GAYA PARALELISME DALAM TAFSIR SASTRA HIKMAT

Pedoman Sederhana Tafsir Alkitab[1]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Catatan Awal
Saya sengaja memilih Mazmur 1:1-6. Setelah dibaca, rupanya ada satu hal yang bisa dibagi secara bersama dalam rangka melakukan tafsir terhadap teks-teks Alkitab itu sendiri. Saya tidak melihat bagaimana pentingnya membahas ‘orang benar’ dan ‘orang fasik’, tetapi mencoba menafsir sehingga kita bisa melakukannya terhadap teks-teks lain pula.

Yang akan kita diskusikan bersama adalah menafsir teks dengan memperhatikan gaya penulisan, atau majas yang digunakan di dalamnya. Kitab Mazmur dan himpunan Sastra Hikmat lainnya (Amzal, Pengkhotbah, Tawarik, Ayub, Kidung Agung), banyak menggunakan gaya paralelisme, atau perbandingan setingkat dengan model pengembangan kasus di dalam mengemas tulisan mereka. Ini adalah salah satu gaya bahasa yang umum terdapat di dalam teks-teks sastra hikmat itu.

Jika kita perhatikan dari sisi gaya penulisan itu, maka yang penting juga adalah isu yang tergambar melalui kata-kata atau frasa yang digunakan, serta kekuatan simbol yang dirangkaikan di dalam kata-kata atau frasa tertentu. Tetapi adakalanya penulis pun menggunakan kata-kata dasar yang bermakna langsung (denotatif), sehingga tidak perlu ditafsir lagi.

2. Yang Penting diperhatikan
Jika kita berhadapan dengan teks-teks yang ditulis dengan gaya paralelisme itu, beberapa hal yang penting diperhatikan antara lain:
- Subyek yang ditonjolkan, atau tokoh cerita. Subyek biasanya disebut menurut namanya, tetapi juga melalui suatu sebutan umum (general actor). Dalam sastra hikmat, general actor yang paling sering tampil adalah ‘orang benar’ dan ‘orang fasik’, atau ‘orang bijaksana dan orang bodoh’.

Yang menarik ialah sastra hikmat, termasuk Mazmur langsung memberi ciri kepada subyek itu melalui seperangkat perilaku atau tindakannya.

Perhatikan Mzm.1:1a – ‘berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik...’ Perbandingan langsung di sini ialah tentang orang benar dan orang fasik. Penulis mendahuluinya dengan ucapan ‘berbahagialah’. Dalam gaya bahasa ini, setiap kata yang diberi partikel ‘...lah’ adalah kata-kata yang bermakna penuh, artinya mengandung kondisi ideal yang dimiliki atau harus dituruti seseorang (mis. Berbahagialah, dengarlah, lakukanlah.... bnd. Permohonan misalnya dengan kata ‘biarlah’, bangkitlah...’ Mzm.3,5) atau harus dijauhi seseorang (mis. Janganlah...).

Perbandingan langsung antara orang benar dan orang fasik dalam ay 1a ini menunjuk ada kualitas yang berbeda di antara keduanya. Kualitas yang berbeda itu kemudian dilukiskan penulis dengan gaya paralelisme bertingkat, yang menunjuk pada adanya norma, bahwa orang benar itu:
Tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
Tidak berdiri di jalan orang berdosa
Tidak duduk dalam kumpulan pencemooh

Perhatikan kata-kata bergaris bawah di atas. Hal tidak berjalan kemudian dilanjutkan dengan konsistensi untuk tidak berdiri, lalu dipertegas lagi dengan kata tidak duduk. Artinya ada konsistensi dari orang benar itu untuk benar-benar tidak menuruti nasihat orang fasik tadi. Orang fasik kemudian dikategorikan sebagai orang berdosa, dan kumpulan pencemooh. Kebiasaan mencemooh adalah salah satu ciri orang fasik, dan itu sama dengan orang berdosa.
Kata kerja berjalan, berdiri, duduk di atas adalah gambaran bahwa konsistensi sikap dan perilaku sang tokoh itu penting, dan perbedaannya sangat mencolok dengan orang fasik. Ini adalah suatu kualitas etik dan sosial. Artinya, karena perilakunya baik, ia pun tidak terseret ke dalam pergaulan yang salah.

Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam menafsir sastra hikmat adalah bentuk negasi, atau kondisi berlawanan yang dialami sang tokoh tadi. Karena ditulis dalam nuansa ‘berkat dan kutuk’ maka bentuk negasi itu adalah simbolisasi dari berkat kepada orang benar dan kutuk kepada orang fasik.

Perhatikan ay 2 – tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Kata tetapi (‘lo) di dalam naskah sastra hikmat adalah penegasan mengenai perbedaan kualitas orang benar dan orang fasik tadi. Perbedaan kualitas itu juga tampak dalam perilaku mereka.

Dan juga ay.4 – bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Kata bukan di sini adalah bentuk negatif, berbeda kualitasnya dari kata yang mengikuti kata tetapi pada ayat 2 di atas.

Taurat adalah norma standar dalam kehidupan orang Yahudi. Orang benar digambarkan sebagai yang mencintai Taurat. Dalam nuansa teologi berkat dan kutuk tadi, maka menuruti Taurat akan berdampak pada berkat (bnd. Ul.28:1-14), jauh dari Taurat berdampak pada kutuk (Ul.27:11-26; 28:15-46). Nah, dalam sastra hikmat, kualitas orang benar dan orang fasik diukur dari standar Taurat. Karena itu gambaran dalam ay.1 adalah materi hukum atau pedoman etika yang terdapat di dalam Taurat.

Selanjutnya ay.3 dan 5 adalah pahala yang diterima orang benar dan orang fasik. Hal ini adalah suatu ciri hukum dalam sastra hikmat. Sebab sastra hikmat itu cukup normatif, dalam arti jika hukum mengatakan begini, seseorang yang benar/baik akan menurutinya, dan orang yang jahat/fasik akan melangkahinya.

Perhatikan pula gaya paralelisme di dalam ay.3 – ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buah pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya, apa saja yang dibuatnya berhasil. Orang benar dilukiskan dalam simbol pohon (personifikasi). Berkat yang datang padanya itu berlipat ganda. Simbolisasi itu muncul dalam frasa: ditanam di tepi aliran air, lalu karena itu menghasilkan buah pada musimnya, dan karena itu tidak layu daunnya, sehingga apa saya yang dibuatnya berhasil.

Bandingkan perbedaannya yang tajam dengan ay.5, pahala kepada orang fasik – sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam kumpulan orang benar. Ini adalah suatu bentuk pahala yang memposisikan orang fasik sebagai yang memiliki kualitas berbeda dari orang benar tadi.

Yang terakhir, setiap bentuk negasi itu didasarkan pada satu prinsip teologis atau norma standar di dalam sastra hikmat. TUHAN adalah penentu norma standar itu. Ay.6 – sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik mennuju kebinasaan. Ayat ini adalah penjelasan terhadap ay.1, dan semata-mata menunjukkan bahwa jalan orang benar adalah jalan TUHAN, dan jalan orang fasik jauh dari jalan TUHAN. Jalan TUHAN itu menuju kehidupan (dengan sejumlah kualitas tadi), sedangkan jalan orang fasik menuju kebinasaan (kematian/tiada harapan).

Ini beberapa prinsip dalam menafsir sastra hikmat dengan memperhatikan gaya paralelisme di dalamnya. Sekian dulu sebagai bahan diskusi awal.

Tuhan memberkati!

[1] Dibawakan dalam Ibadah Keluarga Majelis Jemaat GPM Rumahtiga, 18 Agustus 2008, di Kel. Ibu Lien Tuhumena, Lemba Agro, Passo. Materi untuk kalangan terbatas

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara