Pendeta
Elifas Tomix Maspaitella
PENGANTAR
“Mengapa Yesus pergi ke bukit?” Bila
“bukit/gunung” dimaknai sebagai suatu lokasi geografis atau tempat tertentu
(keterangan tempat), dan apalagi ketika tempat itu sudah menjadi suatu lokasi
yang lazim didatangi/dikunjungi, atau berada tepat di jalur yang ramai, maka
pertanyaan itu biasa saja. Apalagi ketika kebiasaan pergi ke bukit disejajarkan
dengan kebiasaan orang-orang berwisata ke daerah perbukitan yang ramai dengan
pemandangan laut yang indah.
Dalam Perjanjian Baru (PB) kita
menemukan ragam cerita Yesus bersama para muridNya berjalan/mengunjungi berbagai
tempat, rumah warga ~seperti rumah Lazarus, Petrus, Simon penyamak kuli, dlsb,
Bait Alah, menyeberangi danau, dan berjumpa dengan banyak orang dari berbagai
lapisan sosial, termasuk orang-orang sakit yang diisolasi di daerah pinggiran
desa/kota.
Bahkan beberapa kali dalam PB, Yesus
bermaksud mencari tempat yang sepi di daerah perbukitan untuk beristirahat (bd.
Mark. 6:31-32), walau ternyata setiba di situ, Ia sudah ditunggui oleh banyak
orang, dan selama mereka beristirahat di situ, orang-orang banyak itu tidak
beranjak kembali ke kampung mereka. Itulah kondisi yang terjadi dalam kisah mujizat
Yesus memberi makan lima ribu orang (Mark.6:30-44). Pada kesempatan lainnya,
Yesus memilih pergi ke tempat yang sepi, termasuk daerah pegunungan/perbukitan
untuk berdoa, dan Ia pergi bersama beberapa orang murid saja, seperti dalam
kisah Yesus dimuliakan di atas gunung (bd. Mat.17:1-13; Mark.9:2-13;
Luk.9:28-36) atau di taman Getsemani (Mat. 26:36-46; Mrk.14:32-42; Luk.
22:39-46).
Mario
Seiglie (1988:18) menerangkan bahwa beberapa kali Yesus
dan murid-muridNya pergi ke daerah dataran tinggi/pegunungan karena kondisi
cuaca yang tidak bersahabat di sekitar Kapernaum, dan banyak nelayan tidak bisa
melaut. Karena itu mereka mencari tempat yang tinggi untuk beristirahat dalam
keadaan cuaca tersebut. Hal itu terjadi pada keadaan dan wilayah tertentu saja.
Topografi lingkungan tempat tinggal/berkaryanya Yesus adalah kawasan pesisir
danau dan perbukitan. Norman Gottwald
(1987) membantu kita memahami situasi lingkungan Israel Alkitab sebagai
daerah berbukit, tanah karang, dan kawasan pegunungan dari timur ke utara yang
terbentuk juga dari sedimentasi. Keterangan lanjutannya bahwa daerah Palesina
sendiri merupakan daerah yang terbentuk dari pesisir di Barat ke pegunungan di
bagian Timur. Daerah pesisirnya yang rendah/landai, kemudian kawasan pegunungan
atau dataran tinggi yang dikenal dengan sebutan Cisjordan, kawasan lembah di
mana terdapat sungai Yordan yang mengalir ke Laut Mati, dan pegunungan atau
dataran tinggi di Timur, daerah Transjordan.
Dengan keterangan itu berarti sampai
di zaman Yesus, topografi lingkungan Israel adalah seperti itu, sehingga
mengapa Ia ke daerah perbukitan bisa terjawab. Namun bila pertanyaan tadi ditempatkan
dalam posisi dan makna tafsirnya dalam Injil atau kitab suci PB, sudah tentu
ada makna teologis yang mesti dikaji karena mengandung pesan khusus di dalam
pertanyaan tersebut.
Ada hal yang menarik dan menantang,
dan membuat tulisan ini harus dibuat, ialah karena pertanyaan tersebut
merupakan hasil membaca Alkitab dari seorang warga gereja, dan tentu dengan
membuat penafsiran tertentu atas teks-teks Injil yang dibaca seputar kisah
pelayanan Yesus. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini disusun, sebab melaluinya
pun saya berkesempatan belajar sesuatu dari kisah-kisah yang selama ini dibaca
secara datar oleh sebagian besar di antara kita. Ini pun membuktikan bahwa apa
apa pun yang dikatakan dan dilakukan Yesus, ke mana ia pergi atau berada, dari
mana Ia datang, semuanya memiliki makna imaniah yang hakiki dalam refleksi dan
renungan kepercayaan/keagamaan kita sebagai orang Kristen.
GUNUNG
DALAM ASPEK GEOGRAFIS DAN KOSMOLOGI KEPERCAYAAN ISRAEL ALKITAB
Ada beberapa gunung yang penting dalam
sejarah Israel Alkitab, antara lain gunung
Karmel (1 raj.18:9-42) tempat di mana Elia mempersembahkan korban kepada
Allah melawan penyembahan Baal. Gunung ini sering menjadi perlambang perlawanan
kuasa-kuasa Baal dengan Allah; gunung
Ebal (Ul.27:4-10) sebagai tempat Musa mendirikan mezbah sebagai tanda Israel
masuk tanah Kanaan dan mewajibkan menuliskan pada batu-batu itu segala
perkataan Taurat; gunung Gerizim,
yang dalam PB (Yoh.4:20) menjadi pokok debat Yesus dengan perempuan Samaria
tentang tempat menyembah Allah, karena orang Samaria tahu bahwa dahulu nenek
moyang mereka menyembah Allah di gunung Gerizim, sedangkan Yesus menyebut
Yerusalem sebagai tempatnya; gunung
Moria, tempat di mana iman Abraham diuji untuk mempersembahkan Ishak
anaknya (Kej. 22:2); gunung Sinai,
tempat di mana Musa untuk berjumpa dengan Tuhan dan menerima 10 Hukum Tuarat
(Kel. 19-20); gunung Nebo (Pisgah),
tempat di mana Musa hanya bisa berdiri dan memandang Kanaan dari kejauhan (Ul.
34:1).
Dalam
alam pikiran Israel Alkitab, atau kosmologinya, gunung (Ibr. giv’a– dalam Bahasa Yunani disebut bounos, oros) menerangkan tempat tinggi,
namun dalam tradisi teks Alkitab (PL) diilustrasikan sebagai “bungkuk,
bongkol/bonggol, punuk” seperti bongkol unta, artinya daerah perbukitan itu
adalah tempat yang lebih tinggi dari lembah atau dataran rendah di bawahnya.
Karena itu daerah perbukitan seperti ini menjadi sumber ekonomi karena tanah
yang subur dan banyak ditumbuhi tanaman-tanaman produktif (Gottwald, 1987; J.M. Houston, 1995). Sedangkan istilah har lebih menunjuk pada gunung tunggal
yang berdiri sendiri di tengah tanah datar yang luas, dan sulit dijangkau
sehingga sering menjadi tempat persembunyian (Hak. 6:2; 1 Sam.14:21-22; Mzm.
68:15,22; Mat. 24:16) menghindari pengejaran atau rencana pembunuhan. Biasanya
gunung ini tidak atau jarang dikunjungi, semacam tempat angker. Hal itu pernah
dilakukan Daud sewaktu menghindari pengejaran Saul (1 Sam.23:14).
Gunung dalam arti itu pun yang dalam
Bahasa Yunani disebut oros. Richard Buxton (1992:2) mendefenisikan oros
(gunung) sebagai tempat tinggi di luar kawasan pemukiman dan areal
perkebunan, dan berbeda dari tempat bekerja atau kawasan budidaya, dan dalam
konteks masyarakat Timur Tengah, lebih condong bermakna padang gurun sebagai
lokasi yang kering, tidak subur, dan berbeda dari kawasan budidaya pertanian
yang subur sepanjang sungai Nil.
Dalam kepercayaan orang Israel
Alkitab, gunung atau tempat yang tinggi merupakan lokasi-lokasi kultus yang
penting, sebab dipandang suci sebagai tempat di mana Tuhan berdiam. Perjumpaan
dengan Tuhan dipahami terjadi di tempat-tempat yang tinggi, dan pada tempat itu
Tuhan menyatakan diriNya hanya kepada mereka yang sudah dikhususkan untuk itu. Pada
gunung-gunung yang penuh tantangan sekali pun, malah menjadi simbol iman dan kesucian
hati, sehingga jika ada yang berjumpa dengan Tuhan di situ, mereka adalah
orang-orang yang memang dikhususkan. Elia adalah salah seorang nabi yang dapat
ditempatkan dalam konteks itu selain Musa dan Harun.
Dalam tradisi sastra hikmat, seperti
tampak dalam Kitab Mazmur atau beberapa bagian Kitab Yesaya dan Mikha, gunung
digambarkan seumpama menari dan bersorak, melompat-lompat memuji Tuhan
(Mzm.98:8, 114:4,6; Yes.44:23, 49:13; Mi. 6:2). Pada makna ini, gunung
dilukiskan juga sebagai tempat beribadah atau tempat yang dikehendaki Tuhan
agar umat menyembahNya, sehingga tidak jarang disebut sebagai gunung Tuhan.
Dalam Mazmur 24:3-4, telah ditetapkan syarat bagi orang yang dapat/pantas ke
situ, yaitu yang bersih tangannya dan
murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak
bersumpah palsu.
Itu yang dimaksudkan Buxton dengan gunung tanpa nama (imaginary mountain), yang meliputi tiga
aspek:
Pertama, daerah
di luar dan liar (berbahaya). Karena berada di luar, maka gunung itu adalah
tempat bagi orang-orang luar, dan tidak jarang para begal yang sering
menghadang para pedagang/saudagar di perlintasan/tengah jalan, tetapi juga para
gembala yang harus mencari tempat yang jauh dan luas, subur untuk
menggembalakan ternak mereka, atau yang sedang dalam perlintasan ke suatu
tempat, dan memilih bermalam di situ. Di sini para gembala sering bertarung
dengan binatang buas dan para bandit, guna melindungi ternak mereka.
Dua, gunung
sebagai tempat pertama/asal tempat tinggal pertama manusia (Yeh. 28:13-14), dan
di situ Tuhan telah menyediakan segala sesuatu secara berlimpah (bd.
Kej.2:10-14) dan terdapat air yang mengalir dengan limpahnya, serta digambarkan
sebagai gunung kudus Allah.
Tiga,
gunung sebagai tempat pembalikan, yang menggambarkan ada
proses pembalikan atau perubahan/pertobatan yang terjadi dalam perjumpaan
khusus dengan Tuhan. Kisah Abraham mempersembahkan Ishak (Kej. 22:1-19) atau
mimpi Yakub (Kej. 28:10-22), merupakan dua kisah yang memperlihatkan ada
semacam metamorfosa, perubahan dari motiv awal ke suatu motiv baru dan
perubahan/pembalikan itu terjadi karena tindakan Tuhan secara langsung. Namun
dalam arti ini pun, gunung menunjukkan pada tempat di mana jarak yang jauh
antara Tuhan dengan manusia tidak ada lagi. Dialog malaikat dengan Abraham,
atau malaikat yang turun naik tangga yang menyambung bumi dan langit adalah
ilustrasi dari hal tersebut.
Pada ketiga aspek itu, gunung menjadi
suatu tempat yang khusus dalam cerita pengalaman kehidupan dan iman orang
Israel. Ada semacam mountain experience –
pengalaman yang terjadi di gunung, sehingga tidak jarang kita membaca nama
satu gunung di mana terjadi beberapa peristiwa penting di situ. Bahkan Yakub
digambarkan dua kali berada di pegunungan El-Betel, dan di tempat yang sama ia
mengalami pengalaman yang berbeda. Pertama kali ketika ia melarikan diri dari
Esau (Kej.28:10-22), dan kali kedua ketika ia berdamai lagi dengan Esau dan
pergi bersama istri-istri, anak-anak dan segala hamba serta ternaknya (Kej.
35:1-15).
YESUS MEMILIH KE
BUKIT
Dalam PL dan PB, gunung dipahami sebagai
tempat yang dipilih oleh Tuhan atau tempat yang istimewa, bukan sekedar sebagai
tempat perjumpaan antara Tuhan dengan manusia, melainkan di situ berlangsung
pula peristiwa-peristiwa sakral yang menjadi bagian dari cerita keagamaan
sepanjang masa. Abraham mengadapi suatu situasi khusus dalam perjumpaannya
dengan Tuhan, di mana ia harus mempersembahkan Ishak, anak yang dijanjikan
kepadanya. Musa mengalami hal serupa, ketika pertama mendapat tugas pengutusan
untuk membawa orang Israel keluar dari Mesir, dan juga menerima 10 Hukum
Taurat. Yesus memilih bukit untuk berkhotbah dan berdoa.
Sebagai tempat yang istimewa, jika di
situ ada perjumpaan manusia dengan Tuhan, maka jelas bahwa tidak semua orang
mengalaminya. Itulah sebabnya disebut “gunung Tuhan” dan dalam tradisi PL,
hanya mereka yang bersih tangannya dan
murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak
bersumpah palsu (Mazmur 24:3-4).
Artinya tempat itu (=gunung) adalah
kudus. Di situlah kita bisa memahami perintah Tuhan kepada Musa untuk
menanggalkan kasutnya (Kel.3:5). Tempat di mana Tuhan berjumpa dengan manusia
adalah tempat terpilih, dan tidak semua orang mengalami/ menyaksikannya. Itulah
pula alasan mengapa Yesus hanya mengajak beberapa murid untuk menyertainya ke
gunung untuk berdoa (bd. Mat.17:1-13; Mark.9:2-13; Luk.9:28-36). Dari situ kita
belajar tentang ketaatan atau orang yang taat, sebagai orang-orang yang khusus
mengalami perjumpaan dengan Tuhan di tempat yang dipilihNya. Perjumpaan itu
terjadi karena adanya suatu relasi yang intim antara Tuhan dengan manusia,
namun walau Ia berjumpa dengan orang-orang yang dipilihNya, tetapi tujuan dari
perjumpaan itu tdak untuk kepentingan personal melainkan untuk tindakan
penyelamatan kepada seluruh umat.
Artinya gunung menjadi tempat Tuhan
mendeklarasikan penyelamatanNya kepada semua umat manusia, atau tempat dari
mana Tuhan menurunkan segala perintahNya kepada umat manusia. Ini bisa kita
pahami dari kisah Tuhan memanggil dan mengutus Musa membawa Israel keluar dari
penindasan Mesir (Kel.3:1-4:17), atau Tuhan memberi 10 Hukum Taurat kepada Musa
(Kel.20:1-17) atau penyaliban Yesus (Mat.27:32-44; Mrk. 15:21-32; Luk.23:26,33-43;
Yoh.19:17-24) dan peristiwa Yesus terangkat ke surga (Mat.28:16-20). Sejarah
penyelamatan merupakan inti dari perjumpaan tersebut, dan gunung menjadi simbol
dari kekuasaan Allah Yang Mahatinggi sebagai Allah yang membebaskan,
menyelamatkan dan menghapuskan dosa-dosa umat.
Di masa Yesus, fungsi gunung mengalami
semacam transformasi. Saya mencatat empat (4) bentuknya, yaitu:
a. Gunung sebagai tempat Yesus
mengajar/berkhotbah
Tentang ini baiklah
saya fokus saja pada Matius 5:1 – setting tempat Yesus berkhobah di bukit (Yun. oros – lihat penjelasan Richard Buxton
di atas). Cerita ini berlangsung di daerah Galilea, atau tepatnya di
Kapernaum (bd. Mat. 4:12). Dalam catatan
arkeologi John Laughlin, professor
Agama di Averett College, Denvile, yang berpartisipasi dalam penggalian di
Kapernaum, disebutkan: “dapat diketahui bahwa Kapernaum adalah sebuah desa
kecil di tepi danau Galile dengan populasi tidak lebih dari 1.000 orang.
Dari beberapa
bangunan yang ditemukan, pakaian, dan batu-batu besar yang rapi tersusun,
disimpulkan bahwa di zaman Yesus, Kapernaum adalah desa yang mengalami
pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Masyarakat di sana adalah para nelayan dan
petani karena lahannya yang subur (Seiglie,
1988: 19).
Di Kapernaum juga tinggal beberapa pejabat, dan mereka
menempati rumah-rumah yang bagus, dengan dinding batu yang rapi tersusun
(dipelester). Ini dapat disimpulkan dari cerita Lukas 7:1-10, ketika seorang
perwira di Kapernaum berjumpa Yesus untuk
meminta kesembuhan kepada hambanya.
Ada pula beberapa Sinagoge sebagai
tempat ibadah orang Yahudi, dan dalam zaman Yesus, Ia berulang kali ke Sinagoge
itu untuk beribadah. Di daerah Galilea itu
Yesus mengajar dari satu Sinagoge ke Sinagoge lainnya, dan orang dari
berbagai tempat, seperti Dekapolis, Yerusalem dan Yudea, datang ke situ untuk
mendengar pengajaranNya (Mat.4:23-25).
Intensitas Yesus mengajar di situ dan
keberadaan orang banyak yang mengikutiNya merupakan salah satu alasan Yesus
pergi ke bukit, dan mengajar di sana. Pada konteks ini artinya Synagoge tidak
dapat menampung orang banyak, sedangkan Yesus harus mengajar mereka. Dengan
kata lain, beralih dari Sinagoge ke bukit sebenarnya Yesus melakukan suatu
transformasi yaitu membuat bukit sebagai tempat sekuler, area publik di mana
fungsi keagamaan bisa berlangsung. Didakhe atau pengajaran agama tidak harus
terkurung dalam ruang-ruang sakral yang tertutup melainkan harus dijumpakan
dalam ruang sosial yang lebih terbuka. Itu yang menjadi alasan mengapa Yesus
mengajar di bukit dan tidak menggubris hukum agama atau praktek guru-guru
Yahudi yang mengajar di Sinagoge.
Khotbah di Bukit dalam teks Matius
adalah suatu kisah khotbah terpanjang dalam satu moment Yesus mengajar orang
banyak. Mulai dari Ucapan Bahagia (5:1-12), ilustrasi garam dan terang dunia
(5:13-16). Yesus dan Taurat (5:17-48), hal memberi sedekah (6:1-4), hal berdoa
(6:5-15), hal berpuasa (6:16-18), hal mengumpulkan harta (6:19-24), hal
kekuatiran (6:25-34), hal menghakimi (7:1-5), hal yang kudus dan berharga
(7:6), hal pengabulan doa (7:7-11), jalan yang benar (7:12-14), hal pengajaran
yang sesat (7:15-23), dua macam dasar (7:24-27). Hal ini memperlihatkan bahwa
materi pengajaran (didache) telah
berubah, dari membaca dan mengulangi Taurat ke ajaran-ajaran etika baru, etika
sosial, atau praktek sosial agama.
Gunung menjadi ruang pengajaran agama
yang bersifat terbuka, suatu ruang publik/sosial. Dengan mengajar di bukit,
Yesus menjadikan tempat itu sebagai ruang pengajaran agama yang bersifat umum/terbuka,
yang bisa didatangi oleh siapa saja. Gunung jelas berbeda dari sinagoga, karena
tidak ada pembatasan orang di situ, dan siapa saja bebas mendengar pengajaran
Yesus. Orang dari berbagai tempat, suku,
bisa datang ke situ untuk tujuan yang sama yaitu mendengar pengajaran Yesus.
Artinya manusia yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan di gunung sangat banyak,
berasal dari lapisan sosial yang sangat bervariasi, dan dari kelompok yang
berbeda-beda. Perjumpaan dengan Tuhan tidak lagi menjadi sesuatu yang privat,
dan Tuhan tidak lagi menunjukkan dirinya dengan cara yang mistis, khusus kepada
orang tertentu. Ia memperkenalkan diriNya secara terbuka kepada khalayak umum.
Hal itu berbeda dari apa yang dilakukan
para guru Yahudi yang mengajar pada kelas-kelas khusus dengan pengelompokkan
murid dalam batasan usia tertentu di Sinaoga. Dengan membawa ruang pengajaran
keluar dari Sinagoga ke gunung, Yesus telah melakukan suatu pembaruan dalam
tradisi didaktis (pengajaran) Yahudi. Apalagi Ia tidak saja mengajar, melainkan
melakukan berbagai hal lai secara praksis, yaitu menyembuhkan orang-orang
sakit, dan kisah itu terjadi setelah Ia mengajar orang banyak dari turun dari
gunung, yaitu menyembuhkan orang yang sakit kusta (8:1-4), menyembuhkan hamba
perwira di Kapernaum (8:5-13), menyembuhkan ibu mertua Petrus (8:14-17).
Kisah penyembuhan tersebut
memperlihatkan bahwa Yesus melakukan transformasi fungsi keagamaan dari yang
ekslklusif/tertutup dan didaktis (mengajar/berkhotbah), ke suatu fungsi yang
lebih terbuka dan praksis (menyembuhkan orang sakit).
b.
Gunung
sebagai tempat Yesus berdoa
Beberapa kali Yesus pergi ke
gunung/bukit untuk berdoa. Taman Getsemani adalah tempat doa Yesus yang
monumental, karena di situlah Dia ditangkap dan kemudian disalibkan. Tentang tempat
itu, Matius dan Markus sama-sama menyebut “suatu tempat yang bernama Getsemani”
(Mat.26:36; Mrk.14:32), sedangkan Lukas menyebut tempat itu “bukit Zaitun (Luk.22:39)
dan berada di luar kota. Tepatnya taman Getsemani itu terletak di kaki bukit Zaitun,
dan Yesus sudah sering kali ke situ untuk berdoa.
Lalu
pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid-Nya
juga mengikuti Dia (Luk. 22:39)
Artinya, bukan untuk satu kali Ia
membawa beberapa muridNya ke situ untuk berdoa melainkan sudah sering, setiap
kali Ia datang ke Yerusalem, Ia akan pergi ke taman di bukit Zaitun untuk
berdoa. Karena keseringan itu pula maka Yudas tahu persis jika Yesus pada malam
hari akan pergi ke situ (Luk.22:47-48).
Mengapa Yesus berdoa? Yesus adalah
orang Yahudi yang bertumbuh dalam akar-akar keyahudian yang ketat sejak
kanak-kanaknya. Ada dua tradisi Yahudi untuk kanak-kanak yang dijalani juga
oleh Yesus.
Pertama, Brit Milah – yaitu
tradisi sunat kepada bayi saat genap berumur delapan hari (Luk.2:21-40). Diperkirakan
saat itu pula Ia dberi nama Yesus menurut tradisi Yahudi, sebagai nama yang
sudah dijanjikan terlebih dahulu oleh Tuhan kepada Yusuf dan Maria (Mat.1:21; Luk.1:31).
Kedua, Bar mitswah dan bat mitswah – yaitu
tradisi masa peralihan dari kanak-kanak ke masa akil balig. Upacara ini
dijalani anak laki-laki berumur tigabelas (13) tahun dan anak perempuan berimur
duabelas (12) tahu. Sebagai tanda akil balig, anak dituntun berdoa dan
melantunkan ayat-ayat Taurat. Catatan Lukas 2:41-52 tentang Yesus bersoal jawab
dengan imam-iman merupakan bagian dari tahapan ini sebagai suatu tahapan
pendidikan.
Karena sejak kecil telah dibentuk
dalam tradisi seperti itu, sudah tentu Yesus pun paham benar dan setia
menjalankan tradisi doa Yahudi. Dalam ritus agama Yahudi, ada tiga jam doa
dalam sehari, yaitu sembahyang pagi (syaharit),
sembahyang siang (minha) dan
sembahyang malam (musaf). Orang Yahudi
biasa berdoa dengan cara berdiri (amidah),
atau menaikkan delapan belas doa (syemoneh
esreh). Umumnya doa-doa dalam agama Yahudi adalah doa pribadi, walau
beberapa orang lebih suka berdoa secara bersama-sama di Bait Allah, terutama
antara 10 orang laki-laki dewasa, karena syarat doa bersama adalah ketika sudah
cukup minyan (quorum).
Doa Yesus di Getsemani berlangsung
pada malam hari, yaitu setelah selesai jamuan malam (Luk.22:24-38), dan pada
malam itu ia pergi bersama murid-muridNya untuk berdoa di Getsemani seperti
biasa Ia lakukan.
Mengapa berdoa? Tentu itu sudah menjadi
kebiasaan Yesus atau telah menjadi bagian dari hakekat diriNya sendiri. Dan
gunung atau taman dikaki gunung sebagai tempat doanya memang memperlihatkan
pada sesuatu yang jua tidak lazim dalam tradisi Yahudi, apalagi jika dia
berkali-kali berdoa di situ. Itulah sebabnya banyak ahli Perjanjian Lama yang
menyebut Yesus membentuk suatu madzab baru dalam keyahudian yaitu khavurah (R.P. Martin, 1995:248).
Doa Yesus di Getsemani merupakan doa
yang sangat luar biasa, sebab di situlah gambaran total kemanusiaanNya muncul. Itu
adalah juga doa penyerahan diriNya kepada Bapa, karena Ia harus menjalani
penyaliban sebagai cara yang ditentukan Bapa untuk menebus dosa umat manusia. Doa
di Getsemani memperlihatkan bahwa Yesus pergi ke situ untuk benar-benar
menyendiri dan tujuannya adalah untuk berdoa. Ia tidak bersembunyi atau
melarikan diri dari tengah khalayak ramai. Itulah sebabnya ketika Yudas dan
prajurit Romawi datang untuk menangkapNya, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Sangkamu
Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung? Padahal tiap-tiap
hari Aku ada di tengah-tengah kamu di dalam Bait Allah, dan kamu tidak
menangkap Aku. Tetapi inilah saat kamu, dan inilah kuasa kegelapan itu” (Luk.22:52b-53).
Yudas tahu Yesus setiap kali pergi ke
situ untuk berdoa di malam hari, dan tentu ia pun pernah bersama Yesus ke situ
untuk berdoa. Itulah sebabnya Yudas, yang keluar dari perjamuan malam itu,
pergi kepada imam-imam kepala dan selanjutnya menjadi penunjuk jalan ke Getsemani,
tempat Yesus berdoa.
Konteks doa Yesus itu menunjukka bahwa
Getsemani atau Bukit Zaitun merupakan tempat di mana terbangun hubungan yang
intim antara manusia dengan Tuhan, atau antara Yesus dengan Bapa-Nya. Dalam hubungan
intim itu, Ia menyapa Tuhan sebagai Bapa dan menyerahkan seluruh hidupNya
kepada kehendak Bapa. Getsemani adalah tempat berdoa dalam kesungguhan, dan itu
dibuktikan dengan peluh Yesus yang meneteskan darah (Yun. haima). Malah Injil Markus menerangkan, dalam kesedihan hatiNya, Yesus
merebahkan diriNya ke tanah dan berdoa (Mrk.14:35), sedangkan Matius menyebut Ia
sujud dan berdoa (Mat26:39). Matius dan Markus bahkan memberi keterangan Yesus
sampai tiga kali berdoa di malam itu. Artinya dalam berdoa, Yesus
sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidupNya asalkan itu untuk dan sesuai
dengan kehendak Tuhan. Dari situ kita bersepakat untuk memahami penyaliban Yesus
bukan sebagai tindakan vatalisme melainkan penyerahan diri sebagai akta
penebusan dosa, dan itu dijalaniNya dengan terlebih dahulu berdoa.
Rupanya ada keterangan tambahan yang
secara implisit disampaikan Lukas tentang Getsemani sebagai tempat berdoa, dan
di situ semua murid pernah pula berdoa bersama-sama dengan Yesus. Kesan itu
diperoleh dari kata-kata Yesus kepada murid-muridNya “Mengapa kamu tidur? Bangunlah
dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk/22:46), namun
doa-doa di Getsemai adalah doa pribadi bukan doa umum seperti biasa dilakukan
dalam Bait Allah sesuai kuorum (10 laki-laki dewasa).
c. Gunung sebagai tempat Yesus
dikurbankan
Penting pada bagian ini kita memahami
istilah “bukit pengorbanan”. Sebab dalam PL, bukit pengorbanan ada yang menjadi
tempat penyembahan berhala, seperti bisa dibaca dalam Bilangan 33:52’ 1 Raja-raja
11:7, tetapi juga sebagai tempat penyembahan kepada Allah, dan yang biasa
dilakukan para imam, seperti dalam 1 Samuel 10:5, 1 Raja-raja 3:2-3, dlsb. Ada akta
persembahan korban yang dilaksanakan di situ, dan seperti itu pula kisah Elia
di gunung Karmel di mana di sana ia harus bertarung bersama kuasa-kuasa baal (lihat
penjelasan di atas).
Saya hendak menjelaskan itu untuk
menunjuk ke bukit Golgota sebagai tempat di mana Yesus disalibkan. Bila “bukit
pengorbanan” adalah tempat khusus para imam dan penyembah baal, maka golgota,
saat penyaliban Yesus telah menjadi wilayah publik. Makna ini penting bagi kita
untuk menegaskan bahwa pengorbanan Yesus di golgota adalah pengorbanan untuk
menebus dosa publik atau dosa orang banyak yaitu umat manusia. Jadi bukit
golgota sudah tidak lagi menjadi tempat yang menyeramkan, tetapi menjadi tempat
yang dari sana berkat penebusan dosa diberi Tuhan. Seperti para imam
mempersembahkan korban bakaran dari anak domba, maka di golgota, Yesus sendiri
yang menjadi domba Allah bagi penebusan dosa.
Hal ini menerangkan bahwa setiap
tempat yang didatangi Yesus atau suatu perbuatan yang dilakukanNya di suatu
tempat telah menggeserakan fungsi keagamaan dari fungsi-fungsi yang sangat
tertutup ke fungsi publik yang lebih luas dan terbuka. Mengikuti teori Buxton (2013), maka di golgota terjadi tindakan
pembalikan/pembaruan hidup manusia secara menyeluruh. Di situ manusia berjumpa
dengan TUHAN yang mengorbankan diriNya atau dengan Kristus yang tersalib, dan
di situ relasi manusia-Tuhan yang hancur karena dosa dipulihkan kembali. Pengurbanan
Yesus benar-benar menjadi akta pembalikan/pembaruan/penebusan bagi semua umat
manusia. Itulah berkat dari bukit golgota, tempat di mana Kristus ada dan
tersalib di sana.
d. Gunung sebagai tempat Yesus mengutus
murid-muridNya
Di rangkaian terakhir hidupNya di
dunia, Yesus membawa murid-muridNya ke luar kota sampai dekat Betania. Bila
dalam PL, gunung menjadi tempat diberinya hukum Taurat, maka dalam masa Yesus,
gunung menjadi tempat dari sana semua murid mendapat tugas pengutusan untuk
memberitakan Injil Kristus.
Malah perjumpaan di gunung tidak
terjadi antara Tuhan dengan satu orang saja, melainkan antara Yesus dengan
murid-muridNya. Kisah ini dicatat dalam Lukas dan Kisah Para Rasul (Luk.24:50-53;
Kisah 1:6-11). Lagi-lagi hal ini memperlihatkan bahwa Yesus selalu mengalami
perjumpaan dengan orang banyak dan dari perjumpaan itu yang dibutuhkan adalah apa
yang harus dikerjakan atau dilakukan dalam hidup nyata, bukan sekedar mendengar
pengajaranNya atau menghafal ayat-ayat taurat.
Peristiwa pengutusan itu penting sebab
Yesus tidak berkarya lagi di dunia, tetapi para muridNya dan gereja yang
meneruskan pekerjaan tersebut sebagai tugas utama di dunia karena tugas itu
bersumber langsung dari Kristus. Di sini bukit menjadi simbol dari pelimpahan
tanggungjawab namun di situ pula para murid diberi kuasa (Kisah 1:8) sebagai
kekuatan yang memampukan mereka melakukan pekerjaan pemberitaan Injil di dunia.
PENUTUP
Dari catatan-catatan di atas kita data
memahami bahwa dalam tradisi keagamaan Yahudi, gunung selalu didentikkan dengan
tempat di mana Tuhan ada/berdiam, dan di situlah umat bisa mengalami perjumpaan
khusus dengan Tuhan. Namun ada syaratnya, karena tidak semua orang bisa
mengalami perjumpaan dengan Tuhan, kecuali orang itu dikhususkan oleh Tuhan.
Artinya dalam PL keagamaan dan
aktifitas keagamaan seperti persembahan kurban menjadi sangat privat dan
dilayani hanya oleh imam dan keluarganya. Umat hanya mengantar persembahan itu
kepada imam dan selanjutnya imamlah yang melayankan ritus persebahan kurban itu
kepada Tuhan. Di sisi lain, pengalaman gunung (mountain experience) menjadi penting khususnya dalam wujud
perjumpaan seseorang dengan Tuhan, untuk itu di mana ada pengalaman itu, mereka
selalu membuat mezbah sebagai tanda kehadiran Tuhan atau tanda peringatan bahwa
di situ pernah terjadi suatu peristiwa khusus antara leluhur Israel dengan Allah. Di mana-mana tempat seseorang merasakan
ada perjumpaan dengan Tuhan, ia membangun tanda pengingatan, sehingga kelak di
kemudian hari, bila ia kembali ke situ atau anak cucunya melintasi daerah itu,
mereka ingat bahwa Tuhan ada di situ dan menyertai mereka.
Dalam tradisi PB, di zaman Yesus,
gunung atau daerah perbukitan menjadi area publik yang terbuka bagi semua
orang, bahkan bagi aktifitas keagamaan seperti mengajar dan berdoa. Di masa
ini, Bait Allah sudah menjadi tempat sakral di mana Tuhan berdiam di situ. Maka
semua aktifitas keagamaan berlangsung di dalamnya, dan tidak lazim lagi
dilaksanakan di luar Bait Allah. Ruang sakral
dan profan semakin tegas di sini, sebab Bait Allah adalah ruang sakral dan di
luar itu adalah profane. Itulah sebabnya jika ada seseorang melakukan aktifitas
keagamaan di luar Bait Allah, itu dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran
terhadap taurat.
Yesus menggeserkan cara pemaknaan itu
dengan memusatkan kehadiran dan kuasa Tuhan pada diriNya. Karena itu umat dapat
berjumpa dengan Tuhan di mana saja, baik di Bait Allah maupun di tempat lain
yang dipandang profan, termasuk di gunung. Malah Ia memilih gunung sebagai
tempat untuk mengajar, dan dari situ semua bentuk praksis agama dalam wujud
pelayanan kemanusiaan dilaksanakan secara terbuka tanpa dibatasi oleh aturan
taurat yang selama ini membuat pelayanan kemanusiaan menjadi mandeg dan formal.
Jadi mengapa Yesus memilih
bukit/gunung? Karena Ia menghendaki iman atau agama-agama berfungsi secara
terbuka kepada kemanusiaan dan kemannusiaan itu adalah suatu hal yang harus
diangkat derajatnya. Memahami ajaran agama adalah mutlak, tetapi menerapkannya
adalah keharusan yang tidak bisa dielak.
Jadi jawaban teologis dari pertanyaan
mengapa Yesus memilih bukit, yaitu karena di mana saja, ketika Kristus ada dan
diberitakan, umat telah berjumpa dengan Tuhan. Siapa saja yang kita layani atas
perintah pemberitaan injil dari Kristus, kita telah melayani Tuhan. Dan kita
semua menerima berkat penebusan dosa yang dikerjakan Yesus dari tempat tinggi,
di mana di situ Ia dimuliakan dan mendapat keagunganNya.
Tuhan memberkati kita semua!
Ambon, 22-24 Juli 2021
(Catatan: Gambar-gambar dalam tulisan ini diambil dari www.google.com)
Daftar
Bacaan
Mario Seiglie, dalam John Bald, dkk, (1988), The Bible and Archeology, Section 13-24,
United Church of God, reprinted edition, 2002, Ohio
Norman K. Gottwald, (1987), The Hebrew Bible: A Socio-Literary
Introduction, Philadelphia: Fortress Press
J.M. Houston, 1995, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1 A-L,
Jakarta: Cempaka Putih
R.P. Marthin, 1995, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z,
Jakarta: Cempaka Putih
Richard Buxton, October 11, 2013, Imaginary Greek Mountains, in The Journal of Hellenic Studies, Published online by Cambridge University Press, dapat
juga dilihat pada https://www.youtube.com/watch?v=6yHU5ofgUMc,
ditonton pada 22 Juli 2021, jam 21.17