Friday, December 23, 2011

HARI KAJADIANG

Basudara Tuang Hati Jantong!

Pagi ini ujang taru bagus lai ale. Mar Acim nih ada hati balisah tagal ciong bobou orang bakar kukis. Acim pung dalang hati, tar salah lai, ini bluder sageru nih jua. Acim kaluar dari dapor, langsung skrek, asap kaluar dari Sibu pung dinding gaba-gaba di dapor. Ini akang bobou nih pasti dari sana sudah. Tar salah lai.

Acim : Ola ee……tadi malang laki pukul sampe pagi kapa???

[Parsis dengar bagitu, Sander, Ola pung ade laki-laki yang tinggal di sablah Sibu rumah langsung lari kaluar rembeng gaba-gaba. Acim lia Sander lari langsung Acim angka kaki kaeng la lari lai iko Sander di Sibu pung pintu dapor]

Sander : Usi ee….usi eee….buka pintu nih la.

[Pas Ola buka pintu]

Sander : Sibu pukul se?????

[Ola tabingung-bingung, mar Ola balong bilang sa kata lai, Acim su torana Sander pung pohong tangang]

Acim : Ose nih Alexander toh…..ana su tar tau mau bilang apa lai par ose.
Sander : Tadi abang bataria dia laki pukul dia sampe pagi toh????
Acim : Tagal itu otak tuh jang pono deng pikirang politik. Pi sunsang se kapala di aer masing sana biar akang kosong sadiki la udara Har’ Kajadiang nih kas ponoh akang ulang. Ana maksud itu Sibu pukul talor deng tapong par Ola bakar bluder sageru…
Sander : Tuandalar……beta su kira apa lai???
Acim : Tagal itu pikirang tuh kas jao akang dari baku pukul, baku marah deng akang konflik bodoh tuh

[Dong tiga tatawa tagal Sander pung parsir par pagi hari. Sibu kaluar par dong tiga]

Sibu : Abang, kas tinggal ana Sander tuh la mari katong dua ka baranda muka. Beta su saleng kopi sa beker deng bluder sageru sa sele basar.
Acim : Itu macang….

[Acim deng Sibu langsung ka baranda. Tar mau ilang muka, Sander iko lai. Sampe di baranda dong tiga su tar potong kukis tuh lai mar manggurebe rabe akang. Dasar barakal, Sander rabe spanggal basar alam paskali]

Acim : Nyong, eso Kajadiang nih e….Ana sanang paskali bisa hidop sama-sama deng ale dong samua.
Sibu : Abang nih macang dar’ dolo katong ada tapisah sa. Dar’ dolo katong birman toh.
Sander : Kajadiang nih abang akang seng pandang Salam ka Sarane. La katong samua sama sa tuh. Nanti Taong Baru Salam, akang par katong yang Sarane lai toh???
Acim : Ana baru pernah dengar ose pung pikirang bagus har’ ini di Sander. Ana tau, itu pasti tagal se su mulai rajing inja pintu gareja.
Sibu : Abang macang tau beta pung konyadu nih sa e....dalang sataong, sabulang sa dia rajing inja pintu gareja, itu kalu Desember
Acim : Iyo mar seng apapa jua……biar ana deng dia macang deng tikus deng kucing, mar katong dua cuma pawela saja tuh
Sander : Katong su pandang abang sama deng katong orang tatua saja toh
Sibu : itu sudah
Acim : Iyo e, mar macang orang bilang ‘sagu saporna tuh ada 1 yang angos’, ha….yang angos tuh Sander nih jua……[dong tatawa la Acim tandang Sander pung pohon kaki]. Ana sanang ale nyong…..katong sumbayang kuat-kuat supaya Kajadiang nih katong samua laeng tambah sayang laeng jua

Sibu : Itu sudah abang e…..

[Bluder tinggal spanggal, dong tiga baku nganga la Sander loko akang kasi par Acim]

Sander : Beta su tau, abang suka bluder sageru yang beta kaka parampuang bakar. Akang macang beta suka Mama Oda pung opor ayang deng katupa pas Taong Baru Salam
[Dong tiga tatawa sama-sama]

Salamat Hari Kajadiang lai Basudara samua!
[Eltom Sibu]

Monday, December 12, 2011

KALWEDO! MINONG SOPI

Antara Semantik Bahasa dan Simbol Budaya Masyarakat Maluku Barat Daya
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


KESAN AWAL
Harian Ambon Ekspres, Edisi Selasa, 6 Desember 2011, pada halaman 11, memuat analisis Prof. Watloly perihal ungkapan ‘kalwedo’ sebagai sebuah simbol budaya masyarakat Maluku Barat Daya. Watloly tiba pada sebuah kesimpulan bahwa perlu pemahaman sejarah (heurestik) terhadap ungkapan kalwedo itu. Itu disebabkan karena jejak kebahasaan dari kata itu sendiri sudah hampir sulit dideteksi mengingat belum banyak pakar yang menyusun sejarah kebahasaan kelompok sub-etnik di Maluku, sampai pada sistem gramatikal dan vonemiknya. Beberapa usaha yang ditempuh belakangan ini oleh mereka yang menekuni ilmu kebahasaan mungkin juga kehilangan sistem aksara atau alphabetik asli, sebab pola transliterasi dilakukan mengikuti alphabet Arab dan penulisannya disusun mengikuti struktur bunyi dalam bahasa melayu (melayu Ambon).
Beberapa diskusi di group ‘Journal Babar’ (jB – mengikuti gaya pengetikan Pdt. Ampy Beresaby dalam facebook) tentang sopi, dan analisis Prof. Watloly itu menjadi kerangka empiris dari refleksi ini. Tentu harus saya akui, saya terbatas untuk mendalami struktur emic dari konteks dan psikologi budaya orang Maluku Barat Daya sebab saya ke Kisar hanya 1 hari dan bukan untuk tujuan meneliti konsepsi ini, melainkan menjalankan tugas gereja (Sosialisasi Penyusunan Rencana Strategi Jemaat GPM). Saya bukan orang MBD, dan tidak bisa berbahasa salah satu sub-rumpun bahasa di sana (kecuali mama saya yang paham dan mampu berbahasa Kisar). Saya pun tidak seperti teman-teman Pendeta GPM yang bertugas di salah satu jemaat di MBD. Karena itu refleksi ini berangkat dari ‘kemiskinan’ secara intelektual tentang konteks masyarakat di MBD sebagai pemangku budaya.

Saya memiliki secuil pengalaman empiris terkait dengan pokok tulisan ini. Pengalaman itu terjadi pada 20 November 2011, waktu kami disambut oleh jemaat GPM Marbali, Klasis Kepulauan Aru, untuk kegiatan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda GPM (AMGPM) di sana. Kebetulan jemaat Marbali berasal dari Tepa, sehingga kami disuguhi minuman sopi dan pengalungan kain tenun sebagai bagian dari rangkaian penyambutan secara adat. Waktu itu saya bingung antara menyebut ‘kidabela’ atau ‘kalwedo’ sehingga saya hanya mengangkat sloki sopi itu dan meminumnya sekaligus. Saya senang sebab orang-orang Tepa yang ada dalam arakan penyambutan itu langsung bertepuk tangan. Apakah mereka menerima saya ke dalam sistem hidup budayanya atau merasa saya menghormati praktek adatisnya? Saya kira keduanya. Namun itu sama sekali tidak berarti bahwa refleksi ini sudah secara gamblang mengangkat aspek terdalam (emic) dari konteks budaya masyarakat MBD.

Mungkin ada satu lagi kepentingan subyektif mengapa saya berusaha membuat tulisan ini. Sopi sebagai komoditi lokal menimbulkan kontroversi yang luar biasa dalam regulasi di daerah dan juga masalah dalam hidup masyarakat termasuk kelompok umat beragama. Penggunaan sopi secara berlebihan merupakan salah satu problem pokok pelayanan jemaat-jemaat GPM tetapi juga masyarakat adat di Maluku karena ekses darinya adalah kemabukan dan memancing timbulnya berbagai tindakan kekerasan dan kriminalitas. Gereja pun kehabisa cara untuk menanganinya. Selain kepolisian, ada beberapa pendeta yang radikal memusnahkan minuman tradisional ini di pelabuhan-pelabuhan di Kota Ambon. DPRD Kota dan Kabupaten pun demikian. Berkali-kali melakukan studi banding ke sana ke mari, tetapi alhasil tidak ada Peraturan Daerah yang mengatur mengenai produk lokal ini. Padahal di MBD, dan banyak tempat lainnya, produk ini menjadi sumber daya ekonomi (bahkan satu-satunya) yang mampu menghidupi keluarga.

Ada pomeo: dari sopi lahir Jenderal, dari sopi lahir Guru, Dosen dan dari sopi lahir pula Pendeta. Maksudnya uang hasil menjual sopi menjadi sumber dana untuk membiayai studi anak-anak. Pomeo lain: 1 sloki angka suara, 2 sloki angka sudara, 3 sloki tangang bicara, 4 sloki mandi darah, 5 sloki keluarga sengasara, 6 sloki nyawa melayang, 7 sloki masuk neraka.

BAHASA DAN SEMANTIK KEBUDAYAAN
Sebelum saya lebih jauh melakukan refleksi ini, saya merasa perlu memaparkan sedikit tentang bahasa sebagai sistem semantik dalam kebudayaan masyarakat. Dalam penelitian etnografi, bahasa memainkan peran pokok sebab bahasa mengantar kita pada dua tugas penting dari penelitian etnografi yakni penemuan (discovery) dan deskripsi (description). James Spradley (1997:23-29) menjelaskan bahwa dengan memahami dan mampu membahasa seperti masyarakat setempat kita merasa ‘berada di dalam rumah’ (at home), sebaliknya jika tidak sama saja dengan homeless – pengungsi budaya/pengelana. Saya yakin saya hanyalah pengelana budaya dalam kasus tulisan ini. Sebab jika pun saya mampu membahasa, bukan berarti saya berkemampuan berbahasa seperti orang setempat (bisa berbahasa Tepa, Kisar, dll) melainkan saya mungkin hanya mampu menirukan dialeg orang setempat.

Itulah sebabnya bisa saja refleksi ini baru tiba pada apa yang disebut Richard Palmer (2003:17-23) dengan ‘to express’ (mengungkapkan), karena saya dapat saja bertumpu pada ‘perkataan’ atau juga ‘gaya’ –dan belum menelisik lebih jauh untuk ‘to explain’ (menjelaskan sesuatu) sehingga maknanya tidak menjadi makna primordial melainkan dapat menembusi horizon makna yang lebih luas.

Dari pendapat itu maka kita dapat memahami istilah atau slogan tertentu yang digunakan oleh suatu komunitas merupakan bagian dari sistem bahasanya secara utuh. Istilah dan slogan tidak bisa dimengerti lepas dari genealogi dan anatomi bahasa setempat. Pada istilah dan slogan terkandung ‘perkataan’ dan ‘gaya’ –atau ucapan dan tindakan. Dan semuanya itu adalah teks yang berfungsi sebagai designatum atau cara yang menerangkan tanda. Dengan memahaminya sebagai designatum/designata kita dituntut untuk memahami hubungan antara cara pengucapan dan pengungkapannya (gaya) [–baca. Joseph H. Greenberg, dalam Hymes, 1964:27].

Saya menggunakan pendekatan itu untuk mengurai ‘sopi’ dan ‘kalwedo’ sebagai istilah dan juga slogan, atau simbol dan penggunaan simbol. Dalam cakupan itu saya mesti mengakui bahwa ‘kemiskinan intelektual’ dalam refleksi ini memberi tantangan tersendiri.

KALWEDO, SLOGAN DAMAI, ANTI KEKERASAN

Saya meminjam beberapa tukilan Prof. Watloly tentang istilah ini. Jejak kebahasaan masih sedikit sulit untuk menangkap akar kata dari istilah ‘Kalwedo’. Beberapa teman orang MBD yang saya tanyakan melalui sms (short message system/pesan singkat) cukup sulit menjelaskannya. Mungkin karena usia mereka muda dan sudah tidak bisa berbahasa Kisar dan Tepa, atau karena pembelajaran bahasa yang kurang sistematis, sebab kita cenderung mengajar anak menghafal istilah dan berbahasa. Kita tidak mengajarkan gramtikal secara memadai. Kesan ini dialami pula oleh beberapa orang dari luar suatu komunitas asli. Mereka cukup menghafal istilah-istilah yang kerap digunakan dalam komunikasi sehari-hari, atau juga istilah-istilah yang terkait dengan sumpah-sumpahan, maki-makian, dan sejenisnya. Tujuannya, kalau-kalau dimaki, bisa diketahui. Akibatnya bahasa asli (bahasa tanah/native language) menjadi semacam bahasa rahasia.

Prof. Watloly memparalelkan istilah ‘kalwedo’ dengan istilah ‘kalyel’ dalam bahasa Babar Timur yang berarti ‘tidak kuat’, dan ‘kale’ dalam bahasa Kisar/Meher, yang berarti ‘tidak ada’. Artinya mungkin saja akar kata ‘kal..’ dalam rumpun bahasa di MBD berarti ‘tidak, tiada, tanpa’.

Lebih lanjut Watloly, bagi saya, lebih condong menangkap gagasan filsafat Kalwedo itu dalam semacam desain moral dan etik masyarakat. Apa yang dilakukannya merupakan usaha menafsir istilah itu dalam ranah sosio-kultural dan sosio-etik masyarakat.Ia merunut bahwa secara semantik istilah ‘kalwedo’ itu menegaskan lima hal, yakni:
Pertama, bumi yang berhati kalwedo, yaitu bumi yang berhati mulia, hati yang penuh kedamaian dan persaudaraan, hati yang jujur, iklas dan terbuka.
Kedua, bumi yang berjiwa kalwedo, yaitu bumi kelemahlembutan, jiwa penyayang, pengasih, penyabar dan jiwa melayani.

Ketiga, bumi yang berotak kalwedo, yaitu otak yang kritis, cerah ceria, berwawasan luas, cerdas, berhikmat dan penuh kearifan serta kebijaksanaan hidup (wisdom).
Keempat, bumi yang berwatak atau berkarakter kalwedo, yaitu watak atau karakter berakhlak luhur, setia, teguh dan kokoh dalam pendirian serta watak beriman.
Kelima, bumi yang berotot kalwedo yaitu otot yang ulet, tahan banting, pantang menyerah menghadapi alam kepulauan yang beriklim ganas dan lahan kering.

Saya kira tugas kita adalah terus mencari makna dasar dan dunia sosial (zits im leben) yang melahirkan istilah itu. Pertanyaannya ialah apakah istilah itu adalah sebuah slogan damai yang diambil tatkala leluhur-leluhur kita di masa lampau berperang (adu ketangkasan dan ilmu) dan tidak ada yang kalah maka mereka bersepakat berdamai dalam arti menghentikan perang, dan kalwedo merupakan slogannya? Apakah istilah kalwedo itu merupakan slogan pada saat dua orang bersaudara berjumpa satu sama lain dan menyampaikan salam, sebagai tanda persaudaraan?

Beberapa teman yang saya tanyakan menulis dalam sms-nya bahwa: ‘kalwedo itu sama saja dengan Shalom, jadi setiap kali katong bakudapa, katong menyebut kalwedo sebagai salam’. Sms yang lain menjelaskan bagini: ‘itu istilah yang artinya damai’.
Jika kedua sms itu dikaitkan dengan penjelasan Watloly dari perbandingan dengan kata ‘kale’ dan ‘kalyel’, maka mungkin kita bisa memastikan bahwa ‘kalwedo’ merupakan slogan yang digunakan sebagai tanda mengakhiri pertengkaran, perselisihan pendapat, perselisihan sikap, pertikaian antar saudara atau antar-negeri. Karena itu ‘kalwedo’ dapat diikuti dengan semacam sumpah dan janji untuk tidak bertikai, berselisih atau bermusuhan.

