Integrasi sosial masyarakat Rumahtiga pascakonflik Ambon:

Perspektif Kristen Protestan

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

The lamp are different, but the light is the same
(Jalalu’l-Din Rumi)

1. Pengantar
Saya bersyukur hadir dalam “Rujuk Sosial Rumahtiga” (Integrasi Sosial Rumahtiga), suatu kondisi kohesif yang sudah menjadi cita-cita bersama bukan hanya orang Rumahtiga, tetapi cita-cita kemanusiaan Maluku yang sejati, cita-cita Indonesia, dan saya yakin cita-cita seluruh warga dunia yang peduli pada kemanusiaan.

Sebetulnya proses-proses sosial ke arah integrasi itu harus dilihat sebagai bagian dari dinamika sosial yang selalu berhadapan dengan social tension (ketegangan sosial) sebagai akibat dari telah terbentuknya klaim diri (self-centered) dan klaim teritori (geo social) – dan lebih parah lagi jika bentuk-bentuk klaim sosial itu sudah terstruktur dalam basis-basis eksklusifitas, dan salah satunya dikondisikan oleh agama. Akibatnya bukan saja terjadi kemacetan dalam komunikasi, tetapi kemacetan dalam proses sosial bersama.

Integrasi sosial yang menuju pada suatu situasi kohesi memang sering dikritik sebagai sesuatu yang utopis, tetapi integrasi itu adalah tujuan esensial dari beradanya masyarakat di mana pun, kapan pun, dalam situasi apa pun mereka. Sebab setiap masyarakat itu hendak berada dalam suatu type ideal masyarakat, dan konflik sosial selalu dimengerti sebagai bagian dari dinamika sosial yang [harus] mengarah ke integrasi atau harmoni sosial. Keterarahan itu yang menunjukkan bahwa masyarakat manusia itu adalah makhluk yang beradab; dalam kalimat lain, suatu masyarakat yang tidak mencapai integrasi dan terus menjebak diri dalam konflik adalah masyarakat yang gagal membentuk pemberadaban dirinya sendiri. Masyarakat ini tipe ini kehilangan spirit kemanusiaannya dan terkapar di dasar ciri zoologis yang mengkristal di bawah alam sadarnya.

Jika kita masih berhadapan dengan kendala-kendala dalam proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” saya kira kita harus mempersoalkan kembali proses-proses sosial yang kita jalani pascakonflik. Dalam teorinya, suatu kondisi kohesif selalu berproses dari:
- Tahap Konflik Sosial
- Tahap Rekonseliasi
- Tahap Rehabilitasi - Restrukturisasi
- Tahap Integrasi
- Tahap Kohesif, kesadaran purna
Sering suatu kondisi integrasi terganggu karena ada persoalan-persoalan laten yang tidak terselesaikan dalam masa rekonseliasi dan rehabilitasi – restrukturisasi. Dan persoalan-persoalan itu terkait dengan akses masyarakat akan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan – kesederajatan, di samping trauma dan pemahaman diri (self-understanding) yang masih rapuh. Atau mungkin saja rekonseliasi itu dilompati dengan rehabilitasi, artinya kita belum siap hidup berdampingan tetapi [pemerintah] sudah langsung melakukan rehabilitasi sosial secara fisik. Akibatnya kita terbawa dalam situasi ketegangan sosial yang serius dan sulit teratasi.

Sebelum membicarakan topik ini dari sudut pandang Teologi Kristen Protestan, perlu ada pemetaan mengenai realitas sosial kita bersama dalam rangka melihat di mana sumber-sumber kemacetan yang terjadi serta bagaimana usaha kita untuk membangun suatu agenda bersama yang lebih menjamin proses hidup bersama itu.

Konflik sosial Maluku dalam kondisi tertentu telah melahirkan beberapa keadaan sosial yang harus diarifi secara bersama.

a. Terbentuknya segmentasi ekonomi, di mana muncul pasar-pasar kaget yang terstruktur dalam suatu lingkungan sosial yang dihuni oleh satu kelompok agama saja. Transaksi di pasar-pasar itu terjadi antara penjual dan pembeli yang berlatar belakang agama sama (Kristen), karena itu pasar tidak lagi menjadi wilayah publik yang terbuka, melainkan suatu wilayah ekonomi yang eksklusif. Pasar tidak menjadi ruang perjumpaan antar warga yang berbeda latar belakang agama sehingga dapat saja pasar melanggengkan eksklusifisme agama itu sendiri. Apalagi jika aktifitas ritus suatu agama juga sudah dibawa masuk ke dalam pasar. Ini tentu harus dikritisi kembali.

Pasca konflik, justru pasar kembali menjadi satu-satunya pusat pertemuan publik. Tetapi di pasar kita mengembangkan komunikasi transaksional, di mana orang membangun komunikasi untuk menawarkan komoditi dan harga barang. Materi percakapan tidak menyentuh bagaimana hidup bersama, tetapi sebatas pada tawar-menawar produk dan harga. Ada dimensi jasa yang terwujud di situ, tetapi juga dalam nuansa transaksional.

b. Terbentuknya permukiman segregatif, di mana tidak ada lokasi permukiman bercampur seperti yang dijumpai pada saat sebelum konflik. Corak bermukim seperti ini terbentuk karena self-defence approach pada masa konflik. Orang merasa aman jika bermukim dalam satu kawasan yang semua penduduk/tetangganya beragama sama. Karena itu terbentuk kembali permukiman homogen yang bercorak religius, seperti dibentuk kolonial di zaman lampau. Dari sisi teologi, corak bermukim seperti ini akan memupuk eksklusifisme dan semangat triumphalisme yang kuat, karena umat beragama kehilangan pengalaman hidup bersama (neighbour lost), akibatnya proses-proses toleransi tidak saja macet, tetapi hilang. Karena itu kita perlu membentuk pengalaman hidup bersama kembali.

c. Menguatnya klaim diri (self-centered) yang bertumpu pada klaim kebenaran agama (the truth claim). Umat beragama merasa lebih benar satu terhadap lainnya. Kesejatian agama ditentukan berdasarkan paham-paham beragama yang mapan. Lucunya ialah oleh karena paham agama itu, kita cenderung memberi penilaian yang berat sebelah terhadap kebenaran yang dianut dalam dan sesuai dengan ajaran agama kelompok lainnya. Dan tanpa disadari klaim diri seperti itu juga lahir karena tafsir kitab suci yang kaku. Perilaku biblisentrisme dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran diri dan kelompok. Pertanyaan kritisnya di sini ialah apakah setiap agama itu menyembah TUHAN yang berbeda, atau sebaliknya hanya ada satu TUHAN yang disembah melalui beribu nama, jalan dan cara?

d. Kerentanan pluralisme, sebagai akibat dari ketiga hal tadi. Artinya konteks kemajemukan masyarakat, berdasar pada berbagai faktor, salah satunya agama, dilihat secara dikotomi. Citra manusia yang berbeda-beda tidak dipahami sebagai kekayaan kemanusiaan yang sejati, sebaliknya dipertentangkan oleh karena hegemoni sosial yang hendak diciptakan dalam konteks kemajemukan itu. Di sini kita sebenarnya mengalami krisis perbedaan yang cukup fundamental. Kesadaran pluralisme merupakan suatu kondisi sosial dan personal yang perlu dibentuk dalam hidup bersama.

Keempat hal ini akan mengantar kita melihat perspektif Teologi Kristen Protestan tentang “Rujuk Sosial Rumahtiga”. Saya hendak menegaskan bahwa proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” adalah sebuah tanggungjawab pemberadaban publik di Maluku demi kemanusiaan yang sejati.

