Manajemen
Pengelolaan Lingkungan Sebagai Tindakan ‘Budaya Orang Tatua Dolo-dolo’
Oleh.
Elifas Tomix Maspaitella
SAMPAH DAN KEGELISAHAN SOSIAL
Fakta
kesatu, muncul beberapa istilah yang sempat menjadi diskusi di sosial media
(facebook) seperti ‘hener sampah’, ‘balandong sampah’, dan foto-foto tumpukan
sampah di sudut jalan utama Kota Ambon, dalam Teluk Ambon, pesisir pantai, dan
jalur-jalur jalan utama di kala malam hari. Padahal dalam beberapa tahun
terakhir ini, Kota Ambon selalu dianugerahi Trophy Adipura, sebagai bentuk
penghargaan pemerintah pusat untuk kota terbersih di Indonesia.
Fakta
kedua, tukang sapu jalan, petugas kebersihan kota setia menyapu jalan. Truck berwarna kuning hilir dari satu
tempat pembuangan sampah sementara, mengangkut sampah dan menuju Instalasi
Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST). Di beberapa kawasan permukiman, terlihat
anak-anak muda yang menjadi tukang angkat sampah, mendorong gerobak sampah dari
rumah ke rumah, dan menampungnya di tempat pembuangan sampah sementara.
Fakta ketiga, para pemulung (suatu bentuk profesi baru di Ambon), mengais tempat sampah untuk mengambil sampah plastik, kertas, alumunium atau besi (metal), dan tentu bisa menghasilkan uang bagi diri dan keluarganya.
Fakta keempat, perilaku membuang sampah secara tidak beradab masih dilakukan banyak orang, termasuk dari dalam mobil pribadi yang melaju, dari atas KMP feri ke tengah laut, dan yang paling meresahkan adalah di pasar dan daerah aliran sungai.
Fakta kelima, yang masih ada dan juga sebagian menjadi bagian dari memori kebudayaan adalah praktek menata lingkungan di zaman orang tatua dolo-dolo dengan membuat ‘semun(g)’ di belakang negeri atau dalam dusun sagu ~dan tidak ada yang membuang sampah ke pantai atau dalam sungai, walau negerinya berada di pesisir dan dialiri sungai. Cerita beberapa orang dari Nusalaut, dahulu, setiap pagi, semua orang menyapu ‘kintal’ rumah. Daun-daun yang jatuh, dikumpulkan dan dibakar. Biasanya juga bersamaan dengan pakaian-pakaian atau kain yang sudah tidak digunakan lagi (Melayu Ambon: pakeang busu, kaeng panggal busu).
Kelima fakta itu adalah praktek yang paradoks satu sama lain, dan ironinya ialah paradoksal modernisme yang ternyata kalah dari sisi keadaban kebersihan dan sanitasi dibanding dengan kecerdasan masyarakat tradisional tempo doeloe. Dari sisi itu, untuk soal membuang sampah, faktanya, kecerdasan kita lebih rendah dari kecerdasan orang tatua dolo-dolo.
PENJEJAKAN ETIMOLOGI
Saya
semula mencurigai istilah ‘semun(g)’ adalah serapan Melayu Ambon dari bahasa
Belanda. Saya mencoba bertanya dari warga Jemaat saya (di Rumahtiga), Marlen
Hitalessy-Norimarna, namun menurutnya, tidak ada. Mamanya, Ibu Evi Norimarna
pun memastikan hal tersebut, termasuk Anis de Fretes di Negeri Belanda via
messenger facebook. Penjejakan terus dilakukan via Anis de Fretes dengan James
T. Collins, seorang ahli bahasa tanah dan bahasa Melayu.
Berikut diskusi saya dengan Anis de Fretes (Elifas ~ ETM; Anis de Fretes ~AdeF):
ETM : Slamat pagi om. Dlm bahasa Blanda ada istilah 'semung'? Tampa buang sampah. Biasa di blakang negeri
AdeF : Pagi bapen! Malam dalam sini 23:28h
ETM : Hahahaha...jang marah om. Su ganggo jam sono
AdeF : Tidak bu, ada lia tv ... orang berdiskusi!! Sambil berchat dng teman2
ETM : Ini soal enviromental management org tatua dolo2. Dong biking semung tuh di dalang utang2. Biar negeri2 di pinggir pante deng ada sungai mar dong z buang sampah di aer masing dg sungai. Maar masy urban modern nih skrg udik. Buang sampah dalang aer masing deng sungai. Alhasil katong makang ikang deng bia su tercemar smua
AdeF : nanti bt coba cari etimologi 'semung' itu. Arti: tempat sampah blakang negeri, pinggir pasisir / sungai?
ETM : Di Ambon semung tuh tampa buang sampah om. Akang biasa di blakang negeri. Z pernah org tatua dolo2 buang sampah dalang aer masing dg sungai
AdeF : Bt su tanya for prof Jim Collins, ahli bhs2 Austronesia, melayu, bhs tanah dll
ETM : Oh iya om. Bt resah saja. Sabang hari katong lia plastik2 di dalang Teluk ambon. Trus katong di Rumahtiga maeng angka sampah di pinggir pante.
AdeF : Bu sekarang ada tempat / negri yng 'semung' terpakai?
ETM : Ada om. Di Rutung masih ada.
AdeF : Ok, bt su kbrkan bt pak Jimnya. Bagus perspektifnya bapen.Klo orang tua dolo2 pelihara alam, mengapa kita skarang su lupah akang?
ETM : Bt ada tulis artikel itu cm bt kabur ttg etimologi semung. Bt kira itu serapan dr Bhs Belanda ke dlm Bhs Melayu. Padahal bukang ale. Semakin berusaha memahami kultur masy, kesimpulannya ktg jd smakin bodoh dibandingkan org tatua dolo2
AdeF : Bt lia kamus portugis, melayu ambong dan kamus tua2 yah. Dan menunggu jwb prof Collins
ETM : Bae om. Su biking om pung jam sono takets. Hahaha
AdeF : Menarik pertanyaan bagini ...
[kemudian ada beberapa gambar cover buku dikirim Anis de Fretes]
ETM : Wah, memang katong musti ambel bahan2 dari Blanda nih. Istilah semung ada ka seng?
AdeF : Bukan ini kata chusus di Rutong, Leitimor sa? Dan dengar suaranya klo berkata sbab ada evolusi bhsa juga toh, dan huruf terganti ..Ok, nnti eksplorasi terus ...
ETM : Istilah ini merata om.
AdeF : Bu Elifas, bapen.
Ini hasil teliti prof Collins tentang
etimologi 'semung', 'semun'
Etimologi: Di kamus Dewan terdapat kata semun
sebuah tanaman 'semun' itu 'pakis' bahasa Inggris 'fern'. Di kebun kebun bunga
terdapat misalnya 'semun bidadari', 'staghorn fern'.
Geografi: Juga menurut Schurhammer, vol III
1980 - Francis Xavier, His Life, His Times - Indonesia and India 1545-1549;
dimana dia sebut geografi Rutung dimana pantai kecil, gunung dan tinggi. Ini
tempat sangat terpakai buat tempat sampah.
Ecology: Kalau di gunung kurang ada tempat
kebun dan tanah tinggih, tidak ada pantai. Dengan situasi bagini
"inhospitability makes good ecology", dengan sendiri orang gunung
harus cari solusi for tempat sampah.
ETM : Ternyata itu istilah di rutung saja kapa e. Haha... Om dangke lai. Atas tanya itu ternyata sudah ada hasil riset yg luar biasa dari para ahli. Bt akan jadikan rujukan dlm artikel biar nanti bt kirim par Om e.
AdeF : Iya!! Bt senang bekerja sama internasioanl bagini
ETM : Bt semakin semangat par tuntaskan tulisan ini. Bt rancang judulnya "Semun: Management Lingkungan dan Kecerdasan Budaya"
AdeF : Sadissssss keren banget bapen
ETM : Beta ada cari waktu kas abis akang nih om. Tete Manis sayang, kal abis la bt tola ka om amanisar
AdeF : Bagus bapen .... ini memang paling menarik topik. Perasaan beta masyarakat, GPM, chusus pendeta ada tnggng jawab besar tntng kesadaran kita smua, juga di negeri buat lingkungan, kehidupan hari hari. Klo tidak perihati, misalnya sampa, bagimana sifat hidupnya??
Ini kabar sambung dari prof. Jim Collins tntng
kata semun/g: "I'll keep semung in mind. it reminds me of the Malay word
(but no etymological connection) semak-- undergrowth, secondary forest, semak
has also come to mean messy.."
Catatan Schurhammer tadi menjadi bukti bahwa istilah ‘semun(g)’ adalah istilah dalam Melayu Ambon yang dipakai orang-orang di Rutung, menunjuk pada suatu tempat yang secara khusus digunakan sebagai tempat pembuangan sampah.
Dari gambaran Schurhammer itu, di Rutung, ke arah gunung atau tepatnya di belakang negeri, ada dusun milik keluarga Makatita dan Talahatu ~ke arah Negeri Lama, terdapat ‘semun(g)’. Orang Rutung menyebutnya ‘semung’. Sesuai dengan pembagian teritori dalam negeri, maka di Rutung ada 5 (lima) lokasi ‘semung’, dua di dara (bagian kaki gunung), dua di lao (ke arah pantai, tetapi dalam dusun sagu), dan satu ke arah kuburan (juga dalam hutan sagu). Rutung sendiri dialiri oleh satu sungai (Mandoi) di tengah negeri, membela negeri menjadi ‘uku’ dan ‘aroang’ (weroang). Terdapat satu sumber air minum dan tempat pemandian anak (Wai Lilinita, Aer Bak) ke arah Barat negeri, kemudian dialiri satu sungai (Wai Hula).
Namun, ada jarak antara ‘semung’ dengan sungai-sungai itu,
dan dilarang membuang sampah di sungai atau dekat dengan sumber air. Kemudian
di negeri-negeri di Leitimur Selatan, termasuk di sepanjang Nusaniwe, orang
tidak membuang sampah di pantai, melainkan di ‘semung’ yang juga berjarak tertentu
dari pantai.
Di Leahari dan Hukurila, malah penduduk yang rumahnya hanya
berjarak beberapa meter dengan pantai, membuang sampah di ‘semung’ yang ada di
tempat lain dengan jarak tertentu dari pantai dan sungai. Di negeri-negeri
pegunungan, di semua rumah ada ‘timbil’ atau ‘atiting’ (bakul berukuran besar)
yang dikhususkan sebagai tempat sampah. Mekanisme lokal menunjukkan bahwa semua
keluarga membuat sapu dari tulang daun kelapa, enau/mayang dan pohon sapu.
Tradisi ‘cuci manyapu’ merupakan jenis pekerjaan perempuan remaja sampai orang
tua.
Jam menyapu rumah dan kintal biasanya pagi dan sore. Ini biasa dikerjakan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki remaja. Namun ada pada jam tertentu ada pula kebiasaan ‘pilih daong’, pada orang tertentu ada sejenis tombak dari bambu atau sebilah besi kecil yang diikat pada sebatang kayu yang panjang. Biasanya digunakan untuk ‘tikang’ daun pohon yang gugur, dan dikumpulkan ke dalam timbil atau langsung dibakar. Pada masa kanak-kanak, saya melihat aktifitas ini umumnya dilakukan tete-tete (kakek) yang sudah tidak bisa lagi pergi ke kebun. Itu menjadi bagian dari aktifitas mereka di rumah.
SEMUNG DALAM
FUNGSI RUANG
Aristoteles, seperti dijelaskan J.J.C. Smart dalam Encyclopedia of Philosophy, membahas
kosmos sebagai sistem ruang (sphere)
terpusat dan mencakup berbagai elemen yang berbeda. Setiap elemen eksis di
dalam tempatnya masing-masing. Ia membedakan istilah space dari place, walau
baginya, place adalah satuan atau
elemen di dalam space itu. Baginya di
dalam space itu ada proses interchange; sedangkan dalam place proses itu tidak terjadi karena
elemen di dalam place itu sudah
sangat spesifik, hampir sejenis (Donald M. Borchert (eds.), 2006:147).
Pendapat Aristoteles itu menjadi domain pengetahuan yang terkait dengan penataan kosmos dalam ruang kehidupan masyarakat adat sesuai dengan carapandang dan tata aturan mereka (indigenous traditions).
Sebagai contoh, di Maluku, masyarakat adat memiliki semacam
mekanisme tata ruang. Ini tampak dari ada teritori yang ditentukan sebagai
lokasi pemukiman. Dalam istilah khusus, teritori ini yang disebut ‘negeri’.
Rumah-rumah yang dibangun kemudian dikonstruksi pada wilayah yang disebut ‘lao’
dan ‘dara’ atau juga ‘uku’ (bagian wilayah di sebelah Barat, matahari maso), dan ‘weroang/aroang’
(bagian wilayah di sebelah Timur, matahari
nai). Satuan wilayah negeri pun masih dibagi lagi menjadi ‘negeri’ dan
‘kuburan’ (Melayu Ambon: sahi) yang
biasanya di arah Barat (arah matahari
maso).
Dalam space yang lebih luas, satuan teritori terdiri atas ‘negeri’ ‘lao’ dan ‘ewang’. Dalam konteks ini, negeri biasanya ada di bagian tengah, yakni wilayah transisi antara gunung dan dan laut. Dusun biasanya ada di dua tempat, yakni di belakang negeri (kaki gunung), sebagai tempat bercocok tanam/berkebun. Ada pula dusun sagu, di mana selain terdapat pepohon sagu, juga jenis sayuran (pakis, Melayu Ambon: paku-paku).
Lao, atau laut terdiri dari meti dan lao (laut bebas).
Pembagian ini juga menentukan tempat kerja laki-laki (lao) dan perempuan serta
anak-anak (meti). Pada sifat itu, sama dengan ewang sebagai kawasan hutan yang luas, dan dikuasai oleh negeri (tanah negeri) atau keluarga-keluarga
tertentu. Kawasan ini adalah juga kawasan perkebunan dan lahan berburu binatang
hutan.
Pola pembagian seperti itu, menurut John A. Grim, menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki semacam ‘self-realization’ yang mengarah pada penentuan ‘biocentric equality’. Cara membagi teritori atau tata ruang negeri seperti dijelaskan tadi merupakan semacam perangkat pengetahuan/kecerdasan masyarakat adat tentang dunia (ways of knowing the world). Dengan sendirinya telah terbangun di situ suatu bentuk ‘land ethic’ ~mengikuti pendapat J. Baird Callicott (David Landis Barnhill & Roger S. Goettlieb, 2001:38-39).
Dalam kebiasaan sesehari, saya melihat di Simalouw, pulau Seram, tradisi pataheri (cidaku) dan pinamou, biasanya disertai dengan melatih beberapa keterampilan dasar bagi anak. Anak perempuan diajar menganyam bakul dan tikar, membuat sapu (cuci manyapu), anak laki-laki diajar berburu, menangkap ikan, membuat jerat kus-kus (di atas pohon) dan jerat babi dan rusa, serta pengetahuan membaca fenomena alam dan iklim. Bentuk kecerdasan ini pula yang tampak dalam penempatan tempat yang disebut ‘semung’. Sesuai dengan kecerdasan masyarakat adat, segala sesuatu yang ‘kotor’ (sampah) tidak boleh disatukan dalam tempat pemukiman. ‘Semung’ harus terpisah dari negeri. Karena itu, hasil buruan seperti binatang juga sudah dibersihkan di dalam hutan sebelum para pemburu pulang ke negeri. Kalau ada binatang buruan yang dibawah pulang, juga harus dibersihkan di pantai atau hilir sungai (kaki aer). Malah babi kampong yang dibunuh, harus pula dibersihkan di belakang negeri atau kaki aer. Demikian pun kakus, biasanya di kaki aer dan dalam hutan, dekat dengan atau menyatu dengan ‘semung’.
‘SEMUNG’
DAN KRITIK SOSIAL
Jika ‘orang tatua dolo-dolo’ memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam mengatur
tempat membuang sampah, harusnya masyarakat modern lebih cerdas apalagi
dibarengi penerapan teknologi pengolahan sampah.
Ironinya ialah budaya luhur membuang sampah sebagai mores (kelaziman umum) dahulu itu tergerus oleh budaya modern yang instan dan simplisistis. Kaum urban saat ini sudah tidak mau hidup terpisah dari sampah, melainkan menjadikan sampah bagian di dalam space kehidupannya (bioregion).
Mengapa ‘orang tatua dolo-dolo’ membuat ‘semung’, bukan
membuang sampah di sungai dan laut? Karena air adalah unsur kosmos yang vital
bagi kehidupan. Membuang sampah di laut dan sungai berarti mengganggu
stabilitas biocentric, dan merusak
air sebagai satuan lingkungan bersih. Bagian sungai yang dikhususkan untuk kakus adalah bagian kaki aer (hilir). Namun di negeri-negeri di mana sungai berada di
dalam teritori negeri, dan ada pemukiman di pinggiran sungai, seperti di Hutumuri,
orang tidak menjadikan kaki aer sebagai
kakus.
Perilaku membuang sampah di tempat umum atau ‘satuan lingkungan bersih’ adalah bentuk krisis kecerdasan publik yang mengganggu biocentric equality tadi. Akibatnya masyarakat bergaul dengan berbagai virus dan hama; gangguan kesehatan mulai sering terjadi, biota air dan laut pun mulai punah.
Pengaturan waktu buang sampah dalam kebijakan Pemerintah Kota, rupanya belum dipraktekkan secara tertib. Pada kawasan padat penduduk dan pasar, sampah merupakan elemen yang mengisi ruang (place) tersebut. Proses interchange tidak terimplementasi dalam perilaku tertib sampah. Etika lingkungan (land ethic, enviromental ethic) terdistorsi oleh rendahnya kesadaran kebersihan dan pelestarian lingkungan bagi kehidupan.
Dalam hal seperti itulah, ‘semung’ kembali mengintroduksi suatu pola manajemen lingkungan yang harus dikaji kembali dalam masyarakat. Proses-proses pendidikan budaya terutama yang terkait dengan kecerdasan masyarakat adat seperti itu sudah mesti dijadikan sebagai kerangka pengetahuan dan pedoman perilaku masyarakat modern, yang ternyata bisa dikembangkan dengan penerapan teknologi maju (seperti pengolahan sampah sebagai bahan daur ulang untuk berbagai kebutuhan, salah satunya pupuk).
Semoga percikan pemikiran ini dapat menggelisahkan kita
untuk lebih menggali dan mempraktekkan kembali satuan pengetahuan budaya yang
memiliki nilai kehidupan yang bermutu.
Buku
Rujukan:
Borchert, Donald M (eds.), Encyclopedia
of Philosophy, Volume 9, 2nd edition, Detroit, New York, Thomson
Gale, 2006
Barnhill, David Landis & Gottlieb, Roger S (eds.), Deep Ecology and World Religions: New Essays
on Sacred Ground, State University of New York Press, 2001
Scurhammer, Georg, Francis Xavier:
His Life, His Time, Vol.III – Indonesia and India 1545-1549, Trans. By. M.
Joseph Castelloe, Italy: The Jesuit Historical Institute, 1980.
No comments:
Post a Comment