Thursday, April 23, 2015
MENA MURIA SEBAGAI SEMANTIK KEBUDAYAAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Mena Muria, muka blakang siap (=bagian depan dan belakang dalam keadaan baik, aman, damai). Jika ini didekati dari sisi semantik, maka ada beberapa indikasi hubungan semantik yang ternyata sangat terkait dengan kedirian orang Maluku, malah menjadi semacam ungkapan doa keselamatan (mengenai aspek "doa" bisa dibaca dalam salah satu tulisan saya "Mena Mole" - www.kutikata.blogspot.com).
1. Mena Muria dan Jatidiri Orang Maluku
Fam atau marga adalah nama diri orang Maluku yang menunjuk pada hubungan keleluhuran (ancestor relationship), genealogia dan negeri asal (tanah tampa potong pusa).
Fam Wattimena - Wattimury, Tuhumena - Tuhumury, Risamena, Sahumena, Salamena, Nahumuri Wattimury, mereferensi "mena" (muka, bagain depan) dan "muri" (blakang, bagian belakang) dan menunjuk pada posisi sosial marga itu dalam komunitasnya. Ada peran sosio adatis yang mereka jalankan sebagai suatu wujud penciptaan tatanan sosial. Ini sekaligus memperlihatkan pembagian peran sosial ketika masyarakat berkembang dan semakin kompleks.
Penjajakan antropologi akan membawa kita pada sebuah afirmasi bahwa seiring berkembangnya satuan masyarakat, perluasan teritori menjadi sebuah keharusan. Masyarakat mengembangkan inovasi untuk survive. Salah satunya dengan membagi peran untuk tujuan "pencarian lokasi baru" yang kadang harus melalui perang atau menjaga keamanan teritori ketika sudah menetap (settle).
Jadi kelompok fam yang mereferensi "mena" diserahi tugas sebagai penjaga bagian depan dan "muri"di bagian belakang. Intinya mereka mengemban tugas menjaminkan keamanan dan kedamaian masyarakat, malah menjadi pendahulu, dalam sebuah proses pemilihan teritori.
Di sisi sejarah keleluhuran, posisi marga-marga itu di suatu pulau, misalnya di Ambon, dapat saja mengarah pada adanya kolektifitas para moyang di zaman lampau. Marga Tuhumena di Lilibooi, ujung Leihitu dan Tuhumury di Seri, belakang Leitimor, mengesankan adanya semacam kesepakatan di antara para moyang. Hal ini perlu ditelusuri kembali dengan membuka sejarah keleluhuran dan migrasi leluhur dari Pulau Seram.
Tetapi aspek ini menjadi menarik untuk menegaskan bahwa "mena" dan "muri" adalah lapis identitas orang Maluku. Maka mereduksinya atau memerangkapkannya dalam paradigma ideologisasi yang kemudian menjadi stigma adalah simplifikasi yang jelas tidak adil.
2. Mena Muria dan Locus Sosial/Teritori
Nuru Aman Mena Muri (negeri di atas yang aman di muka dan belakang) adalah sebutan dalam "bahasa tanah" untuk negeri pertama orang Rutung (Leitimur Selatan, Pulau Ambon). Nama ini lahir dari pergulatan sejarah nenek moyang orang Rutung dari Pulau Jawa (Maspait, turunan Nyi Naroja). Karena dikejar-kejar orang Alune di Maspait (Hukunalo, Rumahtiga), maka mereka mencari lokasi baru yang lebih aman.
Tempat itu kemudian disebut "batu minong aer" atau "batu kadera" sekaligus menjadi batas antara Rurung - Soya dan Ema (tiga negeri ini memiliki hubungan yang erat dengan Majapahit).
Beberapa negeri lain misalnya Hutumuri atau tempat sakral orang Wemale, "talamena siwa", akan mengingatkan kita pada lokasi-lokasi sosial yang menohok "mena muria" sebagai semantik kebudayaan.
3. Mena Mole, Doa Selamat Orang Babar
Hal ini dapat dibaca dalam tulisan saya yang lain (Mena Mole). Namun saya merasa bahwa ungkapan itu merepresentasi kecintaan anak negeri satu sama lain atau juga terhadap tamu. Sehingga sebelum seseorang meninggalkan rumah atau negeri, biasa diiringi doa sambil berucap "mena mole", artinya "bajalang ka muka bae-bae" (hati-hati berjalan ke depan/sana).
Doa ini menjelaskan bahwa harapan agar seseorang selamat dan berhasil. Dengan kata lain, ungkapan itu menggambarkan ada perhatian yang tinggi mengenai keselamatan atau kesuksesan.
Tulisan ini hanyalah sebuah catatan untuk menyampaikan bahwa ideologisasi kebudayaan merupakan suatu bentuk invasi kebudayaan yang mereduksi unsur dan cara pandang lokal tentang identitas.
Mena muria adalah lapis identitas orang Maluku. Simbol diri yang membangun kemalukuan itu sebagai suatu pranata menjaga, mengayomi, mengamankan, mendamaikan, mempertahankan janji dan kesepakatan hidup.
MENA MURIA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
-
Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’ Saya memberi judul di...
No comments:
Post a Comment