Konteks Teologi-Transaksional:

“Komunikasi Injili di Pasar yang Problematis”

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. FENOMENA KONTEKS
Ada kesulitan tertentu dalam menterjemahkan dua realitas pasar, yaitu realitas pasar kaget yang bertumbuh di Ambon semenjak konflik sosial, atau realitas anak-anak yang berjualan di Kota Ambon dan realitas anak-anak yang berjualan di Jemaat-jemaat di Klasis GPM Taniwel. Ada dua fenomena yang penting, yaitu:
Pertama, membaca realitas di pasar kaget sebagai suatu realitas polarisasi, di mana masyarakat sudah terkonstruksi ke dalam domain-domain pasar yang homogen, yaitu terbentuknya pasar dalam satu komunitas beragama tertentu, dan bahwa jika terjadi pembaruan di dalam pasar-pasar seperti itu, maka komunikasi itu berlangsung secara transaksional, dalam arti sekedar melakoni aktifitas “tawar-menawar” harga barang. Pasar sudah menjadi salah satu ruang perjumpaan publik di Ambon yang tidak terdistorsi oleh konflik sosial Ambon (1999-2002) tersebut.

Kedua, ada suatu fenomena berjualan yang dilakoni oleh anak-anak, yang setiap hari menjajakan jualan mereka, berupa berbagai jenis kue, di lokasi permukiman masyarakat. Bahwa fenomena ini ada di hampir setiap tempat, dan dari pengalaman saya ‘menemani’ istri saya yang adalah seorang Pendeta di Jemaat GPM Uweth (2003-2008), ada kenyataan yang berbeda secara mendasar, walau kasat mata mungkin dinilai tidak berbeda. Kenyataan itu ialah komunikasi-transaksional yang mereka lakukan. Anak-anak yang berjualan di Kota Ambon menjajakan jualan sambil berteriak: “Jual, jual. Jual pisang goreng/roti, satu buah lima ratus, dll”, atau sekedar berteriak: “Roti, roti.” Dari waktu ke waktu, setelah melihat fenomana sosial-ekonomi masyarakat, lalu merefleksi mengapa kondisi ekonomi orang-orang di Taniwel tidak lebih beruntung dibandingkan di Ambon, walau di sana mereka hidup dalam kelimpahan sumber daya alam. Anak-anak di Taniwel berjualan sambil berteriak: “Beli, beli, beli pisang goreng, dua buah seribu”, atau “beli, beli, beli jagong rebus, dua buah seribu”.

Fenomena yang kedua ini yang akan coba dibahas secara khusus, sebagai suatu refleksi teologi kontekstual untuk melihat pola pemberdayaan umat, terutama dalam tantangan-tantangan perubahan konteks dewasa ini.

2. PEMETAAN KONTEKS
Terkait dengan kepentingan berteologi, maka konteks yang dimaksudkan di sini adalah konteks pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM). Hal ini ditempuh dalam rangka membuka ruang berteologi GPM yang memasuki konteksnya secara mendalam. Di sisi lain, sebagai suatu studi kritis kontekstual terhadap berbagai kebijakan GPM, terkait dengan kemandirian dana, kemudian dimensi oikonomia, pemberdayaan jemaat, dan berbagai rumusan program GPM seperti Tahun Pengembangan Ekonomi (Tapek), dll.

Sebagai sebuah refleksi teologi-kontekstual, tulisan ini diharapkan memberi kontribusi secara kritis kepada gereja ini yang sedang menggalakan program pemberdayaan jemaat, atau yang sudah meletakkan fokusnya pada pengembangan kemandirian jemaat. Setidaknya ada realitas-realitas keseharian (factual) yang akan terus mempertanyakan tujuan berteologi gereja.

Realitas keseharian ini yang dimaksudkan dengan situasi aktual, sebagai situasi rakyat kebanyakan, yaitu situasi jemaat-jemaat atau masyarakat yang miskin, kelompok marginal, orang-orang yang menjadi korban kebijakan pemerintahan dan kegagalan pembangunan, dll.

Saya berusaha menempatkan diri di dalam dua konteks bergereja yang pernah saya hidupi. Dua konteks yang secara sosiologis memiliki perbedaan mendasar; konteks desa/pedalaman dan kota. Bahwa dimensi pengalaman pribadi (personal experience) menjadi acuan pengenalan konteks, atau apa yang disebut Bevans sebagai kemampuan mengadaptasi diri dan kemampuan terlibat di dalam suatu realitas injil dan perubahan sosial. Pengalaman yang saya jumpai di Jemaat Uweth Klasis GPM Taniwel, kemudian Jemaat Bethania Klasis Kota Ambon [pada saat saya menjalani tugas vikaris – 2005-2007], membentuk pengenalan saya terhadap situasi aktual yang dihadapi jemaat, khusus yang menjadi fokus konteks dalam tulisan ini. Walau demikian, saya berusaha membuat pemetaan konteks, dengan melihat pada dimensi sosiologis masyarakat/jemaat:

- Kota Vs Desa
Konteks pelayanan GPM adalah jemaat-jemaat yang homogen di kawasan pedesaan, dan jemaat-jemaat yang heterogen di perkotaan. Akhir-akhir ini GPM gencar membaca konteksnya itu sebagai konteks kepulauan, tentu dengan terminologi ekklesiologi kepulauan yang sebenarnya masih menjadi terminologi atau suatu wacana pengistilahan. Artinya konteks kepulauan dan/atau ekklesilogi kepulauan itu sendiri belum bisa membangun suatu wawasan ekklesiologi kepulauan yang defenitif. Kita masih tiba pada pemetaan fisik-sosiologis, dan belum mencoba memasuki wilayah kognisi, perilaku, dan terutama wilayah kesadaran masyarakat kepulauan, serta mobilitas sosial masyarakat dalam pembangunan. Tetapi itu biarlah menjadi ruang kajian Tim Ekklesiologi.

Realitas kota-desa adalah realitas paling dominan terkait dengan akses ekonomi jemaat. Desa-desa di Maluku yang berada di pesisir pantai pun sebenarnya memiliki tipikal yang tidak terlalu berbeda dengan desa-desa di pedalaman, sebab masyarkatnya tidak memiliki mata pencaharian yang spesifik. Malah orang pesisir di Maluku cenderung memiliki pola pengorganisasian sosial dan mentalitas yang identik dengan orang-orang di pedalaman. Artinya memang mentalitas masyarakat pesisir di Maluku minim mentalitas orang pantai yang mobile, dan cenderung personalisme, artinya yang cenderung mengambil keputusan secara cepat dan mandiri. Orang-orang pesisir masih mengembangkan pola bersama-sama dalam mengambil keputusan tertentu. Mereka tidak seperti desa-desa pesisir di pulau Jawa, dll, karena itu walau berada di pesisir, tetapi kita tidak menjumpai satu pun desa nelayan yang bercorak khusus, seperti yang dijumpai di Jawa, Sulawesi Tenggara, dll.

Kota sudah menjadi pusat dari seluruh aktifitas kehidupan masyarakat. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Maluku secara umum, kita tidak bisa menyangkali bahwa kota Ambon sudah menjadi pusat pasar terbesar dan walau mungkin kota-kota Kabupaten, seperti Tual memiliki tingkat perputaran uang yang lebih tinggi. Ini terkait dengan penggunaan nominal uang yang berbeda antara Ambon-Tual. Di Ambon orang masih berbelanja dengan pecahan Rp.500.,- hal itu tidak lagi dijumpai di Kota Tual di mana orang sudah berbelanja dengan pecahan Rp.1000.,-

Di sisi lain, desa-desa di dalam kawasan pelayanan GPM adalah desa-desa homogen. Jika ditinjau dari segi keberadaan potensi sumber daya ekonomis, desa-desa itu sebenarnya bukan desa-desa miskin. Sebaliknya adalah desa-desa yang memiliki sumber daya ekonomis yang bervariasi dan banyak (jika tidak mau dikatakan melimpah).
Persoalan mendasar sehingga mengapa desa-desa itu tergolong miskin adalah sulitnya akses pasar. Akibatnya sumber daya ekonomis yang bervariasi dan melimpah itu tidak terdistribusi ke pasar. Ini juga yang membuat mengapa masyarakat cenderung bekerja untuk kebutuhan makan semata (subsistensi). Dengan kata lain, kita tidak bisa bertahan dengan klaim “jemaat malas”, sebaliknya fenomena kemiskinan dan “kemalasan” itu adalah suatu fenomena struktural yang terjadi akibat dari sulitnya infrastruktur penunjang ekonomi seperti transportasi.

Di samping itu, akses ke pasar itu jauh, dan memakan biaya (coast) yang tinggi, serta keterbatasan armada transportasi, dengan daya angkut yang rendah. Dalam kasus di Taniwel, Bus-bus yang ada ialah Bus penumpang. Setiap penumpang akan membayar antara Rp. 80.000 – 150.000 untuk sekali datang ke Ambon. Bus-bus itu tidak melayani muat barang dalam jumlah besar; satu penumpang berhak menaikkan barang empat potong, dalam arti bisa empat karung, empat karton, dll, dengan total biaya Rp. 5000/karung.

Akibat lain ialah pusat-pusat pasar di Kota Kecamatan dan/atau Kabupaten juga tidak terlalu hidup sebab pembeli adalah orang-orang lokal yang tidak mendorong laju perputaran uang, modal, serta laju penjualan barang. Para pembeli hanyalah beberapa orang Pegawai Negeri (Guru, Suster, Mantri), TNI/Polri, dan masyarakat, tetapi dalam jumlah yang kecil.

Salah satu indikator mengapa pasar-pasar di Kota Kecamatan dan/atau Kabupaten itu bisa dikategorikan sebagai pasar tradisional, dan sekaligus indikator rendahnya perputaran uang di situ adalah pasar-pasar itu menjual komoditi tradisional/lokal, yang sebenarnya dimiliki oleh semua anggota masyarakat.

- Konflik Sosial
Hal ini perlu diuraikan dalam rangka memberi pengenalan kontekstual mengenai mekanisme transaksional dalam masyarakat di Kota Ambon. Konflik sosial telah membentuk klaim teritori ekonomi melalui “pasar kaget”, atau juga pangkalan ojek, becak, serta sentra-sentra ekonomi yang terbentuk di dalam suatu permukiman homogen di tengah kota.

Fenomena itu pun berpengaruh dalam komunikasi ekonomi di Ambon. Orang suka sekali menyebut “pi pasar di bawah”, atau “pasar di atas” yang langsung menunjuk pada pasar-pasar yang tersegregasi dan terstruktur di dalam pusat-pusat permukiman homogen itu. Pola komunikasi seperti itu menunjukkan bahwa sistem ekonomi sudah berlangsung di dalam wilayah-wilayah yang tersegregasi. Dengan sendirinya berdampak pada bentuk komunikasi antarwarga di pasar.

Dalam pasar yang tersegregasi seperti itu, gereja juga melakukan mekanisme pembinaan mentalias ekonomi melalui ibadah-ibadah Buka dan Tutup Usbu yang semuanya dipusatkan di pasar. Pertanyaannya ialah apakah memang pasar kaget itu suatu “ruang publik” atau “ruang privat”?, dan apakah memang mekanisme pembinaan seperti itu berhasil membentuk ethos dan mentalitas dagang yang jujur/santun/terbuka? Teologi seperti apa yang menjadi acuannya?

Salah satu hal yang selalu dinilai sebagai dampak positif konflik sosial bahwa orang-orang Kristen bisa menekuni pekerjaan di pasar sebagai pedagang, penarik becak, pengojek, dll, pekerjaan-pekerjaan yang dahulu dipandang “kotor” dan “rendah” oleh orang-orang Kristen Ambon. Artinya terbentuk common sense bahwa konflik sosial membentuk ethos kerja baru di kalangan orang kristen. Apakah itu adalah hasil dan bentuk berteologi mereka?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlu untuk tetap menggelisahkan kita.

- Otonomi Daerah
Konteks otonomi daerah adalah konteks perubahan sosial yang penting di Indonesia dewasa ini. Artinya pendekatan pensejahteraan dalam masyarakat demokrasi dan ekonomi kerakyatan yang sedang dikembangkan dewasa ini benar-benar mendapat ujian yang berarti. Apakah pemekaran wilayah dan otonomi daerah itu benar-benar mampu mensejahterakan masyarakat atau sekedar slogal politik untuk “bagi kekuasaan” dan penumpukkan hegemoni politik suatu partai politik?

Terlepas dari dimensi politik yang multidimensional itu, otonomi daerah, bagi gereja, mesti dilihat sebagai suatu gelombang perubahan sosial yang harus memaksa gereja untuk memfasilitasi jemaatnya, secara teologis, untuk berhadapan dan berperan di dalam perubahan-perubahan cepat di wilayahnya itu (Klasis).

Dalam konteks perubahan ekonomi di era otonomisasi, mengabaikan masyarakat kecil akan berakibat fatal dalam jangka panjang, sebab jika itu terjadi kita mengalami kegagalan dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Moh. Hatta, seperti diterangkan Mubyarto, mengingatkan bahwa tugas utama pembangunan ekonomi adalah meningkatkan daya beli atau tenaga beli rakyat.

Konteks otonomi daerah yang penting dipahami sebagai bagian dari konteks bergereja adalah adanya peluang munculnya sentra-sentra produksi baru secara massal dan prospek ekonomi yang bertumpu pada kekuatan varietas lokal pada segala sektor, mulai dari pertanian, perikanan, pertambangan, dan usaha-usaha kecil menengah yang melibatkan partisipasi rakyat dalam jumlah yang besar, disertai pasokan modal yang mantap.