2. Fakta Pluralisme
Pluralisme adalah kondisi kepelbagaian yang terjadi karena berbagai macam faktor sosial, seperti budaya, bahasa, pengetahuan, sistem politik, agama, dll. Bahwa masing-masing orang dan komunitas itu memiliki ciri-ciri masing-masing yang beragam, tidak sama persis dengan orang dan komunitas lainnya. Ciri-ciri masing-masing itu dimiliki mereka sebagai anugerah TUHAN, dan dikembangkan melalui mekanisme sosial dan kebudayaan yang khas pula.
Ciri masing-masing itu bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya disyukuri sebab pada ciri masing-masing itulah terletak citra/fitrah kemanusiaan manusia itu. Karena itu, pluralisme itu anti terhadap:
- Uniformitas atau penyeragaman, di mana setiap orang dan setiap kelompok harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan jatidirinya sesuai dengan ciri masing-masing yang mereka miliki. Penyeragaman justru akan mengabaikan jatidiri manusia, dan akan menjebak kita dalam tirani suatu budaya mayoritas terhadap yang minoritas. Jika semua orang dan semua komunitas harus berciri sama, maka masyarakat manusia itu tidak lebih daripada robot yang dikendalikan dengan remote control. Beragama yang seperti itu akan membawa kita ke dalam perangkap egosentrisme.

- Dominasi. Pluralisme atau kemajemukan itu dalam segala seginya berusaha memajukan budaya kehidupan yang egaliter, membangun komunikasi yang sejajar, emansipatif, dan membentuk iklim sosial yang harmonis. Dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya justru memperlihatkan bahwa masyarakat dan umat beragama itu jatuh dalam paham triumphalisme (kemauan untuk menang sendiri). Paham ini akan membuat agama-agama menjadi “penjajah baru” di dalam satu komunitas masyarakat majemuk. Tidak ada keselarasan dalam menata hidup bersama.

Dalam teologi, paham pluralisme itu mengakui bahwa setiap kelompok agama memiliki kebenaran masing-masing, dan kelompok agama itu harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan dirinya sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini, tanpa harus diganggu/dihalangi.

Bagaimana dengan kekhasan masing-masing agama? Dalam pluralisme kekhasan itu dibiarkan bertumbuh dan berkembang, dan diserahkan menjadi urusan internal masing-masing kelompok agama. Itu menjadi hak privat agama yang tidak bisa dihalangi. Ada aspek kebebasan dalam berekspresi, sebab agama, bagi penganut paham pluralisme, adalah suatu bentuk refleksi kebudayaan dan kesadaran manusia akan keberadaannya di tengah masyarakat, alam semesta, dan di hadapan Tuhan Yang Satu.

Realitas Tuhan Yang Satu itu yang membuat setiap kelompok agama harus mengembangkan sikap hidup yang terbuka. Karena itu pluralisme menolak klaim kaum Eksklusifisme yang memandang bahwa di luar diri mereka tidak ada lagi kebenaran yang lain – otomatis kalau Tuhan itu juga dipandang sebagai suatu “kebenaran tertinggi” maka bagi mereka di luar mereka juga tidak ada Tuhan yang lain; kalau pun ada, Tuhan itu memiliki harkat yang lebih rendah dan mungkin rusak dari Tuhan mereka.

Demikian pun pluralisme memahami kaum Inklusifisme sebagai eksklusifisme gaya baru, karena jika inkulsifisme menerima kebenaran di luar mereka, bagi mereka kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang mereka yakini. Bagi kaum pluralisme, hal itu pun masih membuat agama terkurung dalam “egosentrisme”.

Kaum pluralisme lebih suka mewacanakan kehidupan bersama, sebab setiap manusia memiliki citra yang sama di hadapan Tuhan, yaitu makhluk, dan Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang satu, hanya disembah melalui beribu nama, jalan dan cara. Hal nama, jalan dan cara menyembah Tuhan, itu adalah hasil produksi budaya masing-masing orang dan/atau kelompok umat beragama.

Karena itu bagi kaum pluralisme, kepelbagaian yang ada bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya digunakan sebagai potensi untuk membangun harmoni kehidupan dan melakukan agenda kehidupan bersama di dalam masyarakat, bangsa dan negara dan dunia yang satu juga.

3. Pandangan Kristen tentang Hidup Bersama
Sebenarnya agama-agama itu memiliki tujuan yang sama yaitu “melayani manusia dan alam ciptaan TUHAN”, sebagai wujud pelayanan atau bakti (ibadah) kepada TUHAN. Tidak satupun agama di dunia ini yang anti kemanusiaan, sebaliknya agama adalah mekanisme yang dihasilkan untuk membentuk kemanusiaan yang paripurna.

Jika ditanyakan mengenai konsepsi kristen tentang pluralisme atau kemajemukan, sebenarnya tidak berbeda dari pandangan teologi lainnya. Kekristenan melihat pluralisme atau kemajemukan itu sebagai realitas anugerah/kodrat TUHAN kepada setiap manusia dalam setiap komunitasnya. Hal pokok dari kemajemukan atau ciri masing-masing itu ialah derajat atau dignitas kemanusiaan itu sendiri.

Saya mengutip apa yang dikatakan Paul F. Kniter, bahwa:
“tidaklah cukup mengakui dan membuka diri terhadap perbedaan yang ada, di samping mengakui perbedaan tersebut kita harus juga mengakui kebebasan dan martabat seseorang. Kalau tidak ada kebebasan dan dignitas, kita harus berusaha menghadirkannya. Menyenangi perbedaan tetapi tidak prihatin terhadap martabat berarti kita tidak sepenuh hati mengulurkan tangan kepada orang lain” (Kniter, 2006:129)

Di sisi lainnya, jika diambil dari teks Injil, Yesus menterjemahkan realitas kemajemukan itu dalam satu istilah “sesama manusia”. Artinya setiap orang itu adalah “sesama manusia” yang potensial untuk membuat kebaikan bersama (common good) di dalam dunia. Cerita Injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria yang murah hati” adalah kritik terhadap eksklusifisme keyahudian (dan gereja) yang mengklaim sesama manusia itu hanya pada diri dan kelompok mereka saja.

Satu hal mendasar dalam teks Injil itu adalah pentingnya memulihkan dignitas manusia dan memberi jaminan kehidupan kepada orang-orang yang tertindas, teraniaya, kelompok marginal. Yesus malah menunjuk kepada orang-orang Yahudi bahwa, saudara mereka orang Samaria memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik, karena kepekaan sosialnya begitu tinggi. Dimensi ini yang kadang hilang dari agama-agama dewasa ini, karena kita sudah terjebak dalam klaim diri dan kelompok secara kaku.

Ada beberapa sumber kemacetan dalam teologi yang menjadi alasan mengapa menata hidup bersama (dalam konteks kemajemukan) itu sulit, antara lain:

- Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks-teks kitab suci yang eksklusif. Agama-agama memiliki dan menganggap kitab suci mereka sebagai yang mengandung kebenaran sempurna; padahal kita lupa akan situasi sosial yang mempengaruhi terbentuknya tulisan suci itu. Dalam kekristenan diakui bahwa para penulis Alkitab memang mendapat ilham Roh Kudus untuk memproduksi tulisan suci, tetapi tulisan suci dalam Alkitab itu juga lahir dari konteks sosial yang riil, termasuk situasi sosial di mana orang-orang Yahudi menganggap diri mereka yang paling benar dan mereka sebagai satu-satunya komunitas yang diselamatkan Tuhan (konsep predestinasi).

Demikian pun kelompok kristen dalam Perjanjian Baru menganggap kebenaran dan keselamatan itu hanya terjadi di dalam gereja dan tidak ada di luarnya (extra ecclesia nula salus). Konsep-konsep seperti itu sudah menjadi semacam pandangan dunia (worldview) yang melahirkan teks-teks tertentu. Karena itu, teks-teks suci di dalam Alkitab juga ada yang sangat eksklusif atau bahkan triumphalistik.

Sekarang Alkitab yang diproduksi di luar Indonesia dalam zaman dan waktu yang sangat panjang dan lama itu harus dibaca dala konteks Indonesia. Oleh sebab itu, teks-teks yang bernuansa eksklusif seperti itu sudah tidak bisa lagi dipahami dalam konteks keyahudian dan keyunaniannya, tetapi mesti dikritisi dalam konteks keindonesiaan kita yang majemuk. Pada saat teks-teks Alkitab itu ditulis, Yahudi dan Kristen menjadi kelompok yang dominan, dan sistem politik dewasa itu menjamin posisi dominasi mereka. Berbeda kondisinya dengan Indonesia yang demokratis yang menjamin kebersamaan dalam hak dan kedudukan sosial di dalam bangsa dan negara. Teks-teks itu tidak harus dipahami secara harfiah seperti tertulis demikian. Di sini tafsir teks yang baru harus dikerjakan secara serius.

- Paham Tuhan. Agama-agama di dunia itu menyembah Tuhan yang satu, yaitu Pencipta manusia dan alam semesta. Tidak ada Tuhan yang lain, selain Tuhan Sang Pencipta itu. Kadang paham Tuhan ini menjebak agama-agama ke dalam klaim kebenaran (truth claim) yang rapuh, seakan Tuhan yang benar dan mulia itu hanya ada di dalam satu kelompok agama saja. Tuhan itu adalah realitas ultima. Teolog seperti John B. Cobb, jr, malah memahami Tuhan ibarat “sumber air dalam tanah”. Di suatu tempat akan muncul dalam bentuk sumur, di tempat lain danau, di tempat lain lagi sungai, dll, tetapi semuanya memancar dari satu sumber air yang sama di dalam tanah.

Agama-agama di Indonesia kini terjebak dalam cara memahami Tuhan secara tidak kontekstual. Kita masih mewarisi cara memahami Tuhan ala orang Barat dan Timur Tengah yang hierarkhis.
Di Eropa, yang kala itu didominasi kristen, Tuhan: dalam arti Tri Tunggal menempati posisi tertinggi, kemudian di bawahnya adalah orang Eropa (etnis) dan yang beragama Kristen, kemudian di bawahnya lagi baru orang-orang berkebangsaan dan beragama lain. Sama halnya dengan paham Tuhan di Arab, di mana Tuhan: dalam arti Allah SWT menempati posisi tertinggi, di bawahnya adalah orang-orang Arab dan agama Islam, baru di bawahnya lagi komunitas lain yang beragama lain. Paham hierarkhis seperti ini adalah politisasi paham Tuhan, seakan Tuhan itu melegalkan dominasi dan ordinasi. Tetapi itu relevan di Eropa dan Arab karena corak sosial dan politik mereka memungkinkan terjadinya struktur pemahaman seperti itu.

Bagaimana dengan Indonesia yang demokratis dan majemuk? Tuhan Yang Satu dalam pemahaman dunia orang Indonesia adalah Tuhan yang disembah oleh setiap agama melalui nama yang berbeda-beda. Dia adalah Allah SWT dalam namanya yang Islam, Tritunggal sesuai namanya di Kristen, Shang Hyang Widi Wasa dalam nama Hindu dan BuddhaNya, dll, termasuk nama-nama kebudayaan lainnya. Nama-nama itu adalah identitas budaya atau nama budaya tentang Tuhan, dan Tuhan itu sendiri ada di atas seluruh pengalaman budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Di bawah Tuhan ada setiap agama dengan semua perangkat nama dan cara mereka menyembah Tuhan. Setiap agama menempati posisi dan ruang yang sama di Indonesia, dan ada kesetaraan di antara mereka, lalu karena itu mereka semua hidup dalam keadilan dan kesejahteraan yang sama pula.

- kekayaan agama dilihat sebatas pada kekayaan ritual, sehingga agama-agama memberi fokus pada aspek ritual lalu mengabaikan tanggungjawab sosial sebagai esensi beragama. Orang lebih suka “memperkuat agama”, daripada menjalankan fungsi agama yaitu “melayani sesama manusia dan alam semesta”. Ritus dibuat untuk menertibkan cara ekspresi umat beragama, bukan membentengi agama dari kepedulian terhadap orang lain. Karena itu kekayaan agama justru terletak pada tanggungjawab pemanusiaan.

Tiga hal itu yang kiranya kita maknai dalam kerangka hidup bersama ke depan.

4. Menata Agenda “Rujuk Sosial Rumahtiga” keluar dari krisis perbedaan
Saya tidak akan memberikan formula dan agenda yang praksis, karena hal itu harus datang dari need assessment yang jelas. Bagi saya “orang Rumahtiga” itu lebih memahami apa yang mereka perlukan dan apa yang harus mereka kerjakan secara bersama.

Saya bertanggungjawab untuk meningkatkan kita mengenai dimensi “Rujuk Sosial Rumahtiga” sebagai suatu strategi pemberadaban kemanusiaan melalui agama.

Bagi saya, dengan hilangnya permukiman bercampur di Kota Ambon (dan Maluku secara umum), kita kehilangan momentum untuk menjadi agama yang solider dengan masa depan manusia di Maluku, di Indonesia dan di dunia. Agama-agama dapat terjebak dalam klaim sosial yang semakin memperuncing ketegangan, sehingga integrasi akan sulit dicapai. Sebaliknya suatu waktu kita akan kembali ke titik anomali, lalu terkapar lagi dalam konflik lama yang semakin membawa luka dan kebencian.

Rumahtiga sebagai kawasan permukiman bercampur harus ditempatkan dalam semangat kontekstualisasi agama di Ambon dan Indonesia. Artinya, kita memerlukan tipikal masyarakat yang benar-benar mampu mengelola kepelbagaiannya di dalam krisis perbedaan itu tadi. Basudara Salam-Sarane di Rumahtiga harus berani untuk hidup berdampingan, sebab kita harus melepaskan diri dari “momok perbedaan” yang terus-menerus dipertentangkan.

Krisis perbedaan itu terjadi ketika sesuatu dianggap bersalah, perbedaan-perbedaan ditiadakan dan muncullah pola-pola kebiasaan suatu pranata. Krisis perbedaan merupakan krisis sosial dan kultural yang mengancam kehidupan komunitas (L. Lefebure).

Rene Girard melihat bahwa karena krisis perbedaan itu, maka di dalam masyarakat akan muncul “tuduhan” sebagai cara orang “mencari kambing hitam”. Orang, karena perbedaan tertentu dengan orang lain – termasuk perbedaan kepentingan politik – dapat saja menggunakan mekanisme “tuduhan” sebagai cara untuk menekan orang lain, dan karena itu mengeksekusi suatu ciri tipikal orang lain yang berbeda dari dirinya. “Tuduhan” dalam hal ini dilancarkan untuk memaksakan pola kelompok yang arogan ke dalam suatu public sphere yang luas dan plural. Akibatnya “kambing hitam” selalu merupakan orang atau kelompok marjinal yang karena krisis perbedaan itu tidak dibiarkan berkembang sesuai dengan tipikalnya itu.

Di dalam suatu masyarakat plural, mekanisme “tuduhan” ini muncul sebagai bukti masih menguatnya fundamentalisme dan eksklusifisme yang terkadang radikal. Tampak polarisasi yang terus menajam, sebab kelompok tertentu terus melancarkan paksaan karena tidak bersedia menerima adanya perbedaan di dalam masyarakat. Perbedaan telah dilihat sebagai realitas kontra-produktif, yang harus ditiadakan. Cara semacam ini hanya terjadi dalam suatu masyarakat barbar, dan bukan masyarakat sipil yang berkeadaban.

Di sini pluralisme di Rumahtiga sudah tidak mesti dilihat dalam kaitan dengan isu-isu sensetif dalam agama lagi, yang dapat menimbulkan tabrakan dogma. Agenda pluralisme atau hidup bersama di Rumahtiga mesti menjadikan isu kesejahteraan sebagai persoalan bersama yang mesti dikelola demi masa depan bersama. Masalah-masalah kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan, perlu ditempatkan sebagai isu utama untuk merumuskan agenda pembaruan bersama. Dengan demikian, komunitas beragama di Rumahtiga kini bertanggungjawab membangun peradaban yang baru, suatu peradaban orang basudara.
Demikian!

Elifas Tomix Maspaitella. Email: elifas-tm@hotmail.com, elifastomix@yahoo.com, HP. 081343451221.

Sejak tanggal 3 Agustus 2008, bertugas sebagai Penghentar Jemaat GPM Rumahtiga
Materi ini disampaikan dalam Kegiatan Rujuk Sosial RumahTiga, yang diselenggarakan oleh JAICA, Ambon, 2007

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara