Refleksi dan Catatan Pengembangan
Oleh.
Elifas Tomix Maspaitella
~ Catatan 25
Januari 2016 ~
I
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
merupakan suatu kebijakan ekonomi regional telah menjadi realitas yang
mendorong (=memaksakan) seluruh elemen masyarakat, dan institusi
sosial-keagamaan, untuk memikirkan hal-hal yang strategis, baik dalam penyiapan
masyarakat tetapi juga dalam hal mengelola sumber-sumber kapital yang selama
ini dikuasai/dimiliki.
Gereja Protestan Maluku (GPM)
sebagai salah satu institusi sosial-keagamaan di Maluku, juga turut
melaksanakan tugas-tugas pemanusiaan, yang terkait dengan upaya peningkatan
kualitas ekonomi keluarga. Dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk
Pengembangan Pelayanan (PIP/RIPP) GPM 2005-2015, peningkatan taraf dan kualitas
ekonomi keluarga merupakan salah satu indikator ketercapaian pembentukan profil
umat ~sebagai salah satu unsur profil gereja, di samping profil pelayan dan
kelembagaan. Pada profil kelembagaan pun, ‘membangun jejaring kerjasama
pengembangan ekonomi’ merupakan salah satu indikator ketercapaian dalam
PIP/RIPP tersebut.
Artinya, GPM secara sadar turut
menyikapi dan membentuk strategi pengembangan ekonomi, terarah pada usaha
pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, dan pengelolaan sumber kekayaan
alam secara mandiri oleh jemaat-jemaat.
II
Dalam Sidang Sinode ke-37 GPM
(Hari II - 25 Januari 2016), melalui pemandangan umum beberapa Klasis (di
Maluku dan Maluku Utara), ekonomi dan pemberdayaan ekonomi menjadi sorotan
tersendiri.
Secara geografis, jemaat-jemaat
GPM berada di pulau-pulau di Maluku dan Maluku Utara. Prosentase jemaat
pedesaan lebih besar dari jemaat perkotaan. Itu berarti Jemaat-jemaat GPM
berada di pusat-pusat produksi berbagai sumber kekayaan alam (termasuk
permigasan).
Namun selama ini jemaat-jemaat
tersebut belum mengalami perubahan kualitas ekonomi secara drastis, mengingat
keterbatasan-keterbatasan tertentu, terutama rendahnya aksesibilitas ekonomi
dalam arti rendahnya intensitas distribusi potensi ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain (1) jauhnya jarak pusat produksi dengan pasar,
(2) tingginya kost ekonomi dalam urusan produksi dan distribusi, (3)
terbatasnya tenaga ahli dan motivator lokal, (4) diskontinuitas program
pemberdayaan, (5) sumber-sumber modal usaha seperti KUR yang tidak dimanfaatkan
secara maksimal, (6) ethos kerja yang rendah, (7) ijonisasi dan ijonisme yang
telah menjadi semacam budaya secara masiv.
III
GPM, sebagai institusi, memiliki
dan menguasai asset-asset bernilai ekonomi, salah satunya adalah tanah. Dari
pengalaman yang ada, nota kerjasama dan kesepahaman (MoU) yang pernah dilakukan
GPM, semisal dengan PT Nusa Ina, yang sejak tahun 2006 telah dimanfaatkan untuk
perkebunan Kelapa Sawit, terkesan tidak memberi efek positif bagi GPM sebagai
pemilik lahan. Ada kebijakan perusahaan yang terkesan tidak menguntungkan
gereja, sehingga ke depan MoU seperti itu harus dibicarakan secara detail
dengan melihatnya dari berbagai sisi, termasuk pengawasan internal gereja
terhadap pihak perusahaan/investor.
Jemaat-jemaat pun memiliki dan
turut menguasai asset feodal. Baik tanah dati, tanah marga, tanah keluarga,
dan/atau satuan-satuan produksi di hutan lebat (ewang) dan laut mulai dari
pesisir pantai sampai ke laut lepas.
Jargon ‘seribu pulau’ juga berkonotasi
ekonomi, bahwa negeri-negeri di Maluku dan Maluku Utara memiliki ribuan jenis
potensi sumber kekayaan alam sebagai simbol kesejahteraan dan kedaulatan
ekonominya sendiri. Namun selama ini, potensi-potensi itu lebih banyak dikelola
secara sistematis oleh pihak investor dan jemaat terpojok terus di dalam
kemiskinan (kultural dan struktural). Selain oleh faktor-faktor yang disebut
tadi, hal ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan jemaat-jemaat
mengelola potensi itu sebagai potensi ekonomi yang memberi efek peningkatan
pendapatan keluarga secara radikal.
IV
Itulah sebabnya, beberapa usaha
serius GPM, termasuk melalui PARPEM GPM, dan program-program pemberdayaan
ekonomi di Jemaat-jemaat harus ditata melalui sebuah manajemen yang sistematis
dan komprehensif.
Gereja harus dapat merekayasa
pasar yang dapat memudahkan jemaat-jemaat mendistribusi hasil produksinya. Gereja
perlu mendekatkan pusat produksi dengan pasar, sehingga memerlukan tersedianya sarana
transportasi ekonomi yang memadai. Pada sisi ini, gereja bisa dan harus mendorong
kerjasama pengembangan ekonomi wilayah dengan pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi
dan Pemeritah Pusat.
Gereja perlu mempersiapkan jemaat
dan melatih skill dalam berbagai bidang ekonomi, termasuk manajemen usaha dan keuangan.
Sebab salah satu faktor yang melemahkan sistem ekonomi lokal di tingkat jemaat adalah
masih terbatasnya analisis dan manajemen
pasca produksi. Hal mana ditunjukkan dengan masih kuatnya orientasi subsisten dalam
pola kerja dan usaha warga jemaat. GPM perlu pula membuat model pengelolaan asset
yang bernilai investasi.
Dengan upaya-upaya ini, termasuk mendorong
pendidikan vokasi di wilayah-wilayah, diharapkan GPM bisa menjadi agen perubahan
sosial-ekonomi yang membuat masyarakat Maluku dan Maluku Utara semakin kuat dalam
menyongsong MEA serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi lainnya. (*) 25-01-2016
2 comments:
Post a Comment