MENGAPA YESUS PERGI KE BUKIT?

 


Pendeta Elifas Tomix Maspaitella

 

PENGANTAR

 


“Mengapa Yesus pergi ke bukit?” Bila “bukit/gunung” dimaknai sebagai suatu lokasi geografis atau tempat tertentu (keterangan tempat), dan apalagi ketika tempat itu sudah menjadi suatu lokasi yang lazim didatangi/dikunjungi, atau berada tepat di jalur yang ramai, maka pertanyaan itu biasa saja. Apalagi ketika kebiasaan pergi ke bukit disejajarkan dengan kebiasaan orang-orang berwisata ke daerah perbukitan yang ramai dengan pemandangan laut yang indah.

Dalam Perjanjian Baru (PB) kita menemukan ragam cerita Yesus bersama para muridNya berjalan/mengunjungi berbagai tempat, rumah warga ~seperti rumah Lazarus, Petrus, Simon penyamak kuli, dlsb, Bait Alah, menyeberangi danau, dan berjumpa dengan banyak orang dari berbagai lapisan sosial, termasuk orang-orang sakit yang diisolasi di daerah pinggiran desa/kota.

Bahkan beberapa kali dalam PB, Yesus bermaksud mencari tempat yang sepi di daerah perbukitan untuk beristirahat (bd. Mark. 6:31-32), walau ternyata setiba di situ, Ia sudah ditunggui oleh banyak orang, dan selama mereka beristirahat di situ, orang-orang banyak itu tidak beranjak kembali ke kampung mereka. Itulah kondisi yang terjadi dalam kisah mujizat Yesus memberi makan lima ribu orang (Mark.6:30-44). Pada kesempatan lainnya, Yesus memilih pergi ke tempat yang sepi, termasuk daerah pegunungan/perbukitan untuk berdoa, dan Ia pergi bersama beberapa orang murid saja, seperti dalam kisah Yesus dimuliakan di atas gunung (bd. Mat.17:1-13; Mark.9:2-13; Luk.9:28-36) atau di taman Getsemani (Mat. 26:36-46; Mrk.14:32-42; Luk. 22:39-46).

Mario Seiglie (1988:18) menerangkan bahwa beberapa kali Yesus dan murid-muridNya pergi ke daerah dataran tinggi/pegunungan karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat di sekitar Kapernaum, dan banyak nelayan tidak bisa melaut. Karena itu mereka mencari tempat yang tinggi untuk beristirahat dalam keadaan cuaca tersebut. Hal itu terjadi pada keadaan dan wilayah tertentu saja. Topografi lingkungan tempat tinggal/berkaryanya Yesus adalah kawasan pesisir danau dan perbukitan. Norman Gottwald (1987) membantu kita memahami situasi lingkungan Israel Alkitab sebagai daerah berbukit, tanah karang, dan kawasan pegunungan dari timur ke utara yang terbentuk juga dari sedimentasi. Keterangan lanjutannya bahwa daerah Palesina sendiri merupakan daerah yang terbentuk dari pesisir di Barat ke pegunungan di bagian Timur. Daerah pesisirnya yang rendah/landai, kemudian kawasan pegunungan atau dataran tinggi yang dikenal dengan sebutan Cisjordan, kawasan lembah di mana terdapat sungai Yordan yang mengalir ke Laut Mati, dan pegunungan atau dataran tinggi di Timur, daerah Transjordan.

Dengan keterangan itu berarti sampai di zaman Yesus, topografi lingkungan Israel adalah seperti itu, sehingga mengapa Ia ke daerah perbukitan bisa terjawab. Namun bila pertanyaan tadi ditempatkan dalam posisi dan makna tafsirnya dalam Injil atau kitab suci PB, sudah tentu ada makna teologis yang mesti dikaji karena mengandung pesan khusus di dalam pertanyaan tersebut.

Ada hal yang menarik dan menantang, dan membuat tulisan ini harus dibuat, ialah karena pertanyaan tersebut merupakan hasil membaca Alkitab dari seorang warga gereja, dan tentu dengan membuat penafsiran tertentu atas teks-teks Injil yang dibaca seputar kisah pelayanan Yesus. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini disusun, sebab melaluinya pun saya berkesempatan belajar sesuatu dari kisah-kisah yang selama ini dibaca secara datar oleh sebagian besar di antara kita. Ini pun membuktikan bahwa apa apa pun yang dikatakan dan dilakukan Yesus, ke mana ia pergi atau berada, dari mana Ia datang, semuanya memiliki makna imaniah yang hakiki dalam refleksi dan renungan kepercayaan/keagamaan kita sebagai orang Kristen.

 

GUNUNG DALAM ASPEK GEOGRAFIS DAN KOSMOLOGI KEPERCAYAAN ISRAEL ALKITAB


Ada beberapa gunung yang penting dalam sejarah Israel Alkitab, antara lain gunung Karmel (1 raj.18:9-42) tempat di mana Elia mempersembahkan korban kepada Allah melawan penyembahan Baal. Gunung ini sering menjadi perlambang perlawanan kuasa-kuasa Baal dengan Allah; gunung Ebal (Ul.27:4-10) sebagai tempat Musa mendirikan mezbah sebagai tanda Israel masuk tanah Kanaan dan mewajibkan menuliskan pada batu-batu itu segala perkataan Taurat; gunung Gerizim, yang dalam PB (Yoh.4:20) menjadi pokok debat Yesus dengan perempuan Samaria tentang tempat menyembah Allah, karena orang Samaria tahu bahwa dahulu nenek moyang mereka menyembah Allah di gunung Gerizim, sedangkan Yesus menyebut Yerusalem sebagai tempatnya; gunung Moria, tempat di mana iman Abraham diuji untuk mempersembahkan Ishak anaknya (Kej. 22:2); gunung Sinai, tempat di mana Musa untuk berjumpa dengan Tuhan dan menerima 10 Hukum Tuarat (Kel. 19-20); gunung Nebo (Pisgah), tempat di mana Musa hanya bisa berdiri dan memandang Kanaan dari kejauhan (Ul. 34:1).

Dalam alam pikiran Israel Alkitab, atau kosmologinya, gunung (Ibr. giv’a– dalam Bahasa Yunani disebut bounos, oros) menerangkan tempat tinggi, namun dalam tradisi teks Alkitab (PL) diilustrasikan sebagai “bungkuk, bongkol/bonggol, punuk” seperti bongkol unta, artinya daerah perbukitan itu adalah tempat yang lebih tinggi dari lembah atau dataran rendah di bawahnya. Karena itu daerah perbukitan seperti ini menjadi sumber ekonomi karena tanah yang subur dan banyak ditumbuhi tanaman-tanaman produktif (Gottwald, 1987; J.M. Houston, 1995). Sedangkan istilah har lebih menunjuk pada gunung tunggal yang berdiri sendiri di tengah tanah datar yang luas, dan sulit dijangkau sehingga sering menjadi tempat persembunyian (Hak. 6:2; 1 Sam.14:21-22; Mzm. 68:15,22; Mat. 24:16) menghindari pengejaran atau rencana pembunuhan. Biasanya gunung ini tidak atau jarang dikunjungi, semacam tempat angker. Hal itu pernah dilakukan Daud sewaktu menghindari pengejaran Saul (1 Sam.23:14).

Gunung dalam arti itu pun yang dalam Bahasa Yunani disebut oros. Richard Buxton (1992:2) mendefenisikan oros (gunung) sebagai tempat tinggi di luar kawasan pemukiman dan areal perkebunan, dan berbeda dari tempat bekerja atau kawasan budidaya, dan dalam konteks masyarakat Timur Tengah, lebih condong bermakna padang gurun sebagai lokasi yang kering, tidak subur, dan berbeda dari kawasan budidaya pertanian yang subur sepanjang sungai Nil.

Dalam kepercayaan orang Israel Alkitab, gunung atau tempat yang tinggi merupakan lokasi-lokasi kultus yang penting, sebab dipandang suci sebagai tempat di mana Tuhan berdiam. Perjumpaan dengan Tuhan dipahami terjadi di tempat-tempat yang tinggi, dan pada tempat itu Tuhan menyatakan diriNya hanya kepada mereka yang sudah dikhususkan untuk itu. Pada gunung-gunung yang penuh tantangan sekali pun, malah menjadi simbol iman dan kesucian hati, sehingga jika ada yang berjumpa dengan Tuhan di situ, mereka adalah orang-orang yang memang dikhususkan. Elia adalah salah seorang nabi yang dapat ditempatkan dalam konteks itu selain Musa dan Harun.

Dalam tradisi sastra hikmat, seperti tampak dalam Kitab Mazmur atau beberapa bagian Kitab Yesaya dan Mikha, gunung digambarkan seumpama menari dan bersorak, melompat-lompat memuji Tuhan (Mzm.98:8, 114:4,6; Yes.44:23, 49:13; Mi. 6:2). Pada makna ini, gunung dilukiskan juga sebagai tempat beribadah atau tempat yang dikehendaki Tuhan agar umat menyembahNya, sehingga tidak jarang disebut sebagai gunung Tuhan. Dalam Mazmur 24:3-4, telah ditetapkan syarat bagi orang yang dapat/pantas ke situ, yaitu yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu.

Itu yang dimaksudkan Buxton dengan gunung tanpa nama (imaginary mountain), yang meliputi tiga aspek:

Pertama, daerah di luar dan liar (berbahaya). Karena berada di luar, maka gunung itu adalah tempat bagi orang-orang luar, dan tidak jarang para begal yang sering menghadang para pedagang/saudagar di perlintasan/tengah jalan, tetapi juga para gembala yang harus mencari tempat yang jauh dan luas, subur untuk menggembalakan ternak mereka, atau yang sedang dalam perlintasan ke suatu tempat, dan memilih bermalam di situ. Di sini para gembala sering bertarung dengan binatang buas dan para bandit, guna melindungi ternak mereka.

Dua, gunung sebagai tempat pertama/asal tempat tinggal pertama manusia (Yeh. 28:13-14), dan di situ Tuhan telah menyediakan segala sesuatu secara berlimpah (bd. Kej.2:10-14) dan terdapat air yang mengalir dengan limpahnya, serta digambarkan sebagai gunung kudus Allah.

Tiga, gunung sebagai tempat pembalikan, yang menggambarkan ada proses pembalikan atau perubahan/pertobatan yang terjadi dalam perjumpaan khusus dengan Tuhan. Kisah Abraham mempersembahkan Ishak (Kej. 22:1-19) atau mimpi Yakub (Kej. 28:10-22), merupakan dua kisah yang memperlihatkan ada semacam metamorfosa, perubahan dari motiv awal ke suatu motiv baru dan perubahan/pembalikan itu terjadi karena tindakan Tuhan secara langsung. Namun dalam arti ini pun, gunung menunjukkan pada tempat di mana jarak yang jauh antara Tuhan dengan manusia tidak ada lagi. Dialog malaikat dengan Abraham, atau malaikat yang turun naik tangga yang menyambung bumi dan langit adalah ilustrasi dari hal tersebut.

Pada ketiga aspek itu, gunung menjadi suatu tempat yang khusus dalam cerita pengalaman kehidupan dan iman orang Israel. Ada semacam mountain experience – pengalaman yang terjadi di gunung, sehingga tidak jarang kita membaca nama satu gunung di mana terjadi beberapa peristiwa penting di situ. Bahkan Yakub digambarkan dua kali berada di pegunungan El-Betel, dan di tempat yang sama ia mengalami pengalaman yang berbeda. Pertama kali ketika ia melarikan diri dari Esau (Kej.28:10-22), dan kali kedua ketika ia berdamai lagi dengan Esau dan pergi bersama istri-istri, anak-anak dan segala hamba serta ternaknya (Kej. 35:1-15).


YESUS MEMILIH KE BUKIT


Dalam PL dan PB, gunung dipahami sebagai tempat yang dipilih oleh Tuhan atau tempat yang istimewa, bukan sekedar sebagai tempat perjumpaan antara Tuhan dengan manusia, melainkan di situ berlangsung pula peristiwa-peristiwa sakral yang menjadi bagian dari cerita keagamaan sepanjang masa. Abraham mengadapi suatu situasi khusus dalam perjumpaannya dengan Tuhan, di mana ia harus mempersembahkan Ishak, anak yang dijanjikan kepadanya. Musa mengalami hal serupa, ketika pertama mendapat tugas pengutusan untuk membawa orang Israel keluar dari Mesir, dan juga menerima 10 Hukum Taurat. Yesus memilih bukit untuk berkhotbah dan berdoa.

Sebagai tempat yang istimewa, jika di situ ada perjumpaan manusia dengan Tuhan, maka jelas bahwa tidak semua orang mengalaminya. Itulah sebabnya disebut “gunung Tuhan” dan dalam tradisi PL, hanya mereka yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu (Mazmur 24:3-4).

Artinya tempat itu (=gunung) adalah kudus. Di situlah kita bisa memahami perintah Tuhan kepada Musa untuk menanggalkan kasutnya (Kel.3:5). Tempat di mana Tuhan berjumpa dengan manusia adalah tempat terpilih, dan tidak semua orang mengalami/ menyaksikannya. Itulah pula alasan mengapa Yesus hanya mengajak beberapa murid untuk menyertainya ke gunung untuk berdoa (bd. Mat.17:1-13; Mark.9:2-13; Luk.9:28-36). Dari situ kita belajar tentang ketaatan atau orang yang taat, sebagai orang-orang yang khusus mengalami perjumpaan dengan Tuhan di tempat yang dipilihNya. Perjumpaan itu terjadi karena adanya suatu relasi yang intim antara Tuhan dengan manusia, namun walau Ia berjumpa dengan orang-orang yang dipilihNya, tetapi tujuan dari perjumpaan itu tdak untuk kepentingan personal melainkan untuk tindakan penyelamatan kepada seluruh umat.