Gereja dalam konteks itu berhadapan dengan tuntutan mensejahterakan jemaat-jemaat atau masyarakat yang miskin, terkebelakang, mendorong terbukanya isolasi, dan membina jemaat untuk memiliki ketangguhan dalam bidang ekonomi, serta mendorong emansipasi dan partisipasi masyarakat/jemaat dalam konteks pembangunan ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, politik.

Otonomi daerah juga menempatkan Klasis-klasis dan Jemaat-jemaat ke dalam kawasan pertumbuhan baru (di setiap Kabupaten/Kota). Karena itu gereja (GPM) menempati posisi yang cukup dialektik, yaitu terstruktur dalam desa-desa tradisional (jemaat) yang tidak boleh kalah cepat dalam mengikuti dinamika perubahan sosial-ekonomi di era otonomi itu sendiri. Di sini kita masih menjumpai mentalitas ekonomi jemaat yang lemah sebagai bagian dari struktur pemahaman dan teologi tradisional, teologi naturalis yang telah mengakar cukup dalam. Ini adalah tantangan dalam pemberdayaan jemaat-jemaat kita. Satu kutipan yang menggugah ialah “if you don’t change you die”.

3. Komunikasi Pasar yang Problematis
Konteks ekonomi yang hendak direfleksikan di sini adalah “tradisi” berjualan di pasar kaget Ambon dan “tradisi” berjualan anak-anak di Ambon dan Taniwel.

a. Komunikasi Transaksional Pasar Kaget
Saya mencoba dengan bertolak dari defenisi komunikasi menurut C.I. Hovland, bahwa komunikasi adalah proses bilamana seseorang individu (komunikator) mengoper stimulans (biasanya lambang kata-kata) untuk merobah tingkah laku individu lainnya (komunikan). Artinya suatu komunikasi akan berlangsung antarindividu yang satu dengan lainnya disertai dengan penyampaian pesan (message) yang harus mendatangkan tanggapan (feedback), dan biasanya harus dapat mengubah suatu kondisi di dalam suatu waktu (timing) dan tempat (place) tertentu – sebagai ruang komunikasi.

Di Ambon dengan terbentuknya pasar-pasar kaget, sudah dapat mendorong lahirnya mentalitas ekonomi masyarakat yang baru. Apa yang disebut Weber sebagai fenomena munculnya asketisme yang baru, yaitu asketisme yang mengarah ke dunia (worldly asceticism), di mana perilaku ekonomi seseorang/sekelompok masyarakat terbentuk bukan sebagai pengaruh kapitalisme semata, tetapi juga motivasi ajaran agama (teologi) yang mereka anut. Weber yakin bahwa etika protestantisme itu sudah merupakan suatu sistem gagasan yang besar pengaruhnya terhadap dunia ekonomi. Dengan kata lain ia melihat pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi.
Beberapa fenomena yang penting di Pasar Kaget Ambon antara lain:

Pertama, transaksi ekonomi berlangsung (pada masa awal – 1999/2000) antara orang-orang kristen saja, dan tidak ada pembeli dari kalangan muslim. Di sini kita memberi kekecualian terhadap “Pasar Baku Bae” di Mardika yang muncul pada tahun 2000, dan menjadi tempat pertemuan pembeli dan penjual dari dua komunitas.

Kedua, berkembangnya aktifitas asketik melalui Ibadah Buka dan Kunci Usbu yang dilaksanakan secara rutin (sampai saat ini) sebagai suatu bentuk “perilaku” beragama yang muncul secara spontan dalam kerusuhan Ambon kala itu. Kegiatan Ibadah itu berlangsung dalam suasana pasar yang tetap aktif melakukan transaksinya – artinya orang beribadah sambil tetap berjualan.

Ketiga, transaksi ekonomi itu berlangsung juga secara luas dengan pelaku ekonomi lainnya seperti penarik becak dan tukang ojek, dan semuanya beragama kristen. Di samping itu, muncul juga para penjual barang kelontongan, termasuk pemangkas rambut, tukang stempel, penjahit sepatu, dll, dan semuanya beragama kristen.

Keempat, setelah konflik reda dan beranjak ke situasi damai, sampai saat ini, komunikasi transaksional itu terjadi secara meluas. Pasar kaget tetap eksis tetapi pembelinya sudah berasal dari dua komunitas yang berbeda. Tidak hanya itu, pasar sudah menjadi satu-satunya ruang perjumpaan publik kedua komunitas secara mutual. Pasar menjadi ruang kompensasi dari tidak adanya lagi permukiman bercampur seperti sebelum konflik. Karena itu komunikasi yang terbangun di pasar adalah komunikasi transaksional, yaitu komunikasi yang menyertakan lambang dan pesan-pesan seputar jenis dan harga barang. Sudah tidak ada lagi komunikasi tentang kehidupan seperti dalam konteks sebelum konflik – Hal ini kiranya menjadi perhatian khusus dalam Studi Agama-agama.

Keempat aspek ini memperlihatkan perubahan peta berteologi kontekstual di Maluku. Saya mengikuti skema Bevans untuk menunjukkan bahwa perubahan sosial-budaya, atau perubahan ekonomi dalam konteks khusus itu sudah menantang proses-proses mediasi injil di dalamnya. Apakah komunikasi injil itu harus bertolak dari teks-teks verbal yang tersusun dalam kanon atau sebaliknya penafsiran baru di dalam konteks perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat dan dilematis tadi? Bevans memberi isyarat pada pentingnya proses mediasi injil di dalam perubahan sosial itu. Apa yang ia sebut sebagai model-model teologi kontekstual sesungguhnya adalah tools untuk memediasi atau mendialogkan teks dan konteks perubahan sosial-budaya itu sendiri. Dengan demikian teologi kontekstual adalah sebuah matra mediasi dan penafsiran teks secara baru di dalam konteks.

Di Pasar Kaget, dengan fenomena seperti itu, dialog injil dan perubahan sosial-ekonomi harus terjadi secara mutual. Kita akan berhadapan dengan suatu fenomena moralitas yang muncul sebagai dampak dari belum terbentuknya mentalitas ekonomi yang tipikal di pasar-pasar kaget. Di sini saya tidak akan membahas mengenai kemampuan para pedagang kristen bertahan atau akan tergusur oleh seleksi alam, sebab itu memerlukan indikator-indikator ekonomi yang empirik serta terukur. Saya lebih melihat pada ruang kajian teologi itu sendiri.

Di pasar kaget kita masih bertemu dengan bentuk-bentuk konotasi kasar seperti kebiasaan “bamaki”, tetapi juga nuansa dialog yang kasar – dalam hal tawar-menawar barang, seperti “kalu tar pung uang jang balanja”, atau “kalu mau murah pi di bawa la mampos”, dll. Konotasi yang muncul sebagai implikasi dari belum terbentuknya perilaku dagang, di mana setiap orang berhak menawarkan harga suatu produk dagang. Belum lagi perkelahian (baku bakalai) di antara para pedagang. Semuanya itu terjadi dalam suatu iklim pasar kaget yang selalu melakukan Ibadah Buka dan Kunci Usbu.

Apa maknanya dalam Teologi Kontekstual? Menurut saya, fenomena moralitas seperti itu memperlihatkan bahwa ajaran agama atau teologi kristen tentang kerja dan dunia ekonomi belum membentuk basis pemahaman (kognisi) dan perilaku (attitude) atau mentalitas ekonomi warga. Weber mungkin tepat ketika mengatakan bahwa di Jerman, orang Lutheran dan Calvinis menguasai dunia ekonomi karena mereka meresapi bahwa kerja adalah panggilan (calling/beruf) dari Tuhan. Apakah hal itu terjadi dalam masyarakat kita?

Di sini kita patut memberi kritik yang baru. Saya tidak menggeneralisasi fenomena tadi, tetapi ternyata corak segregasi pasar itu juga menjadi ancaman serius pada pembentukan mentalitas umat GPM. Bagaimana kita membentuk budaya pasar yang lebih santun dan komunikasi pasar yang spiritual-injili?

Dari konteks pasar kaget, dapat ditegaskan bahwa jemaat-jemaat kita sudah mandiri dan tangguh secara ekonomi. Tetapi itu saja tidak cukup. Sebab indikator kemandirian dan ketangguhan itu juga adalah indikator etis. Maksudnya harus muncul dari pasar itu suatu “Etika Pasar” yaitu etika komunikasi transaksional yang benar-benar santun dan hidup. Suatu komunikasi yang tanpa sadar sudah menunjukkan kedalaman gaya hidup kita sebagai orang beragama. Komunikasi yang mengantar pesan-pesan (message) injil yang kita kemas secara etis dalam wujud respons (jawaban) yang menarik minat pembeli untuk “bertransaksi” dengan kita.

Kita tidak mempublikasi simbol-simbol agama secara praktis, tetapi memberi suatu kesan tersendiri bahwa kata-kata dan cara bertutur kita sudah merupakan simbol dan jatidiri para penjual kristen yang khas. Sehingga ruang komunikasi yang berlangsung di pasar sekaligus menjadi ruang pendidikan etika agama yang benar-benar menyejukkan, menentramkan, dan membawa kedamaian, kenyamanan. Itu akan semakin menunjukkan ketangguhan ekonomi jemaat-jemaat kita.

b. “Jual” – “Beli”: Komunikasi Transaksional yang problematis
Semoga kajian di bagian ini tetap terjaga konsistensi teologi-kontekstualnya. Pasar memang tempat terjadinya “jual-beli” antara pedagang dan pembeli. Pedagang berperan dalam menawarkan (menjual) barang, dan pembeli berperan membeli – dalam konteks itu menawarkan nominal harga barang.

“Jual” – “Beli” yang dimaksudkan di sini adalah fenomena transaksional yang terjadi dalam dua konteks yang berbeda, yaitu kebiasaan menjajakan makanan kecil (kue) oleh anak-anak di Kota Ambon dan di jemaat-jemaat di Taniwel, seperti sudah diulas tadi.

Fenomena di Kota Ambon memperlihatkan bahwa si anak mengembangkan komunikasi transaksional bertolak dari kenyataan bahwa masyarakat memiliki daya beli yang tinggi karena separuh dari kebutuhan mereka dicukupi melalui jasa orang lain. Uang benar-benar menjadi alat tukar dan pemenuhan separuh dari kebutuhan masyarakat, yaitu kebutuhan untuk “sarapan pagi” dan “minum teh sore”. Karena itu sambil berteriak “jual, jual, jual roti”, sang anak itu melakukan transaksi dengan orang lain, karena barang yang ia tawarkan itu adalah separuh dari kebutuhan masyarakat yang tidak diproduksinya.

Akan berbeda secara mendasar dengan komunikasi transaksional anak di jemaat-jemaat di Taniwel. Ia mengembangkan komunikasi transaksional dari kenyataan bahwa bukan saja daya beli masyarakat yang kecil, tetapi komoditi yang ia tawarkan (pisang goreng, dll) juga dimiliki masyarakat, dan bukan merupakan separuh dari kebutuhan mereka. Di pedesaan, keluarga-keluarga belum memiliki kebiasaan “sarapan pagi” atau “minum teh sore”, dan tingkat perputaran uang yang rendah.

Apa implikasi teologi-kontekstualnya? Hal ini tidak bisa disederhanakan hanya dengan berkata bahwa ada perbedaan antara desa dan kota secara ekonomi. Teologi-kontekstual dari kedua fenomena itu mengantar kita untuk melihat dimensi “manusia” yang terlibat dalam komunikasi transaksional itu.

Sang anak Kota dan Desa itu menawarkan “kehidupan” mereka secara potensial, walau dalam konteks masyarakat yang berbeda. Artinya, perjuangan mengenai hidup adalah perjuangan teologi (theological struggling) yang esensial. Di dalam transaksi “Jual” – “Beli” tadi terkandung persoalan kehidupan.

Dalam konteks Kota dan Desa, kita menyaksikan bagaimana anak menjadi bagian dari eksistensi ekonomi keluarga. Realitas pekerja anak juga terjadi dalam konteks ini, dan mereka bekerja dalam kondisi yang problematis. Di kota, anak bekerja di tengah bertumbuhnya industri makanan ringan dan fast food yang terus menjamur. Ia berjuang di tengah tumbuhnya kebiasaan masyarakat mengunjungi rumah kopi dan café-café untuk memenuhi separuh dari kebutuhan mereka. Di samping itu, sudah terbentuk semacam kebiasaan “self-service” di mana masyarakat sudah membeli aneka penganan dari toko dan menyediakan sendiri sesuai seleranya.

Sedangkan di desa, kebiasan anak tadi berlangsung dalam kondisi ekonomi yang marginal oleh sebagian besar masyarakat. Ia berjuang dalam konteks ketika orang tuanya pun tahu bahwa apa yang ia jual itu dimiliki oleh masyarakat lainnya. Orang desa kurang suka makan roti, sebab dinamika di kebun lebih cocok jika ia makan “kasbi” dll di pagi hari.

Tetapi demikianlah transaksi kehidupan yang mereka lakoni dari waktu ke waktu, dengan atau tanpa keuntungan material.

4. Dialog Teks-Konteks
Pasar kaget dan anak penjaja kue adalah teks kehidupan (the living documents) yang menarik dan tidak habisnya kita baca. Teks itu lahir dari konteksnya sendiri, dan ia kemudian menggema ke konteks itu juga.
Apa yang bisa kita pegang sebagai suatu formula teologi di pasar? Teologi Transaksional? Mungkin saja. Di sini saya hendak meminjam cerita lain dari Alkitab – Perjanjian Baru, yang kiranya memberi senyawa baru dalam perumusan teologi-transaksional itu.

Cerita Yesus menyucikan Bait Allah dalam Yoh. 2:13-16 (lht. Paralelnya dalam Mrk. 11:15-19; Mat. 21:12-13; Luk. 19:45-48) naturalnya adalah cerita tentang “larangan berjualan di dalam Bait Suci (ay. 14). Ini adalah fenomena disfungsi ekonomi dan lemahnya sistem pembinaan agama terhadap mentalitas ekonomi umat.

Aktifitas berdagang “di dalam Bait Suci” itu sendiri merupakan bukti dari melebarnya ruang transaksi ekonomi dari pasar ke dalam ruang publik yang dikuduskan (Bait Suci). Ketika hal itu terjadi pertanda pasar telah menjadi sentra kehidupan yang penting. Terbentuklah budaya materialisme yang berdampak pada terabaikannya etika agama. Kapitalisme sudah menjadi tujuan dan bukan alat untuk melayani. Ironinya ialah, dalam cerita itu, sudah tidak ada lagi mekanisme kontrol agama terhadap corak transaksional ekonomi yang semakin menggelinding. Agama dimarginalkan, sehingga ruang-ruang ritus beralih fungsi menjadi ruang pasar.

Sebaliknya di Pasar Kaget kita melihat terhisabnya ruang ritus di tengah aktifitas jual-beli di Pasar. Apakah ini adalah fenomena kokohnya moralitas agama? Pertanyaan ini perlu direnungkan secara jujur. Namun hal ini menunjukkan bahwa gereja sudah sulit membuat defenisi yang tegas tentang “berteologi” (in doing theology/theology in action) itu sendiri. Berteologi masih terkungkung pada sejumlah aktifitas ritus, yang karena itu “terhisab” juga ke pasar, ketimbang membentuk kematangan dan ketangguhan atau kesadaran ekonomi jemaat di Pasar itu sendiri.

Fenomena seperti itu membuat teologi-transaksional kehilangan senyawa spiritualitasnya, apalagi jika komunikasi teologi-transaksional itu diwarnai dengan konotasi kasar, tersegregasi, terpolarisasi, atau malah diselubungi dengan praktek penimbunan, penipuan, menjual dengan harga tinggi, hasil kerja digunakan untuk judi, mabuk-mabukan, “biaya” selingkuh, dll.

Teks yang kedua yang hendak dikemukakan adalah cerita tentang Yesus memberi makan kepada 5000 orang, dalam Yohanes 6:1-15 (lht. Paralelnya dalam Mat. 14:13-21; Mrk. 6:32-44; Luk. 9:10-17). Naturalnya cerita ini terjadi dalam konteks ketika murid-murid Yesus kehilangan kepekaan pubic service. Orang banyak yang mengikuti Yesus, untuk belajar tentang kehidupan, itu lapar, dan mereka jauh dari kota. Sangat mungkin bekal mereka sudah habis. Dalam kondisi itu, para murid Yesus kehilangan kepekaan public service-nya.

Dalam semua Injil dikisahkan ada 5 roti dan 2 ekor ikan. Siapa pemilik 5 roti dan 2 ekor ikan itu? Si empunya hilang dalam catatan para Sinoptisi. Hanya Yohanes yang menyibak misteri siapa yang empunya 5 roti dan 2 ekor ikan itu, yaitu seorang anak anonim (tanpa nama), sesuai keterangan Andreas, saudara Simon Petrus – orang-orang dewasa yang jelas identitas mereka.

Apa maksudnya? Anak (entah berapa umurnya) anonim itulah yang menyediakan bukan separuh dari tetapi seluruh kebutuhan 5000 orang yang ada di situ, tetapi orang tidak tahu siapa dia sebenarnya. Ia pun turut mengalami marginalisasi setelah ia memberi potensi hidupnya untuk memenuhi kebutuhan 5000 orang itu. Bahkan teks Yohanes pun tidak menjelaskan detail respons Yesus kepada anak itu. Kehadirannya adalah kehadiran by saying, artinya ia ada karena orang lain (Andreas saudara Simon Petrus) mengatakan ia ada dan memiliki potensi ekonomi itu.

Tindakan mujisat yang Yesus adakan adalah suatu bentuk transformasi kehidupan dari potensi yang sedikit tadi. Ini bermaksud untuk mengatakan bahwa pengelolaan potensi ekonomi harus membawa perubahan dalam aspek terdasar hidup masyarakat.

Sang anak itu mengkomunikasikan kehidupan orang banyak melalui simbol (roti dan ikan) bukan secara verbal. Ia tidak menawarkan apa yang ia hendak jual atau memohon orang membeli, tetapi ia memberikan apa yang ia miliki (give his/her own). Dan ia memberi hidupnya. Sebab jika tidak ada aspek mujizat dalam perbuatan Yesus, mungkin saja ia mati kelaparan bersama dengan 5000 orang lainnya.

