Thursday, August 22, 2024

JANGAN TAKUT


(Matius 28:10)

Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella

 

Ungkapan "jangan takut" (yun. μή φοβέομαι) merupakan kata yang cukup populer dalam Perjanjian Baru. Malah diungkapkan dalam situasi yang sangat khusus, yaitu perjumpaan antara Tuhan dan makhluk ilahi (=malaikat) dengan manusia. Dalam Lukas 1:30, ungkapan yang sama disampaikan malaikat kepada Maria, untuk menyampaikan kabar bahwa ia akan mengandung oleh Roh Kudus. Ungkapan itu juga disampaikan malaikat kepada para gembala (Luk.2:10), sebagai pembuka suatu kabar bahwa Juruselamat (=Yesus) telah dilahirkan. 

 

Ungkapan yang sama di dalam Matius 8:10 menegaskan bahwa ada gejolak di dalam bathin orang-orang yang berjumpa dengan Yesus dan malaikatNya. Artinya ungkapan itu disampaikan sebab ada kondisi personal seseorang, takut berhadapan dengan apa yang terjadi terhadap diri dan hidupnya. 

 

Rasa takut itu kondisi psikologis setiap pribadi dan satu komunitas atas adanya keadaan atau peristiwa tertentu di dalam hidup atau lingkungan tempat hidup. Keadaan itu bisa saja mengandung suatu ancaman atau bahaya yang besar. Malah ancaman itu bisa saja membawa malapetaka atau kematian. Keadaan itu semacam teror atas kehidupan. Sebab itu menimbulkan rasa takut. 

 

Dalam peristiwa perjumpaan manusia dengan Tuhan atau makhluk ilahi, wajar jika ada rasa takut yang sangat tinggi. Dalam teologi masyarakat Yahudi orang yang melihat Allah pasti atau dapat mati (Hakim 13:21-22). Hal tersebut sudah Menjadi pengetahuan dan kesadaran teologi kolektif mereka. Karena itu suasana kebathinan Maria, para gembala serta para murid dapat dipahami. Sehingga ungkapan “jangan takut” menjadi penting untuk menghilangkan rasa takut mereka. Sehingga perjumpaan itu tidak membawa bencana atau malapetaka melainkan kehidupan. 

 

Ada satu pengalaman dalam Perjanjian Lama yang lebih dari sekedar berjumpa, yaitu pergulatan Yakub dengan malaikat. Dalam pergulatan itu Yakub mengakui: “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (Kej. 32:30b). Hal-hal itu bukanlah kekecualian melainkan ada dimensi baru dari perjumpaan dengan Tuhan yaitu kehidupan, keselamatan dan tugas atau pesan yang baru. Aspek ini yang membuat ungkapan “jangan takut” itu memampukan kita masuk ke dalam situasi dan tugas yang baru. 

 

Ungkapan “jangan takut” dalam Matius 28:10 ini berhubungan erat dengan tugas kerasulan sebagai kelanjutan dari pekerjaan mesianik Yesus. Bahwa setelah bangkit dari kematian, Yesus mendelegasikan tugas kerasulan kepada para murid dan orang percaya (baca. Gereja, orang Kristen) untuk menghadirkan keselamatan yang telah dikerjakan-Nya sampai ke ujung bumi.Ayat dalam Matius 28:10 “Maka kata Yesus kepada mereka: “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku.” Ini barulah permulaan dari tugas kerasulan itu. Tugas itu sendiri baru diberikan setelah murid-murid berjumpa dengan Yesus di salah satu bukit di Galilea. Tugas itu ialah: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:19-20). Jadi perjumpaan dengan Yesus setelah kebangkitan-Nya menjadi momentum khusus sebagai awal dari tugas kerasulan itu. Karena tugas itulah maka ungkapan “jangan takut” menjadi sesuatu yang penting dihayati. 

 

Tawiri, Kamis, 22 Agustus 2024

(Sesuai Nas Bacaan Ibadah Pemberangkatan Jenazah (alm.) Pdt. Veky Lesbata)

Wednesday, August 21, 2024

BAJU ITANG, MEJA SUMBAYANG, PIRING NAZAR:

Teologi dan Tradisi Gereja di Gereja Protestan Maluku 

Pendeta Elifas Tomix Maspaitella


I. PENGANTAR

Tulisan ini bertujuan untuk merawat kearifan lokal GPM yang selama ini tersimpan dalam memori kolektif, dan sekaligus mensosialisasi keputusan-keputusan gereja yang terkait dengan simbol-simbol liturgi GPM itu sendiri. Simbol-simbol liturgis sebuah gereja menjelaskan tentang tradisi liturgis atau tradisi eklesiologis gereja itu. Kekristenan di mana pun dan pada masa apa pun mengembangkan tradisi khasnya masing-masing. Dalam sejarah gereja, gerakan protestantisme yang dipelopori oleh Pendeta Marthin Luther, Johanes Calvin, Ulrich Swingly, John Wycliffe, Melanthon, dll, mereka pada akhirnya mengkritik tradisi baru yang diterapkan gereja Katolik tentang “penghapusan siksa” dengan meyakini bahwa tindakan itu hanya terjadi melalui pengurbanan Kristus di salib dan bukan melalui surat penghapusan siksa. Akhirnya mereka membangun teologi dan tradisi gereja yang baru, meskipun tidak jauh berbeda dari teologi dan tradisi gereja tua – Gereja Katolik Roma, namun teologi dan tradisi baru itu yang kemudian dikenal sebagai teologi dan tradisi Protestantisme. Ini penting disebut guna menyatakan pula bahwa teologi dan tradisi kita dalam kekristenan atau protestantisme Ambon adalah bagian dari teologi dan tradisi tua tersebut. Namun secara teologis, gereja di setiap tempat memadukan teologi dan tradisi gereja tua dengan konteks budaya setempat. Karena itu ada bagian-bagian dari teologi dan tradisi gereja setempat, seperti GPM, yang menunjukkan pada kekhasannya sendiri, berbeda pada beberapa hal yang prinsip dari gereja tua atau gereja ibunya.

Teologi dan tradisi gereja merupakan bagian esensi dari sebuah gereja. GPM sebagai gereja memiliki dan membangun teologi dan tradisinya secara khas, dan dalam perkembangannya hingga saat ini telah terjadi akomodasi yang luar biasa atas simbol- simbol budaya sub suku-sub suku di Maluku dan Maluku Utara, baik simbol-simbol material, immaterial termasuk di dalamnya bahasa.

Pokok kajian kita tentang “pakeang itang” atau “baju itang” dan “meja sumbayang” serta “piring nazar” adalah hal yang terkait dengan aspek-aspek liturgis dalam teologi dan tradisi gereja di GPM. Dalam ilmunya, liturgi gereja adalah tindakan kehadiran Allah di dalam Kristus secara paripurna (Christus totus). Karena itu liturgi atau kebaktian gereja tidak boleh dipisahkan pada aspek ritus dan praksisnya. Kebaktian di dalam gereja adalah tindakan liturgi yang nyata (the real liturgy), dan praksis hidup setelah kebaktian atau di luar gereja juga adalah tindakan liturgi yang nyata. Jadi orang datang beribadah, dia masuk ke ruang liturgi yang nyata, dan setelah beribadah, ia kembali ke dunia serta masuk ke ruang liturgi yang nyata juga. Sebab liturgi (Yun. leitourgia), secara harfiah diartikan sebagai tindakan membungkukkan diri di hadapan TUHAN (Yun. latrea), atau dalam arti lain dipahami sebagai bentuk pelaksanaan ibadah dalam arti yang luas (ritual dan praksis). Karena itu sering juga dihubungkan dengan istilah abodah, sebagai bentuk pelayanan atau penghambaan umat kepada TUHAN, baik dalam ruang ritus maupun praksis sosial sesehari.

Pokok kajian kita ini menunjuk pada aspek kecil namun penting dalam liturgi yang besar itu yakni warna liturgis, busana liturgis dan simbol liturgis. Dalam tradisi GPM, mesti diakui bahwa tiga komponen ini sudah hidup sejak awal kekristenan di Maluku. Jadi GPM memiliki warna-warna khas yang menunjuk pada tradisi gereja awal atau kekristenan Ambon yang tumbuh sejak 1605 dan berkembang di masa zendeling hingga saat ini. Demikian pun dengan busana liturgi atau “baju gareja”, merupakan suatu busana yang khas dan merupakan busana umum bagi pelayan khusus dan warga gereja yang dipakai dalam kebaktian Jemaat atau pelayanan lainnya. Mungkin dalam hal simbol liturgi, GPM sejak awal meneruskan tradisi dogma dan teologi gereja reformed dan gereja-gereja lainnya, misalnya salib, mimbar, dlsb. Namun tiga aspek ini pun terus berkembang dengan tidak meninggalkan dasar-dasar teologi dan tradisinya.


II. WARNA LITURGIS


Warna liturgis adalah salah satu aspek penting dalam komponen liturgi gereja dan menunjuk langsung pada kekhasan tradisi gereja tersebut. Sejak zaman Gereja Hindia Belanda/Gereja Protestan di Indonesia (GPI), warna hitam menjadi warna dominan dalam tradisi gereja reformed di Jerman, Swiss, Inggris dan Belanda. Warna ini yang turut dibawa di zaman zendeling ke Ambon, dan kekristenan Ambon menggunakan unsur warna tersebut sebagai warna liturgisnya pula. GPM yang adalah hasil dari gereja reformed atau bagian dari GPI bersama dengan Gereja Bagian Mandiri (GBM) lain seperti Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili di Tanah Timor (GMIT) dan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) meneruskan warisan warna liturgis tersebut sebagai warna liturgi dominannya.

a. Hitam

Apa makna dari warna tersebut? Apakah hitam berarti kedukaan atau identik dengan dukacita? Dalam pemahaman budaya masyarakat Maluku dan Maluku Utara, hitam malah dimaknai sebagai simbol keagungan, kebesaran. Suku Koa di Seram Utara, Manusela- Maraina, meyakini bahwa warna hitam itu warna sakral karena menerangkan tentang keagungan dan kebesaran. Tidak semua orang mengenakan “baju itang” kecuali orang yang memang dikhususkan untuk itu. Memang dalam praktek adat, para tua adat di sana menggunakan busana alifuru, cidaku. Tetapi untuk kepentingan ritus adat lain mereka mengenakan “baju itang”. Karena itu “baju itang” hanya digunakan dalam acara-acara besar, dan dikenakan oleh para tokoh adat dalam masyarakat. Hal itu tampak pula di hampir semua negeri di Maluku, termasuk pada kelompok perempuan (miri-miri, mata ina, bina-bina). Jadi warna hitam bukanlah simbol duka, melainkan kebesaran atau keagungan.

Sebagai warna liturgis gereja (GPM), hitam bukanlah simbol kedukaan, melainkan simbol keagungan, kebesaran. Warna ini merupakan warna primer dalam warna liturgi GPM yang ditautkan pada busana liturgi pelayan khusus (Pendeta, Penatua, Diaken) dan Tuagama sebagai salah satu pelayan gereja. Selain itu, hitam mewakili warna tradisi budaya Maluku sebagai simbol kesakralan. Sehingga teologi warna ini diletakkan pada aspek kesakralan tersebut.


b. Hijau

Kecuali warna hitam, maka warna hijau, biru, merah, putih dan merah muda, adalah komponen warna liturgis yang ditautkan pada stola sebagai simbol pelimpahan kewenangan pelayanan gereja kepada pelayan khusus (Pendeta, Penatua dan Diaken).

Warna hijau sebagai warna liturgi GPM menerangkan tentang masa baru dalam tugas pemberitaan Injil, sekaligus simbol dari kehidupan dan pertumbuhan gereja. Dalam kalender liturgi GPM, warna ini digunakan dalam Minggu Umum/Biasa, dan Minggu setelah masa Epifani (6 Januari – sebelum Minggu Sengsara Kristus). Minggu setelah Epifani itu dipahami sebagai masa baru dalam seluruh rangkaian peribadahan dan misi pelayanan gereja.


c. Biru

Warna Biru melambangkan keagungan sekaligus pengharapan mesianik bahwa pengharapan Kristen adalah pengharapan yang benar, tidak sia-sia. Dalam komponen warna liturgi GPM, warna biru ini digunakan pada Minggu-minggu Adventus Natal I, II dan IV serta malam persiapan natal, sedangkan Minggu Adventus III mengenakan warna merah muda sebagai simbol kesukacitaan (gaudiate).


d. Merah

Warna merah adalah warna yang mensimbolkan penegasan atau peneguhan (legitimasi) atas akta-akta khusus gerejawi tetapi sekaligus mewakili pemaknaan gereja tentang pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta. Karena itu warna merah mengandung imperatif atau perintah pemberitaan Injil sekaligus simbol dari karunia rohani yang dicurahkan TUHAN kepada gereja dan warga gereja.

Dalam masa liturgi GPM warna ini digunakan pada kebaktian Pentakosta, kebaktian persidangan gereja dan emeritasi pendeta. Dalam arti dan makna warna tersebut maka moment-moment liturgis itu menegaskan tentang hakikat karunia TUHAN yang tetap kepada gereja dan pemberita injil atau hamba-hamba TUHAN.


e. Putih

Putih adalah simbolisasi kesucian, ketulusan dan kemurnian hati, bahwa gereja melayani sesuai dengan kasih Kristus kepada manusia dan dunia dan gereja terpanggil meneruskan kasih itu kepada sesama dan semesta ciptaan TUHAN. Kasih TUHAN itu diaktakan melalui rangkaian tindakan sakramental gereja seperti baptisan kudus, peneguhan dan pemberkatan nikah kudus, peneguhan pelayan khusus, peneguhan sidi, tetapi juga pada puncak perayaan Natal, atau kebaktian Perayaan Natal Kristus.

Warna ini adalah simbol dari kasih karunia atau kasih setia TUHAN kepada umat dan seluruh ciptaan-Nya.


f. Merah Muda

Adalah warna yang menyimbolkan kesukacitaan/kegembiraan (gaudiate) bahwa kedatangan TUHAN adalah tindakan yang penuh cinta kasih dan melaluinya dosa kita dihapus atau kita ditebus dari hutang dosa oleh karena kasih sayang TUHAN. Dalam tradisi liturgi GPM, warna ini dipakai pada Minggu Adventus III (gaudiate, joy) dan Minggu Sengsara Kristus V (leatare).


g. Ungu

Ungu adalah simbol keagungan dan pengurbanan Kristus untuk menebus dosa manusia. Ungu adalah warna yang menggambarkan pengampunan Allah kepada umat manusia, dan bahwa Yesus adalah TUHAN yang rela menanggung semua beban dosa umat. Sekaligus menerangkan tentang kematian Kristus sebagai kematian untuk penghapusan dosa dan kebangkitan-Nya kelak sebagai puncak dari semua karya pengampunan dosa. Itulah sebabnya warna ini biasa dikenakan pada kebaktian Minggu Sengsara I,II, III, IV, VI dan VII, Perjamuan Kudus (Jumat Agung), dan kebaktian pemakaman atau kedukaan.


III. BUSANA LITURGIS: Baju Itang


Baju Itang sudah merupakan busana liturgi tua di GPM dan sudah ada sejak kekristenan ada di Ambon (1605). Sebelum kedatangan Joseph Kam, orang Kristen Ambon sudah beribadah dengan menggunakan baju itang. Jadi baju itang dapat disebut juga sebagai baju tradisi kekristenan Ambon atau baju tradisi GPM.

Jadi baju itang sebenarnya, pada awalnya, adalah “baju gareja” yaitu busana yang pantas dikenakan saat pergi ke gereja. Jadi semua warga gereja dewasa, yaitu yang sudah menerima “pangkat sidi baru” mengenakannya sebagai busana utama untuk beribadah. Bukan hanya di gereja, tetapi kebaktian lain pun, terutama kebaktian “makburet” dahulu umumnya pun mengenakan “baju itang”. Efek dari pengenaan “baju gareja” ini adalah setiap warga Jemaat GPM selalu “neces” untuk pergi beribadah dalam arti tidak mengenakan baju yang oleh umum dinilai tidak sopan. Baju itang atau baju gareja itu selalu dikenakan tanpa alas kaki (=kaki talanjang), dan itu tanda kepantasan untuk beribadah. Di masa kontemporer, pengaruh berbusana itu membuat warga GPM tidak pernah beribadah dengan mengenakan “baju kous krak atau leher bontal” (=kerak atau oblong) dan “calana jeans/levis” melainkan kemeja dan celana berbahan kain (=calana kaeng). Dari cara berbusana itu sudah kelihatan ciri dan corak kekristenan GPM itu sendiri, sebab hal itu dijumpai di luar Ambon/Maluku ketika menghadiri kebaktian di gereja-gereja yang ada seperti di GPIB atau lainnya.

Dalam perkembangan tradisi liturgis, fungsi “baju itang” dipahami pula secara khusus sebagai baju pelayanan pelayan khusus terutama Penatua, Diaken, dan Tuagama. Dalam tradisi liturgi, baju itang itu dikategorikan ke dalam baju pelayanan Pendeta, Penatua, Diaken, Tuagama.

Dalam Pedoman Liturgi GPM, hasil Sidang Sinode tahun 2016, ditetapkan bahwa, yang dimaksud dengan pakaian penatua dan diaken adalah pakaian liturgis yang ditentukan untuk digunakan oleh penatua/diaken yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugas pelayanan dalam setiap ibadah Minggu atau ibadah jemaat/ acara ritual lainnya yang disesuaikan dengan konteks acara

Pakaian ini dibedakan untuk:
(a) Pria : Kebaya Hitam, Baniang Putih dan stola yang berwarna sesuai tahun 
gerejawi.

(b) Wanita : Baju Hitam, Kain Pikol dan stola yang berwarna sesuai tahun gerejawi.

Bila dicermati dari tradisi aslinya, baju hitam untuk perempuan adalah “kabaya itang” dengan kain sejenis (cita). Kini ada banyak variasi model seiring dengan perkembangan model busana modern, namun harus dipahami bahwa baju hitam sebagai baju pelayanan tidak boleh menimbulkan tafsir atau pandangan miring warga gereja. Sebab itu modifikasi dengan brokat harus dipertimbangkan kembali.

Sebagai pakaian pelayanan, maka setiap pelayan khusus yang melayani kebaktian jemaat wajib mengenakan pakaian pelayanannya. Untuk kebaktian di luar kebaktian Jemaat pada ibadah Minggu, tidak diwajibkan mengenakan stola, kecuali untuk kebaktian pemakaman atau kedukaan.
Para Pendeta diwajibkan mengenakan toga untuk pelayanan indoor di dalam Gedung Gereja atau pengambilan sumpah jabatan pejabat pemerintah. Sedangkan untuk pelayanan kebaktian di luar ibadah Jemaat, mengenakan collar, termasuk untuk menghadiri undangan resmi di instansi pemerintahan. Selain itu ada juga borci atau baju tumbak, sejenis toga yang panjang sampai di bawah lutut.

Para Pendeta diwajibkan mengenakan toga untuk pelayanan indoor di dalam Gedung gereja atau pengambilan sumpah jabatan pejabat pemerintah. Sedangkan untuk pelayanan kebaktian di luar ibadah jemaat, mengenakan collar, termasuk untuk menghadiri undangan resmi di instansi pemerintahan. Selain itu ada juga borci atau baju tumbak, sejenis toga yang panjang sampai di bawah lutut. 

Di beberapa Jemaat, penahbisan Penatua dan Diaken, untuk yang laki-laki mengenakan borci, bahkan dalam tugas pelayanan pada moment liturgi khusus seperti Perjamuan Jumat Agung, sebab bagi mereka baju ini memiliki nilai kesakralan tersendiri dan mesti dilestarikan. Selain itu, para Tuagama Jemaat menjadikan borci sebagai baju pelayanan utama dalam melaksanakan tugas pelayanan seseharinya.

Memang borci juga dipakai oleh para pemangku adat dalam negeri-negeri adat, dan itu memperlihatkan bahwa busana liturgis memiliki hubungan yang erat dengan busana adat. Jika jejak ini ditelusuri, faktor yang turut mempengaruhinya adalah pada masa Gereja Hindia Belanda, mauwen sebagai pendeta adat yang berfungsi di dalam negeri adat dan marinyo sebagai juru informasi negeri, ada yang diangkat menjadi tuagama, penatua dan syamaset/Diaken. Karena itu busana mereka turut dipakai dalam jabatan-jabatan yang dipandang sakral itu.






IV. SIMBOL DAN PERALATAN LITURGIS

Simbol liturgi adalah komponen liturgis dalam teologi dan tradisi gereja termasuk GPM. Ada simbol-simbol yang bersifat am/universal tetapi ada juga simbol-simbol yang bersifat khusus sebagai milik khas gereja, termasuk GPM. Saya akan menjelaskan simbol- simbol dan peralatan liturgi gereja dalam tradisi liturgi GPM.

a. Salib dan Lilin

Salib dan lilin adalah simbol gereja universal. Maknanya jelas dimengerti, bahwa salib adalah tanda penyelamatan sebagai wujud kasih karunia TUHAN melalui pengurbanan anak-Nya (Yoh.3:16), dan lilin adalah simbol dari pelita (Mat.5:13-14) atau dian, sumber terang dalam tugas kesaksian gereja. Di sisi lain, dalam kebaktian khusus seperti Minggu Adventus, lilin adalah pertanda cahaya natal.

Sumber: www.jemaatgpmsilo.org, Agustus 2022

Kini, sesuai dengan Ketetapan Sinode Tahun 2016, di meja persembahan di depan mimbar, pada setiap kebaktian diletakkan dua buah lilin yang mengapit salib di tengah. Hal itu menegaskan bahwa kebaktian GPM adalah kebaktian yang bersifat Trinitarian atau berpusat dan berakar pada Tritunggal Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, kebaktian sebagai akta sukacita dan keselamatan umat.

Peralatan liturgi yang harus ditempatkan pada meja persembahan di bagian altar adalah Salib, dua buah lilin, kantong kolekta (tanggo), dan pada kebaktian baptisan diletakkan mangkuk persembahan khusus keluarga. Lain dari itu, termasuk bunga bukan peralatan liturgi gereja yang tidak tepat ditempatkan di atas meja persembahan.

b. Peti Derma

Peti derma, adalah peti yang biasa diletakkan di pintu masuk gedung gereja. Dalam tradisi liturgi awal di GPM, tempatnya ada di depan pintu dan setiap warga jemaat yang masuk untuk beribadah meletakkan persembahan khusus mereka di dalamnya. Ini mengingatkan kita pada tradisi Alkitab, ketika Yesus dalam bait Allah dan masuk seorang ibu janda tua dan memberi persembahan dua peser miliknya ke dalam peti derma/peti persembahan (Lukas 21:1-4).

Perkembangan selanjutnya, karena ada kebutuhan khusus dalam pelayanan, peti derma ini telah diletakkan di depan altar dan gunanya bervariasi. Ada yang sudah disiapkan khusus untuk persembahan persepuluhan, persembahan pembangunan fisik, atau dana diakonia lain seperti untuk bantuan bagi korban bencana alam.

Ada satu catatan dari I.H. Enklaar (1980:116), tentang praktek “peti derma”. Catatan itu tertulis dalam bukunya, Joseph Kam Rasul Maluku, seperti berikut:

“Sejak dahulu kala, di Ambon “peti-derma” itu memainkan peranan penting apabila orang bernazar. Misalnya apabila orang hendak mengadakan perjalanan jauh, atau hendak masuk dinas Kompeni di daerah lain, ataupun bila orang, setelah meninggalnya seorang anak, memohon seorang anak baru dari Tuhan. pada kesempatan itu orang menyimpan “uang nazar”, biasanya berjumlah tiga sen dan dibungkus dalam kertas. Setelah pulang dengan selamat, atau setelah anak yang dimohon itu lahir, uang itu disetor ke dalam peti-derma dengan khidmat.

Pada zaman Kam terjadi peristiwa yang serupa. Pada tahun 1833, Pendeta Gericke berkunjung ke Nolot dan dengan nada yang keras mengancam penduduk negeri itu karena tetap menyembah berhala. Orang begitu terkesan dengan khotbahnya dan oleh pelaksanaan disiplin Gereja sehingga mereka memusnahkan berhala di kampungnya dan bersumpah tidak akan menyembah lagi. Pada kesempatan itu tampillah beberapa orang tua ke depan, yang bediri dekat peti-derma dan memasukkan uang ke dalamnya, lalu dengan khidmat mengucapkan pengakuan serta nazar.

Orang menganggap peti-derma itu mempunyai kesaktian, yang mendatangkan kutu katas orang yang berani melanggar kesuciannya. Ada suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi setengah abad sesudah zaman Kam, di negeri Amahusu. Seorang yang Bernama Ishak telah membongkar peti-derma dan merampas isinya. Mula-mula perbuatan nekad itu berhasil dirahasiakan, akan tetapi rahasianya dipecah oleh penyakit yang menyebabkan bibirnya termakan, sehingga mulutnya berbentuk lobang dalam peti-derma.”

Jadi peti derma adalah tempat untuk meletakkan persembahan khusus jemaat yang sudah dipersiapkannya. Di beberapa Jemaat, itulah tempat meletakkan “uang sumbayang” setiap keluarga, selain kolekta yang akan diberikan dalam kebaktian jemaat.

c. Tanggo kolekta

Tanggo kolekta adalah peralatan liturgis yang khusus digunakan untuk mengambil kolekta sebagai persembahan keselamatan umat dalam kebaktian jemaat. Sejak dahulu tanggo kolekta berwarna hitam, sesuai dengan warna utama liturgi GPM, dan dibuat dari bahan kain yang dipasangkan pada kayu pegangan. Bahkan dahulu kayu pegangannya panjang seperti huhate, agar kolektanten sebagai pelayan persembahan syukur, tidak masuk ke dalam rosban atau tempat duduk jemaat, namun dari sisi kiri atau kanan rosband saja. Lambat laun tanggo kolekta seperti ini hilang dan tidak digunakan lagi dan yang digunakan adalah yang seperti dipakai saat ini.

Di beberapa kebaktian kontekstual, tanggo kolekta diganti dengan beragam simbol lokal seperti siru-siru yaitu alat penangkap ebi (udang kecil) di Aru seperti tampak pada gambar di atas, atau kamboti, tumang sagu, timbil, bakul, dan peralatan tradisional lain yang berasal dari lingkungan pekerjaan masyarakat.

d. Rosban

Rosban adalah bangku gereja yang dalam tata ruang liturgi merupakan tempat duduk (pew) jemaat di ruang nave yaitu ruang tempat duduk warga jemaat. Kini pada banyak Gedung gereja telah diganti dengan kursi demi efektifitas. Namun pada bangunan gereja tua di GPM dahulu tempat duduk jemaat adalah rosband yaitu bangku kayu panjang yang bisa diduduki 5 sampai 7 orang


e. Lonceng Gereja

Salah satu peralatan liturgi yang penting di GPM adalah lonceng gereja. Dalam tradisi lisan, tetapi juga catatan Enklaar, di zaman Joseph Kam, setiap ia berkunjung ke jemaat- jemaat, ia menghimpun jemaat untuk berdoa dan beribadah. Di setiap kunjungan itu sekaligus juga dilayankan kebaktian pemberkatan nikah, peneguhan sidi, baptisan, perjamuan kudus, katekhisasi, dan bentuk pelayanan lainnya. Suatu waktu dalam kunjungan ke Kilang, tidak ada orang yang datang untuk berkumpul. Pendeta Kam lalu mengambil kuli bia/upper dan meniupnya. Mendengar bunyi upper itu, semua masyarakat Kilang keluar dan datang ke gereja tempat di mana Kam sudah ada untuk melayankan kebaktian.

Ada tradisi lisan yang menceritakan bahwa, setiap Pendeta Kam melakukan turne ke jemaat-jemaat ia membawa genta kecil dan akan dibunyikan untuk mengumpulkan orang-orang Kristen dalam kebaktian. Genta itu dibawa ke setiap jemaat, dan sejak saat itu mulai muncul istilah Kampinjang, artinya Pendeta Kam meminjamkan genta/lonceng kecil itu untuk dibunyikan supaya orang-orang Kristen keluar dan berkumpul untuk pelayanan kebaktian dan pelayanan lainnya.

Dalam tradisi liturgi GPM, lonceng gereja adalah simbol suara TUHAN yang memanggil umat untuk beribadah atau bersekutu. Lonceng gereja dan karena itu menara lonceng/toreng adalah tempat khusus pelayanan Tuagama Jemaat. Dengan kata lain Tuagama adalah pelayan yang diberi kepercayaan oleh TUHAN untuk meneruskan suara- Nya yang memanggil umat berhimpun dan beribadah kepada-Nya.

f. Meja Perjamuan

Meja perjamuan adalah peralatan liturgi gereja yang khusus digunakan untuk pelayanan perjamuan kudus, baik perjamuan Jumat Agung, maupun perjamuan lain yang dilaksanakan setiap bulan Januari, Juli dan Oktober. Meja perjamuan GPM berbentuk Salib (patibulum), dan ditutup dengan penutup berwarna putih. Di sekelilingnya diletakkan bangku atau tempat duduk jemaat, sebagai ilustrasi dari perjamuan akhir yang diadakan Yesus dengan para murid sebelum Ia disalibkan (Mat.26:17-25; Mrk. 14:12-21; Luk. 22L7-14, 21-23; Yoh. 13:21-30).

g. Meja Sumbayang dan Piring Nazar/Piring Mister


Kita tidak bisa memahami “meja sumbayang” terpisah dari “piring nazar/piring mister” sebab kedua simbol ini menyatu dan memang tidak bisa dipisahkan. Praktek meja sumbayang dan piring nazar adalah praktek kontekstual atas pengalaman leluhur Israel dalam Perjanjian Lama. Ulangan 12:1-28 dan teks-teks dalam rumpun Taurat

(Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan) yang terkait dengan itu menceritakan tentang Yakub membangun Mezbah sebagai tanda pengingatan bahwa TUHAN telah

menyelamatkannya bersama seisi rumahnya, baik istri, anaknya laki-laki, anaknya perempuan, budaknya laki-laki, budaknya perempuan dan segala ternaknya. Seperti bapak leluhurnya Abraham dan Iskah, maka setiap kali mereka tiba di suatu tempat, dibangunlah mezbah sebagai tanda pengingatan sekaligus tempat yang diatasnya mereka membawa segala persembahan kepada Allah berupa korban bakaran, korban sembelihan, persembahan persepuluhan, persembahan khusus, korban nazar dan korban sukarela (Ul. 12:6). Pada sisi lain, mezbah itu dibangun sebagai komitmen Yakub dan seisi rumahnya untuk hanya beribadah kepada TUHAN dan bukan kepada dewa- dewa asing.

Meja sumbayang adalah salah satu peralatan liturgi gereja sebagai tanda bahwa doa dan kebaktian tidak hanya berlangsung di dalam Gedung gereja tetapi di rumah warga gereja, sebagai gereja awal, gereja kecil. Praktek ibadah rumah sendiri adalah praktek dalam tradisi gereja awal di zaman Perjanjian Baru (bd. KPR 2:41-47, 4:32-37). Meja sumbayang adalah peralatan liturgis gereja sebagai tanda bahwa:

Rumah kita dibangun di atas tanah yang telah dipilih oleh TUHAN. Itulah sebabnya rumah itu adalah tempat yang aman, damai, tenteram, dan dikuasai oleh kuasa TUHAN yang menyelamatkan seisi rumah tersebut.

Setiap rumah ada “kamar keluarga” dan di situlah diletakkan “meja sumbayang” sebagai tanda pengingatan bahwa TUHAN ada dan TUHAN telah menyelamatkan seisi rumah itu.

Meja Sumbayang sekaligus menjadi pengingatan bahwa kita hanya percaya kepada TUHAN dan tidak mengandalkan atau percaya kepada kuasa lain yang sia- sia. Jadi iman seisi rumah tertuju dan terpusat hanya kepada Tritunggal Allah (Tiga Oknum).

qMeja Sumbayang mengingatkan kita bahwa segala masalah hidup sudah diselesaikan oleh TUHAN termasuk kedamaian dalam kasih persaudaraan. Ini sejalan dengan perdamaian Yakub dan Esau, sehingga setelah ia membuat mezbah di Bethel, ia tidak takut lagi untuk pergi ke mana pun, sebab sebelum itu ia takut jangan-jangan Esau akan membunuhnya. Jadi di meja sumbayang segala perkara kita selesai dengan TUHAN.

Ada orang yang beranggapan dan ini menjadi cara paham lama bahkan cara paham yang sempat membuat ada penolakan untuk menyediakan meja sumbayang dan piring nazar di dalam rumah. 

Anggapan itu adalah meja sumbayang dan piring nazar adalah simbol penyembahan berhala. Ini anggapan yang keliru.

Saya hendak menyajikan data bahwa pada masa Gereja Roma Katolik (R.K), saat Fransiscus Xaverius datang dan tinggal di Hatiwii (Hative Besar), ia berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan di setiap rumah di mana ia diterima, mereka dibaptis dan sebagai tanda bahwa rumah itu dihuni oleh orang-orang beriman atau orang-orang yang sudah diselamatkan, ia membuat gambar salib pada pintu/dinding rumah itu atau memasang salib kecil di depan rumah itu. Jadi setiap tanda itu dilihat, diketahui bahwa orang-orang di rumah itu telah percaya kepada Kristus dan menjadi Katolik. Artinya mereka telah berbalik dari agama lama dan menjadi pemeluk Katolik atau percaya kepada TUHAN.

Cara yang sama dilakukan oleh Joseph Kam. Setiap rumah yang menerima injil Kristus dan dibaptis, diletakkan meja sumbayang dan piring nazar, sekaligus sebagai tanda penolakan terhadap berhala atau kepercayaan nene-moyang. Jadi meja sumbayang dan piring nazar itu bukan simbol penyembahan berhala, sebaliknya tanda material bahwa seisi rumah itu adalah orang yang beriman kepada Tritunggal Allah. Itulah sebabnya dalam beberapa catatan arsip GPM di Klasis Lease, pada tahun 1800-an, setiap “uang gereja” dibawa dari dalam piring nazar dan disetor ke Afdeling di Saparua.

Mari kita simak praktek-praktek beriman yang dilakukan di meja sumbayang dan piring nazar pada keluarga-keluarga GPM, baik yang tersimpan dalam memori kolektif kita tetapi juga yang masih dipraktekkan hingga hari ini.

Pertama, di atas meja sumbayang hanya diletakkan piring nazar. Ada yang ditutupi dengan lengso putih, lengso adat, tetapi ada pula yang ditutupi dengan Alkitab, baru di atas Alkitab itu ditutupi dengan lengso putih atau lengso adat. Alkitab yang lain dan buku Nyanyian Gereja atau bahan bacaan rohani yang lain, juga diletakkan di meja sumbayang. Tidak boleh diletakkan barang lain di situ, kecuali yang disebutkan tadi. Ini adalah model sakralisasi atas meja sumbayang. Pada masalah tertentu, semua anggota keluarga akan berdiri bersama-sama di meja sumbayang untuk berdoa.

Kedua, setiap orang tua selalu kedapatan berdoa bagi seisi rumahnya di meja sumbayang. Pada pokok-pokok doa khusus, misalnya ada masalah yang penting digumuli, masih ditemukan orang tua mengenakan “baju itang” dan berdoa di meja sumbayang. Bahkan ada yang secara rutin setiap sore hari, melakukan praktek itu untuk seisi rumahnya. Dalam praktek doa ini, ada dua model sikap non-verbalis, yaitu melipat kedua tangan dan berdoa, dan yang berikutnya berdoa sambil memegang piring nazar. Apa maknanya? Saya simpulkan itu sebagai bentuk kekhusyukan untuk berdoa, tidak ada maksud lain di balik itu.

Ketiga, di dalam piring nazar diletakkan uang kolekta, persepuluhan, persembahan khusus, dan uang doa atau nazar khusus keluarga. Dahulu nazar khusus itu disebut tiga sen, yang dibungkus dengan kertas, sebagai uang doa khusus atas masalah atau pergumulan khusus keluarga. Semua uang yang diletakkan dalam piring nazar itu akan dibawa sebagai persembahan syukur di dalam kebaktian jemaat di gereja atau di rumah warga jemaat yang ditentukan sebagai tempat kebaktian. Uang di dalam piring nazar tidak boleh dipindahkan, tidak boleh diambil untuk kepentingan yang lain selain sebagai kolekta.

Keempat, jika berlangsung doa atau pergumulan khusus antara satu keluarga dengan pendeta atau pelayan khusus lainnya, piring nazar dapat dikeluarkan dari dalam kamar keluarga dan diletakkan di atas meja yang dikhususkan untuk doa keluarga. “Uang Sumbayang” sudah terlebih dahulu diletakkan di dalam piring nazar itu, dan setelah pergumulan itu akan diambil oleh pelayan khusus untuk disetor ke gereja.

Kelima, di Jemaat Kaibobu dan Ariate, Klasis Seram Barat, sampai hari ini masih ditemukan praktek setiap keluarga meletakkan dalam piring nazar, uang nazar khusus di awal tahun atau pada setiap 1 Januari. Uang itu adalah uang doa permohonan keselamatan dari TUHAN kepada seisi rumah itu sepanjang tahun tersebut. Uang itu nantinya akan diantar langsung ke gereja pada kebaktian Konci Taong (31 Desember) dan diserahkan sebagai persembahan syukur khusus keluarga. Jadi uang persembahan khusus itu merupakan tanda pergumulan yang sungguh dengan TUHAN untuk hidup seisi rumah selama tahun berkat TUHAN itu. Ini berbeda dari Amplop Syukur Akhir Tahun yang saat ini dilakukan di jemaat-jemaat GPM. Malah di kedua Jemaat itu pun, sampai saat ini, ada kebiasaan “antar meja sumbayang” dalam wujud mengantar Alkitab ke gereja, khusus pada keluarga yang tidak ada lagi keturunan atau semua orang dalam rumah itu sudah meninggal dunia. Karena itu di Gereja di Kaibobu dan Ariate tersimpan banyak Alkitab milik keluarga-keluarga dalam Jemaat. Pentingnya meja sumbayang bagi mereka, maka setiap ada renovasi rumah atau pembangunan kembali rumah, sebelum rumah itu dirobohkan dilakukan doa pemindahan meja sumbayang. Dan setelah rumah itu selesai dibangun akan dikembalikan lagi.

Dalam tradisi liturgi GPM, meja sumbayang sebagai mezbah keluarga tidak hanya berfungsi bagi keluarga itu, tetapi bagi persekutuan keluarga secara meluas dalam jemaat. Dalam kebaktian Unit, Wadah Pelayanan, Tunas Pekabaran Injil, AMGPM atau kebaktian lainnya, piring nazar diletakkan di meja sebagai pusat peribadahan itu. Sebab itu semua warga jemaat yang datang ke kebaktian tersebut meletakkan persembahan secara langsung di dalam piring nazar itu sebelum dimulainya kebaktian. Dan piring nazar itu adalah piring nazar dari dalam “kamar keluarga” atau dari “meja sumbayang”, serta kolekta yang dipersembahkan pun adalah yang diambil dari dalam piring nazar di meja sumbayang masing- masing keluarga. Cara ini mengingatkan kita bahwa piring nazar dan meja sumbayang bukan hanya menjadi mezbah keluarga tetapi mezbah semua umat, sehingga semua umat yang datang beribadah mempersembahkan segala persembahan mereka kepada TUHAN di dalam piring nazar pada mezbah di dalam rumah itu. 

Pesannya bahwa TUHAN sudah menyelamatkan kita semua, TUHAN mendamaikan kita dan TUHAN menerima persembahan syukur dan sukarela yang kita beri kepada-Nya.

h. Nyanyian dan Musik Gereja

Nyanyian dan Musik Gereja merupakan salah satu unsur pokok dalam tradisi liturgi gereja. Di GPM nyanyian dan musik gereja dipengaruhi oleh tradisi reformasi. Bila para zendeling adalah pengikut setia para tokoh reformasi, dapat saja dipastikan bahwa ada pengaruh yang kuat dari Luther, Calvin, Swingly dalam tradisi musik dan nyanyian gereja. Tetapi eksistensi suling bambu sebagai alat musik tradisi gereja di Maluku berkembang di masa para zendeling itu. Perlu penelitian yang mendalam apakah suling bambu ini masuk di era Joseph Kam atau malah sebelumnya, sebab bila tahun 1605 dijadikan acuan munculnya kekristenan dan dilaksanakannya kebaktian perdana di Ambon, dapat dipastikan bahwa nyanyian gereja dinyanyikan dengan cara accapela, dengan England Model, yaitu pelayan kebaktian membaca syair dan diikuti oleh jemaat.

Para zendeling itu datang ke Maluku dengan membawa serta nyanyian-nyanyian gereja (hymnal) dari Eropa. Hal itu terlihat dalam kidung-kidung Tahlil, Dua Sahabat Lama dan Mazmur, sebagai nyanyian gereja yang universal. Namun perkembangan baru justru dilakukan Oktolseja, yang membuat nyanyian hymnal dan digunakan di jemaat-jemaat terutama di Ambon, Lease dan Buru. Mengenai Nyanyian Oktolseja ini perlu ada penelitian khusus serta usaha untuk mencari dan merawat buku nyanyian tersebut sebagai kekayaan musik dan nyanyian GPM.

Para reformator sendiri memiliki sikap yang berbeda tentang eksistensi alat musik di dalam kebaktian. Kita tentu ingat, bahwa sampai di era-1980-an atau akhir 1970-an, di banyak jemaat masih ada pelarangan terhadap alat musik seperti gitar masuk ke gereja. Apakah ini adalah pengaruh dari pikiran dan sikap Swingly yang menganggap musik mengacaukan pemberitaan firman. Ia malah menganjurkan agar orgel dijual saja dan uangnya dibagikan kepada orang miskin. Atau pemahaman teologi bahwa alat musik selain suling bambu adalah warisan profan? Konteksnya dapat dimengerti, sebab kebiasaan pesta sebagai warisan barat di Maluku menjadikan alat musik seperti gitar, biola, celo, sebagai pengiring pesta dansa. Ini juga yang menjadi alasan mengapa ada ketentuan sanksi gereja (siasat) kepada para katekhisan atau pelayan gereja yang kedapatan maso pesta.

Tidak sampai di situ saja, ada penolakan yang tegas terhadap instrument musik tradisi seperti tifa, gong dan tahuri/upper/kuli bia digunakan dalam kebaktian jemaat. Penolakan ini didasarkan pada pertimbangan utama yaitu alat-alat musik tradisi itu merupakan simbol dari penyembahan berhala atau sering digunakan untuk memanggil tete nene moyang. Kini, seiring dengan berkembangnya kesadaran teologi kontekstual dan keberanian GPM berteologi di dalam kebudayaan, instrument-instrument musik tradisi itu telah menjadi bagian di dalam kebaktian jemaat. Tidak itu saja, tetapi Bahasa telah menjadi bagian di dalam komponen dan formulir liturgi. Malah kemajuan yang berarti juga tampak melalui penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa-bahasa tanah dari kelompok-kelompok sub suku di Maluku dan Maluku Utara (kerjasama dengan Wycliffe Global Alliance).

Dalam perkembangannya, musik gerejawi di GPM telah berkembang bersama dengan perkembangan musik modern/pop. Pada beberapa Gedung gereja sudah ada piano, keyboard, bahkan full band, dan Paduan Terompet. Semua alat musik telah dan dapat digunakan untuk mengiring pujian jemaat, baik pujian primer maupun sekunder (Paduan Suara, Vocal Group, Solo). Malah eksistensi suling bambu sedikit tergerus. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena itu harus dikembangkan kembali.

Sedangkan mengenai nyanyian jemaat, untuk nyanyian primer atau nyanyian umat dalam rumpun liturgi GPM, melalui Ketetapan Sinode Tahun 2016, ditetapkan bahwa semua nyanyian primer harus bersumber dari Buku-buku Nyanyian Rohani yang digunakan oleh GPM, yaitu:

  1. Tahlil dan Nyanyian Oktolseja

  2. Dua Sahabat Lama

  3. Mazmur dan Nyanyian Rohani

  4. Kidung Jemaat

  5. Pelengkap Kidung Jemaat

  6. Nyanyian Jemaat GPM

Tidak dibenarkan nyanyian primer adalah kidung-kidung rohani yang dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi rohani yang popular melalui studio rekaman. Khusus mengenai Nyanyian Jemaat GPM (2012) merupakan hasil karya warga gereja sebagai satu kumpulan hymnal yang sesuai dengan konteks berteologi dan musik tradisi di Maluku dan Maluk Utara.


V. TRADISI IMAN GPM


a. Tegohkan/Sidi

Peneguhan sidi atau tegohkan adalah ritus dalam tradisi gereja reformed yang diadakan untuk katekhisan yang sudah menamatkan Pendidikan katekhisasi gereja sesuai waktu dan kurikulum yang diberlakukan. Dalam praktek di GPM, dahulu – sampai dengan tahun 1970-an, katekhisasi gereja dilaksanakan selama tiga tahun, dan setiap tahun ada masa cobahan itu semacam ujian lisan di mana setiap katekhisan yang akan berpindah kelas dan akan di-tegohkan diuji pengetahuan alkitabiah dan gerjawi. Moment ini turut dihadiri oleh orang tua dan orang tua saksi baptisan (papa, mama sarane).

Setelah masa itu, mereka akan di-tegohkan atau dilayankan peneguhan sidi. Dahulu sering disebut juga “menerima pangkat sidi baru/gereja”, namun kini hanya disebutkan sebagai “menjadi warga sidi Gereja”. Sebutan itu menegaskan tentang tahap kedewasaan iman warga gereja dan melaluinya orang yang bersangkutan sudah bisa menjalankan segala bentuk pelayanan gereja secara mandiri. Ia sudah bisa berpartisipasi langsung dalam pelayanan gereja yang dikhususkan untuk anggota sidi GPM.

b. Perhadliran

Sebenarnya perhadliran merupakan salah satu tradisi reformed, namun dari gereja- gereja reformed di Indonesia bahkan dunia, saya percaya yang masih memelihara tradisi ini adalah GPM. Tradisi ini dilakukan satu minggu sebelum dilayankan perjamuan kudus, dan di dalamnya mereka yang adalah anggota sidi gereja diminta untuk menyatakan pengakuan iman dan kesediaan untuk mengikuti perjamuan kudus baik di Jumat Agung maupun perjamuan kudus lainnya (Januari, Juli dan Oktober). Kebaktian ini sebenarnya memiliki makna liturgis dan teologis yang penting karena umat benar-benar mempersiapkan diri dan menghayati kembali panggilan dan pengakuan iman berdasarkan baptisan kudus dan peneguhan sidi.

Saat ini oleh karena berbagai alasan, orang suka memperhadapkan kesediaan hati dengan kondisi ketika ia tidak sempat menghadiri kebaktian perhadliran itu, padahal kesediaan hati itu harus diungkapkan dalam pengakuannya di dalam kebaktian jemaat yang khusus untuk itu. GPM, berdasarkan pada Ketetapan Sinode 2021 tentang Peraturan Pokok Persekutuan mengamanatkan disusunnya liturgi perhadiliran, sehingga ke depan, perhadliran menjadi kebaktian khusus untuk mempersiapkan umat memasuki perjamuan kudus.

c. G’reja Basar

G’reja Basar adalah sebutan lain untuk Perjamuan Kudus. Dulu ketika perjamuan kudus hanya dilakukan di Jumat Agung, istilah G’reja Basar itu merupakan gambaran dari Perjamuan sebagai persembahan akbar dari Hu yang El-hak, atau TUHAN yang telah mengurbankan diri-Nya untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Kini sebutan itu sudah jarang digunakan termasuk untuk menyebut Perjamuan Kudus. Namun istilah itu sendiri menunjuk pada tradisi GPM yang unik mengenai Perjamuan Kudus.

Ada pola-pola sakralisasi perjamuan kudus yang sudah dilakukan sebelum kebaktian dimaksud, mulai dari:

  • Persiapan bakar roti dan masak anggur perjamuan. Bahkan di beberapa jemaat sudah ada keluarga yang didoakan secara khusus untuk mempersiapkan maedah perjamuan itu. Keluarga-keluarga itu yang akan bakar roti dan masa anggur untuk perjamuan. Di banyak jemaat lain aktivitas ini dilakukan oleh keluarga Majelis Jemaat. Pada tahun 2017, saya menyaksikan sendiri di Jemaat GPM Saparua Tiouw, proses kerja itu oleh keluarga Majelis Jemaat di dapur pastori. Mereka semua diam tanpa suara dan berbicara pun seperti orang berbisik dan juga dengan isyarat tertentu. Tidak boleh ada yang ribut, bukan hanya di pastori tetapi di dalam negeri dan jemaat itu. Pemandangan serupa itu ternyata ditemui di semua Jemaat GPM di Saparua pada saat itu.
  • Persiapan meja perjamuan, biasa dikerjakan oleh Majelis Jemaat dan Tuagama dengan sangat hati-hati.
  • Pemotongan roti merupakan aktivitas berikutnya yang dikerjakan secara khusus oleh Majelis Jemaat didahului dengan doa khusus oleh Pendeta. Doa ini sekaligus memohon TUHAN mengubahkan material roti dan anggur menjadi maedah perjamuan suci perlambang tubuh dan darah Kristus yang terpecah dan tercurah untuk membasuh dosa manusia.
  • Persiapan meja dalam arti menata roti dan anggur di bagian atas meja perjamuan sebagai tanda kesiapan untuk melayani.
  • Pergumulan khusus perjamuan oleh Majelis Jemaat yang berdiri mengitari meja perjamuan.
  • Pelayanan Perjamuan pada jam kebaktian yang ditentukan untuk itu. Setiap warga gereja akan diundang ke meja perjamuan oleh Majelis Jemaat dan masuk dengan teratur. Pada kesempatan mengambil roti dan anggur pun ada tata aturan yang sudah dipraktekkan secara tertib dan bergilir dari piring dan cawan yang sama.
  • Doa syukur setelah perjamuan, sekaligus mengembalikan fungsi maedah perjamuan itu ke keadaannya yang semula yaitu roti dan anggur.


d. Ibadah 24 Malam

Ini adalah kebaktian persiapan Natal yang biasa disebut “Ibadah 24 Malam”. Kebaktian ini merupakan puncak dari perayaan Adventus Natal, dan mempersiapkan umat untuk perayaan Natal, 25 Desember. Banyak gereja di luar aliran reformed tidak melakukan kebaktian ini. Bagi GPM kebaktian ini penting sebagai masa khusus untuk merenungi peristiwa kristologis yakni malam persiapan Yesus lahir, sambil bermeditasi pada peristiwa kudus ketika Maria dan Yusuf mencari tempat untuk melahirkan bayi Yesus.

Hal ini dapat menjadi momentum yang turut mengutuhkan keluarga-keluarga Kristen, karena itu pada kebaktian 24 Malam semua anggota keluarga bersama-sama pergi ke gereja. Malah mereka yang merantau memiliki rindu yang besar untuk pulang dan merayakan natal bersama orang tua dan keluarga.

e. Konci Taong

Ini juga kebaktian khusus yang dilaksanakan dalam gereja-gereja reformed. Sebagai salah satu gereja reformed di Indonesia, GPM melaksanakan kebaktian Konci Taong sebagai akta syukur atas penyertaan TUHAN kepada umat dan pelayanan gereja sepanjang tahun yang akan dilewati.
Kebaktian ini adalah masa untuk merenungi kasih setia TUHAN yang melindungi dan memelihara kita.

f. Tambaru, Taong Baru

Kebaktian Tambaru atau Taong Baru adalah salah satu kebaktian yang penting dalam tradisi liturgi GPM, sebagai tanda syukur dan pergumulan khusus untuk hidup di tahun rahmat TUHAN yang baru. Jadi setiap tahun semua warga GPM diingatkan bahwa kita mengakhiri tahun yang lama dengan TUHAN dan kita mengawali tahun yang baru pula dengan TUHAN.

Biasanya di hari minggu pertama setiap tahun juga diadakan kebaktian Perhadliran untuk Perjamuan Kudus awal Tahun.

g. Makburet

Makburet adalah kebaktian khusus dalam tradisi liturgi GPM. Ini adalah kebaktian kedukaan yang dalam bentuk:

  • Kebaktian penghiburan sebagai bentuk kebaktian penopangan kepada keluarga yang berduka. Ini biasa dilakukan dalam hari-hari sebelum jenazah dimakamkan dan dilayani oleh Majelis Jemaat. Masih ada praktek yang berbeda-beda di jemaat- jemaat GPM. Ada yang melayani setiap hari selama jenazah belum dimakamkan dan ada yang dilayani hanya pada malam menjelang pemakaman di esok hari. Padahal sebagai kebaktian yang bersifat pastoralistik, sebaiknya kebaktian penghiburan ini dilaksanakan dalam hari-hari sebelum jenazah dimakamkan. Dianjurkan agar jangan menahan jenazah lebih dari satu malam.
  • Kebaktian pemakaman dan syukur pemakaman adalah kebaktian jemaat yang berlangsung di rumah keluarga yang berduka. Sebab itu kebaktian ini ditandai dengan bunyi lonceng gereja. Itulah sebabnya kebaktian ini pun harus dihadiri oleh semua warga gereja dalam jemaat itu dan semua pelayan khusus di dalam jemaat.


VI. PENUTUP


Kiranya materi ini memberi penjelasan teologis dan liturgis tentang aspek-aspek penting dalam tradisi beriman GPM dan beberapa hal prinsip terutama yang terkait dengan kesiapan pelayan khusus dalam tugas pelayanan gereja. Tuhan memberkati kita semua.


Disampaikan pertama kali dalam Pembinaan Pelayan Khusus Jemaat GPM Silo 

Kamis, 1 September 2022 © elifastomixmaspaitella@gmail.com

page19image16511792

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...