DISCOURSE DAN PERGESERAN STRUKTUR PERILAKU
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
TENTANG
TITIK KEGELISAHAN
Sebenarnya saya tidak mau terlalu sibuk membuka teori-teori untuk
membedah realitas sidang MKD (Majelis Kehormatan Dewan) terhadap kasus ‘papa
minta saham’. Beberapa teori patut ditelisik untuk menempatkan kasus ‘papa
minta saham’ (freeportgate) dengan
memberi posisi terhadap Setya Novanto ~Ketua DPR RI, sebagai individu dan
representasi struktur politik (baca. DPR, pimpinan DPR). Dalam tulisan ini, ia
tidak bisa dikenakan label ‘wakil rakyat’.
Di kutub kedua, anggota MKD, adalah juga representasi lembaga
politik (baca. DPR, Partai Politik) yang melakukan bias etika pada tataran
deskriptif maupun deontologi. Ternyata tidak hanya mereka, pihak lain, termasuk
beberapa anggota parlemen yang terkesan menjadi ‘broker’ dalam freeportgate, menunjukkan geseran etik
pada dua tataran tadi.
Menteri ESDM Kabinet Kerja, Sudirman Said, merupakan representasi
parlemen, dan Presiden Direktur Freeport, Maroef Sjamsoeddin, juga adalah
representasi Freeport sebagai suatu korporasi bisnis raksasa yang selama
puluhan tahun sudah beroperasi di Indonesia (baca. Papua).
Rakyat Papua secara khusus, serta rakyat Indonesia dalam kesatuan
sebagai warga negara, merupakan aktor utama yang sedang diberangus hak-haknya
oleh mereka yang dikategorikan sebagai representatif tadi.
Di sinilah, muncul sebuah fenomena discourse yang menohok struktur politik di satu waktu, dan struktur
perilaku politik di waktu yang bersamaan. Saya menyebutnya fenomena discourse dalam rangka secara khusus
melakukan bedah terhadap ungkapan ‘Yang Mulia’ sebagai teks dan semantik
politik, media, serta komunikasi publik yang mencuat akibat dari publikasi
terbuka media elektronik terhadap proses persidangan MKD yang terbuka dan
tertutup.
label ‘Yang Mulia’ telah menjadi bahan diskursus publik di berbagai
media, warung makan, rumah kopi, pangkalan ojek dan becak, serta pelabuhan
perahu dan speedboat.
Discourse sebagai suatu pakem keilmuan yang bertumpu pada Derrida, Habermas,
Foucault, atau teoretisi sosial kritis lainnya, mungkin tidak dibahas secara ‘tuntas’
di sini. Saya membatasi pada tujuh konten discourse
yang didaftarkan Ian Parker (1992) cukup menggoda untuk melakukan refleksi
dan analisis terhadap pelabelan ‘Yang Mulia’ kepada anggota MKD dalam sidang
MKD terbuka itu.
Meneruskan teorinya Habermas, Parker menunjuk pada tujuh aspek
penting dari discourse. Tujuh aspek
ini saya jadikan sebagai ‘gantungan’ untuk menempatkan refleksi tentang ‘Yang
Mulia’ dalam Sidang MKD terbuka, sebagaimana diikuti melalui saluran TV One,
dan terbaca di beberapa media elektronik ~termasuk facebook dengan beragam
komentarnya.
1) ‘Yang
Mulia’: Discourse dalam Teks
Teks adalah
lembar makna. Dalam kerangka discourse teks
bisa ‘mudah sobek’ atau ‘mudah terbakar’. Menurut hermeneutika Derrida
(1976:158), ‘[t]here is nothing outside of the text’.
Pada posisi yang
sama Barthes (1977) membantu kita memahami teks dalam intensi (hubungan)
individu dan transindividu.
Di situ
kita tidak memaknai teks dalam bentuk tulisan pada Kitab Suci, teks berhuruf
Braile, dan beragam bentuk salinan atau copy-an buku dan lain. Kita memaknai
teks dalam juga tindakan dan konversasi (percakapan) antara seseorang dengan
audiens atau antarindividu. Teks dalam arti ini terbuka pada tafsir dan
penilaian. Seorang individu yang mengembangkan atau ada di dalam pusaran teks
seperti itu bebas dinilai, seperti pula ia bebas melakukan konversasi, baik
saat ia menerangkan, menjelaskan, berapologi, atau menyampaikan sesuatu secara
monologis sekalipun.
Konversasi
~termasuk yang kita saksikan dalam sidang terbuka MKD, dalam kacamata Barthes
tergolong pula sebagai mitos modern yang perlu didekati secara hermeneutik. Di
situ kita membac psikologi seseorang, dan karena orang yang dimaksud adalah
politisi, akan mudah pula kita melacak struktur perilaku politik mereka dan
struktur psikologi politik lembaga (baca. DPR).
Sebagai
rakyat, yang adalah subyek demokrasi, kita bukanlah outsider, ketika kita
mengembangkan tafsir terhadap struktur perilaku mereka yang adalah
representasi/perwakilan rakyat. Karena isi dari konversasi para wakil rakyat
adalah ‘nasib rakyat sebagai subyek demokrasi’.
Dengan
kata lain, penyebutan dirinya sebagai ‘Yang Mulia’ dalam sidang terbuka MKD,
berarti anggota MKD yang adalah anggota DPR dari partai-partai poliitk
menjadikan nasib rakyat sebagai substansi konversasi politik. Mereka bermaksud
menyidangkan pelanggaran etik Ketua DPR, Setya Novanto, dengan menghadirkan
Menteri ESDM dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Namun sebenarnya
mereka sedang menjadikan rakyat di Papua, sebagai representasi rakyat
Indonesia, sebagai pokok konversasi.
Teks ini
yang dibaca secara luas oleh publik ~di seluruh dunia. Teks ini mengajarkan
kita bahwa, ada jurang yang sangat lebar antara janji-janji kampanye para
politisi dengan perilaku mereka setelah menjadi legislator. Jurang ini sudah
tampak jelas, bahkan dari gesture dan mimik para ‘Yang Mulia’ seperti disiarkan
TV.
2) Subyek dan Discourse Tentang Objek
Foucault
(1972:49) menerangkan bahwa ‘discourse are practices
that systematically form the objects of which they speak’. Discourse membentuk sebuah realitas, yang
memberi semacam grafitasi, menarik orang ke pusaran discourse itu, sehingga
kita bisa mengetahui sesuatu dari efek yang ditimbulkannya.
Discourse adalah juga suatu proses pencairan makna
dari hal-hal yang obyektif. Suatu obyek dibincangkan atau dianalisis, karena
obyek itu menjadi reprsentasi dari suatu realitas. Seperti contoh, anak-anak
Kristen pada bulan Desember menerka realitas kehadiran Santa Claus atau
Sinterklas memberi hadiah kepada mereka. Oleh mitos mereka diajak orang tuanya
menulis sepucuk surat, diletakkan di depan pintu dengan semangkuk air atau
memasukkan rumput di dalam sepatu. Keesokan harinya, hadiah yang diminta sudah
ada. Hadiah itu pemberian orang tuanya, namun anak diyakini pemberian Santa
Claus/Sinterklas.
Realitas
lain, kedatangan Santa Claus ke rumah, ditemani Pit Hitam (suartepit). Karena
itu sosok Santa yang baik bertolak belakang dengan Pit Hitam yang kasar. Dalam
tangisan karena takut kepada Pit Hitam, anak rela digendong Santa dan mendengar
nasehatnya (yang adalah pesan orang tua sendiri).
Nah, saat
subyek itu sudah menjadi obyek, maka discourse sudah tidak lagi menjadi ruang
nalar dan penjelasan tentang makna pada obyek tertentu, melainkan subyek
diobyektifasi sedemikian rupa, sehingga penalaran publik akan terbentuk untuk
memahami bahwa tujuan dari discourse
itu sudah bias.
Apa yang
diperlihatkan anggota MKD ‘Yang Mulia’ adalah obyektifasi kepentingan rakyat
dan nasional dengan tujuan melindungi Setya Novanto ~‘Bos Yang Mulia’ dan
lembaga DPR, karena adanya semacam persaingan antara DPR dengan Parlemen (baca.
Parpol tertentu dengan Presiden Joko Widodo sebagai efek dari Pemilihan
Presiden) . Rakyat sudah tidak lagi dijadikan subyek, dan kesejahteraan rakyat
sebagai obyek telah bergeser ke kepentingan segelintir orang yang
mengatasnamakan kepentingan negara dan rakyat. Di situ batas etik dalam discourse sudah dilompati.
Maka
realitas (yakni kesejahteraan) menjadi absurd, dan posisi para ‘Yang Mulia’
sebagai representatif sudah tidak telah menjadi lembar makna yang sudah
‘terbakar’.
3) ‘Yang Mulia’: Subyek sebagai Isi Discourse
Discourse selalu menempatkan makna dalam konstruksi
realitas sehingga discourse itu
sendiri menjadi cara mengartikulasi suatu hubungan (relationship) di antara rakyat dengan pihak yang mengalamatkan
mereka dalam discourse itu. Ada ruang
peran yang dimainkan termasuk dalam membentuk makna tertentu.
Dalam
relasi itu, apa yang diharapkan masyarakat telah terabaikan. Pelanggaran etik
itu melanggar ketentuan Undang-undang serta kelaziman seorang pemimpin teladan.
Namun para pelanggar dan ‘Yang Mulia’ seperti tidak menggubris harapan rakyat. Di
situ, discourse politik tersebut
sudah mengabaikan rakyat sebagai subyek demokrasi.
Akan sangat
berbeda dengan tindakan para dokter. Ketika pasien didiagnosa sakit tertentu,
langkah medik akan didiskusikan secara matang, walau bukan dengan pasien tetapi
keluarga pasien. Ada penghormatan atas hak pasien. Dan itu adalah inti dari discourse.
Keterbukaan
‘Yang Mulia’ dalam persidangan ~dengan sengaja meminta disiarkan Live oleh
salah satu stasiun TV, ternyata tidak membuat dialog, sebagai elemen praksis
dari discourse itu benar-benar hidup.
Mungkin mereka memahami dialog sebagai adanya keterbukaan, padahal dalam discourse dialog mengarah pada bagaimana
mendengar, memahami, saling memberi dan menerima. Itu hakekat discourse dalam konteks demokratisasi.
Kita
ternyata sudah mempunyai cukup data untuk mengatakan bahwa dialog politik yang
dilakoni para politisi terlalu dititikberatkan pada pencitraan. Banyak politisi
sudah terbentuk dengan pencitraan sebagai mitos modern. Atas nama rakyat, discourse politik di Indonesia telah
dipakukan pada politik pencitraan. Sebab itu kita masih sulit mengharapkan hak
rakyat sebagai subyek discourse politik
diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
4) ‘Yang Mulia’: Discourse dan Regulasi Makna
Perilaku politik banyak politisi di Indonesia adalah metafora. Kesejahteraan
rakyat dihitung dengan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD), dana DAK, DAU,
tinggi investasi, bagi-bagi hasil, pengembangan dan pertambahan infrastruktur,
gulir dana untuk proyek-proyek pencitraan, sampai pada biaya perjalanan dinas,
uang lembur, dan gaji 13. Bentuk metafora lain ialah pelayanan publik, kinerja,
disiplin, dan lainnya.
Padahal, kesejahteraan rakyat tidak terangkat secara real. Dalam discourse suatu atau beberapa pernyataan
dapat dikategorikan ke dalam aspek-aspek tertentu (framing). Ini memudahkan proses memahami pesan pokok dan menentukan
kebijakan yang relevan. Budaya persaingan harus diminimalisasi sebaliknya mengakui
dan menerima suatu tugas yang memberi untung (benefit) kepada publik yang harus dijalankan.
Ide yang ada, harus dikonritkan dalam komunikasi (pernyataan), dan
dilanjutkan dengan melakukan tindakan yang real, bahkan disampaikan ulang
(diberitakan, sosialisasi) kepada publik. Dengan demikian psikologi politik yang
bersih terbangun dan menjadi struktur perilaku politik yang baik. Tanpa itu,
komunikasi politik adalah mekanisme lip service
yang berulang (repetoir), dan
pada suatu waktu membuat rakyat tiba pada titik jenuh. Rakyat berbalik tidak
percaya kepada politisi dan struktur politik tertentu. Rakyat bisa tidak percaya
kepada negara karena tidak bisa mengandalkan negara sebagai suatu struktur yang
fungsional. Apalagi jika seluruh struktur negara sudah sangat opresif, akibat
dari budaya persaingan, maka referendum dan
separasi adalah bentuk konkrit dari ketidakpercayaan rakyat kepada negara.
