Kata dan Ungkapan Bergenus
Seksual dalam Bahasa Ibrani dan Alune
Oleh. Elifas Tomix
Maspaitella
I Objek Kognitif dan Hukum Dialektika
Saya teringat dua hal saat belajar di Sosiologi
Agama UKSW. Yang pertama, bahwa teori sosial kritik [TSK], dalam merambah
konstruk dasar pengetahuan [ontologi],
selalu mencari dan menjelaskan [erkleren]
objek kognitif, sebagai anasir pengetahuan yang muncul dari pemahaman, sikap
manusia [humanized nature] yang
ditransformasi ke dalam gambaran tentang hal yang ada pada suatu obyek sehingga
obyek itu menjadi terpahamkan oleh kita [things
in itself to a thing for us –Horkheimer, 1986].
Yang kedua, dekonstruksi teks Alkitab dengan metode
Tafsir Sosiologi [TS] meneropong
dinamika sosial yang memengaruhi proses penulisan teks-teks dalam Alkitab.
Untuk memahami makna teks, bahasa [Ibrani] menjadi kerangka intelektual yang
penting, bukan sekedar untuk melihat genus katanya, melainkan guna memahami
‘perspektif dalam’ [emic perspective]
atau antropologi psikologi penulis dan masyarakat Israel Alkitab.
Tulisan ini disusun dengan menggunakan dua cara
berpikir tersebut di atas [TSK dan TS] dari hal-hal yang sesungguhnya lazim
dalam praktek budaya kita. Penggunaan dua istilah
yakni Zōnāh dan Souňe dimaksudkan untuk memahami obyek kognitif yang bersumber dari bahasa
atau istilah yang digunakan dalam komunikasi dalam masyarakat, sambil
mendudukkan kembali makna tafsirnya.
Zōnāh adalah istilah dalam bahasa Ibrani, dari rumpun
Semitik [Timur Tengah] dan Souňe adalah istilah dalam bahasa Alune, suatu kelompok sub suku di Pulau
Seram, Maluku. Saya memiliki alasan dari yang kebetulan sampai yang betul-betul
tentang mengapa kedua istilah ini digunakan. Pertama, kebetulan bunyinya hampir sama; Zōnāh
dan Souňe; Kedua, kebetulan
artinya pun sama, yakni berzinah; Ketiga,
istilah Zōnāh merupakan
istilah yang saya temui dalam teks Alkitab [Biblia Hebraica]. Namun teks
Alkitab dalam naskah Bahasa Indonesia Sehari-hari/BIS juga dibaca oleh orang
Alune di Pulau Seram [pengalaman tinggal di Uweth, Klasis GPM Taniwel, Seram
Bagian Barat, pada saat istri saya menjalankan tugas sebagai Ketua Majelis
Jemaat di sana]. Memang BIS tidak menulis zōnāh, melainkan
menerjemahkannya dengan ‘sundal’, yang bisa dipahami pula sebagai tindakan zina
atau selingkuh; dan memiliki arti yang sama dengan istilah souňe dalam bahasa Alune.
Di
situ saya teringat lagi hukum dialektika Habermas. Bahwa dari kedua istilah
itu, kita dituntut untuk menelusuri karakter di dalam suatu obyek [natura naturans] dan memahami domain
dari obyek itu [natura naturata]
sebagaimana tampak kepada kita. Artinya suatu kata digunakan tidak begitu saja.
Kata itu hidup di dalam ruang hidupnya [habitus]
dan ruang hidup itu adalah komunikasi antarindividu atau antarmasyarakat,
termasuk komunikasi trans-tekstual seperti melalui membaca Alkitab. Di situlah point mengapa tulisan ini
dikerjakan.
Istilah
zōnāh sendiri bisa dimaknai secara baik jika dibandingkan
pula dengan beberapa istilah lain dalam Bahasa Ibrani, pada teks-teks PL.
Artinya, ada perbedaan-perbedaan yang mesti menjadi pemahaman secara baik,
untuk menghindari generalisasi makna dan labelisasi yang keliru. Sama pula
dengan beberapa istilah dalam bahasa Alune yang perlu pula diartikan dalam
memahami perbedaannya dengan souňe. Yang paling penting kemudian adalah bagaimana menjelaskan kedua kata
itu dalam perspektif budaya masyarakat.
II Zōnāh
Dalam Kamus Bahasa Ibrani, kata zōnāh ada dalam
genus partisip [participium] yang berarti ‘tidak perawan, perempuan
sundal’ [Yos.2:1], berzinah, pelacur. Kata ini berasal dari kata dasar znh/zānāh yaitu kata kerja dasar [qal] yang berarti berzinah, bersundal [Ul.31:16; Hos.1:2]. Beberapa
kata bentukannya dalam kasus partisip baik maskulin maupun feminin, antara lain
zōneh, zeunim zāonāh, zenuh cenderung berarti persundalan, zina [termasuk untuk pemujaan berhala
atau dewa, selain TUHAN – Hos.4:15; Ul.23:18]. Sementara kata yang sama dalam
bentuk kata kerja hif’il menunjuk
pada tindakan operasional dari perbuatan berzina yaitu ‘membujuk orang untuk berzina,
atau menjadikan [perempuan] sundal [2Taw.21:11,13; Hos.4:10]. Dalam bentuk kata
kerja pu’al, passiv, berarti ‘orang
yang mengejar hendak bersundal’; sedangkan dalam bentuk kata kerja dasar II [qal II], berarti memuakkan, menjijikkan,
berlaku serong [Hak. 19:2].
Rangkaian
makna leksikal/etimologi itu menunjukkan bahwa kata kerja Zōnāh menjelaskan bahwa hal ‘tidak perawan, atau perempuan sundal, atau
berzina, merupakan tindakan person tertentu [laki-laki] terhadap person lainnya
[perempuan]. Artinya keadaan ‘tidak perawan’ merupakan akibat dari perbuatan
antarindividu, atau perbuatan person tertentu terhadap atau bersama person lainnya.
Perbuatan itu ialah persetubuhan atau berkelamin. Kata berkelamin atau
bersetubuh sendiri ialah yāḥam, dalam bentuk pi’el,
menjurus pada arti ‘suka berkelamin’, atau menjadikan perbuatan berkelamin itu
suatu kegemaran, kebiasaan, dan bahkan mungkin profesi [Mzm.51:7]. Kata yang
sama, yakni Zônāh dapat pula
menunjuk pada perempuan yang menyerahkan dirinya [menjadi] sundal, dalam hal
melakukan semburat bakti di kuil-kuil [Ul.23:18]. Pada beberapa teks, perempuan
seperti ini disebut dengan istilah qedēšāh; istilah yang secara khusus ditujukan kepada perempuan [yang bekerja
sebagai] pelacur bakti di kuil-kuil untuk pelayanan seks kepada orang-orang
kafir [Ul. 23:17; Hos.4:14]. Namun tidak hanya perempuan, tetapi ada pula
laki-laki [qādēš] yang melakukan
semburit bakti di kuil-kuil [Ul. 23:17; 1 Raja 14:24; 2 Raja. 23:7].
Proses
bersundal, atau berzina dalam kata Zōnāh sama
sekali tidak menunjuk pada adanya proses atau tindakan kekerasan. Pada beberapa
teks, terdapat tindak kekerasan seksual, seperti dalam Kej. 34:2, ketika Sikhem
anak Hemor, memerkosa Dina, anak Yakub. Kata yang digunakan di situ adalah wayišekāb dari kata dasar šākāb/škbh – yaitu kata kerja dasar [qal], meniduri, [membuat] terbaring, dalam bentuk hif’il berarti [menyuruh/memaksa]
berbaring.
Artinya
tindakan zōnāh merupakan gambaran dari semacam profesi atau status
diri seseorang perempuan. Namun status diri itu baru dapat dikenakan ketika ada
seseorang yang mengajaknya untuk bersundal. Sebaliknya jika ia tidak melakukan
sundal atau tidak diajak bersundal, sesungguhnya ia adalah pribadinya yang
asli. Namun status diri itu terkadang menjadi label sosial atau stereotype yang
dilekatkan masyarakat umum kepada seorang perempuan tertentu. Karena itu dalam
Yos. 2:1, Rahab, adalah seorang perempuan yang dilabel sebagai sundal [Zōnāh]. Namun dua pengintai Israel yang mengintai dari
rumahnya, dan tidur di situ pada malamnya, sama sekali tidak berarti mereka
melakukan sundal dengan Rahab. Kata tidur yang digunakan di sini adalah wayišekābu-šāmāh – yang
lebih cenderung berarti ‘mendapat tempat tidur, atau tempat perhentian, tempat
bermalam.
Dalam
teks itu, Rahab telah dilabeli dengan semacam citra baku sebagai sundal [zōnāh]. Tetapi sekali lagi, ia tidak dapat disebut
bersundal jika tidak ada laki-laki yang mengajaknya untuk melakukan tindakan
sundal, berzina, berselingkuh.
Artinya,
perbuatan sundal, zina atau selingkuh bukanlah citra baku [label] diri seorang
perempuan. Sebaliknya perbuatan sundal itu adalah perbuatan yang dilakukan
karena adanya peranserta subyek lain, yakni laki-laki. Artinya dari teks Yosua
2:1 itu maka tidak benar untuk memberi label sundal kepada perempuan, walau ia
berprofesi sebagai pekerja seks [qedēšāh],
sebab ia baru disebut bersundal jika telah ada laki-laki yang mengajaknya
dan/atau melakukan perbuatan sundal dengannya.
Jika
ditempatkan dalam budaya masyarakat Israel Alkitab, maka sesungguhnya tidak
benar untuk mengatakan bahwa citra diri yang buruk seperti sundal hanya tertuju
kepada perempuan. Tafsir kita yang kadang lemah, sebab telah melihat istilah
itu sebagai bentuk labelisasi, tanpa mencoba menelusuri genus kata itu secara
mendalam. Artinya genus sebuah kata selalu memuat obyek kognisi dari kata itu
sendiri. Ada hubungan antarperson yang membidani bentuk operasional/teknikus
termini dari sebuah kata. Genus kata itu memiliki habitusnya tersendiri. Dan
sebuah kata tidak bisa dilihat secara konstan sebagai sebuah susunan
huruf/alphabetik; sebuah kata adalah visualisasi suatu tindakan. Dan sebuah
tindakan itu dilakukan oleh subyek tertentu dalam suatu waktu tertentu dan
mengarah kepada subyek atau obyek di luar diri subyek pertama tadi.
III Souňe
Saya
memang tidak fasih berbahasa Alune. Saya pun tidak memahami sistem fonemik dan
struktur bahasanya. Namun saya pernah hidup di dalam lingkungan di mana
masyarakatnya berbahasa Alune, yakni di Jemaat GPM Uweth, Klasis Taniwel, Seram
Bagian Barat. Saya mencoba mengamati gaya membahasa dan dialek mereka, dan pada
beberapa kata, biasa dilafalkan dengan nada tinggi pada bagian akhir kata itu.
Saya
pun tidak bisa memastikan bahwa model penulisan bahasa Alune menggunakan
tanda-tanda kata keras, atau sistem vokalisasinya disertai dengan tanda bunyi
tertentu. Saya sengaja menulis souňe seperti itu untuk menerangkan bahwa pada saat diucapkan, bagian akhir
dari kata itu biasanya mendapat nada tinggi. Jadi tidak diucapkan dengan datar.
Dan jika diamati, ketika orang Uweth menyebut istilah ini, wajah mereka
kelihatan tegang, dengan kening sedikit terangkat; selain sebagai tanda heran,
tetapi juga bahwa pernyataannya itu sungguh-sungguh.
Dalam
masyarakat Alune ada beberapa bentuk tabu dan sanksi yang secara khusus antara
laki-laki perempuan muda dan/atau yang sudah berkeluarga/sudah menikah/kawin.
Ada satu istilah yang menunjuk pada tabu umum di antara pemuda-pemudi atau
laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga. Istilah hukume – sering digunakan untuk menjelaskan tabu umum itu. Yakni
jika pemuda-pemudi berpegangan tangan, atau seorang laki-laki secara sengaja
atau dengan maksud birahi memegang alat vital seorang perempuan, entah pacar
atau yang bukan istrinya. Demikian pun jika pemuda-pemudi berciuman, atau
seorang laki-laki dengan maksud birahi mencium perempuan bukan istrinya.
Perbuatan serupa itu disebut dengan istilah hukume.
Lalu
apa artinya? Souňe secara umum diartikan selingkuh atau berzina. Namun kontak seks yang
dimaksudkan dalam istilah ini adalah jika mereka telah bersetubuh; entah antara
seorang laki-laki yang sudah berkeluarga dengan bukan istrinya, atau laki-laki
yang belum berkeluarga dengan istri orang lain, atau di antara pemuda-pemudi.
Dengan kata lain, souňe merupakan tabu umum yang terkait dengan tindakan bersetubuh atau tidur
secara orang bersetubuh, antara laki-laki dan perempuan yang bukan atau belum
menjadi suami-istri.
Tabu
umum ini merupakan sebuah bentuk hukum susila dalam masyarakat Alune yang
secara tegas menentang pelecehan seksual, kontak seksual pra-nikah atau seks
bebas, dan perzinahan, atau persundalan. Makna berikutnya adalah tabu umum ini
bermaksud memelihara keutuhan sebuah rumah tangga atau lestarinya relasi
pasangan suami-istri.
Apakah
tabu umum ini diberlakukan karena ada kecenderungan orang melakukan tindak
pelecehan seksual, kontak seksual
pra-nikah dan perzinahan? Realitas menunjukkan bahwa ada anak-anak yang
disebut sebagai ‘anak luar’, yaitu anak-anak yang lahir di luar nikah, atau lahir
pada saat seseorang perempuan belum menikah, atau malah tidak dinikahi oleh
laki-laki yang menghamilinya. Realitas semacam ini ada di semua masyarakat,
baik masyarakat tradisional maupun modern.
Sama
dengan perzinahan atau perselingkuhan juga telah menjadi sebuah fakta sosial
dalam relasi antarperson pada semua komunitas masyarakat di setiap zaman.
Artinya aktifitas seksual atau yang terkait dengan libido [ibr. libbāh] merupakan
bentuk perilaku manusia dalam masyarakat mana pun.
Artinya
souňe itu menjadi
suatu bentuk kecenderungan perilaku masyarakat. Namun sekaligus dijadikan tabu
umum dengan maksud supaya orang tidak melakukannya. Tindakan ini memang sering
tersembunyi, artinya tidak diketahui oleh orang lain. Namun ada kalanya pula
diketahui oleh orang lain, tetapi disangkali oleh mereka yang ber-souňe. Baik
secara diketahui maupun tidak diketahui, atau disangkali, dalam keyakinan umum
masyarakat di sana, pada akhirnya ketahuan juga.
Jika
ada yang ‘tertangkap basah’ melakukan souňe,
mereka yang melakukannya, laki-laki dan perempuan, dapat diadili di Baileu. Pada saat itu setiap masyarakat
[orang dewasa] dapat memukul kedua orang tersebut. Namun saat ini hal serupa
ini sudah jarang dilakukan. Atau masih dilakukan tetapi orang-orang yang ber- souňe sudah tidak lagi dipukul.
Masyarakat
selalu menandai adanya perbuatan souňe yaitu ketika orang yang souňe atau melakukan tindakan hukume itu
jatuh sakit, atau salah seorang anaknya sakit, atau perempuan yang souňe, entah
sudah atau belum menikah itu hamil dan susah bersalin/susah melahirkan. Pada
saat itu mereka akhirnya mengakui perbuatan hukume
dan/atau souňe-nya. Atas pengakuan itu, kepala adat biasa melayankan ritus pengampunan
yang disebut lala. Ritus ini dilakukan
dengan jalan meletakkan sirih dan pinang pada piring putih dan dibungkus dengan
kain berwarna merah sebagai tanda tubal atau
tolak bala. Kepala adat melayankan
doa untuk memohon pengampunan kepada orang yang sudah melakukkan tindakan souňe dan hukume. Setelah itu biasanya orang yang
sakit itu sembuh, dan/atau proses melahirkan berlangsung lancar.
Walau
sudah menjalani lala, bukan berarti
bahwa laki-laki yang tidak mau mengawini perempuan yang dihamilinya itu telah
bebas dari hukuman. Pada saat perempuan itu melahirkan, anaknya berhak mendapat
jaminan hidup, sebagaimana lazimnya anak-anak yang lain yang ditanggungi
hidupnya oleh papa/ayah mereka. Pihak keluarga perempuan akan menyelesaikan
masalah ini bersama pihak keluarga laki-laki, dengan jalan ‘bayar denda’, yaitu
keluarga perempuan berhak mengukur lahan kebun milik keluarga laki-laki,
sebesar yang mereka perlukan. Dan lahan yang diukur adalah lahan produktif
yaitu yang telah ada tanaman yang sudah menghasilkan atau sudah bisa dipanen.
Sebab anak itu berhak untuk hidup, dan ibunya pun tidak mungkin mengerjakan
lahan baru untuk menghidupinya.
IV Zōnāh dan Souňe dalam Ranah Tafsir
Kesamaan
bunyi dan makna dari kata Zōnāh dan Souňe pada dua
komunitas masyarakat dengan bahasa dan budaya yang berbeda tadi memang suatu
kebetulan. Saya juga tidak membuat simplifikasi tafsir terhadapnya, sebab habitus yang berbeda dari cara membahasa
dan praksis budaya kedua masyarakat ini.
Tetapi
bahwa karena bahasa itu hidup dalam ruang percakapan atau komunikasi, dan
komunikasi itu terjadi dalam relasi antarpersonal, maka praksis budaya
masyarakat di mana komunikasi itu berlangsung menjadi penting untuk ditelusuri.
Kritik
yang paling sering terhadap orientasi budaya masyarakat Israel Alkitab ialah
patriakhal yang mapan dan sering mendiskreditkan kaum perempuan. Perempuan
selalu dijadikan sebagai simbolisasi ketidaksetiaan kepada TUHAN. Karena itu
perilaku penyimpangan seksual selalu menjadi metafora ketidaksetiaan umat, dan
dalam metafora itu, kaum perempuan dijadikan sebagai subyek yang disimbolkan.
Akibatnya
status diri perempuan diderivasi ke dalam simbol dan labelisasi yang memang
memojokkan [pejoratif] dan memarginalkan; terkesan mereka direndahkan. Ironinya
ialah labelisasi itu dijadikan sebagai identitas atau citra diri baku kaum
perempuan. Sehingga bentuk ketidakadilan sosial dalam masyarakat semakin kuat,
dalam hal pandangan yang berat sebelah terhadap sikap dan perilaku perempuan
pada umumnya.
Pada
level itu, ketidakadilan sosial terhadap perempuan, bukan semata-mata
konstruksi sosial secara permanen, melainkan sebuah konstruk tafir/eksegetik
yang gagal mendalami habitus dari teks atau istilah di dalam teks itu. Tafsir
telah tersesat pada saat melihat sebuah ungkapan atau istilah sebagai gambaran
paling utuh dari realitas dan tindakan antarperson/interpersonal di dalam
istilah teknis itu. Tafsir dipengaruhi oleh pandangan umum [common sense] dalam masyarakat. Penafsir
memahamkan istilah itu mengikuti cara pandang dalam masyarakat, yang hanya
memosisikan satu subyek sebagai pemeran tunggal dari istilah itu.
Dalam
hal istilah zōnāh dan souňe, tafsir
mengikuti cara pandang yang memosisikan perempuan sebagai subyek yang
berperilaku buruk. Tafsir mengabaikan bahwa tindakan bersundal atau
berselingkuh terjadi karena peranserta subyek laki-laki ke dalam tindakan
tersebut. Tindakan bersundal, zina atau selingkuh dapat terjadi ketika ada
ajakan atau permintaan dari subyek yang satu terhadap subyek lainnya [laki-laki
dan perempuan]. Jadi tidak benar jika sundal itu dijadikan sebagai citra diri
perempuan.
Pendalaman
ke habitus yang menjadi ruang percakapan atau penggunaan bahasa/istilah membawa
kita masuk untuk memahami relasi antarpersonal atau tindakan interpersonal yang
membidani suatu perbuatan pada istilah yang digunakan. Jika kita melepaskan
tindakan atau peranserta antarpersonal dalam suatu istilah, maka kita telah
mengaburkan makna teknis dari istilah itu. Peranserta antarpersonal ini menjadi
bagian dari tafsir teks/budaya. Di mana-mana ketika peran antarperson itu
ditemukan, maka analisis terhadap person atau subyek yang terlibat dalam suatu
peristiwa/kejadian atau yang mendorong terlaksananya suatu tindakan, dalam
istilah tertentu, seperti zōnāh dan souňe, akan
menjadi jelas dan ditafsir secara utuh/jujur.
Itulah
mengapa TS akan membantu kita menemukan ruang sosial penggunaan sebuah istilah
dan membantu pemaknaan secara tepat terhadap peranserta antarperson dalam suatu
tindakan sosial/kejadian sosial. Zōnāh dan Souňe adalah
sebuah kejadian sosial yang malah telah menjadi gaya hidup sebagian besar orang
di mana pun.
Dengan
memahami Zōnāh dan Souňe sebagai kejadian sosial maka person yang terlibat di dalamnya adalah
jamak dan saling memengaruhi satu sama lain. Relasi saling memengaruhi ini yang
penting dikaji dalam rangka memahami dorongan dan alasan muncul atau
berlangsungnya kejadian itu.
Wailela, 19-21 Agustus 2013
pernah diterbitkan dalam Jurnal
Forum Biblika
Kontekstual, Fakultas Teologi UKIM Press dan Grafika Indah, 2013
No comments:
Post a Comment