(Markus 5:35-43)
Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella
PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS
Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara tahun 64 dan 70M, setelah rasul Petrus menjalani hukuman sebagai martir (Perin, 1982). Beberapa pakar Perjanjian Baru, termasuk para patriakhi, seperti Eusebius, meyakini Markus sang penulis adalah murid Petrus, atau yang di dalam 1 Petrus 5:13 disebut sebagai anaknya (anak rohani). Artinya dia mendengar langsung cerita Petrus, dan melihat beberapa hal sebagai tanda-tanda keajaiban yang dilakukan Petrus dalam nama Yesus (bd. Bultman, 1963).
Injil ini memuat gambaran mengenai siapa Yesus. Penulis injil ini merekam dengan sangat lengkap kata-kata atau ucapan-ucapan asli Yesus, dan ditulis dengan bahasa yang familiar (Yunani Koine) dan dipakai secara meluas di kalangan orang-orang Yahudi dan Romawi yang berbudaya helenis. Ada pula beberapa kalimat berbahasa Aram sebagai bahasa yang juga populer di kalangan orang-orang Romawi, dan juga digunakan Yesus di zamanNya. Dengan gaya bahasa seperti itu, pembaca injil ini adalah orang-orang biasa atau masyarakat pada umumnya, sebagian besar adalah mereka yang mengikut Yesus selama Ia berkarya di tengah-tengah mereka.
Penulis injil Markus menerangkan tentang Yesus dalam kerangka hidup sehari-hari masyarakat, didahului oleh kesaksian Yohanes Pembaptis tentang siapa sesungguhnya mesias, Anak Allah, penebus dosa dunia (Mrk.1:1-8), dan proklamasi mesianik melalui suara yang berseru dari langit: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Mrk.1:11) serta burung merpati yang turun ke atas Yesus (Mrk.1:10). Dari situ, maka injil ini, menurut penulisnya, adalah injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah (Mrk.1:1). Penulisnya mengingatkan kembali kepada masyarakat Yahudi dan Romawi Helenis, apa yang dikatakan dan menceritakan ulang apa yang dilakukan Yesus, dalam tiga tahun pelayananNya, atau sebelum Ia mati disalibkan. Kisah sengsara Yesus mendapat perhatian utama dari penulis injil ini.
Kisah awal pelayanan Yesus dalam Markus, sebagaimana diikuti oleh para sinoptisi yang lain, dimulai dari pencobaan di padang gurun. Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus menjalani masa khusus selama empat puluh hari Ia dicobai di padang gurun. Penulis injil Markus tidak menceritakan detail kisah pencobaan seperti Matius dan Lukas, sebab hanya dalam 2 ayat (Mrk.1:12-13). Sebuah cerita singkat, sebab bagi Markus yang penting adalah tampilnya Yesus setelah pencobaan di padang gurun. Namun di sini ia menyajikan secara ringkas sebuah tragedi, yaitu penangkapan Yohanes Pembaptis (Mrk. 1:14) yang ternyata menjadi akhir dari pekerjaan Yohanes Pembaptis dan awal dari pelayanan Yesus sebagai Mesias.
SeruanNya: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk.1:15) menjadi gerbang pelayanan Yesus. Jika dihubungkan dengan keterangan pada Markus 1:1, maka ayat 15 ini Yesus menunjuk langsung kepada diriNya, sebab Dia adalah Injil itu sendiri. Jadi Markus mengemukakan tiga proklamasi tentang Yesus. Pertama, oleh Yohanes pembaptis (Mrk.1:7,8), kedua, oleh Allah (Mrk.1:11), dan ketiga oleh Yesus sendiri (Mrk.1:15). Proklamasi ini penting untuk menyatakan bahwa semua nubuat nabi tentang datangnya Mesias (utusan yang diurapi) digenapkan di dalam diri Yesus (bd. Yes.40:3; Mal.3:1). Jadi Yesus inilah yang dinantikan oleh orang-orang Yahudi, Dialah yang akan menebus dosa dunia (Mrk.1:4).
Selain tiga proklamasi kemesiasan tadi, penting juga untuk melihat benang merah antara pencobaan di padang gurun dengan hardikan Yesus kepada roh jahat di dalam Bait Allah (Mrk.1:25). Hal ini penting untuk menegaskan bahwa kuasa yang ada padaNya adalah kuasa Allah, sebab Dia adalah Allah itu sendiri. Yesus adalah Mesias, bukan agen dari suatu kuasa yang lain, seperti yang merasuki seseorang di dalam Bait Allah itu (Mrk.1:23). Catatan Markus ini penting jika dibaca bersamaan dengan Matius 4:1-11 dan Lukas 4:1-13 saat Ia dicobai iblis. Roh yang merasuki seseorang di dalam Bait Allah itu adalah roh iblis yang juga mencobaiNya di padang gurun. Bahkan Markus menyatakan bahwa setan-setan itu mengenal Yesus (Mrk.1:34) sebagai Yang Kudus dari Allah (Mrk.1:24). Sekali lagi di sini penulis injil Markus menonjolkan otoritas Yesus sebagai Allah. Hal ini penting untuk menyatakan bahwa semua mukjizat yang tercatat di dalam Injil ini bersumber langsung dari kuasa Allah, atau dari diri Yesus itu sendiri.
mukjizat-mukjizat YESUS DALAM INJIL MARKUS
Cerita-cerita mukjizat dalam injil Markus tentu tidak seramai cerita yang sama di dalam injil Yohanes yang juga disebut sebagai the book of sign. Baiknya kita melihat rangkaian peristiwa mukjizat yang dilakukan oleh Yesus di dalam injil ini.
Dari kisah-kisah mukjizat di atas, penyembuhan pada hari sabat menimbulkan kontroversi besar sehingga mulai ada rencana untuk membunuhnya. Di sisi lain, dalam Markus 3:20-30 dan 11:27-33, Imam Kepala dan ahli-ahli Taurat mempersoalkan kuasa yang digunakan Yesus untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Mereka mengklaim bahwa Yesus menggunakan kuasa Beelzebul, penghulu setan untuk menyembuhkan orang-orang sakit itu. Di situ perlu dipahami cerita penulis injil ini yaitu dari beberapa rangkaian penyembuhan, ada yang terjadi tanpa sentuhan atau kata-kata Yesus, misalnya perempuan yang sakit pendarahan (Mrk.5:25-34) dan orang banyak yang menyentuh jubahNya di Ganasaret (Mrk.6:53-56), serta seorang yang bukan murid Yesus, tetapi mampu mengusir setan dalam nama Yesus (Mrk.9:38-41).
TALITA KUM
Teks:
καὶ κρατήσας τῆς χειρὸς τοῦ παιδίου λέγει αὐτῇ· 'ταλιθα κουμ, ὅ ἐστιν μεθερμηνευόμενον· τὸ κοράσιον, σοὶ λέγω, ἔγειρε.
"Lalu dipegang-Nya tangan anak itu, kata-Nya: "Talita kum," yang berarti: "Hai anak perempuan, Aku berkata kepadamu: Bangunlah!" (TB2).
Ada dua mukjizat dalam injil Markus yang dilakukan Yesus dengan mengucapkan kata tertentu. Pertama, saat Yesus membangkitkan anak perempuan Yairus yang berusia duabelas tahun, kepala rumah ibadat. Ia mengucapkan kata: “Talitha Koum/Talita Kum” yang artinya “Hai anak (perempuan), bangunlah!”, dan anak perempuan Yairus itu bangkit (Mrk.5:21-23, 35-43) dan kedua, saat Yesus memulihkan pendengaran seorang yang tuli. Ia mengucapkan kata “Efata” yang artinya “terbukalah” dan orang itu mendengar (Mrk.7:31-37).
Pada peristiwa bangkitnya anak perempuan Yairus, ada dua defenisi mengenai keadaan anak itu yang berbeda, tetapi sekaligus menerangkan pada dua otoritas kuasa yang berbeda pula. Yairus dan keluarganya serta orang banyak di situ mendefenisikan kondisi anak perempuan itu: “mati” (ἀποθνῄσκω - apothnéskó), sedangkan Yesus mendefenisikan kondisinya: “tidur” (καθεύδω - katheudó). Dua hal ini, menurut Rodney Bomford menerangkan pada logika yang tidak simetris, atau berlawanan, dimana pada waktu yang sama terdapat dua kondisi yang tidak simetrik (2015:43). Dalam posisi logika seperti itu, terkandung juga dua kuasa yang berbeda. Yairus, keluarganya dan orang banyak di situ memandang kematian sebagai akhir, dan tidak ada lagi peluang untuk hidup kembali. Kematian adalah batas dari kuasa mereka. Sebagai kepala rumah ibadah, pemahaman Yairus sejalan dengan kerangka pemikiran keyahudian mengenai kematian. Kerangka itu yang dipakai penulis injil Markus untuk memperkenalkan siapa itu Yesus. Makanya, ia menggunakan kata-kata langsung Yesus, yang diucapkan dalam bahasa Aram pada teks tadi sambil menegaskan bahwa: “Anak ini tidak mati, tetapi tidur” (Mrk. 5:39). Ia menegaskan tentang kuasaNya yang tidak terbatas, yang menguasai alam maut.
Kata 'ταλιθα - talitha, adalah kata benda feminin tunggal, yang artinya “anak perempuan”. Dalam Markus 5:42 diketahui bahwa ia berumur dua belas tahun. Sedangkan kata κουμ - koum/kum, adalah kata kerja Aorist Imperatif Aktif orang kedua tunggal, artinya “kamu bangunlah, atau bangunlah kamu.”
Ada banyak perdebatan tentang hal ini di kalangan para penafsir Perjanjian Baru. Zwiep membantu kita menelusuri perbedaan-perbedaan itu dari tiga kisah kebangkitan orang mati yang dilakukan oleh Yesus. Terlepas dari tafsir alegoris terhadapnya, tetapi injil mencatat tiga cerita Yesus membangkitkan orang mati sebagai suatu cerita historis, yaitu kebangkitan anak perempuan Yairus (Mrk.5:25-43), kebangkitan anak muda seorang ibu janda di Nain (Lukas 7:11-17) dan kebangkitan Lazarus (Yoh.11:1-44). Tiga cerita itu berlangsung pada lokasi dan kondisi yang berbeda (Zwiep, 2015).
Perdebatan itu terjadi pada kondisi ketiga orang tersebut, antara tertidur, sakit, dalam keadaan coma, atau mati. Anak perempuan Yairus terbaring di tempat pembaringan di rumahnya. Sedangkan anak ibu janda di Nain telah mati dan mereka sedang dalam arak-arakan pengusungan jenazah ke tempat pemakaman. Berbeda dengan keduanya, Lazarus sudah mati dan berada di dalam kubur selama empat hari, dan sudah berbau busuk. Mungkin pada dua kisah kebangkitan, yaitu pemuda di Nain dan Lazarus, tidak ada bantahan mengenai apakah mereka tertidur atau mati. Tetapi ada kemungkinan secara rasional pada anak perempuan Yairus, sebab itu penting untuk memahami narasi ini dalam injil Markus.
Kebangkitan anak perempuan Yairus tidak berdiri sendiri dalam cerita Markus. Cerita itu adalah bagian dari cerita mukjizat ganda yang dilakukan Yesus pada kesempatan yang sama. Sebab itu ada dua perempuan yang menjadi subyek dari narasi itu, yang pertama ialah perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun, dan anak perempuan Yairus berusia dua belas tahun yang mati.
Bila kita menggunakan kerangka naratif, dan memahami peningkatan kasus (hightning development) dalam satu alur cerita, akan mudah untuk memahami kuasa Yesus dalam penyembuhan perempuan yang sakit pendarahan dan kebangkitan anak perempuan Yairus. Perempuan yang sakit pendarahan itu kita tempatkan pada bingkai cerita (scene) pertama, dan anak perempuan Yairus pada bingkai cerita kedua.
Zwiep (2015:360), menerangkan bahwa dalam studinya terhadap tradisi Sinoptik, R. Bultmann, mengikuti klaim Dibelius, bahwa kedua kisah tersebut adalah kisah-kisah mukjizat. Kisah-kisah ini, menurutnya, terdiri dari catatan tentang penyakit, pengobatan yang tidak membuahkan hasil dan kehebatan mukjizat untuk membuktikan klaim mesianis Yesus dan mendorong iman kepada Yesus sebagai pembuat mukjizat ilahi (Jer. Wunderglaube).
Jadi perempuan yang sakit pendarahan itu ada pada alur cerita penyembuhan, yang terjadi karena kuasa Yesus, atas iman dari perempuan tersebut. Ia adalah representasi dari dirinya, melalui usahanya itu, sebab ia sakit, selama dua belas tahun, dan terus berjuang. Jadi kehadirannya saat itu menerangkan pada perjuangannya untuk beroleh kesembuhan.
Ada kontak fisik antara Yesus dengan perempuan yang sakit pendarahan, meskipun sebenarnya dilakukan oleh perempuan itu; Yesus tidak melakukan apa-apa atasnya. Yesus tidak merencanakan penyembuhan tersebut, namun terjadi atas iman perempuan itu. Sebab itu pernyataan Yesus: “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan damai dan tetaplah sembuh dari penyakitmu” (Mrk.5:34, TB2) merupakan respons setelah perempuan itu menyentuh jubahnya dan sembuh. Lagi-lagi, sejalan dengan Zwiep dan Bultmann tadi, mukjizat ini mendorong iman kepada Yesus.
Sedangkan anak perempuan Yairus bukan representasi dari dirinya. Yairus adalah representasi dari anaknya itu. Tindakan ini sama dengan ibu janda di Nain dan Maria serta Marta saudara Lazarus. Mereka berempat itu menyampaikan permintaan khusus kepada Yesus mewakili anak dan saudaranya yang sudah mati. Penulis injil menceritakan Yesus pergi ke rumah Yairus. Sama dengan Yesus berpapasan dengan iring-iringan jenazah pemuda di Nain dan pergi ke kuburan Lazarus. Jadi kata-kata yang diucapkan Yesus itu menjadi penting di dalam narasi kebangkitan ini. Terlepas dari tafsir alegoris maupun futuristik yang menerangkan bahwa semua itu menunjuk kepada kuasa di dalam kebangkitan Yesus, tetapi bagi penginjil, terutama Markus, kebangkitan anak perempuan Yairus, atau seruan: “Talita Kum!” menjadi penting untuk membedakan mukjizat penyembuhan dan kebangkitan.
Di dalam injil Markus, percakapan dan tindakan Yesus terhadap orang banyak, Yairus dan anak perempuannya menjadi pusat dari cerita itu. Ada gradasi dalam alur cerita yang menarik diikuti:
Yr (Yairus) : “Anak perempuanku hampir mati, datanglah kiranya dan letakannlah tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup”. Lalu pergilah Yesus dengan orang itu. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan berdesakan mengerumuni Dia.
…
(Seorang keluarga Yairus): “Anakmu sudah meninggal, untuk apa engkau masih menyusahkan Guru?” Namun Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat, “Jangan takut, percaya saja!” Lalu Yesus tidak memperbolehkan seorang pun ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes, saudara Yakobus. Mereka tiba di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana dilihat-Nya orang-orang ribut, menangis dan meratap dengan suara nyaring. Sesudah masuk Ia berkata kepada orang-orang itu: “Anak ini tidak mati, tetapi tidur”. Namun, mereka menertawakan Dia.
…
Lalu dipegang-Nya tangan anak itu, kata-Nya: “Talita Kum,” yang berarti, “Hai anak perempuan, Aku berkata kepadamu: “Bangunlah!”
Dialog itu menegaskan kondisi sesungguhnya dari anak perempuan Yairus, yaitu ia sudah mati. Karena itu logika simetrisnya ialah, Yesus membangkitkan dia dari kematian. Kata Yun. ἐγείρω – Bangunlah! yang digunakan di situ tidak berarti bahwa anak itu tidak mati. Kata itu digunakan untuk menegaskan hakikat dari mukjizat atau kuasa pada diri Yesus di dalam kebangkitan itu. Selain itu, kata itu digunakan untuk menerangkan kondisi anak itu yang sedang terbaring di pembaringannya. Maka kata : “Anak ini tidak mati, tetapi tidur” untuk menerangkan perbedaan ruang kuasa antara manusia dan Yesus/Tuhan, karena ada faktor percaya dan tidak percaya di dalam kisah kesembuhan perempuan yang sakit pendarahan dan anak perempuan Yairus yang dibangkitkan. Problem ketidakpercayaan itu yang mau digeserkan penulis injil Markus, sebab itu penting baginya kehadiran Petrus, Yakobus dan Yohanes sebagai saksi dari peristiwa kebangkitan anak Yairus.
TUJUAN PENULIS INJIL MARKUS
Bangkitnya anak perempuan Yairus yang telah berusia duabelas tahun perlu dipahami sejajar dengan perempuan yang sudah duabelas tahun mengalami pendarahan. Angka duabelas di sini menerangkan pada lamanya masa sakit perempuan yang menderita pendarahan dan usia anak perempuan Yairus yang sakit dan mati.
Perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun dan anak perempuan berusia dua belas tahun yang mati adalah gambaran dari orang-orang yang menderita dan butuh pertolongan.
Ada krisis solidaritas atau keberpihakan kepada orang-orang yang menderita. Apalagi pendarahan merupakan jenis penyakit yang dinajizkan dalam tradisi Yahudi (bd. Im.12:2; 15:19-26). Artinya oleh sakit itu ia tidak boleh tampil di depan publik, dan tidak boleh menyentuh apapun atau disentuh oleh siapapun. Malah ada beban ganda yang ia alami, sebab selama dua belas tahun ia sudah berusaha berobat ke banyak tabib, dan menghabiskan segala miliknya namun tidak sembuh. Tentu secara ekonomi keadaannya berbeda dari Yairus, seorang kapala rumah ibadat. Artinya pula, peluang untuk ditolong lebih besar ada pada anak perempuan Yairus ketimbang perempuan yang sakit pendarahan.
Tetapi sebenarnya mereka berdua adalah gambaran dari perempuan yang mengalami beban ganda, yang satu sakit dan harus berjuang menerobos dinding tradisi dan hukum agama Yahudi, di dalam kondisi lemah secara ekonomi. Perempuan yang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa atas tubuhnya sebab mati.
Butuh solidaritas dan daya juang untuk pulih dan bangkit. Sebab penyembuhan dan kebangkitan ada pada jalan yang sama, yaitu jalan kasih dan kuasa Tuhan, sebagai Allah yang berpihak pada orang-orang lemah. Keberpihakan Tuhan kepada orang-orang lemah itulah yang melahirkan iman. Kesembuhan dan kebangkitan dalam cerita ini terjadi di ruang publik. Meskipun dalam kebangkitan anak Yairus, Yesus hanya mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes, tetapi mukjizat itu diketahui oleh orang banyak (publik) setelah anak itu bangun dari tempat tidurnya dan berjalan kepada orang tuanya, dan diberi makan (Mrk.5:43).
Pada sisi itulah tujuan Markus memproklamasikan siapa dan apa yang dikerjakan Yesus tercapai, meskipun pada Markus 6:1-6a, Dia ditolak oleh orang-orang sekampungnya. Kisah itu mesti ditafsir secara khusus, namun kisah itu menerangkan bahwa masih ada ketidakpercayaan meskipun Yesus sudah melakukan banyak mukjizat. Ketidakpercayaan itu dapat timbul dari seberapa dekat kita saling mengenal, tetapi kepercayaan selalu timbul dari seberapa dalam kita beriman.
V. BUKU RUJUKAN
Bomford, Rodney, Jairus, his Daughter, the Woman, and the Saviour: The Communication of Symmetric Thinking in the Gospel of St Mark, Practical Theology, United Kingdom: The Manor House, Modbury
Bultmann, R, History of the Synoptic Tradition, New York: Harper & Row, 1963
LAI, Alkitab. Terjemahan Baru 2, 2023, Jakarta: LAI
Perrin, Norman & Duling, Dennis C., The New Testament: An Introduction, New York: Harcourt Brace Jovanovich 1982, 1974
Zwiep, Aerie W, Jairus, His Daughter and the Haemorrhaging Woman (Mk 5.21-43; Mt. 9.18-26; Lk. 8.40-56): Research Survey of a GospeStoryty about People in Distress, Currents in Biblical Research, Vol. 13(3), Amsterdam Center for New Testament Studies (ACNTS), Faculty of Theology, VU University Amsterdam, De Boelelaan 1105, 2015
No comments:
Post a Comment