5) ‘Yang Mulia’ : Discourse Tiada Henti
Kemampuan berkomunikasi, berefleksi dan artikulatif, akan sangat
terkait dengan kesanggupan membahasa, atau penggunaan bahasa dalam discourse transindividu. Sejarah akan menjadi
bagian dari rekaman setiap orang dalam discourse
kapan pun. Apa yang dilakukan MKD dalam Sidang Kode Etik terhadap
pihak-pihak yang terkait Freeportgate atau
kasus ‘papa minta saham’, menenggelamkan ekspektasi masyarakat yang menganggap ‘regime
ini tidak beda dari regim sebelumnya’. Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi,
presiden ganti presiden, parlemen ganti parlemen, undang-undang beranak
undang-undang, hasilnya tetap sama.
Seperti cerita pasien Rumah Sakit Jiwa. Suatu hari ia didiagnosa
dokter sudah bisa kembali ke rumah. Artinya tingkat gangguan kejiwaannya sudah
menurun. Pada saat hendak kembali, ia meminta dari sang dokter agar ia mandi
terlebih dahulu. Dokter semakin yakin, pasiennya sudah sembuh. Ia pun meminta
agar bisa memakai Celana Jeans biru dan T-Shirt putih. Hati dokter semakin
mantap, pasiennya sudah sembuh. Lalu dokter menganjurkannya segera mandi. Pasien
itu segera minta diri, hendak pergi mandi. Beberapa saat kemudian dokter
melihatnya ada di tepi kolam. Dokter berpikir ia sedang menghabiskan semua
memorinya dengan lingkungan RSJ itu. Dokter menghampirinya dan bertanya ‘mengapa
kamu belum juga mandi?’. Pasien itu segera menyilangkan kedua tangannya di
depan dada, berlaku seperti orang kedinginan dan berkata kepada dokter, ‘dok,
saya takut lompat ke kolam renang karena pasti airnya dingin. Saya takut nanti
demam’. Dokter menjadi maklum, ternyata pasiennya belum sembuh, sebab kolam
renang itu telah kosong. Tidak ada air. Dan kolam itu adalah bekas kolam ikan,
bukan kolam renang’.
Perilaku MKD, bahkan sampai pada gonta ganti personil, membuat
rakyat semakin tidak percaya kepada kewibawaan hukum dan para penegak hukum.
DPR yang menjalankan fungsi legislasi sebagai pembuat undang-undang semakin
membenarkan pomeo ‘hukum dibuat untuk dilanggar’ dan yang pertama melanggarnya
adalah para pembuatnya. Pomeo lain yang menjadi benar ialah ‘hukum di Indonesia
itu bagaikan pedang yang tajam ke bawah, tumpul ke atas’.
Karena itu, apa pun yang dilakukan para politisi menjadi discourse tak bermakna karena rasa
percaya (level of belief) rakyat
sudah tergerus oleh perilaku mereka sendiri.
6) ‘Yang Mulia’: Discourse dan Cara Membahasa
Ketika sidang MKD dan sesama anggota MKD saling menyapa dengan tidak
lupa menyebut ‘Yang Mulia...’ ~hal yang sama pada semua anggota DPR, apa
intuisi mereka? Jika mereka tahu telah melakukan pelanggaran, masihkah label
itu tetap digunakan? Dalam discourse, para
pembicara harus memiliki kesadaran diri yang matang (self-consciuos) terhadap kata-kata atau bahasa yang digunakan. Sebab
suatu kata mengandung komitmen dan pembicara harus komit dengan kata-kata yang
digunakan.
Discourse membentuk makna implisit, yang kadang menjadi buram atau semakin
jelas karena proses-proses klarifikasi. Jika seseorang dalam cara membahasanya
terkenal kocak, ia lebih tepat menjadi komedian. Para politisi dengan cara
membahasanya terkenal tegas dan tukang ‘labrak’ ~tukang interupsi. Sidang-sidang
mereka terkesan alot, karena mereka suka sekali berdebat.
Beberapa birokrat malah takut jika dipanggil dalam rapat dengan dengan
komisi DPR. Ini karena gaya membahasa politisi sudah dipahami merata oleh semua
lapisan masyarakat. Dalam hermeneutik (bnd. Ricoeur), satuan makna teks tidak
serta merta harus dicari pada apa yang dipikirkan penulis, tetapi juga artikulasi
pembaca dan/atau pelakon suatu naskah.
Antropologi membantu kita memahami gesture, body language, bahkan antropologi psikologi membimbing
kita memahami kerangka kebudayaan dari suatu masyarakat yang melakukan tindakan
tertentu, atau suka berbicara dengan gaya dan kosa kata tertentu.
Dalam sidang-sidang MKD, cara membahasa mereka ‘Yang Mulia’ telah
menjadi tontonan publik. Di depan layar TV, anak saya yang berumur tujuh tahun
pernah berkata: ‘batanya apa talalu talalu lai. Dong ini par batanya saja. Mangapa
musti bilang ‘Yang Mulia’ la papa?’ (=bertanya melulu. Mereka ini cuma bisa bertanya
saja. Mengapa (mereka) harus disapa ‘Yang Mulia’, papa?). Artinya bahwa gaya
membahasa seseorang kadang menimbulkan kejenuhan, kebosanan publik.
Jika publik menjadi bosan, mereka sudah tidak akan menafsir terlalu
jauh kosa kata dan perkataan para politisi. Proses ini membuat langkah advokasi
parlemen terhadap rakyat menjadi mandeg. Itu artinya, rakyat mengembangkan
tafsir bebas, sehingga suasana discourse menjadi
tidak seimbang. Pengadilan rakyat adalah salah satu cara legitim untuk meminta
pertanggungjawaban para politisi.
Kalau situasi ini terus terjadi, Indonesia akan menjadi negara
demokrasi yang sangat tidak tertib. Lambat laun hukum hanyalah dokumen tertulis
yang tidak memiliki ‘daya magic’ apa pun. Pemerintah yang demokratis sebagai
pemerintah yang dipercaya dan didukung rakyat sudah tidak akan terbangun.
7) ‘Yang
Mulia’: Discourse Berlangsung dalam Lingkup Sejarah Yang Real
Indonesia adalah konteks sejarah demokrasi. Dalam paham
post-strukturalisme, perkembangan itu berlangung secara sinkronik dan
diakronik. Dalam konteks itu, discourse sebagai
elemen penting dalam sejarah mengambil ruang dan waktu, guna menjelaskan subyek,
obyek dan pintalan makna yang terkandung di dalam sejarah dan relasi
transindividual.
Tindakan manusia dalam sejarah akan menjadi referensi yang mampu
menjelaskan discourse publik dalam
banyak model dan bentuknya. Masyarakat sudah terbiasa dengan kisah anggota DPR ‘baku
lempar’ dan ‘maju obrak abrik meja pimpinan’, karena itu sudah menjadi fakta
sejarah yang sulit dihapuskan.
Perilaku MKD yang terkesan melindungi muka Setya Novanto, atau
lembaga itu sudah menjadi bagian dari peristiwa sejarah politik. Dalam waktu
yang lama, sidang parlemen di Indonesia tidak pernah ada interupsi. Padahal di
OKP-OKP, sejak zaman sebelum kemerdekaan, interupsi menjadi bagian dari
dinamika sebuah persidangan organisasi. Teori sosial politik menyebut fenomena ‘tiada
interupsi’ itu terjadi karena paham monoloyalitas kepada Soeharto. Adalah Sabam
Sirait, politisi PDI yang kala itu melakukan interupsi dalam Sidang DPR, dan
tindakan Sabam menjadi sebuah catatan sejarah. Padahal jika ditelisik,
interupsi sudah menjadi ‘pakaian’ Sabam, sebagai aktifis GMKI, tentu sama
dengan politisi lain yang adalah senior sebuah OKP.
Kini, publik telah merekam dengan rapih dalam memorinya, perilaku
anggota MKD, dan perilaku para Menteri Kabinet, bahkan menguji kembali
konsistensi Joko Widodo. Sebab kampanye politik yang sarat janji, telah
terbangun di dalam memori dan sejarah masyarakat.
Begitulah sejarah menuntun kita untuk terus menelisik ke belakang
dan membangun rangkaian peristiwa baru ke depan. Apa yang ditelisik kemudian
membentuk struktur kesadaran untuk menerima dan/atau menolak, mengakui dan/atau
menyangkali, menyetujui dan/atau membantah. Indonesia akan terus terbangun
dalam dinamika yang bipolar itu.
DUA KALIMAT SAJA UNTUKMU ‘YANG MULIA’
‘Yang
Mulia’,
Ijinkan
aku menyebutmu ‘rakus’
Ambon, 17 Desember 2015