5. Teologi-Transaksional: Kesimpulan Umum
Saya mungkin belum bisa mendefenisikan secara baik teologi-transaksional itu. Walau demikian beberapa argumentasi sebagai inferensi (penyimpulan) dari tulisan ini ialah:

- Teologi-Transaksional adalah teologi kehidupan itu sendiri. Artinya ia lahir dari kesadaran bahwa komunikasi dengan sesama adalah komunikasi yang sejajar dan egaliter. Komunikasi yang mendatangkan kedamaian dan memuaskan semua orang. Walau demikian Teologi-Transaksional bukanlah sebuah pengetahuan etika mengenai bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Sebaliknya Teologi-Transaksional diharapkan mampu mentransformasi mentalitas kerja dan usaha jemaat/masyarakat menjadi sesuatu etika yang lebih santun. Persoalan mendasar dari Teologi-Transaksional adalah kepedulian terhadap situasi aktual masyarakat kebanyakan, yaitu orang-orang miskin dan kaum marginal yang terhimpit oleh kebutuhan hidup mereka.

- Teologi-Transaksional perlu dibangun dari kesadaran akan pentingnya mengelola potensi-potensi ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Teologi ini pun adalah sebuah refleksi terhadap konteks marginalisasi di desa-desa, di mana keterisolasian membuat masyarakat tidak memiliki akses pasar yang besar. Dengan demikian teologi ini perlu dijadikan sebuah paradigma baru dalam pemberdayaan umat. Artinya, ia dijadikan tools untuk mengembangkan jaringan pemberdayaan itu sendiri.

- Teologi-Transaksional diharapkan juga terjadi dalam ruang perjumpaan publik yang luas, termasuk dalam masyarakat plural atau heterogen. Dengan demikian teologi ini menjadi bagian dari cara kita membangun komunikasi yang sejajar dengan sesama, lintas batas sosial yang ada.

Kepustakaan:
Badan Pekerja Harian Sinode GPM, PIP/RIPP GPM 2005-2015, Ambon, 2006
Banawiratma, J.B., “Keadilan Sosial dan Kasih yang memihak Bagi Orang Miskin: Menuju Harmoni Sejati dalam Hubungan Antariman”, dalam Th. Sumartana, et.al., (Peny.), Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang, Jakarta: P3M-STTJ & Balitbang PGI, 1993
Bevans, Stephen B., Models of Contextual Theology, Philadelphia: Fortress Press, 1994
Coser, Lewis A., Masters of Sociological Thougth: Ideas in Historical and Social Context, second edition, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE, 2000
Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Boston, London: Allyn & Bacon, fourth edition, 2000
Ritzer, Gorge & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, edisi keenam, Jakarta: Prenada Media, 2004
Sarundajang, S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Sinar Harapan, cetakan keempat, Oktober 2002
Siahaan, S.M., Komunikasi: Pemahaman dan Penerapannya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ketiga, 2000
Soselissa, H.L., Dinamika Masyarakat Kepulauan di Maluku, materi ceramah Semiloka PIKOM Sinode GPM, November, 2007, di Allang, (tidak dipublikasikan)
Weber, Max, The Protestant Ethics and Spirit of Capitalism, second edition, New York: Scribner’s, 1958

Comments

t4l4mburang said…
Good Job Bro.....
Beta kira, kalau memang seng ada yang mulai memikirkan itu, katong bisa mulai dari Kupas... Beta tetap berkomitmen untuk mau memberikan sedikit tiap saat untuk kepentingan masyarakat di Maluku, tidak terlepas dari warga Jemaat GPM di Maluku. Sumbangan katong bisa pada menyiapkan teman-teman yang dapat mengerjakan teologi transaksional itu.... ya.. MENGERJAKAN TEOLOGI TRANSAKSIONAL... Mungkin katong bisa bahas itu di kounitas supaya jadi satu topik menarik untuk distudikan ka...???...
Beta pikir untuk memulai itu harus dari dapur bos.... ya UKIM bisa menjadi dapur yang baik, dengan racikan yang baik dan koki yang baik akan menghasilkan makanan yang baik dan berkualitas walaupun ukuran baik dan berkualitas itu juga patut dipertanyakan, tetapi dalam etika, yang namanya baik itu adalah baik dan tidak terdefinisi bila tidak menempel pada hal yang lain.....
Ok bosss.... katong tunggu ide awal ini digagas... beta copy dia n masukkan ke kupas research groups... mudah-mudahan ada tanggapan dari yang lain....

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara