitas dari komunalitas pada seorang individu, demikian pun kita tidak bisa memisahkan ‘sense of belief’ dan ‘sense of politics’ pada individu dan kelompok agama tertentu.

Nisabah di antara dua aspek ini malah hampir tidak ada jika agama dan politik kita pahami sebagai seni kehidupan yang bertumpu pada apa yang disebut ‘tanggungjawab’ [responsibility]. Baik agama maupun politik sama-sama membimbing manusia untuk melakukan peran secara nyata dalam relasi satu dengan lainnya, serta mengarahkan manusia mencapai tujuan ideal [ideal type ] bersama melalui seperangkat aktifitas [kerja, melayani – work and service]. Di sinilah kita patut menggarisbawahi bahwa agama dan politik adalah bagian dari panggilan manusia untuk mempertahankan eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan komunitas berbudaya.

Karena itu mempertentangkan agama dan politik sebenarnya adalah suatu gejala teknis semata. Ini terjadi karena kita melihat agama dan politik dalam perspektif yang teknikus, yaitu pada difergensi umat yang telah teraliansi tadi. Tidak benar bahwa klaim ‘politik itu kotor’ harus dimengerti bahwa politik itu sudah terdistorsi sangat jauh, dan distorsi itu adalah akibat dari politik an-sich. Malah, ketika politik telah terdistorsi, itu pertanda bahwa agama juga telah mengalami distorsi yang sangat hebat. Mengapa? Karena pada saat yang sama, agama kehilangan kekuatan penetrasinya untuk membangun sebuah etika politik yang luhur.

Sampai pada titik itu, distorsi politik harus dipahami sebagai sesuatu yang terjadi karena perilaku politik warga yang sudah kabur dan kehilangan arah. Dimensi ‘ideal type’ tadi telah diabaikan, sehingga aspek work and service di dalam politik tidak lagi dijadikan instrumen membangun hubungan interpersonal. Artinya, dimensi responsibility telah menjadi kata usang yang sangat kaku. Orang tidak lagi melihat politik sebagai seni kehidupan, atau etika untuk melayani [meminjam konsep Oom Jo Leimena].

Jika perilaku politik sudah ‘tidak bernurani’ lagi, kita akan sulit mendapati para politisi itu tampil sebagai ‘pelayan publik’ yang bertanggungjawab. Karena itu, tanpa disadari, kitalah yang membangun nisbah ‘sakral dan profan’ antara agama dan politik itu sendiri.

Politik yang bernurani adalah politik yang dikembangkan melalui kerja dan pelayanan yang bertanggungjawab. Di situlah, agama memberi jiwa ke dalam perilaku politik warga. Jika hal itu terjadi, kita sedang berjalan menuju peradaban kemanusiaan yang sejati dan bertanggungjawab. Itulah ‘ideal type’ yang hendak kita wujudkan.

Tragedi 1 Juni, Luka Bagi Pluralitas Indonesia

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kami sebenarnya mau menyebut ‘Tragedi Monas’, seperti lazimnya disebut di berbagai media massa, untuk kasus penyerangan FPI terhadap AKKBB, 1 Juni 2008 baru lalu. Tetapi ada tujuan lain dari penyebutan ‘Tragedi 1 Juni’ itu sendiri, yang ternyata harus membuat kita berduka sebagai bangsa.

Pertama, kita patut berduka sebagai bangsa, sebab momentum lahirnya Pancasila tidak [pernah] dijadikan momentum nasional, sejak 1945. Kita tidak pernah merayakan hari lahir Pancasila semeriah Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan 100 Tahun Kebangkitan Nasional (20 Mei 2008) mendapat porsi seremoni yang lebih gegap gempita dari hari lahirnya Pancasila.

Duka kita sebagai bangsa 1 Juni 2008 ini juga karena hari bersejarah bagi Indonesia yang plural itu terkesan telah menjadi ritus keluarga anak-anak Bung Karno, pencetus Pancasila itu. Upacara di rumah Guruh Soekarnoputra, anak bungsu Bung Karno adalah perlukisan bahwa ritus nasional ini telah menjadi ritus keluarga. Memang terlebih baik mengamalkan Pancasila dan menjalankannya secara murni dan konsekuen, daripada merayakannya dengan gegap gempita. Tetapi ironi memang, momentum yang sangat penting ini tidak pernah menjadi ritus nasional.

Kedua, Pancasila yang adalah piagam pluralisme Indonesia dan menjamin kemerdekaan beragama warganya, telah ditafsir secara eksklusif menurut kepentingan setiap kelompok. Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menafsir makna Pancasila itu dengan menggelar demo damai untuk menyerukan kerukunan dan kebebasan beragama di Indonesia.

Lain lagi dengan Front Pembela Islam (FPI). Entah berdiri di atas tafsir yang mana, tetapi FPI selama ini menjadi semacam lembaga ‘penyaring’ aliran agama yang sah dan yang harus dilarang. Untuk hal yang satu ini, dapat dimengerti, jika kita menempatkan FPI dalam upaya mempertahankan kemurinan ajaran Islam dan legitimasi Allah SWT, Nabi Muhammad dan Qur’an.

Tetapi tidak bisa dibenarkan tindakan penyerangan terhadap aksi demo AKKBB di Silang Monas Jakarta, tepatnya hari Pancasila. Tindakan mana adalah luka bagi pluralisme Indonesia. Atas nama pluralisme, para founding fathers bangsa ini merumuskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah sila yang mencerminkan keragaman keberagamaan di Indonesia yang terbuka. Suatu keberagamaan tanpa dominasi dan ordinasi. Keberagamaan yang egaliter, di mana setiap kelompok umat beragama berhak menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara santun dan toleran.

Merumuskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti menerima keberagamaan Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, Konghucu, dan agama lainnya, sejauh agama itu mampu hidup berdampingan secara santun dan toleran.

Sedangkan menerima “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti mengembangkan sikap anti dominasi dan melawan eksklusifisme. Sebab itu, konflik yang menarik embel-embel agama ke dalamnya adalah suatu luka bagi pluralisme itu sendiri. Mengapa luka? Sebab “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu adalah suatu equalibrium sosial dan agama di Indonesia. Keseimbangan yang memberi kepada setiap kelompok ruang peran (role space) untuk membangun keindonesiaan yang plural itu sendiri.

Pancasila dalam Diskursus Pluralisme

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1 Juni 2008, kemarin, nuansa perayaan Hari Pancasila ternyata tidak terlalu menggema seperti 1 Abad Kebangkitan Nasional. Tetapi semoga spirit kelahiran Pancasila tidak pudar ditelan berbagai gejolak kenaikan harga BBM dan drama pembagian BLT.

Sejenak kita merenung pidato yang penuh gelora dari Bung Karno, pada saat memproklamirkan nama Pancasila sebagai pandangan hidup dan filsafat bangsa Indonesia yang kelak lahir pada 17 Agustus 1945 itu.

Tetapi sejarah lahirnya Pancasila harus kita dalami secara sungguh-sungguh, terutama mengenai bagaimana para pendiri negara (founding fathers) kita menyepakati suatu paham tunggal yang menjadi pandangan hidup dan cita-cita luhur bangsa kita.

Dalam sejarahnya, introduksi paham Negara Islam dan Sosialis/Komunis telah menjadi rekaman sejarah yang tidak bisa diabaikan dalam percaturan melahirkan Indonesia kala itu. Artinya bahwa keragaman atau pluralitas Indonesia adalah suatu fakta yang telah ada jauh sebelum bangsa ini lahir. Kita tidak bisa menyangkali hal itu sebagai realitas sosial, budaya dan politik daerah-daerah di kawasan Nusantara, yang kemudian kita namai Indonesia itu.

Kuatnya paham Islam dan perjuangan melahirkan sebuah Negara Islam di Indonesia menjadi pokok percakapan serius pada founding fathers kita itu. Pertanda bahwa Islam sebagai kelompok mayoritas di daerah-daerah Nusantara hendak menunjukkan eksistensinya sebagai suatu kekuatan agama dan sosial yang determinan.

Demikian pun paham Sosialis/komunis adalah bukti bahwa pergulatan paham kebangsaan di Indonesia juga turut dibentuk oleh paham lain dari bangsa-bangsa luar. Artinya, pergaulan Internasional sudah jauh terjadi di masa-masa sebelum Indonesia lahir, dan paham-paham global itu telah menjadi sebagian carapandang kebangsaan yang dianut sekelompok orang kala itu.

Ternyata para founding fathers bangsa kita tidak harus memilih di antara dua opsi paham kebangsaan itu. Ada suatu opsi lain yang dinilai penting sebagai ‘jalan ketiga’ yang mesti dipertimbangkan pula secara kontekstual. Paham nasionalisme adalah paham lain yang juga mengedepan dalam diskursus itu.

Paham ini muncul sebagai suatu carapandang yang lahir di tengah pluralitas daerah-daerah di Nusantara itu. Artinya, jika kemudian ‘Indonesia itu menjadi’ (have to be) maka Indonesia itu adalah suatu formasi kebangsaan yang jamak dari segi suku, ras, agama, adat istiadat, dan aliran politik. Indonesia yang majemuk itu bukanlah Indonesia yang didominasi oleh suatu paham yang sektaris, atau paham radikalis, tetapi suatu paham bersama yang sekaligus menjadi cerminan ideologi bangsa.

Di sinilah pentingnya kita melihat Pancasila sebagai suatu carapandang bersama yang merekatkan kemajemukan Indonesia itu menjadi suatu kekayaan dan kekuatan baru dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Munculnya Pancasila, dengan lima silanya, adalah suatu introduksi baru dalam sejarah masyarakat di dunia mengenai bagaimana suatu bangsa itu membangun kerukunan, keserasian, keharmonisan, keadilan dan kesejahteraan sebagai sesama warga bangsa.

Etika kebangsaan dari Pancasila itu menempatkan setiap warga bangsa sebagai sesama warga (citizen ethics) di mana, perilaku kebangsaan itu harus bisa dibangun dari fondasi nilai bersama yang solid dan egaliter. Semua orang dalam seluruh latar belakangnya adalah sama dan setara. Paham seperti itu memang tidak ada di bangsa mana pun di dunia ini. Karena itu, marilah bangga sebagai anak Indonesia yang Ber-PANCASILA.

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...