Artinya gunung menjadi tempat Tuhan mendeklarasikan penyelamatanNya kepada semua umat manusia, atau tempat dari mana Tuhan menurunkan segala perintahNya kepada umat manusia. Ini bisa kita pahami dari kisah Tuhan memanggil dan mengutus Musa membawa Israel keluar dari penindasan Mesir (Kel.3:1-4:17), atau Tuhan memberi 10 Hukum Taurat kepada Musa (Kel.20:1-17) atau penyaliban Yesus (Mat.27:32-44; Mrk. 15:21-32; Luk.23:26,33-43; Yoh.19:17-24) dan peristiwa Yesus terangkat ke surga (Mat.28:16-20). Sejarah penyelamatan merupakan inti dari perjumpaan tersebut, dan gunung menjadi simbol dari kekuasaan Allah Yang Mahatinggi sebagai Allah yang membebaskan, menyelamatkan dan menghapuskan dosa-dosa umat.

Di masa Yesus, fungsi gunung mengalami semacam transformasi. Saya mencatat empat (4) bentuknya, yaitu:

a.      Gunung sebagai tempat Yesus mengajar/berkhotbah

Tentang ini baiklah saya fokus saja pada Matius 5:1 – setting tempat Yesus berkhobah di bukit (Yun. oros – lihat penjelasan Richard Buxton di atas). Cerita ini berlangsung di daerah Galilea, atau tepatnya di Kapernaum (bd. Mat. 4:12).  Dalam catatan arkeologi John Laughlin, professor Agama di Averett College, Denvile, yang berpartisipasi dalam penggalian di Kapernaum, disebutkan: “dapat diketahui bahwa Kapernaum adalah sebuah desa kecil di tepi danau Galile dengan populasi tidak lebih dari 1.000 orang.

Dari beberapa bangunan yang ditemukan, pakaian, dan batu-batu besar yang rapi tersusun, disimpulkan bahwa di zaman Yesus, Kapernaum adalah desa yang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Masyarakat di sana adalah para nelayan dan petani karena lahannya yang subur (Seiglie, 1988: 19).

Di Kapernaum juga tinggal beberapa pejabat, dan mereka menempati rumah-rumah yang bagus, dengan dinding batu yang rapi tersusun (dipelester). Ini dapat disimpulkan dari cerita Lukas 7:1-10, ketika seorang perwira di Kapernaum berjumpa Yesus untuk  meminta kesembuhan kepada hambanya.

Ada pula beberapa Sinagoge sebagai tempat ibadah orang Yahudi, dan dalam zaman Yesus, Ia berulang kali ke Sinagoge itu untuk beribadah. Di daerah Galilea itu  Yesus mengajar dari satu Sinagoge ke Sinagoge lainnya, dan orang dari berbagai tempat, seperti Dekapolis, Yerusalem dan Yudea, datang ke situ untuk mendengar pengajaranNya (Mat.4:23-25).

Intensitas Yesus mengajar di situ dan keberadaan orang banyak yang mengikutiNya merupakan salah satu alasan Yesus pergi ke bukit, dan mengajar di sana. Pada konteks ini artinya Synagoge tidak dapat menampung orang banyak, sedangkan Yesus harus mengajar mereka. Dengan kata lain, beralih dari Sinagoge ke bukit sebenarnya Yesus melakukan suatu transformasi yaitu membuat bukit sebagai tempat sekuler, area publik di mana fungsi keagamaan bisa berlangsung. Didakhe atau pengajaran agama tidak harus terkurung dalam ruang-ruang sakral yang tertutup melainkan harus dijumpakan dalam ruang sosial yang lebih terbuka. Itu yang menjadi alasan mengapa Yesus mengajar di bukit dan tidak menggubris hukum agama atau praktek guru-guru Yahudi yang mengajar di Sinagoge.

Khotbah di Bukit dalam teks Matius adalah suatu kisah khotbah terpanjang dalam satu moment Yesus mengajar orang banyak. Mulai dari Ucapan Bahagia (5:1-12), ilustrasi garam dan terang dunia (5:13-16). Yesus dan Taurat (5:17-48), hal memberi sedekah (6:1-4), hal berdoa (6:5-15), hal berpuasa (6:16-18), hal mengumpulkan harta (6:19-24), hal kekuatiran (6:25-34), hal menghakimi (7:1-5), hal yang kudus dan berharga (7:6), hal pengabulan doa (7:7-11), jalan yang benar (7:12-14), hal pengajaran yang sesat (7:15-23), dua macam dasar (7:24-27). Hal ini memperlihatkan bahwa materi pengajaran (didache) telah berubah, dari membaca dan mengulangi Taurat ke ajaran-ajaran etika baru, etika sosial, atau praktek sosial agama.

Gunung menjadi ruang pengajaran agama yang bersifat terbuka, suatu ruang publik/sosial. Dengan mengajar di bukit, Yesus menjadikan tempat itu sebagai ruang pengajaran agama yang bersifat umum/terbuka, yang bisa didatangi oleh siapa saja. Gunung jelas berbeda dari sinagoga, karena tidak ada pembatasan orang di situ, dan siapa saja bebas mendengar pengajaran Yesus.  Orang dari berbagai tempat, suku, bisa datang ke situ untuk tujuan yang sama yaitu mendengar pengajaran Yesus. Artinya manusia yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan di gunung sangat banyak, berasal dari lapisan sosial yang sangat bervariasi, dan dari kelompok yang berbeda-beda. Perjumpaan dengan Tuhan tidak lagi menjadi sesuatu yang privat, dan Tuhan tidak lagi menunjukkan dirinya dengan cara yang mistis, khusus kepada orang tertentu. Ia memperkenalkan diriNya secara terbuka kepada khalayak umum.

Hal itu berbeda dari apa yang dilakukan para guru Yahudi yang mengajar pada kelas-kelas khusus dengan pengelompokkan murid dalam batasan usia tertentu di Sinaoga. Dengan membawa ruang pengajaran keluar dari Sinagoga ke gunung, Yesus telah melakukan suatu pembaruan dalam tradisi didaktis (pengajaran) Yahudi. Apalagi Ia tidak saja mengajar, melainkan melakukan berbagai hal lai secara praksis, yaitu menyembuhkan orang-orang sakit, dan kisah itu terjadi setelah Ia mengajar orang banyak dari turun dari gunung, yaitu menyembuhkan orang yang sakit kusta (8:1-4), menyembuhkan hamba perwira di Kapernaum (8:5-13), menyembuhkan ibu mertua Petrus (8:14-17).

Kisah penyembuhan tersebut memperlihatkan bahwa Yesus melakukan transformasi fungsi keagamaan dari yang ekslklusif/tertutup dan didaktis (mengajar/berkhotbah), ke suatu fungsi yang lebih terbuka dan praksis (menyembuhkan orang sakit).

 

b.      Gunung sebagai tempat Yesus berdoa

Beberapa kali Yesus pergi ke gunung/bukit untuk berdoa. Taman Getsemani adalah tempat doa Yesus yang monumental, karena di situlah Dia ditangkap dan kemudian disalibkan. Tentang tempat itu, Matius dan Markus sama-sama menyebut “suatu tempat yang bernama Getsemani” (Mat.26:36; Mrk.14:32), sedangkan Lukas menyebut tempat itu “bukit Zaitun (Luk.22:39) dan berada di luar kota. Tepatnya taman Getsemani itu terletak di kaki bukit Zaitun, dan Yesus sudah sering kali ke situ untuk berdoa.

Lalu pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid-Nya juga mengikuti Dia (Luk. 22:39)

 

Artinya, bukan untuk satu kali Ia membawa beberapa muridNya ke situ untuk berdoa melainkan sudah sering, setiap kali Ia datang ke Yerusalem, Ia akan pergi ke taman di bukit Zaitun untuk berdoa. Karena keseringan itu pula maka Yudas tahu persis jika Yesus pada malam hari akan pergi ke situ (Luk.22:47-48).

Mengapa Yesus berdoa? Yesus adalah orang Yahudi yang bertumbuh dalam akar-akar keyahudian yang ketat sejak kanak-kanaknya. Ada dua tradisi Yahudi untuk kanak-kanak yang dijalani juga oleh Yesus.

Pertama, Brit Milah – yaitu tradisi sunat kepada bayi saat genap berumur delapan hari (Luk.2:21-40). Diperkirakan saat itu pula Ia dberi nama Yesus menurut tradisi Yahudi, sebagai nama yang sudah dijanjikan terlebih dahulu oleh Tuhan kepada Yusuf dan Maria (Mat.1:21; Luk.1:31).

Kedua, Bar mitswah dan bat mitswah – yaitu tradisi masa peralihan dari kanak-kanak ke masa akil balig. Upacara ini dijalani anak laki-laki berumur tigabelas (13) tahun dan anak perempuan berimur duabelas (12) tahu. Sebagai tanda akil balig, anak dituntun berdoa dan melantunkan ayat-ayat Taurat. Catatan Lukas 2:41-52 tentang Yesus bersoal jawab dengan imam-iman merupakan bagian dari tahapan ini sebagai suatu tahapan pendidikan.

Karena sejak kecil telah dibentuk dalam tradisi seperti itu, sudah tentu Yesus pun paham benar dan setia menjalankan tradisi doa Yahudi. Dalam ritus agama Yahudi, ada tiga jam doa dalam sehari, yaitu sembahyang pagi (syaharit), sembahyang siang (minha) dan sembahyang malam (musaf). Orang Yahudi biasa berdoa dengan cara berdiri (amidah), atau menaikkan delapan belas doa (syemoneh esreh). Umumnya doa-doa dalam agama Yahudi adalah doa pribadi, walau beberapa orang lebih suka berdoa secara bersama-sama di Bait Allah, terutama antara 10 orang laki-laki dewasa, karena syarat doa bersama adalah ketika sudah cukup minyan (quorum).

Doa Yesus di Getsemani berlangsung pada malam hari, yaitu setelah selesai jamuan malam (Luk.22:24-38), dan pada malam itu ia pergi bersama murid-muridNya untuk berdoa di Getsemani seperti biasa Ia lakukan.

Mengapa berdoa? Tentu itu sudah menjadi kebiasaan Yesus atau telah menjadi bagian dari hakekat diriNya sendiri. Dan gunung atau taman dikaki gunung sebagai tempat doanya memang memperlihatkan pada sesuatu yang jua tidak lazim dalam tradisi Yahudi, apalagi jika dia berkali-kali berdoa di situ. Itulah sebabnya banyak ahli Perjanjian Lama yang menyebut Yesus membentuk suatu madzab baru dalam keyahudian yaitu khavurah (R.P. Martin, 1995:248).

Doa Yesus di Getsemani merupakan doa yang sangat luar biasa, sebab di situlah gambaran total kemanusiaanNya muncul. Itu adalah juga doa penyerahan diriNya kepada Bapa, karena Ia harus menjalani penyaliban sebagai cara yang ditentukan Bapa untuk menebus dosa umat manusia. Doa di Getsemani memperlihatkan bahwa Yesus pergi ke situ untuk benar-benar menyendiri dan tujuannya adalah untuk berdoa. Ia tidak bersembunyi atau melarikan diri dari tengah khalayak ramai. Itulah sebabnya ketika Yudas dan prajurit Romawi datang untuk menangkapNya, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu di dalam Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi inilah saat kamu, dan inilah kuasa kegelapan itu” (Luk.22:52b-53).

Yudas tahu Yesus setiap kali pergi ke situ untuk berdoa di malam hari, dan tentu ia pun pernah bersama Yesus ke situ untuk berdoa. Itulah sebabnya Yudas, yang keluar dari perjamuan malam itu, pergi kepada imam-imam kepala dan selanjutnya menjadi penunjuk jalan ke Getsemani, tempat Yesus berdoa.

Konteks doa Yesus itu menunjukka bahwa Getsemani atau Bukit Zaitun merupakan tempat di mana terbangun hubungan yang intim antara manusia dengan Tuhan, atau antara Yesus dengan Bapa-Nya. Dalam hubungan intim itu, Ia menyapa Tuhan sebagai Bapa dan menyerahkan seluruh hidupNya kepada kehendak Bapa. Getsemani adalah tempat berdoa dalam kesungguhan, dan itu dibuktikan dengan peluh Yesus yang meneteskan darah (Yun. haima). Malah Injil Markus menerangkan, dalam kesedihan hatiNya, Yesus merebahkan diriNya ke tanah dan berdoa (Mrk.14:35), sedangkan Matius menyebut Ia sujud dan berdoa (Mat26:39). Matius dan Markus bahkan memberi keterangan Yesus sampai tiga kali berdoa di malam itu. Artinya dalam berdoa, Yesus sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidupNya asalkan itu untuk dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dari situ kita bersepakat untuk memahami penyaliban Yesus bukan sebagai tindakan vatalisme melainkan penyerahan diri sebagai akta penebusan dosa, dan itu dijalaniNya dengan terlebih dahulu berdoa.

Rupanya ada keterangan tambahan yang secara implisit disampaikan Lukas tentang Getsemani sebagai tempat berdoa, dan di situ semua murid pernah pula berdoa bersama-sama dengan Yesus. Kesan itu diperoleh dari kata-kata Yesus kepada murid-muridNya “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk/22:46), namun doa-doa di Getsemai adalah doa pribadi bukan doa umum seperti biasa dilakukan dalam Bait Allah sesuai kuorum (10 laki-laki dewasa).

 

c.      Gunung sebagai tempat Yesus dikurbankan

Penting pada bagian ini kita memahami istilah “bukit pengorbanan”. Sebab dalam PL, bukit pengorbanan ada yang menjadi tempat penyembahan berhala, seperti bisa dibaca dalam Bilangan 33:52’ 1 Raja-raja 11:7, tetapi juga sebagai tempat penyembahan kepada Allah, dan yang biasa dilakukan para imam, seperti dalam 1 Samuel 10:5, 1 Raja-raja 3:2-3, dlsb. Ada akta persembahan korban yang dilaksanakan di situ, dan seperti itu pula kisah Elia di gunung Karmel di mana di sana ia harus bertarung bersama kuasa-kuasa baal (lihat penjelasan di atas).

Saya hendak menjelaskan itu untuk menunjuk ke bukit Golgota sebagai tempat di mana Yesus disalibkan. Bila “bukit pengorbanan” adalah tempat khusus para imam dan penyembah baal, maka golgota, saat penyaliban Yesus telah menjadi wilayah publik. Makna ini penting bagi kita untuk menegaskan bahwa pengorbanan Yesus di golgota adalah pengorbanan untuk menebus dosa publik atau dosa orang banyak yaitu umat manusia. Jadi bukit golgota sudah tidak lagi menjadi tempat yang menyeramkan, tetapi menjadi tempat yang dari sana berkat penebusan dosa diberi Tuhan. Seperti para imam mempersembahkan korban bakaran dari anak domba, maka di golgota, Yesus sendiri yang menjadi domba Allah bagi penebusan dosa.

Hal ini menerangkan bahwa setiap tempat yang didatangi Yesus atau suatu perbuatan yang dilakukanNya di suatu tempat telah menggeserakan fungsi keagamaan dari fungsi-fungsi yang sangat tertutup ke fungsi publik yang lebih luas dan terbuka. Mengikuti teori Buxton (2013), maka di golgota terjadi tindakan pembalikan/pembaruan hidup manusia secara menyeluruh. Di situ manusia berjumpa dengan TUHAN yang mengorbankan diriNya atau dengan Kristus yang tersalib, dan di situ relasi manusia-Tuhan yang hancur karena dosa dipulihkan kembali. Pengurbanan Yesus benar-benar menjadi akta pembalikan/pembaruan/penebusan bagi semua umat manusia. Itulah berkat dari bukit golgota, tempat di mana Kristus ada dan tersalib di sana.

  

d.      Gunung sebagai tempat Yesus mengutus murid-muridNya

Di rangkaian terakhir hidupNya di dunia, Yesus membawa murid-muridNya ke luar kota sampai dekat Betania. Bila dalam PL, gunung menjadi tempat diberinya hukum Taurat, maka dalam masa Yesus, gunung menjadi tempat dari sana semua murid mendapat tugas pengutusan untuk memberitakan Injil Kristus.

Malah perjumpaan di gunung tidak terjadi antara Tuhan dengan satu orang saja, melainkan antara Yesus dengan murid-muridNya. Kisah ini dicatat dalam Lukas dan Kisah Para Rasul (Luk.24:50-53; Kisah 1:6-11). Lagi-lagi hal ini memperlihatkan bahwa Yesus selalu mengalami perjumpaan dengan orang banyak dan dari perjumpaan itu yang dibutuhkan adalah apa yang harus dikerjakan atau dilakukan dalam hidup nyata, bukan sekedar mendengar pengajaranNya atau menghafal ayat-ayat taurat.

Peristiwa pengutusan itu penting sebab Yesus tidak berkarya lagi di dunia, tetapi para muridNya dan gereja yang meneruskan pekerjaan tersebut sebagai tugas utama di dunia karena tugas itu bersumber langsung dari Kristus. Di sini bukit menjadi simbol dari pelimpahan tanggungjawab namun di situ pula para murid diberi kuasa (Kisah 1:8) sebagai kekuatan yang memampukan mereka melakukan pekerjaan pemberitaan Injil di dunia.

 

PENUTUP

Dari catatan-catatan di atas kita data memahami bahwa dalam tradisi keagamaan Yahudi, gunung selalu didentikkan dengan tempat di mana Tuhan ada/berdiam, dan di situlah umat bisa mengalami perjumpaan khusus dengan Tuhan. Namun ada syaratnya, karena tidak semua orang bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan, kecuali orang itu dikhususkan oleh Tuhan.

Artinya dalam PL keagamaan dan aktifitas keagamaan seperti persembahan kurban menjadi sangat privat dan dilayani hanya oleh imam dan keluarganya. Umat hanya mengantar persembahan itu kepada imam dan selanjutnya imamlah yang melayankan ritus persebahan kurban itu kepada Tuhan. Di sisi lain, pengalaman gunung (mountain experience) menjadi penting khususnya dalam wujud perjumpaan seseorang dengan Tuhan, untuk itu di mana ada pengalaman itu, mereka selalu membuat mezbah sebagai tanda kehadiran Tuhan atau tanda peringatan bahwa di situ pernah terjadi suatu peristiwa khusus antara leluhur Israel dengan Allah. Di mana-mana tempat seseorang merasakan ada perjumpaan dengan Tuhan, ia membangun tanda pengingatan, sehingga kelak di kemudian hari, bila ia kembali ke situ atau anak cucunya melintasi daerah itu, mereka ingat bahwa Tuhan ada di situ dan menyertai mereka.

Dalam tradisi PB, di zaman Yesus, gunung atau daerah perbukitan menjadi area publik yang terbuka bagi semua orang, bahkan bagi aktifitas keagamaan seperti mengajar dan berdoa. Di masa ini, Bait Allah sudah menjadi tempat sakral di mana Tuhan berdiam di situ. Maka semua aktifitas keagamaan berlangsung di dalamnya, dan tidak lazim lagi dilaksanakan di luar Bait Allah.  Ruang sakral dan profan semakin tegas di sini, sebab Bait Allah adalah ruang sakral dan di luar itu adalah profane. Itulah sebabnya jika ada seseorang melakukan aktifitas keagamaan di luar Bait Allah, itu dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap taurat.

Yesus menggeserkan cara pemaknaan itu dengan memusatkan kehadiran dan kuasa Tuhan pada diriNya. Karena itu umat dapat berjumpa dengan Tuhan di mana saja, baik di Bait Allah maupun di tempat lain yang dipandang profan, termasuk di gunung. Malah Ia memilih gunung sebagai tempat untuk mengajar, dan dari situ semua bentuk praksis agama dalam wujud pelayanan kemanusiaan dilaksanakan secara terbuka tanpa dibatasi oleh aturan taurat yang selama ini membuat pelayanan kemanusiaan menjadi mandeg dan formal.

Jadi mengapa Yesus memilih bukit/gunung? Karena Ia menghendaki iman atau agama-agama berfungsi secara terbuka kepada kemanusiaan dan kemannusiaan itu adalah suatu hal yang harus diangkat derajatnya. Memahami ajaran agama adalah mutlak, tetapi menerapkannya adalah keharusan yang tidak bisa dielak.

Jadi jawaban teologis dari pertanyaan mengapa Yesus memilih bukit, yaitu karena di mana saja, ketika Kristus ada dan diberitakan, umat telah berjumpa dengan Tuhan. Siapa saja yang kita layani atas perintah pemberitaan injil dari Kristus, kita telah melayani Tuhan. Dan kita semua menerima berkat penebusan dosa yang dikerjakan Yesus dari tempat tinggi, di mana di situ Ia dimuliakan dan mendapat keagunganNya.

 

Tuhan memberkati kita semua!

 

Ambon, 22-24 Juli 2021

 

 (Catatan: Gambar-gambar dalam tulisan ini diambil dari www.google.com)

 

Daftar Bacaan

 

Mario Seiglie, dalam John Bald, dkk, (1988), The Bible and Archeology, Section 13-24, United Church of God, reprinted edition, 2002, Ohio

Norman K. Gottwald, (1987), The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, Philadelphia: Fortress Press

J.M. Houston, 1995, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1 A-L, Jakarta: Cempaka Putih

R.P. Marthin, 1995, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z, Jakarta: Cempaka Putih

Richard Buxton, October 11, 2013, Imaginary Greek Mountains, in The Journal of Hellenic Studies, Published online by Cambridge University Press, dapat juga dilihat pada https://www.youtube.com/watch?v=6yHU5ofgUMc, ditonton pada 22 Juli 2021, jam 21.17

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara