MEJA MAKANG KASIANG

RITUS KELUARGA DAN KOMUNITAS DI MALUKU
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

"Mari makang". Frasa sesungguhnya ialah "mari katong makang sama-sama". Ini bukan sekedar ajakan. Lebih daripada itu, suatu panggilan, sebab: pertama, mama sudah selesai memasak, dan sudah mempersiapkannya di atas meja makan, dan kedua, meja makan merupakan media penyatuan semua anggota keluarga.
Meja makang kasiang! Itu suatu istilah dipakai dalam beberapa ruang kegunaan (makna). 

I. MEJA MAKANG KASIANG DALAM KESEHARIAN 
Istilah itu menunjuk pada meja makan di ruang makan yang menjadi tempat makan semua anggota keluarga. 
"Makang tuh dudu di meja makang". Ini adalah suatu ungkapan yang menunjuk pada tata etik keluarga, sebab tidak dibenarkan seorang anggota keluarga makan di tempat lain selain di meja makan dalam ruang makan. Kaidah etik ini terkait dengan konsep dogma tradisional. 
Pertama, makanan adalah berkat. Berkat harus disaji atau ditempatkan pada tempat yang sudah dikhususkan (kudus). Harus ada kesopanan dalam menikmati berkat. Sebab itu di meja makan, mama yang membagi dan melayankan makanan kepada setiap anggota keluarga. Rupanya ini merupakan tindakan liturgis yang membuat meja makan semacam mendapat kesakralannya. 
Kedua, menghormati meja makan sebagai media penyatuan keluarga. Sebab itu pada saat makan, tidak boleh sambil bercerita, tidak boleh "baku malawang", tidak dibenarkan berdiri meninggalkan meja makan sebelum semua selesai makan. Biasa di sela-sela makan, atau sambil "bale papeda", atau "tambah sayor", mama memberi nasehat-nasehat kehidupan, yang wajib didengar. Itu merupakan cara membentuk karakter anggota keluarga. 

II. MEJA MAKANG KASIANG DALAM RITUAL ADAT
Makna ini lahir dalam ruang jamuan adat seperti pada pesta pernikahan, makan patita negeri, atau ritual adat lain seperti acara perdamaian antar-negeri. Meja makang kasiang di sini ditutupi kain panjang berwarna putih. Kain ini biasa dibuat dari "kaeng putih 1 kayo" yang biasa menjadi harta kawin seorang dagang yang menikah dengan anak perempuan negeri tersebut atau dari "bayar denda adat".
Dimensi penyatuan di sini lebih terbuka sebab partisipannya adalah semua masyarakat di dalam negeri (asli dan dagang), atau dari negeri pela-gandong, atau negeri tetangga (misalnya pada meja makang perdamaian). 

III. ADA APA? BUKA LA LIA 
Apa yang ada di meja makang kasiang? Makanan! Yaitu jenis makanan yang selalu menjadi hidangan utama (makanan pokok). Kita tidak bisa melihat makanan yang disajikan itu terpisah dari pekerjaan utama anggota keluarga.
"Mari la makang sabarang-sabarang jua". Ungkapan ini sering diucapkan, saat seorang saudara diajak untuk makan bersama-sama. Tentu bukan karena menunya yang salah (=sabarang-sabarang), melainkan suatu gambaran kesederhanaan bahwa di meja makan kita makan makanan yang sama, keluarga itu tidak menyembunyikan makanan dari saudaranya. Apa yang kami makan, itu juga yang dijamu kepada seorang saudara.
Ungkapan lain, "dangke lai su mau makang biar deng kurang-kurang". Ruang maknanya sama, sebagai rasa terima kasih sekaligus merasa dihormati, karena saudara itu mau menyatu dengan keluarga kita (=su dudu makang di katong meja makang kasiang). Sehingga ikatan kekerabatan menjadi semakin kuat. Malah ada pernyataan yang menarik tentang bagaimana seseorang menyatu sebegitu erat dengan keluarga lain, walau tidak ada hubungan kekerabatan, yakni: "itu beta pung rumah tampa makang tuh". Tentu bukan karena orang Maluku "suka makang", tetapi meja makan telah menjadi simbol penyatuan secara universal.
Bila kita sudah akrab, maka saat berkunjung ke rumah saudara atau teman, lalu minta makan, si empunya rumah mempersilahkan kita menuju meja makan keluarganya sambil berucap "buka la lia jua". Sebab itu, setelah satu keluarga selesai makan, sisa makanan dibiarkan di atas meja. Bisa saja karena masih ada anggota keluarga yang tidak berkesempatan makan bersama-sama atau karena meja makan harus terbuka melayani saudara lainnya.
Karena itu sebagai simbol penyatuan, di atas meja makan kasiang, pada jam makan atau setelah makan, tampa garam tidak boleh dipindahkan dari atasnya. Ini adalah media penyatuan itu. Seluruh tindakan simbolik tentang penyatuan di meja makan diletakkan pada tampa garam. Cili dan garam adalah jenis bumbu yang tidak dipahami secara material begitu saja. Dua jenis bumbu ini, pada tampa garam berubah sifatnya menjadi senyawa penyatuan, yang mempersatukan anggota keluarga dan kerabat lainnya. Tampa garam tidak boleh dibiarkan kosong, karena ada keyakinan tradisional bahwa "tampa garang kosong, awas berkat lari". Makna sebenarnya bukan kita mengosongkannya, tetapi jika kita tidak bersedia berbagi dengan saudara, kita tidak diberkati.
Selain itu, tampa garam adalah simbol kohesi dalam ranah keluarga tetapi juga sosial. Ada ungkapan "jaga babae, awas tampa garang pica." Sebab persaudaraan itu yang utama. Di tampa garam, "katong laeng rasa laeng". Karena itu kebiasaan makan di meja makan, setiap anggota keluarga mencelup jarinya pada garam untuk dicicipi. Jika saat kita sedang makan di meja makan, datang seorang saudara, dia harus diajak makan bersama. Bila ia sudah makan, ia tidak bisa menolak secara negatif. Ia harus mencelupkan jari ke tempat garam dan mencicipi garam di telunjuknya, atau pada cili yang juga tersedia di situ. Itu pertanda dia sudah makan bersama kita.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara