BER-TOBAT

(Catatan Refleksi Pembinaan Umat, Jemaat GPM Rumahtiga)

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

 

I. MEMAHAMI KATA BERTOBAT DALAM ALKITAB

 

A.      Perjanjian Lama

 

Tertulis dalam Kitab Yeremia 3:14a “Kembalilah, hai anak-anak yang murtad…” dan Yeremia 18:8 “tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka”; dua teks itu lahir dari konteks kenabian di abad ke-8, suatu masa yang ditandai oleh kejatuhan moral-etik dan rapuhnya sistem sosial-keagamaan yang cukup parah. Derita kemanusiaan tinggi dan orang-orang kecil di dasar piramida terus bertambah, sedangkan para elite di puncak piramida itu semakin mengerucut. Ada satu kata dalam bahasa Ibrani yang digunakan dengan pengertian yang sama, yaitu shuv (=kembalilah, 3:14a, dan bertobatlah, 18:8).

 

Dalam bahasa Ibrani, kata shuv/shub adalah jenis kata sifat dengan presuposisi atau tambahan partikel (awalan dan akhiran) untuk menegaskan maksud dari kata dasarnya, sehingga gaung maknanya lebih terasa, menggugah atau mengguncang sendi-sendi moral etik seseorang agar segera sadar, atau segera berbalik/kembali dari suatu perilaku yang buruk ke ranah etik, yang dalam tradisi Yahudi disebut “takut Tuhan” (Mzm. 78:34,35).

 

Kata shuv (Verba Ibrani שׁוּב) sendiri merupakan suatu kata yang sudah hidup dalam masa yang terdahulu, kata yang hidup dari zaman kuno masyarakat Israel Alkitab, dan berarti kembali, atau berbalik (dari suatu arah yang salah ke arah lain yang baik – turn back). Kata ini sering digunakan untuk beberapa kepentingan, seperti:

 

a.     Dalam hidup sesehari, untuk menunjuk pada jalan yang benar supaya tidak kesasar. Jadi “kembalilah” atau “berbaliklah” diserukan ketika seseorang sudah berjalan pada jalan yang salah. Sebagai masyarakat nomaden, kita bisa memahami makna penggunaannya dalam perjalanan suatu klen ketika mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (bd. Kejadian 31:3,13) – suatu jalan kembali ke tempat asal atau negeri leluhur, sebagai tempat yang telah dikuduskan Allah.

b.     Dalam relasi antarmanusia, kata itu digunakan secara figuratif untuk memberi pengertian agar segera mengubah perilaku atau tutur kata, artinya ada perilaku yang menyimpang dan sebab itu kata tersebut bermakna perintah etis, atau suatu ajaran etis (bd. Kejadian 42:24-25) – tentang tindakan Yusuf, yang didorong oleh belaskasih kepada saudaranya, rela menerima dan merangkul saudara-saudaranya.

c.     Dalam fungsi spiritual, kata itu pun menjadi gambaran figuratif agar umat kembali kepada Tuhan, karena mereka sudah berlaku murtad, berlaku jahat, dan tidak mau bertobat. Sebab itu diserukan agar umat segera “berbalik” dalam arti itu “bertobat” dari kemurtadannya dan percaya kepada Tuhan, artinya “tidak mengulangi lagi” kemurtadan itu (bd. Ayub 36:10; Mazmur 81:14).

d.     Penggunaan secara radikal dari kata ini juga dapat berarti “memperbaiki”, “menyegarkan”, “mengubahkan”; dan makna teologisnya ialah “berbalik atau mundur” (dari suatu cara hidup yang salah), mengusir pengaruh yang jahat, mengalahkan atau memukul mundur godaan sebab godaan/cobaan, menolak segala sesuatu yang (berefek) buruk. Karena itu bertobat adalah suatu tindakan berbalik secara radikal, dan efek puncak dari bertobat adalah kehidupan (bd. Malaekhi 3:18; 4:6; Yehezkiel 18:32). 

 

Menariknya ialah jika membaca teks PL, seruan bertobat selalu dialamatkan khusus kepada orang Israel, yang disebut atau menyebut dirinya umat pilihan Allah. Teks-teks kenabian merupakan referensi yang menampilkan seruan tersebut sehingga tugas kenabian dalam hal menyampaikan nubuat, pertobatan dijadikan sebagai dasar dari segala tindak kasih sayang Tuhan kepada umat. Dalam hukum Yahudi, terutama hukum-hukum perjanjian, syarat umat mendapati kasih Tuhan adalah apabila mereka melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. Tulisan panjang dalam Ulangan 28:1-46 dibangun dari perspektif pertobatan itu. Rumusan “Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di antara segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu:” (28:1-2) kemudian dibandingkan sebagai suatu kondisi kontras dengan pada 28:15-16: “Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan mencapai engkau”. 

 

Dalam tradisi kenabian, seruan bertobatlah menjadi gaya bahasa para nabi dan selalu dikaitkan dengan pesan TUHAN yang penting kepada umat.

§  Yesaya 31:6 – seruan “bertobatlah” dimaksudkan untuk memanggil umat kembali kepada TUHAN, sebab mereka telah berpaut mengandalkan kekuatan bangsa asing 

§  Yeremia 25:5 – seruan “bertobatlah” dimaksudkan agar umat memperbaiki kelakuannya sebab tanah di mana mereka hidup itu kudus dan tidak boleh dicemarkan oleh perbuatan mereka.

§  Yehezkiel 18:38; 33:11 – seruan “bertobatlah” merupakan suatu usaha memperbaiki kelakuan agar tidak menjadi hambatan (batu sandungan) dalam relasi dengan sesame dan dengan TUHAN, sebab bisa saja mereka mati. Karena itu dalam Yehezkiel 18:32, tujuan dari seruan “bertobatlah” agar mereka hidup.

 

Tradisi kenabian ini pun yang dipakai oleh Yohanes Pembaptis dalam Perjanjian Baru, seperti pada Matius 3:2, dan formulasi itu pun digunakan Yesus pada Matius 3:14, namun Yohanes Pembaptis dan Matius menambah referensi baru, yakni “kerajaan sorga sudah dekat”. Di situ bisa dipahami bahwa teks Matius dikemas di tengah menguatnya pengharapan akan Parousia sebagai masa di mana TUHAN menyelamatkan umat-Nya, sehingga perilaku etis adalah hal yang penting. Namun bila dilihat dari Markus 1:4, sebagai Injil tertua dan bahan yang digunakan oleh Matius, seruan Yohanes Pembapatis itu adalah “bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis” – ini referensi baru dalam tradisi kekristenan dalam konteks Markus, yang bermaksud untuk memberi tanda bagi komunitas Kristen dan mereka yang beragama Yahudi atau agama-agama Romawi (Zoroaster). Baptis dijadikan sebagai tanda pertobatan, atau terhisabnya seseorang ke dalam Kekristenan, dan ke dalam Kristus.

 

Bila dilihat dari tanda pertobatan, dan jika baptisan menjadi tanda pertobatan dalam tradisi kekristenan dalam konteks Markus tadi, maka rujukan tua ke dalam Perjanjian Lama juga menunjukkan ada tanda-tanda pertobatan  dengan jalan membuat tanda pendamaian (Ibr. kaparah – ingat Yom Kippur atau hari raya Kippur). Di sini kata “shuv” (bertobat) dijadikan kata benda (pertobatan, teshuvah) sehingga menunjuk pada suatu tindakan pendamaian. Referensi Imamat 16:1-34, pendamaian itu dikerjakan oleh imam yang dikuduskan TUHAN dengan lambang darah anak kambing jantan untuk maksud pentahiran. Dalam Perjanjian Baru, tanda itu adalah Kristus sendiri dengan jalan mati disalibkan (Markus 14:22-25).

 

B. Perjanjian Baru 

 

Kata Yunani metanoia (μετανοια – metanoia dan μετανοεω – metanoeô), berarti sama dengan kata Ibrani shuv/shub. Dalam tradisi PB, bertobat diartikan pula sebagai proses mengubah cara pandang, yaitu berbalik dari cara pandang lama yang sudah ada selama ini ke cara pandang baru yang lebih menyelamatkan. Jadi bertobat adalah juga usaha mengubah cara pandang seseorang untuk kebaikannya. Ini merupakan proses yang terjadi dari dalam diri, dan sebab itu lebih berkaitan dengan kesadaran, yang dalam tradisi liturgi gereja dihubungkan dengan tindakan “pengakuan dosa”. Jadi hasil pertobatan adalah perubahan pola pikir. Sebab itu bertobat membutuhkan ketenangan dan refleksi mendalam dari seseorang, tidak sekedar berjanji untuk berubah.

 

Menariknya dalam Lukas 17:3, kata metanoeo itu diartikan dengan istilah “menyesal” – dan jelas menunjuk pada suatu proses perenungan diri secara mendalam, setelah mengetahui kesalahan/dosanya, lalu muncullah penyesalan itu. Penyesalan akan melahirkan perubahan sikap. Sejurus dengan itu, dalam Ibrani 12:17, kata metanoia diterjemahkan “memperbaiki kesalahan” dan itu menjadi syarat hidup dalam kelimpahan berkat. Tindakan bertobat juga dihubungkan dengan perbuatan hidup orang-orang yang ingin mendapat belas kasih TUHAN/Kristus (bd.. Wahyu3:19). Dan saya kira masih banyak lagi referensi Perjanjian Baru lainnya, termasuk surat-surat Paulus yang perlu ditelaah untuk mengerti maksud dari bertobat itu. Pada lain kesempatan kita akan membicarakannya.

 

II. BENTUK SIKAP ORANG YANG BERTOBAT

 

Dari bacaan terhadap teks-teks Alkitab, saya dapat menyimpulkan bahwa bertobat itu bukan proses sekali jadi dan sekali saja. Pertobatan adalah proses iman, sebab itu bertobat harus didahului oleh iman. Tanpa iman, pertobatan itu palsu, sebaliknya oleh iman pertobatan itu membawa kepada kehidupan (Kisah 20:21; Roma 1:17).

 

Ada empat tahapan pertobatan:

a.     Datang kepada TUHAN dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Tindakan merendahkan diri artinya mengetahui keterbatasan kita, sebab itu di hadapan TUHAN kita kecil dan terbatas. Tetapi tindakan ini sekaligus menerangkan kita hanyalah ciptaan yang tidak lebih dari sang Pencipta. Sebab dosa sering dilakukan ketika kita merasa diri sama dengan TUHAN. Sebab itu dengan datang kepada Tuhan dan merendahkan diri di hadapan-Nya, kita kembali kepada citra kita sebagai ciptaan yang diciptakan TUHAN, kudus/baik (bd. Kejadian 1:26-31). Citra dasar manusia adalah “baik”, namun dosa membuat citra itu rusak, sehingga pertobatan adalah cara kembali memperbaiki citra diri tersebut. 

Dalam tradisi liturgi GPM, setiap orang yang datang beribadah adalah orang berdosa yang mengharapkan pengampunan dari TUHAN. Tindakan itu diaktakan melalui Pengakuan Dosa – di mana umat duduk sebagai simbol kerendahan dan penyesalannya bahwa ia telah jauh dari TUHAN, menyimpang dari jalan-Nya, berelasi buruk dengan sesama dan ciptaan TUHAN yang lain, dlsb (Lihat Formulir Pengakuan Dosa dalam Liturgi GPM).

b.     Mengaku kepada TUHAN apa kesalahan kita. Ini berarti pertobatan itu dilandasi oleh kejujuran. Kita yang tahu apa bentuk dosa/kesalahan yang sudah dilakukan, sebab itu kesalahan tersebut harus dibilang kepada TUHAN secara langsung. Memang Ia Mahatau tetapi pertobatan harus dilandasi oleh kejujuran. Dengan jujur menyebut apa dosa kita, maka kita tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk berbalik.

c.     Berjanji untuk tidak melakukan hal/kesalahan itu kembali. Bertobat berarti berbalik, dan proses berbalik itu artinya meninggalkan jalan lama dan kembali ke jalan baru yang menghidupkan. Ini butuh komitmen, kesetiaan, ketulusan, sebab tanpa itu maka tidak ada pertobatan melainkan istobat. 

d.     Mengenal TUHAN dengan benar, bahwa Ia adalah Allah yang Mahakasih, dan rela mengampuni setiap umat-Nya yang dengan jujur mengaku dosanya. Jadi kita harus maluhati kepada TUHAN jika melakukan dosa.

 

Bersambung

 

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara