Antara Filsafat dan Opini Publik
oleh. Elifas Tomix Maspaitella
I. PENGANTAR
Saat ini persoalan agama dan lingkungan hidup menjadi dua isu yang marak di seluruh dunia, karena keduanya dironai oleh krisis yang terjadi secara intensif. Pada aspek agama, seiring munculnya tindakan radikalisme dan terorisme yang tidak segan-segan membunuh sesama manusia, orang menanyakan akar-akar spiritual atau warisan ajaran agama, sampai mengorek ke soal-soal yang fundamental yaitu “apakah Tuhan mengijinkannya”. Begitu juga dengan krisis lingkungan hidup bahkan yang berdampak pada situasi kebencanaan, tak pelak muncul pula pertanyaan teologis seperti itu, karena bencana alam juga merenggut nyawa manusia.
Teori tentang suatu pers yang bebas ialah bahwa kebenaran akan muncul dari reportase yang bebas, bukan bahwa kebenaran itu akan disajikan dengan sempurna dan seketika demi kepentingan seseorang (Walter Lippmann)[1]
Saya meminjam quotes Lippmann itu untuk memberi bingkai bahasan ini, namun tulisan ini akan mencoba mengkonstruksi media dan perannya dalam kerangka filsafat Hans-Georg Gadamer, pada bangunan truth and method.[2] Saya memahami bahwa teori filsafat Gadamer tidak secara khusus membahas atau bermain di ranah media/era digital. Namun tidak salah pula untuk mengatakan bahwa kerja media (jurnalistik) melibatkan di dalamnya kesadaran kritis yang harus membuat para pekerja media (jurnalis) mampu untuk melihat konstruksi nilai dasar dari sebuah berita. Dan menurut saya konstruksi nilai dasar berita adalah kebenaran (the truth).
Kerja jurnalistik selalu dibangun di jalur pemberitaan yang tidak jarang memerlukan atau harus melibatkan verifikasi dan hermeneutika. Sebab itu, jurnalis adalah person yang setiap waktu harus mengasah kemampuan kritik rasional, sebab tanpa sadar ia akan berada pada ambang kebenaran dan ketakbenaran (true and false).[3]
Dalam dunia media, jurnalis merupakan person atau subyek yang memberitakan tetapi juga mencari kedalaman berbagai kemungkinan (plausibilitas) dari suatu perkataan, peristiwa/kejadian (event, accident), dan mengemasnya ke dalam berita sebagai informasi kepada publik (pembaca, pemirsa, pendengar). Sebab itu kerja jurnalistik memerlukan usaha membangun relasi intrepersonal antara jurnalis dengan narasumber, pelaku suatu peristiwa, aktor bahkan korban dalam suatu peristiwa (event, accident), dan mengabadikannya dengan berbagai cara (merekam audio, mentranskrip rekaman audio, merekam visual, menulis berita, membaca berita, merekam foto, dlsb).
Karena itu, kekuatan kerja jurnalis ada pada kemampuan membahasa (melalui interview, discourse, menulis, membaca, dlsb). Dengan dan melalui kemampuan membahasa itu, sang jurnalis harus mampu menangkap pesan di dalam kata, tulisan, peristiwa, malah menggali semacam ideologi yang tersembunyi di balik kata atau tulisan seseorang atau suatu instansi/Lembaga.
Tidak salah jika hal-hal itu dipahami dalam kerangka filsafat Gadamer, sebab saya berkesimpulan bahwa kerja jurnalistik menuntun, bahkan memaksa jurnalis untuk masuk ke dalam lingkungan di mana peristiwa itu terjadi (langsung maupun tidak langsung), sehingga perlu semacam kesadaran sejarah (historical consciousness) untuk membimbingnya memahami situasi kejadian atau peristiwa dan tutur kata informan atau suatu kelompok masyarakat, sebagai unsur penting dalam pemberitaannya. Sampai pada titik itu, kemampuan membahasa menjadi kunci di dalam kerja jurnalistik.
II. KONSTRUKSI FILSAFAT GADAMER SEBAGAI FILSAFAT MEDIA
1. Bahasa dan Pemosisian Diri
Bahasa, atau kemampuan membahasa, dapat disebut sebagai unsur pokok dalam kerangka filsafat Gadamer, sekaligus sebagai suatu usaha menyampaikan dan menafsir keadaan riil (fakta) yang dialami atau dijumpai dalam lintasan sejarah hidup. Dalam hal itu, peristiwa (event) perlu dimengerti sebagai kejadian-kejadian dalam kehidupan yang mengandung di dalamnya “kebenaran” dan “ketakbenaran”.
Melalui kemampuan membahasa, kita harus menjelaskan atau merasionalisasi fakta untuk memahami “pengalaman” (erfahrung)[4]. Sebab posisi diri kita di dalam peristiwa itu adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Ketika kita berada di dalam suatu peristiwa, kita bisa dengan mudah memahami peristiwa itu dan berbagai kemungkinan (plausibilitas) yang mengelilinginya. Bila ini dipahami dalam kerja jurnalistik, maka investigasi mendalam (indeepth investigation) adalah bagian dari pemosisian diri jurnalis di dalam kejadian atau peristiwa itu. Melalui pemosisian diri itu ia akan menemukan dan mengangkat apa yang disebut sebagai kebenaran tanpa menafsirnya atau membelokkan tafsirannya untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Di situlah sebenarnya nilai filsafatik dari kerja jurnalistik, dalam kerangka filsafat Gadamer.
Artini Suparmo, seorang wartawan senior di LKBN Antara dan Dosen Universitas Negeri Jakarta dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa:
fungsi bahasa (dalam kerja jurnalistik) sebenarnya juga adalah bagaimana untuk berbagi dengan orang lain (realization to other people), dan ini bisa dilakukan oleh wartawan dalam menulis berita. Terpikirkah oleh dia, bahwa kata demi kata, kalimat demi kalimat yang dirajut dalam kemasan berita yang layak siar dan laku dijual, pada hakikatnya adalah bentuk berbagi diri dengan khalayak. Bentuk berbagi diri dalam bahasa ini dikenal juga sebagai salah satu dimensi kesantunan berbahasa, di mana seseoran tidak boleh menyakiti orang lain atau membuat kerugian pada orang lain, bahkan kalau bisa setiap tuturannya itu membawa manfaat bagi orang lain[5].
Pernyataan Suparmo itulah yang dimaksudkan Gadamer sebagai suatu proses rasionalisasi fakta melalui pemosisian diri dalam peristiwa. Dan bagi Gadamer melalui bahasa orang menceritakan pengalaman kembali yang terjadi secara individual[6]. Nilai kebenaran di dalam penceritaan itulah yang penting dalam kaitan dengan relasi interpersonal tadi.
2. PENGALAMAN DAN FUSI HORIZON
Dalam filsafat Gadamer, pengalaman yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman sejarah. Saya memahaminya sebagai peristiwa (event, accident) yang dihadapi oleh kita dalam hidup sesehari. Ini memudahkan kita untuk membawa kerangka kerja filsafat Gadamer ke dalam lingkup kerja jurnalistik. Dalam kerangka ini, pengalaman adalah serangkaian fakta yang terjadi di depan mata, di sekeliling, atau di suatu tempat yang kemudian tersiar melalui berita sebagai hasil kerja membahasa seseorang.
Bila kita membaca koran, menonton TV, mendengar radio, browsing berita online, hampir semua peristiwa, atau gejala menjadi konsumsi berita. Malah infotainment telah membuat peristiwa pribadi seseorang sebagai berita yang turut membentuk atau mengubah struktur perilaku khalayak. Suatu pengalaman menjadi sumber “kebenaran” yang harus diakui berpengaruh besar kepada khalayak/publik. Tanpa sadar, menceritakan pengalaman, dalam kerja jurnalistik memerlukan self-understanding, sehingga kadang apa yang diberitakan jurnalis bukan hanya membentuk pemahaman atau opini public, tetapi mengubah atau membentuk perilaku (yang baru) masyarakat. Istilah trend-setter itu mencerminkan bahwa seseorang yang diberitakan oleh media telah menyulap perubahan perilaku atau gaya banyak orang. Itu berarti jurnalis memiliki kemampuan untuk membantu proses perubahan social dan perilaku di dalam masyarakat.
Media membuat manusia bisa berinteraksi (secara virtual) melalui interaksi jurnalis dengan individua tau sekelompok masyarakat (yang menjadi subyek pemberitaan). Sebab itu, suatu berita sekaligus menjadi wahana relasi timbal balik, bukan saja sajian berita dan peristiwa. Melalui relasi timbal balik itu, khalayak bisa memberi beragam respons, seperti menerima sambil meyakini kebenarannya, menerima dan mengujinya kembali, menerima tetapi tidak meyakini, menolak, marah, kecewa, dlsb. Dalam banyak kejadian, melalui berita itu, masyarakat mengorganisir suatu gerakan massa untuk melakukan berbagai aksi. Dan itu berarti berita media telah membentuk suatu pengalaman baru di dalam diri individu dan/atau kelompok (audience).
Pengalaman itu pun ada yang disalah-pahami oleh individu atau kelompok. Dalam suatu peristiwa sejarah, menurut Gadamer, kita harus mampu memposisikan diri di antara waktu lampau (past), waktu kini (present) dan menafsir realitas waktu akan dating (future). Kembali ke pemosisian diri, fuzi horizons itu merupakan kritik Gadamer terhadap DIlthey yang elalu melihat pada kejadian di belakang (past) dan menuntun kita di masa kini untuk memahami gerakan makna dari peristiwa yang ada di belakang (past) dalam konteks kekinian (presenti) dan ke masa depan (future).[7]
Manusia menurut Gadamer tidak bisa dipisahkan dari kesejarahannya. Maka yang penting dari pengalaman itu adalah kehidupan atau hidup itu sendiri. Sebab hidup itu yang menentukan pengetahuan kita akan kebenaran.
3. OBYEKTIFITAS
Kebenaran dalam filsafat Gadamer adalah obyektifitas yang dapat ditemukan secara langsung pada sumber kebenaran itu. Dalam perspektif kesadaran sejarah, suatu kebenaran akan bertahan di sepanjang masa.[8] Person yang mencari kebenaran sejarah (sejarahwan) akan berhadapan dengan obyek, dan berelasi dengan subyek yang mengalami atau mengetahui secara pasti peristiwa-peristiwa sejarah itu. Ada kebenaran palsu, dan untuk menghindarinya dibutuhkan penafsiran atau pendalaman. Sebab kebenaran palsu tidak bisa menjadi pengetahuan karena kebenaran palsu itu menyesatkan dan selalu menimbulkan kesalahpahaman (misunderstanding). Bila kesalahpahaman itu dilanggengkan, maka pengetahuan menjadi buram dan kehilangan makna obyektifitasnya.
Kerja jurnalistik adalah suatu bentuk kerja yang bertumpu pada obyektifitas sejarah atau peristiwa/kejadian. Obyektifitas jurnalistik itu lahir dari cover both side atau indeepth investigation. Jakob Oetama berkata: “Orang membaca pers untuk memperoleh informasi. Bukan sekedar dan asal informasi, tetapi informasi yang membuat jelas duduknya perkara dan membuat makna kejadian dan masalahnya lebih terang pula”[9]. Bila kalimat itu dimaknai dalam suatu masyarakat demokratis, seperti di Indonesia, maka, kerja jurnalistik tidak harus membiarkan kebenaran dimanipulasi atau dispekulasi, bahkan untuk kepentingan penguasa sekalipun. Kerja jurnalistik harus menjunjung kebenaran sebagai keyakinan filsafatiknya. Tanpa kebenaran, hasil kerja jurnalistik hanyalah sekumpulan cerita dongeng yang tidak membawa perubahan dalam hidup masyarakat.
4. PENGERTIAN DAN PENJELASAN
Gadamer menolong kita untuk memahami bahwa suatu peristiwa melahirkan pembicaraan (speaking) dan individu harus bersuara (giving speeches). [10] Dengan kata lain, percakapan (conversation) merupakan bentuk relasi antarindividu yang melaluinya mereka dapat saling memahami tingkah laku masing-masing dalam percakapan itu. Agar kebenaran dalam percakapan itu terpahami, perlu ada pengertian (verstehen) dan penjelasan (erkleren). Maka melalui percakapan, setiap individu berusaha untuk membuat argumen-argumen yang obyektif, masuk akal sebagai bagian dari kebenaran.
Dalam kerja jurnalistik, termasuk di era digital, ada banyak orang yang memahami bahwa bad news is a good news. Paradigma ini dibangun dalam suatu lingkungan budaya media digital yang terkesan sebagai niece-market, jadi orang tidak sekedar melihat pada standard berita yang baik, tetapi prinsip yang penting viral. Maka apa pun yang ia lihat atau didengar, langsung diberitakan tanpa membangun penjelasan dan klarifikasi. Prinsip good news is good news diabaikan.
Bila suatu peristiwa tidak dipahami secara baik dan tidak dijelaskan maka publik akan membenarkan hal tersebut. Dalam pengalaman kita di Maluku pada tahun 1999-2002, banyak berita koran telah berhasil memprovokasi publik karena nyaris tidak ada ruang untuk melakukan klarifikasi/penjelasan, sebab opini publik telah dibentuk oleh peristiwa konflik antarkelompok. Dalam hal ini perlu apa yang disebut Gadamer dengan correctness yakni untuk memastikan kebenaran dan ketepatan suatu peristiwa atau informasi[11]. Prinsip ini tidak bisa diabaikan dari kerja jurnalistik.
5. MENERJEMAHKAN (TRANSLATION)
Apakah jurnalis bisa bebas menafsir suatu peristiwa atau kata-kata atau kalimat seseorang? Gadamer menolong kita memahami apa yang ia sebut dengan pure-seeing dan pure-hearing. Setiap kalimat atau kata itu berpengertian. Sebab itu pengalaman inderawi menjadi penting dalam memahami situasi pembicaraan (speechs). Dalam kaitan dengan itu, usaha menerjemahkan menjadi penting bukan saja dalam konteks bahasa yang berbeda ~seperti menerjemahkan bahasa asing, tetapi juga menerjemahkan hal-hal yang dilihat dan didengar secara langsung.
Saat saya bekerja sebagai wartawan di tahun 2003-2007, beberapa wartawan senior di Kota Ambon, Lucky Sopacua dan Novi Pinontoan mengingatkan bahwa seorang wartawan tidak hanya harus mengandalkan tape-recorder tetapi mata dan telinganya. Sebab itu akan membantu dia untuk mendalami makna di balik diksi narasumber, bahkan bila bahasa tubuhnya, mimiknya dipahami, maka makna dari diksi yang digunakan narasumber akan bisa lebih dipahami.
Jurnalis tidak bisa sekedar melihat proses verbalis sebagai satu-satunya bentuk komunikasi atau penyampaian pesan. Ia juga harus melihat simbol atau tanda (semantik) yang digunakan dalam masyarakat. Jurnalis yang biasa menyampaikan berita foto memerlukan kecakapan membaca makna tanda (sign). Contohnya, ada marka lalulintas dilarang parkir, tetapi banyak mobil diparkirkan di Kawasan tersebut. Atau ada orang yang menyeberang tidak di zebra cross. Ini memberi pesan tentang pelanggaran hukum atau ketidaktertiban lalulintas. Bila ia menjadikannya sebagai berita, maka caption pada gambar itu adalah hasil kerja tafsiran atau terjemahan atas tanda (yang dilanggar). Dari situ khalayak sudah bisa memahami perilaku orang lain.
Kelima aspek itu kiranya menolong kita untuk memahami bahwa kerja jurnalistik itu lahir dari kandungan filsafat dan praksis pekerjaan media merupakan suatu kerja yang bernilai, tidak asal-asalan. Artinya jurnalis bekerja karena keyakinan-keyakinan filsafatik serta memahami filsafat media itu sendiri. Jurnalistik merupakan suatu wujud praksis kefilsafatan dalam membentuk pengetahuan publik dari makna sebuah peristiwa sebagai obyek filsafat jurnalistik/pers.
Bila kelima hal itu direnungi dalam kerja jurnalistik, maka kaidah-kaidah jurnalistik, terutama dalam pengerjaan media massa juga penting diperhatikan. Ada beberapa pakem filsafatik-jurnalistik yang memiliki korelasi dengan kerangka filsafat Gadamer tadi. Hal itu antara lain:
a. Pertanyaan terbuka. Artinya biarkan narasumber memberi penjelasan lebih banyak, gali terus sampai narasumber benar-benar memberi informasi yang dibutuhkan;
b. Pertanyaan tertutup, untuk narasumber yang pelit-info. Arahkan dengan pertanyaan yang menjurus, jadi cukup dengan jawaban ya atau tidak, itu sudah bisa menjadi sumber berita. Bahkan bila narasumber menolak untuk memberi informasi, atau mengatakan saya tidak tahu, itu sudah bisa diolah sebagai berita;
c. Cover both side. Tidak ada istilah terima informasi dari satu sumber sudah cukup. Bila ada nama yang disebut atau menyangkut kasus yang sensetif harus ditanyakan kepada pihak yang disebut atau pihak lain yang berkompeten, termasuk misalnya pakar/ahli terkait masalah tersebut;
d. Penjelasan narasumber jangan ditelan begitu saja, harus dilengkapi data yang memperkuat, jadi perlu cross-check atau investigasi. Kantor media yang professional malah memiliki bank data atau devisi penelitian dan pengembangan yang tugasnya mensuply data guna pemberitaan;
e. Bad news is a good news, artinya bahkan untuk sesuatu yang dipikir tidak ada nilai berita harus digali menjadi berita. Tetapi di zaman media social dewasa ini, bad news cenderung menjadi lahan hoax.
f. Peace journalism atau jurnalisme damai. Ini yang dibutuhkan di Indonesia dalam kondisi saat ini ketika isu intoleransi, radikalisme, fanatisme mengancam nasionalisme dan persatuan, berpotensi merobek tenunan keragaman bangsa. Dalam konteks Maluku, peace journalism harus membuat para jurnalis menjadikan kearifan budaya sebagai berita yang dipublikasi secara terus-menerus, karena peace journalism harus menjadi bagian dari kerja berbudaya;
g. Off the record. Hargai sumber berita yang memberi informasi dalam status anonim, bahkan dalam keadaan dipaksa pun, nama mereka harus disimpan;
h. Exclusive. Berita akan bernilai tinggi kalau sumbernya hanya diperoleh sendiri dan yang lain tidak mengekor. Masalahnya kadang di zaman instant saat ini, jurnalis bisa terkecoh dengan keinginan membuat exclusive sampai tidak sensetif untuk menilai apakah bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
i. Sense of news. Setiap jurnalis harus memiliki ini bahkan untuk hak yang dipikir sepele. Misalnya, bertemu sampah menumpuk, bisa menjadi berita. Kamar mayat tidak ada mayat, bisa jadi berita. Jalan berlobang bisa jadi berita. Ikan langkah di pasar Ambon bisa menjadi berita.
III. KULTUR PEMBERITAAN DI ERA DIGITAL
Dalam sejarah pers di Indonesia, era digitalisasi dalam kerja pers sudah dimulai sejak awal kemunculan TVRI (17 Agustus 1962 pukul 09.00 WIB) ketika Alex Leo Zulkarnaen dan Victor Kwee menyiarkan secara langsung pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 yang diikuti dengan pidato kenegaraan Presiden Soekarno. Demikian ditulis Ishadi S.K, dalam buku Melacak Jurnalisme Media Siaran dan Internet.[12] Perkembangan selanjutnya, menurut catatan Ishadi, bahwa pada tahun 1972 dilaksanakan siaran langsung Televisi melalui Satelit Palapa, dan TVRI menyiarkannya secara langsung dari Cape Canaveral, Orlando, Florida (USA), pada pukul 17.00 atau 03.00 WIB.[13]
Kini kita telah masuk ke dalam suatu media-sphere yang tidak lagi lamban. Media massa dalam hal ini TV (audio visual), Radio (audio), Koran (cetak) telah berjalan bersisihan bahkan dikemas menjadi multimedia massa di internet.[14] Kita tidak bisa mengklaim bahwa media massa tadi akan ketinggalan zaman dibandingkan internet seiring berbagai temuan berteknologi saat ini. Sebab semua media (massa dan sosial), walaupun memiliki pakem masing-masing, namun tetap dibutuhkan.
Priyambodo mengakui bahwa jurnalisme berinternet (cyber-journalism) mempengaruhi system pemberitaan media dewasa ini. Bahkan menurutnya, ketika media massa masih bergerak dalam ritme deadline, sehingga menunggu waktu dan mekanisme editing yang ketat, jurnalisme berinternet berusaha menyajikan berita seakurat mungkin, dan selengkapnya setiap saat (real time).
Pakem jurnalisme berinternet ada dalam berbagai bentuk, seperti pengelolaan website, media online, blog, citizen journalism/cyber-community, bahkan pengelolaan laman (hyperlink), tentu tidak bisa melepaskan diri dari kaidah filsafatik media, setidak-tidaknya harus melalui proses editing yang matang. Sebab content berita media, bahkan media social, idealnya berita yang viral adalah berita yang benar-benar mengandung kebenaran. para netter/netizen dan peselancar (surfer) sebagai pemakai internet sangat cepat dipengaruhi oleh berita dari jurnalisme berinternet. Oleh sebab itu, jurnalisme berinteret tetap harus menjaga platform etika guna menyebarluaskan kabar yang benar, kabar baik.
Bila saya menggunakan perspektif filsafat-teologi untuk membingkai tulisan ini, maka kebenaran adalah content berita yang harus disampaikan kepada publik sebagaimana seharusnya. Saya meminjam tradisi kenabian dalam Perjanjian Lama (PL), yaitu Bilangan 22-23, bagaimana Nabi Bileam dipaksa oleh raja Balak agar menyampaikan kutuk atas Israel, tetapi ia nekat melawan raja dan menyampaikan berkat kepada umat itu. Pelajaran lain adalah pada diri Musa (Keluaran 5:1-23), bagaimana Musa yang dibesarkan di dalam istana Mesir, akhirnya harus mengikuti apa kata Tuhan dan berhadap-hadapan dengan Firaun demi pembebasan orang Israel. Dari situ, secara teologis, nabi itu dipahami sebagai utusan atau penyambung lidah Tuhan yang bertugas untuk menyampaikan apa yang difirmankan Tuhan kepada siapa firman itu ditujukan tanpa harus menambah atau mengurangi satu kata pun.
Artinya, kebenaran itu tidak bisa dibenamkan oleh kepentingan kekuasaan atau sekelompok orang, sebab kebenaran itu bagian dari firman yang mendatangkan damai sejahtera bagi umat.
Bila kebenaran itu dipahami dalam defenisi Injil, maka kebenaran itu adalah isi dari kabar baik (Injil) yang bukan hanya diberitakan secara verbal tetapi membentuk perilaku yang diliputi oleh kasih, kepedulian, relasi yang akrab, mendamaikan, dan mereka yang membawa kabar baik itu harus menjadi pemberita yang rela pergi ke mana saja agar kabar baik itu menyapa semua orang. Tujuan kabar baik itu adalah memanusiakan manusia (Lukas 4:18-19) yakni menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan pada orang yang tertawan, penglihatan kepada orang buta, membebaskan mereka yang tertindas, dan memberitakan datangnya masa/tahun damai sejahtera dari Tuhan.
Dalam kabar baik itu ada gerakan pembebasan yang harus menjadi kekuatan kerja jurnalisme yang profetik. Itulah wujud ideal jurnalisme dari sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Kristen/milik gereja, dan seharusnya pula jurnalisme yang dikelolah semua Lembaga agama di Indonesia.
BUKU BACAAN:
Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method, New York: Continuum, 1995
Gadamer, Hans-Georg, “Rhetoric and Hermeneutic” [trans. by. Joel Weinsheimer], dalam Rhetoric and Hermeneutics in our time, edited by. Walter Jost & Michael J. Hyde, New Haven & London: Yale University Press, 1997
H.M, Zainuddin, Ayat-ayat Jurnalistik, Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2011
Jervolino, Domenico, The Cogito and Hermeneutics: The Question of the Subject in Ricoeur, Dordrecht-Boston-London: Kluwer Academic Publishers, 1990
Kant, Immanuel, Critique of Practical Reason, New York: The Library of Liberal Arts, 1956
Putnam, Hilary, Mind Language and Reality, London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979
R.H, Priyambodo, “Sejarah Dan Perkembangan Cyber-Journalism”, dalam Atmakusumah, Iskandar, Melacak Jurnalisme Media Siaran dan Internet, Jakarta:RMBooks, 2011
S.K, Ishadi, “Sejarah Jurnalisme Televisi Indonesia” dalam Atmakusumah, Maskun Iskandar (Peny.), Melacak Jurnalisme Media Siaran dan Internet, Jakarta:RMBooks, 2011
Suparmo, Artini, Kesantunan Berbahasa di Media, Jakarta: RMBooks, 2011
Wachterhauser, Brice R., “Must We be What We Say? Gadamer on Truth in the Human Sciences”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wachterhauser, New York: State University of New York Press, 1986
Weinsheimer, Joel C., Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven & London: Yale Universtity Press, 1985
Elifas Tomix Maspaitella
Pendeta GPM
Pernah Menjadi Reporter merangkap Editor Harian Suara Independen (2003)
Dan Editor Harian Mimbar Maluku (2007-2008)
[1] Lippmann dalam Zainuddin HM, Ayat-ayat Jurnalistik, 2011, Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, h.3
[2] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: Continuum, 1995, h. 231 dyb; baca juga Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven & London: Yale Universtity Press, 1985, h. 118 dyb
[3] Baca Hilary Putnam, Mind Language and Reality, London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979, Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, New York: The Library of Liberal Arts, 1956, Domenico Jervolino, The Cogito and Hermeneutics: The Question of the Subject in Ricoeur, Dordrecht-Boston-London: Kluwer Academic Publishers, 1990
[4] lht. Hans-Georg Gadamer, TM, h.98, 220
[5] Artini Suparmo, Kesantunan Berbahasa di Media, Jakarta: RMBooks, 2011, h.2
[6] Gadamer, ibid, h.222
[7] Brice R. Wachterhauser, “Must We be What We Say? Gadamer on Truth in the Human Sciences”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wachterhauser, New York: State University of New York Press, 1986, h.223
[8] Gadamer, TM, h.342
[9] Zaenudin HM, ibid, h.34
[10] Hans-Georg Gadamer, “Rhetoric and Hermeneutic” [trans. by. Joel Weinsheimer], dalam Rhetoric and Hermeneutics in our time, edited by. Walter Jost & Michael J. Hyde, New Haven & London: Yale University Press, 1997, h.57
[11] Gadamer, op.cit, h.410,411
[12] Ishadi S.K, “Sejarah Jurnalisme Televisi Indonesia” dalam Atmakusumah, Maskun Iskandar (Peny.), Melacak Jurnalisme Media Siaran dan Internet, Jakarta:RMBooks, 2011, h.1
[13] Ishadi, dalam Atmakusumah, Iskandar, ibid, h.9
[14] Priyambodo R.H, “Sejarah Dan Perkembangan Cyber-Journalism”, dalam Atmakusumah, Iskandar, ibid, h.39
No comments:
Post a Comment