Dengan demikian, dapat saja kita artikan ‘kalwedo’ yakni ‘situasi tanpa atau tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi konflik dan peperangan, tidak ada lagi perselisihan pendapat dan sikap. Kalwedo menjadi slogan di mana suatu tatanan baru telah didirikan yakni tatanan damai, harmoni, kekompakkan, kerjasama, kesetaraan dan kesamaderajatan.

Pertanyaan berikut, mengapa setiap menyebut ‘kalwedo’ ditandai dengan meminum sopi satu sloki? Artinya kalwedo jelas bukanlah sekedar istilah melainkan slogan. Jadi bukan sebatas perkataan melainkan gaya. Semantik kalwedo adalah dialektika antara perkataan dan gaya; dialektika konsep dan praksis; moral dan etika praksis, iman dan perbuatan.

SOPI, ANGKA SUARA, SUARA YANG BESAR
Dalam jB, Pdt. Ampy Beresaby menerangkan bahwa dalam bahasa tua di MBD, istilah sopi adalah LIRMARNA; yang terdiri dari dua kata yakni ‘Lir’ yang bararti ‘suara’, dan ‘Marna’ yang artinya ‘besar/mulia’. Jadi ‘lirmarna’ atau sopi berarti ‘SUARA YANG BESAR, SUARA YANG MULIA’.

Dalam kaitan ini sopi tidak boleh dipahami lepas dari pengungkapan slogan kalwedo tadi. Kita dibantu dengan melihat pada praktek ritus dalam komunitas MBD, di mana sebelum meminum sopi, seseorang mesti mengangkat sloki sambil berseru: ‘kalwedo’.
Dalam prakteknya, cara itu digunakan pula dalam memulai sebuah musyawarah keluarga atau musyawarah adat. Banyak orang berkata pula bahwa, jika terjadi sebuah perselisihan pendapat dalam musyawarah itu, langsung diedarkan sopi kepada semua peserta musyawarah dan setelah itu, perselisihan pendapat itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Atau dalam praktek lain, ketika satu keputusan adat hendak ditetapkan dan agar semua orang yang ada di situ tidak melanggar keputusan itu, dibagikan pula sopi, dan sebelum meminum masing-masing berseru: ‘kalwedo’.

Itulah sebabnya saya yakni, slogan ‘kalwedo’ berarti ‘tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi konflik dan peperangan, tidak ada lagi perselisihan pendapat dan sikap’. Sopi menjadi material atau simbol budaya yang menyatu dengan penggunaan slogan kalwedo. Slogan itu menjadi tanda dan sopi merupakan designatum dari tanda itu. Sebab itu jika sopi dipahami dalam istilah ‘lirmarna’, maka penggunaan sopi di sini terjadi secara proporsional dan untuk tujuan yang baik, yakni menyelesaikan masalah dan membangun harmoni baru. Sopi menjadi designatum dari suatu situasi yang tertib dan bukan instabilitas dan disorder.

Malah menurut istilah ‘lirmarna’ dapat ditegaskan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang benar, sesuai dengan rasa keadilan dan bertumpu pada semangat persaudaraan, kesetaraan (equality) dan untuk keseimbangan hidup atau relasi (equalibrium). Di sisi lain, ‘lirmarna’ yang berarti ‘Suara Yang Besar’ atau ‘Suara Yang Mulia’ dapat juga bermakna religius. Maksudnya, pengambil keputusan memiliki kharisma yang kuat dan dia menjadi figur yang menentukan dan dapat mengeratkan relasi antar-masyarakat. Peran figur atau tokoh menjadi penting dalam semantik ‘lirmarna’ ini. Apakah kita pun dapat mendefenisikan bahwa ‘Suara Yang Besar’ atau ‘Suara Yang Mulia’ itu berarti pula suara dari Tuhan atau ‘kabar baik’?

Saya mungkin lebih condong memahami ‘lirmarna’ dalam arti ‘kabar baik’ – sebab apa yang mau ditunjukkan dari tradisi : ‘kalwedo’ sambil mengangkat dan meminum sopi adalah perkataan baru sebagai keputusan atas suatu hal. Arti ‘kabar baik’ itu yang membuat slogan ‘kalwedo’ dengan cara mengangkat dan meminum sopi tidak lagi bermakna primordial melainkan membentuk suatu makna universal yang memberi pesan kemanusiaan yang universal pula.

Ada tatanan baru yang hendak dibangun dari keputusan atau perkataan itu, yakni harmoni dan ketertiban sosial, tanpa kekerasan, tanpa perselisihan dan pertengkaran, tanpa pertikaian dan tanpa cemburu, dendam, iri hati, dengki, tetapi juga tidak ‘harap gampang’ melainkan dapat bekerja bersama-sama. Sebab tradisi ini pun ada dalam pranata persaudaraan yang lain dalam praktek budaya orang MBD seperti kebiasaan menanggung suatu acara pernikahan anggota keluarga.

KALWEDO, MINONG SOPI DAN KRITIK SOSIAL
Telusuran makna ini menghadapkan kita pada sebuah tanggungjawab budaya untuk meluruskan suatu perilaku yang menyimpang dari makna dasar tindakan kebudayaan masyarakat.

Leluhur mendasarkan suatu praktek budaya yang bernilai luhur. Kemampuan mereka menghentikan konflik, pertikaian dan perselisihan menjadi bukti betapa kearifan atau hikmat lokal mereka jauh lebih tinggi dari hikmat masyarakat dewasa ini.
Pemanfaatan sopi [lirmarna] sebagai designatum untuk menegaskan suatu keputusan adat memperlihatkan bahwa sopi menjadi minuman sakral yang tidak digunakan untuk kepentingan sekular di luar forum atau lembaga adatis. Itulah sebabnya mengapa di banyak negeri, sopi menjadi bagian dari harta kawin yang ditentukan secara adat.
Penyalahgunaan atau konsumsi sopi yang berlebihan dan eksesif merupakan bukti pergeseran tertib sosial yang ditentukan sejak zaman leluhur, dan bukti terjadinya disfungsi sosial yang cukup kronis. Hal ini menandakan hikmat sosial masyarakat di ambang krisis sehingga norma-norma etik pun turut ditunggangbalikkan, terjun bebas ke degradasi moral. Apalagi ketika sebagian kalangan menjadikan penyalahgunaan konsumsi sopi sebagai picu berkonflik.

Kalwedo, sambil mengangkat dan meminum sopi membangun matra asli yakni damai dan nir-kekerasan. Ketika forma asli ini tergeser, sesungguhnya kita sedang jatuh ke dalam lembah hitam peradaban barbaris. Pertanyaannya mengapa forma asli itu mengalami pergeseran yang besar seperti itu? Saya kira jawabannya bukan sekedar pada kurangnya pewarisan nilai, melainkan paham-paham sekuler dalam budaya telah menggempur basis budaya lokal. Ada penetrasi yang cukup kuat ke dalam kebudayaan kita, sehingga nilai-nilai komunalitas mengalami pergeseran. Kemampuan menyelesaikan masalah pun semakin melemah oleh karena egosentrisme kebudayaan. Persaingan sosial (social competition) tidak dikelola secara arif melainkan dijadikan sebagai alasan perbedaan sosial (diferensiasi). Dalam banyak perselisihan orang tidak berusaha mencari konsensus dengan menjaga keseimbangan (ekualibrium).

Renungan sosial-budaya kita akan tiba pada point bahwa hal-hal itu terjadi sebab kekuatan-kekuatan adatis kita menjadi lemah, sebagai contoh fungsi Raja telah hilang, dan kharisma adat para tokoh dalam masyarakat pun mulai memudar. Orang Maluku mulai meninggalkan keunikan budayanya sendiri atau malah menganggap keunikan itu sebagai udik/kampungan dan ketinggalan zaman. Ada semacam rasa malu (ashamed) untuk memakai identitas dan tanda lokal. Hal ini kami temui pula pada sekelompok orang muda di beberapa negeri yang sudah tidak fasih lagi membahasa tanah. Malah mereka menganggap bahasa tanah itu sebagai warisan tua yang ketinggalan zaman, tidak up to date. Pada saat itulah kita kehilangan jejak ke forma asli yang mengandung nilai sakral dari budaya kita sendiri.

Kalwedo, sambil mengangkat dan meminum sopi atau lirmarna, menjadi point kritik bahwa kata-kata yang keluar dari mulut seseorang haruslah kata-kata berhikmat (Kata-kata Yang Baik atau Yang Mulia). Kontrol kesadaran merupakan aspek penting dari tindakan budaya ini. Konsumsi lirmarna yang berlebihan justru membuat kata-kata yang keluar berada di luar kendali kesadaran pula. Orang mabuk merupakan contoh konkrit lirmarna tidak lagi membentuk lapis kesadaran utama dan kesadaran sejarah mereka atau masyarakat.

Level kesadaran sejarah ini yang perlu dibentuk agar tidak ada lagi penyelewengan tafsir dan tindakan terhadap forma asli kebudayaan ini.
Demikian dulu refleksi ini, sambil terus berusaha mendalami struktur budaya masyarakat MBD.
Kalwedo! [*]

Buku Rujukan
Greenberg, Joseph H, ‘Linguistics and Ethnology’, dalam Dell Hymes (eds.), 1964, Language in Culture and Society; A Reader in Linguistrics and Anthropology, Harper & Row, Publ., NY, Evanston, and London

Palmer, Richard E, 2003, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery & Damanhury Muhamed, Pustaka Pelajar, Yogkayarta

Spradley, James P, 1997, Metode Etnografi, Pengantar oleh. Dr. Amri Marzali, MA, terj. Misbah Zulfa Elizabeth, Tiara Wacana, Yogyakarta

Friday, November 25, 2011

Pencanangan Adventus Natal 2011

Liturgi Pencanangan Adventus Natal 2011
Jemaat Rumahtiga Klasis GPM Pulau Ambon
Jumat, 25 November 2011

Tema :
Bersama-sama Menyambut Kedatangan Tuhan Dengan Saling Peduli
(Lukas 2:1-7)


Solo: KJ. No. 109:1 - ‘Hai Mari Berhimpun’
[masuk Yesus berjubah Biru – simbolisasi Adventus, diiringi anak-anak SM-TPI yang membawa banner bertuliskan: ‘Orang Miskin, Orang Sakit, Orang Cacat, Anak Yatim-Piatu, Korban PHK, Jompo – sebagai refleksi Tema Natal]

Anak 1: [Pembawa Banner ‘Orang Miskin’]
Di palunganMu TUHAN, kami ada

Anak 2: [Pembawa Banner ‘Orang Sakit’]
Di palunganMu TUHAN, kami terbaring

Anak 3: [Pembawa Banner ‘Orang Cacat’]
Kami terus berjalan menuju palunganMu, TUHAN

Anak 4: [Pembawa Banner ‘Anak Yatim-Piatu’]
Oh, Yesus, Kau terlahir dan punya Mama-Papa. Dan Aku, tak lagi punya Mama dan Papa, tapi aku ada di palunganMu

Anak 5: [Pembawa Banner ‘Korban PHK’]
Tidak ada lagi gembala, kami yang kini datang ke palunganMu, TUHAN

Anak 6: [Pembawa Banner ‘Jompo’]
Majusi sudah kembali ke negeri mereka, tapi kami masih ada di palunganMu, Tuhan

Yesus Jubah Biru:
Ketahuilah, bahwa di antaramu masih banyak orang yang harus kamu layani, sebab ketika kamu melayani salah satu di antara mereka, kamu sudah melayani Aku. Inilah palungKu untukmu

Liturgos:
Saudara-saudaraku, kita ada di dalam palungan Yesus. Kita berhimpun bersama dalam sukacita kekal, sebab Yesus lahir sebagai tanda TUHAN peduli kepada semua manusia, dan peduli kepada mereka yang lemah dan terbatas. Mari berhimpun dan bersukaria. Siapkan hati untuk menyambut kedatanganNya

Jemaat Berdiri sambil Menyanyi: KJ. No. 109:1 ‘Hai Mari Berhimpun’

Liturgos:
Oleh sebab itulah Jemaat, ibadah ini kita rayakan dalam kemuliaan Allah Bapa, Yesus Putra Natal dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus.

Jemaat Menyanyi Pujian: ‘Dia Lahir Untuk Kita’

Liturgos:
Jemaat, kita ada hari ini untuk suatu akta yang penting di dalam seluruh perayaan Gereja. Adventus Natal mengingatkan kita untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi kedatangan Sang IMANUEL.

Pujian Jemaat: [mengantar perenungan diri]
KJ. No. 81 ‘O Datanglah, Imanuel’
Sambil pembawa banner tadi berjalan beriring dengan Yesus yang berjubah Biru dan menjumpai beberapa orang yang digambarkan tidak mempedulikan mereka – sebagai refleksi bahwa kita sering enggan menolong atau bersikap palsu dalam menolong mereka yang lemah

Yesus Berjubah Biru: [mengumpulkan anak-anak pembawa banner]
Kalian lihatlah, Aku sudah berdiri di depan mereka, dan tidak satu pun yang melihat. Mata mereka masih tertutup, telinga mereka pun tidak terbuka. Demikian pun hati mereka. Aku tahu kalian setiap hari ada bersama mereka. Karena itu Aku hendak pergi. Aku belum membawa kalian menyertaiKu, sebab Aku masih mau melihat siapakah di antara mereka ini yang peduli kepada kalian. Tinggallah di sini, tetapi percayalah, Aku tidak akan membiarkan kalian sendiri. Roh Kudus akan tetap ada padamu dan di tengah mereka pula.

Anak-anak Pembawa Banner:
TUHAN, biarkan kami pergi bersamaMu

Yesus Berjuban Biru:
Tidak! Kalian harus tetap ada di sini.

Jemaat Menyanyi: KJ. No.85 ‘Kusongsong Bagaimana’
[Sambil anak-anak pembawa banner terus mengitari palungan dan pohon natal]

Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Saudara-saudara, apakah kalian menantikan kedatangan seorang Mesias?

Jemaat:
Kami menantikan Mesias Yang Diurapi

Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Sudahkah kalian mempersiapkan diri untuk menyambut Dia Yang Diurapi itu?

Jemaat:
Kami telah membuka hati dan pintu rumah kami untuk Mesias Yang Diurapi

Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Sudahkah Dia datang ke hati dan rumahmu??

Jemaat:
Kami masih menanti dan mengundangNya masuk ke hidup dan rumah kami

Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Setiap hari dia ada di antara kalian, tetapi mata dan hatimu tertutup bagiNya

Jemaat:
Tidak mungkin!

Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat] sambil menghimpun kembali anak-anak pembawa banner
Inilah wajah dan derita Dia Yang Diurapi yang kalian nantikan itu. Dia bukan lagi seorang bayi yang dibungkus dengan lampin, tetapi sesamamu yang dibungkus kemiskinan, penyakit, dan kemelaratan karena ketidakadilan. Layanilah mereka seperti kalian melayani Aku


Jemaat menyanyi: PKJ. No. 43 ‘Tuhan Kami Berlumuran Dosa’

Liturgos:
Maka Dia Yang Diurapi itu berkenan mengampuni dosa kita asal kita bertekad melayaniNya dengan mempedulikan mereka yang lemah. Sudahkah saudara-saudara siap melayani Tuhan dalam saling peduli kepada sesama dan semesta ciptaanNya????
….
Mari berdiri dan dalam kegirangan kita puji Tuhan, Sang IMANUEL itu
Puji-pujian Jemaat: (medley)
Hai Siarkan di Gunung (KJ. 120)
Datang ke Hadirat Tuhan
Alam Raya Berkumandang (KJ. No.101)
Nyanyi Glory
Dia Lahir Untuk Kami

PS/VG/SOLO/DUET

PELAYANAN FIRMAN:
Doa Pembacaan Alkitab – oleh. Penatua Bertugas
Pembacaan Alkitab dan Khotbah – oleh. Pelayan Firman

Puji-pujian Jemaat: (medley)
Allah Kita Heran dan Besar
Bangkit, S’rukan Nama Yesus
Api KemuliaanNya
Gita Sorga Bergema (KJ. No. 99)

PERSEMBAHAN SYUKUR [diiringi Pujian Jemaat]
Sungai SukacitaMu

PS/VG/SOLO/DUET

DOA SYAFAAT

AKTA PENCANANGAN ADVENTUS:
Parade Anak TK dan AK dengan kidung ‘SERIBU LILIN’ – dari berbagai sudut gereja menuju altar dan mengitari Lilin Induk serta Pohon Natal. Anak-anak Pembawa Banner beriring bersama mereka sambil membawa Banner Tema Natal.

Di depan Altar:
Ketua MJ
Saudara-saudara, hari ini kita mencanangkan Adventus Natal Kristus Tahun 2011. Empat Pekan Adventus akan kita masuki dalam gumul bersama untuk menyambut kedatangan Tuhan dengan saling peduli kepada mereka yang lemah dan terbatas. Selaku hamba Yesus Kristus, saya canangkan Pekan Pembinaan Umat dalam masa Adventus Natal tahun 2011 demi Nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Damai sejahtera Allah melimpah dalam hidup kita. Amin

[Langsung menyalakan Lilin Induk dan 11 Lilin yang dibagikan kepada Ketua-ketua Bakopel, dan menekan tombol Lampu Pohon Natal]

Jemaat Menyanyi: ‘Seribu Lilin’

BERKAT:
Damai sejahtera Allah melimpah dalam hidup kita. Kasih Yesus Kristus memenuhi hari-hari hidup kita dan gelora cinta kasih dari Roh Kudus menyemangati kita peduli kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan hari ini sampai selama-lamanya. Amin

Jemaat Menyanyi:
S’lamat, S’lamat Datang


SELAMAT MEMPERSIAPKAN DIRI MERAYAKAN ADVENTUS NATAL DAN SAMBUT NATAL KRISTUS DENGAN SALING PEDULI

Friday, November 18, 2011

PROBLEM PEMBANGUNAN DI PULAU-PULAU KECIL

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


People centered development atau pembangunan berbasis masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pendekatan kesejahteraan (social welfare) di mana masyarakat menjadi subyek utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh dinamika pembangunan. Sudah tentu hal itu mengindikasikan bahwa pembangunan menjadikan manusia atau masyarakat manusia sebagai tujuan. Suatu gerakan protes terhadap developmentisme yang cenderung memosisikan manusia sebagai alat untuk melaksanakan proyek-proyek raksasa atas nama kesejahteraan.

Ada empat pengalaman kecil dari empat kali berkunjung ke pulau-pulau kecil di Maluku. Pertama, pengalaman berkunjung ke Pulau Larat (MTB), kedua ke Pulau Selaru (MTB), ketiga ke pulau Kisar (MBD) dan keempat ke pulau Wamar-Dobo (Kepulauan Aru). Pengalaman-pengalaman kecil yang patut disyukuri dalam tugas sebagai Ketua Umum PB AMGPM dan Tim Evaluasi PIP/RIPP GPM sepanjang tahun 2010.

Dengan pengalaman-pengalaman itu kita bisa melihat bagaimana pembangunan berlangsung di kawasan-kawasan itu. Optimisme muncul ketika pemekaran wilayah atau otonomisasi daerah yang melahirkan beberapa kabupaten baru (MTB, Kepulauan Aru, dan MBD) lepas dari Kabupaten induk Maluku Tenggara. Sebab idiom Tenggara Jauh, yang berbau stigmatisasi, merupakan sebuah fakta ironi ekonomi pula. Betapa masyarakat di kawasan itu dahulu kesulitan dalam akses-akses ekonomi, sebagai akibat dari rentang kendali pembangunan yang sangat panjang. Sudah tentu bukan percepatan pembangunan melainkan keterlambatan pembangunan yang mereka alami.

Terlalu lama mereka dijauhkan dari sebuah sentuhan pembangunan yang adil dan merata. Mereka mendengar istilah-istilah itu di bangku sekolah, tetapi sekolah-sekolah mereka reyot, bangunannya rusak, ruang kelasnya terbatas, gurunya sangat terbatas, hari-hari sekolahnya tetap senin-sabtu, tetapi jam belajar mungkin sekali seminggu. Istilah-istilah itu mereka dengar dalam situasi ironi. Pemekaran wilayah menjadi semacam ‘obat penenang’ yang semoga bisa membangunkan gairah kemajuan di kawasan-kawasan tadi. Harapan itu sangat wajar, apalagi jika harapan itu muncul dari masyarakat di kawasan-kawasan tadi.

1. Tnyafar dan Ijonisasi: Lingkaran Setan Kemiskinan di MTB
Dua tulisan saya dalam www.kutikata.blogspot.com (Ijonisasi dan Ijonisme, serta Tnyafar) menjadi sebuah catatan yang memberi gambaran tersendiri mengenai realitas pembangunan di MTB. Sebagai kabupaten dengan tipikal kelautan, potensi perikanan dan kelautan terlalu melimpah tersedia di sini. Saya terkesan karena usaha perikanan dan rumput laut yang dikelola secara tradisional dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga.

Di sektor rumput laut, mereka bisa memproduksi lebih dari 1 ton rumput laut kering. Harga jualnya berkisar antara Rp.8.000 – 10.000/kg. Artinya dalam satu masa panen, satu kepala keluarga mampu memperoleh sekitar Rp.8.000.000 – 10.000.000. Ini menunjukkan angka kesejahteraan rakyat sangat baik. Belum lagi di sektor perikanan tangkap. Dalam satu kali memancing, seorang nelayan mampu membawa pulang lebih dari 100 kg ikan. Jika dihitung Rp.10.000/kg, maka mereka bisa mendapat 1.000.000 dari satu kali tangkapan. Pada kedua komoditi ini saja kita sudah bisa menghitung berapa besar tingkat ekonomi rumah tangga di MTB.

Namun faktanya ialah, masyarakat MTB seperti di Pulau Larat dan kepulauan di sekitarnya, juga di Pulau Selaru, masih tergolong miskin. Mereka menguasai pusat produksi, tetapi mereka bukan penentu atas harga komoditinya. Harga komoditi itu ditentukan oleh pedagang yang adalah juga pengijon. Malah mereka terbelilit di dalam ijonisasi yang justru memperparah kondisi perekonomian mereka. Ditambah dengan mind-set sebagian besar masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumtif. Beberapa teman yang belajar ilmu ekonomi mengingatkan saya bahwa, ada soal dalam lalu lintas perekonomian itu, sebab ijonisasi selain merupakan fakta monopoli tetapi juga terbangunnya oligarki ekonomi sehingga ada semacam genealogi ijonisasi di sana. Maksudnya yang mengijon adalah satu kelompok yang terhubung dengan kelompok lain di pusat pasar.

Fakta itu mencuat di tnyafar-tnyafar di Pulau Selaru. Masyarakat yang tinggal bertahun-tahun di tnyafar untuk tujuan berusaha, bukannya menjadi kelompok yang mapan secara ekonomi, tetapi terus terbelilit di dalam lingkaran kemiskinan yang ternyata gampang diurai tetapi sulit diputuskan. Belum ada regulasi di bidang ekonomi kerakyatan yang mampu memangkas lingkaran setan kemiskinan itu.

2. Kekeringan dan Blok Masela: Tantangan Kesejahteraan di MBD

Saya tertegun sewaktu tiba di Bandara Kisar (15 Oktober 2011), karena ada sejumah ekor kambing yang memakan rumput-rumput kering di sekitar Bandara. Saya mencoba mengamatinya, ada seekor di antaranya sedang menghisap sesuatu dari batu karang. Teman saya dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku mengatakan, itu adalah cara kambing itu mencari setetes air.

Dalam perjalanan ke pastori Klasis GPM Pulau-pulau Kisar, teman Pendeta Herry Rutumalessy mengatakan, saat ini di Kisar ada empat warna, yakni cokelat, hitam, kuning dan separuhnya hijau. Cokelat itu tandanya kekeringan, hitam itu tanda baru selesai ter[bakar], kuning itu tanda masa menghijau telah usai, dan hijau itu hanya ada di daun pohon koli dan lemon [jeruk] kisar [Leki], tanaman daerah tropis yang bertahan hidup di kemarau panjang.

Kenyataan adanya kekeringan itu didukung oleh masyarakat yang berjubel mengitari satu buah sumur untuk keperluan mengambil air dan mencuci pakaian. Jalan raya yang belum diaspal semakin mengesankan kekeringan itu sebab jalanan berdebu, sampai-sampai daun pohon pisang pun berwarna sama dengan debu. Ini benar suatu fakta dari adanya problem serius mengenai lingkungan di sana. Walau kita harus memberi catatan tersendiri mengenai bagaimana orang-orang Kisar survive dalam alam seperti itu sejak dahulu sampai saat ini.

Sisi cerita baru dari pengalaman di sana ialah cerita mengenai beroperasinya perusahan migas dalam pengelolaan Blok Masela. Cerita sama saya dapati di Pulau Selaru, bahwa Inpex Corporation, salah satu perusahan migas Jepang telah mendapat ijin pengelolaan Blok Masela, dengan infestasi US$ 19 Miliar.

Dalam web detikfinance disebut bahwa Inpex, oleh perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Pusat, akan membangun terminal terapung untuk menyedot gas dan langsung diubah menjadi LNG Blok Masela yang terletak di laut Arafuru, wilayah perairan Indonesia yang berada di antara Australia dan Papua Nugini. Disebut pula bahwa lapangan gas ini bisa menghasilkan 2,5 juta matrix ton per/tahun, dan minyak 8.400 barrel per/hari. Dan untuk tahap pertama di tahun 2012, disebut bisa menghasilkan 9 triliun cubic feet.

Dapat dibayangkan betapa daerah kering ini menyimpan harta berharga di dasar buminya, dan ternyata dikelola oleh perusahan-perusahan raksasa. Kita wajib mempertanyakan apakah pembagian hasl 10 persen dari pengelolaan itu akan benar-benar difokuskan bagi kesejahteraan masyarakat di sana? Belum lagi bagaimana dampak pengelolaannya kepada lingkungan laut yang selama ini juga memberi kepada masyarakat trdisional hasil perikanan.

Di sisi lain, tentang tenaga kerja, sudah saatnya dipikirkan pembangunan SMK Migas dan Pertambangan atau Politeknik Pertambangan dan Migas di MBD, agar pasokan tenaga kerja ahli benar-benar datang dari masyarakat basis dan bukan dengan alasan teretentu didatangkan dari luar. Sebab jika demikian masyarakat MBD akan menjadi penonton.

3. Aru Digempur
Aru dikenal sebagai pulau penghasil mutiara. Selain itu pesona burung cenderawasih menjadi primadona fauna yang menarik di kepulauan ini. Biota laut dan fauna ini menjadi ikon kabupaten yang bertajuk Mutiara Indah dan Cenderawasih Lestari.
Pulau-pulau kecil dan terkecil terhampar luas di Kabupaten ini. Dalam paparan Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Aru, Drs. A. Uniplaita, di hadapan peserta MPL ke-33 Sinode GPM di Dobo, 1 November 2011, disebut bahwa, di Kepulauan Aru terdapat 500-an pulau, yang saat ini terdiri dari 5 (lima) Kecamatan. Dari sejumlah pulau itu, hanya 89 pulau yang berpenghuni dengan total penduduk sekitar 84.000 jiwa. Dari sejumlah desa yang ada, 71 desa berbatasan langsung dengan Australia. Dua pulau terluar yang masuk dalam kawasan strategi nasional adalah Pulau Enu dan Pulau Karang (pulau cagar alam). Data lain yang disebut bahwa, terdapat potensi migas yang kaya di dasar laut kepulauan Aru, dan sampai saat ini sudah 6 sumur yang dieksploitasi.

Data-data itu menunjukkan bahwa ada beberapa problem serius, antara lain:
a. Eksistensi pulau-pulau terluar sebagai kawasan strategis nasional memerlukan perhatian serius pemerintah di seluruh jenjang. Apalagi pulau-pulau terluar tersebut memiliki potensi migas yang sangat besar. Perebutan pulau terluar seperti Sipadan dan Ligitan bukan tidan mungkin menunjukkan ada ancaman yang sama pada kawasan pulau terluar di Maluku dan terutama Kepulauan Aru. Ini memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi pulau-pulau tersebut dan juga NKRI.

b. Pulau-pulau yang tak berpenghuni merupakan ikon ekonomi dan pariwisata, yang bisa menjadi daerah rebutan para konglomerat. Tentu ada efek tertentu dari kepemilikan sebuah pulau kepada masyarakat pribumi, terutama pulau-pulau itu oleh orang Aru menjadi tempat persinggahan atau tempat usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sesehari (bnd. Tnyafar di Pulau Selaru, MTB). Di beberapa tempat seperti di Maluku Tengah, praktek kepemilikan pulau-pulau terkecil telah menimbulkan kemiskinan di kalangan masyarakat, karena mereka sudah tidak bisa berusaha atau mencari kebutuhannya di kawasan tersebut lagi.

c. Eksploitasi migas pada sumur-sumur di bawah laut perlu memperhatikan pula kondisi kerentanan pulau. Apalagi Kepulauan Aru rata-rata berada di bawah permukaan laut. Sehingga perlu kajian yang komprehensif pada seluruh sektor. Belum lagi ada semacam ‘teror’ bahwa dalam 25 tahun ke depan Aru bisa tenggelam. Ini bisa disebut teror dalam rangka mendorong migrasi orang pribumi keluar dari pulau-pulau itu agar eksplorasi dan eksploitasi bisa dilakukan secara besar-besaran. Praktek ‘teror’ serupa pernah terjadi pada Pulau Haruku di Lease di tahun 1990-an, ketika disebut bahwa pulau itu tidak berpenghuni.

d. Selain itu gempuran serius lagi di Dobo datang dari sektor seks komersil. Pembangunan Karakoke-karaoke dan Lokalisasi yang menyatu dengan pemukiman penduduk menggembur Dobo di setiap sudut kota. Hal ini mempertanyakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten sejauh ini.

Hal-hal itu menjadi catatan yang mengingatkan kita bahwa pembangunan di pulau-pulau kecil atau pembangunan berbasis pulau-pulau kecil memerlukan regulasi yang tepat dan juga pengawasan yang menyeluruh. Masyarakat di pulau-pulau itu mengalami beberapa jenis kelangkaan, yakni kelangkaan transportasi, informasi, komunikasi dan kelangkaan kesejahteraan. Bentuk-bentuk kelangkaan ini perlu diatasi melalui peranserta seluruh elemen pemerintahan dan stakeholders. (*)

PANTUN DAN FALSAFAH BABAR


Refungsionalisasi Makna
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

00. PENGANTAR

Kepada semua masyarakat Babar, saya mohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan terentu dalam tulisan ini. Saya menemui (lagi-lagi dari folder Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis GPM Pulau-pulau Babar), beberapa file yang menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan aspek-aspek teologi (sebab hanya ilmu itu yang saya pelajari secara formal). Dalam ‘temuan’ itu, ada dua pantun yang cukup menantang dilakukan refleksi. Saya tidak mau menyebut ‘kajian’ sebab apa yang tertuang dalam tulisan ini jauh dari sebuah perlakuan keilmuan, yang bagi saya bisa digali oleh mereka yang tekun dengan metode kerja pengetahuan.

Satu pantun, dinamai oleh Pdt. Ampy dalam folder itu sebagai ‘pantun darat’, dan satu lagi dinamainya ‘pantun laut’. Memang yang ada hanyalah rumusannya saja, dan tidak disertai penjelasan sebagaimana makna pantun pada lazimnya. Karena itu sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dengan bahasa Babar, saya ‘awam’ di hadapan pantun itu. Tetapi dari sepenggal cerita dengannya, dan sambil merekam ‘gaya hidup’ binatang-binatang yang ada dalam pantun itu, saya menemukan betapa pantun itu mengandung falsafah yang terpintal dari struktur kosmologi dan pandangan dunia yang terlampau kuat mengikatkan masyarakat dalam relasi dengan segala makhluk lain di alam sekitarnya.

Kandungan makna yang cukup mendalam itu sebenarnya harus tergali secara baik jika saya memiliki pengetahuan tentang bahasa sub-etnik Babar, atau setidaknya pernah berkunjung ke Babar lalu mendengar mereka membahasa di dalam lingkungannya sambil menangkap irama dialeg atau gaya bertutur orang Babar.

Hal itu menjadi penting untuk memahami emic perspective yang salah satunya melalui bahasa (ethno-linguistics) sebagai salah satu simbol dari suatu komunitas budaya. Saya percaya keutamaan masyarakat sub-etnik Babar, dan Maluku Tenggara pada umumnya yang masih menyimpan dan membahasa menurut bahasa tanah (ordinary language) muncul sebagai suatu nilai budaya yang bermakna. Berbeda dengan sebagian besar komunitas Maluku Tengah, terutama negeri-negeri Kristen, yang telah mengalami kematian bahasa (death language) dalam kurun waktu empat abad lebih.

01. Pantun Darat
Agar tidak terjadi kesalahan pencatatan dan juga pembahasaannya, lebih baik rumusan pantun itu saya cantumkan sesuai dengan yang ada di dalam file tersebut. Rumusannya begini:

Ayam Utang/Maleo & Teteruga
TINAKO, POPI NYE – MEYO
MEYO : NON NEWYO KA RERIWA RERYO
(* TINAKO : Ayam Utang/Maleo, NEWYO : Tetruga)


Karena tidak memiliki kemampuan berbahasa Babar, saya ‘menjauhkan diri’ dari menafsirnya secara linguistik. Saya mencoba memahaminya dari ‘gaya hidup’ maleo (ayam hutan) dan teteruga dalam kaitan dengan survavilitas (kemampuan dan keinginan atau cara untuk bertahan hidup).

Maleo, sudah tentu jenis unggas/burung yang tentu pula hidup di darat atau tepatnya dalam hutan, sedangkan teteruga (kura-kura) adalah hewan amphibi yang mampu hidup di dua dunia, air dan darat. Dua jenis fauna ini berkembang biak dengan cara bertelur.
Ada satu cara yang sama dari kedua jenis fauna ini. Mereka memilih tempat yang sepi/tersembunyi untuk bertelur. Pemilihan tempat seperti itu menggambarkan salah satu cara untuk survive. Mereka tidak mau diganggu dalam proses-proses reproduksi. Tempat khusus untuk bertelur itu pun ditetapkan karena ada maksud tertentu, yakni waktu telur itu dierami sampai menetas.

Untuk sampai ke situ ada pula kebiasaan yang serupa dari kedua jenis fauna ini. Mereka sama-sama bertelur dan membenamkan telurnya di dalam pasir agar telur itu tidak dirusakkan oleh predatornya. Tindakan itu merupakan cara berikut untuk survive. Yang membuat kedua fauna ini sedikit berbeda, dan ini umumnya dijumpai di Babar, yakni maleo setelah bertelur, tempatnya bertelur dijaga oleh seekor ular. Ular ini bukan predatornya, melainkan ular yang mengerami telur maleo itu. Sedangkan teteruga, bertelur dan membenamkan telur di dalam pasir lalu pergi meninggalkan telur itu begitu saja sampai masa telur itu menetas akibat dari panas dari pasir itu.

Lazim disebut begini: ‘kalakuang parsis maleo’ – artinya melahirkan anak lalu pergi meninggalkan anak itu dijaga/dirawat oleh orang tua atau bahkan saudara yang lain. Hal ini sering dijumpai dalam kebiasaan beberapa orang. Di dalam desa-desa kita di Maluku, anak yang dalam kasus seperti itu diurus oleh oma (nene) dan opa (tete)-nya. Secara psikologis ia lebih dekat dengan nene dan tete, daripada dengan papa+mamanya.
Dalam kerangka itu kita perlu memberi rasa hormat yang tinggi kepada tete+nene atau saudara yang rela memelihara seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya. Identitas dan harga diri anak itu dilekatkan kepada mereka. Dengan demikian anak-anak seperti ini hidupnya tidak terbengkalai.

Dalam arti yang lain, pantun ini juga merupakan lukisan dari perjuangan orang Babar untuk merantau (migrasi) ke suatu tempat, dengan resiko meninggalkan anak-anak di kampung. Suatu waktu baru mereka kembali dan mengambil anak-anak itu beserta mereka di tempat yang baru. Ini dilakukan untuk mengurangi resiko ekonomi yang dapat saja melilit keluarga itu.

Sebaliknya perilaku teteruga sering pula menjadi kiasan bagi mereka yang benar-benar meninggalkan anak-anaknya dan tidak pernah kembali lagi untuk mengurus anak-anak itu. Anak itu akan berjuang sendiri bagi hidupnya, dan mereka benar-benar menjadi pribadi yang tangguh. Secara sosiologis, realitas itu menggambarkan bahwa dalam banyak hal tanggungjawab orang tua terhadap anak sering diabaikan.

Saya kira dengan beberapa kekecualian, pantun-pantun ini dapat menjadi pelajaran budaya yang bertujuan membelajarkan kita tentang pentingnya ikatan hidup keluarga, pembinaan anak, dan daya juang (survive) dari suatu komunitas bagi kehidupan. Untuk masalah hidup, tidak ada pilihan lain selain mengubah mind-set kita bahwa mendidik dan memelihara anak adalah harga yang paling mahal bagi generasi manusia dan masa depan sub-etnik. (*)

Wednesday, November 16, 2011

TNYAFAR

Komunitas Gereja Pulau-pulau dan Kemiskinan

oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Apakah Tepat, [masih] Mencari ‘rorok’ Teologi?

Konsentrasi Gereja Protestan Maluku (GPM) membangun eklesiologi kepulauan, sebagai eklesiologi GPM, sejauh ini masih terfokus pada problem-problem metodologi dan berkisar pada tema-tema yang lebih tepat masuk ke ranah dogmatika. Jauh hari Pdt. Christ Tamaela, mengintroduksi liturgi yang berbau budaya, dan nyanyian ‘Mae ka Lao’ (Mari ke Laut), atau ‘Siwalima Arika’ (Siwalima, cepat!), sebenarnya menunjuk bahwa eklesiologi kepulauan merupakan suatu telaah sosio-teologi yang perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika bergereja dan berjemaat pada semua jemaat di pulau-pulau yang terhampar dari Maluku Utara sampai Maluku Barat Daya.

Saya tidak tahu apakah tulisan ini menambah referensi ke dalam eklesiologi kepulauan ataukah tidak. Apalagi jika ada orang yang sengaja atau tidak, di era kini mulai alergi dengan sumbangan sosiologi dan antropologi ke dalam teologi. Saya hanya sebatas melempar fakta ini ke sebuah ranah kajian dan diskusi yang jika harus ‘dibuang’ dari katalog eklesiologi, setidaknya masih masuk ke dalam katalog teologi dan mungkin teologi masyarakat pulau-pulau.

Menolak Teologi Kontinental, So What Next?
Diskusi teologi di GPM, sampai pada level doktrin mengenai gereja menyimpulkan bahwa kita menolak suatu paham teologi kontinental. Bahkan presbiterial sinodal diyakini merupakan produk gereja kontinental yang tidak relevan lagi bagi GPM yang jemaatnya bercorak kepulauan.

Kita tentu tidak latah ketika dalam sistem presbiterial sinodal itu lalu berkata bahwa memosisikan Klasis pada organisasi level menengah berarti kita tidak mempolakan presbiterial murni yang hanya ada Sinode langsung Jemaat. Kelatahan dalam memahami hal itu membuat kita kehilangan jiwa yang sebenarnya dari kontekstualisasi eklesiologi kita di GPM. Padahal sebuah gagasan eklesiologi kepulauan itu sudah tua, karena sejak zaman Indische Kerk, Klasis dan Afdeeling Klasis sudah menjadi bagian dari pola organisasi Indicshe Kerk.

Ternyata sampai saat ini fakta jemaat kepulauan yang kurang kita reproduksi untuk memberi isi bagi eklesiologi kepulauan. Belum ada studi teologi secara sistematis untuk mereproduksi hal-hal itu. Setidaknya inilah sebentuk kegelisahan yang perlu pula mendorong kajian-kajian lebih lanjut terhadap hal ini.

Tnyafar, Realitas Sosial Jemaat Pulau-pulau

Tnyafar, dalam istilah bahasa Yamdena berarti ‘rumah kebun’. Setting sosial terbentuknya tnyafar dari kebiasaan beberapa keluarga pergi berkebun, dan membangun sebuah rumah tempat beristirahat (melayu Ambon: walang). Pada situasi yang lain, tnyafar dibangun oleh beberapa nelayan dengan corak dan tujuan yang sama. Akibatnya tnyafar menjadi semacam perkampungan kecil bagi pekebun dan nelayan. Mereka menekuni dua jenis pekerjaan itu sekaligus (mata pencaharian ganda).

Realitas mata pencaharian ganda tadi menjadi semacam trend bekerja masyarakat di Maluku. Itu pula yang membuat dinamika ekonomi di tnyafar bertumbuh dari waktu ke waktu.

Secara sosiologis, tnyafar merupakan suatu satuan organisasi sosial yang terdiri dari beberapa keluarga dan lebih bercorak sosio-ekonomi, karena tujuan pembentukannya untuk menjalankan aktifitas perekonomian dalam hal ini perkebunan dan usaha-usaha kelautan. Dikatakan satuan organisasi sosial sebab sistem pengorganisasian komunitas di tnyafar diselenggarakan secara bersama melalui koordinasi Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan dilantik oleh Kepala Desa.

Satu tnyafar dihuni oleh 20 sampai 60 kepala keluarga, dengan membangun rumah-rumah panggung sederhana, beratap daun rumbia (daun koli) atau alang-alang, dan dindingnya dibuat dari bilah bambu.

Tnyafar itu terpisah dari desa induk atau terkonsentrasi di dusun-dusun atau pulau-pulau yang terpisah dari desa induk. Biasanya kepala keluarga itu tinggal di tnyafar dalam jangka waktu yang panjang, yakni satu musim mulai dari masa mengerjakan kebun sampai panen. Selama waktu berada di tnyafar mereka tidak pernah pulang ke desanya. Artinya mereka menetap di tnyafar dan menghidupi diri dan keluarga dari hasil bekerja di tnyafar. Pada masa panen ada yang mengantar hasil kerjanya ke pasar di desa atau pusat kecamatan.

Karena sulitnya transportasi, ada sebagian pengusaha yang datang langsung ke tnyafar. Kenyataan itu yang membuat komunitas tnyafar lebih memilih menetap di tnyafar selama masa produksi. Mereka tidak susah-susah lagi mengantar hasil produksi ke pasar. Akibatnya mereka secara tidak langsung menetap di sana. Jika ada aktifitas pembangunan di desa atau gereja baru mereka beramai-ramai pulang ke desa induk atau ke jemaat.

Dari informasi yang diberikan Pdt. Cale Bembuain, Ketua Majelis Jemaat Adaut Klasis GPM Tanimbar Selatan, ada beberapa tnyafar, antara lain:
- Di Pulau Angwarmase: Namar, Minanlel dan Faliraya
- Di Buriat : Lende Kelebait, Lafesi, Bunga Tanjung, Alshar, Buariat Batialu dan Weiwatang
- Di Torintubun: Torintubun Besar, Torintubun Kecil, Nifmas, Wetiyayan, Kora, Wamjari, Tongarlos, Fulmamang, Tburi, Weydas, Adautubun, Arwean dan Wehao
- Beberapa tnyafar yang lain seperti Pipitlingat, Wehau, Arkwean, Wematang, Weisori, Buriat lende, Alsar

Seiring dengan corak bermukim menetap di tnyafar, maka fasilitas sosial seperti sarana kelistrikan mulai dibangun di beberapa tnyafar atas bantuan pemerintah pusat. Akibatnya tnyafar benar-benar berubah, tidak lagi menjadi ‘rumah kebun’ melainkan suatu lokasi bermukim. Artinya fungsi sosio-ekonomi pun diperlebar karena komunitas di tnyafar membangun pula sistem dan pranata dalam bekerja dan hidup sosial.

Beberapa implikasi praktis muncul dari perubahan itu. Kebiasaan orang tua menetap di tnyafar membuat anak-anak yang sedang bersekolah, dan tinggal di desa induk, sepertinya diterlantarkan. Mereka dibiarkan mengurus diri sendiri, dan akibatnya putus sekolah. Dalam kondisi itu, anak-anak yang terpaksa mengikut orang tuanya ke tnyafar otomatis tidak bisa bersekolah, sebab tidak ada fasilitas sosial di tnyafar selain rumah-rumah kebun yang sangat sederhana itu. Jarak dengan desa induk pun jauh dan memakan waktu, membuat tidak ada pilihan lain selain menemani orang tua bekerja (di kebun dan lautan).

Hal ini menimbulkan implikasi baru yakni angka pekerja anak pun tinggi. Sebab anak yang tinggal di tnyafar terkondisi dengan ritme dan budaya kerja orang tua mereka. Belum lagi angka kelahiran anak di tnyafar yang relatif tinggi. Malah ada semacam pomeo, ‘pergi sendiri, pulang berlima’ –untuk mereka yang membujang di desa, ketika ke tnyafar, dalam beberapa tahun ke depan, ketika kembali ke desa, sudah beristri/bersuami dan memiliki lebih dari dua anak.

Pomeo lain ‘pergi berdua, pulang berlima’ –untuk mereka yang menikah dan belum memiliki anak, beberapa tahun kemudian ketika kembali ke desa sudah dengan lebih dari dua anak. Kehidupan di tnyafar tidak berbeda jauh dari di desa. Artinya beberapa bentuk penyimpangan sosial pun berpotensi terjadi di sana.

Kemiskinan (?)
Tnyafar sebagai suatu lingkungan yang bercorak sosio-ekonomi adalah sebuah ironi yang cukup tajam. Tnyafar dibangun untuk usaha-usaha ekonomi keluarga. Harusnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga di tnyafar jauh lebih baik/berkembang, sebab mereka berada di pusat produksi, yang mau tidak mau dapat menentukan harga barang di pasar. Apalagi dengan masuknya beberapa pengusaha guna membeli hasil produksi mereka secara langsung di sana.

Ironinya ialah, keluarga-keluarga di tnyafar relatif miskin dan tidak memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih baik dari keadaan mereka semasa tinggal di desa induk. Mereka terperangkap dalam lilitan ijon yang membuat mereka tidak bisa berkembang secara ekonomi. Keterbatasan fasilitas usaha dan pemasaran, serta jauh dari pusat-pusat pasar membuat praktek ijon semakin berkembang.

Para pengusaha yang pergi ke tnyafar untuk ‘mengambil’ hasil-hasil produksi masyarakat merupakan pengijon yang terus membelilit mereka dalam lingkaran setan ijonisasi yang sulit diurai apalagi diputuskan (baca. Tulisan saya yang lain: Ijonisasi dan Ijonisme – lht. www.kutikata.blogspot.com). Praktisnya mereka bekerja bertahun-tahun untuk membayar hutang yang terus melilit mereka.

Belum ada regulasi dan sistem rekayasa sosial-ekonomi dari Pemerintah Daerah yang dapat mengubah keadaan ekonomi komunitas tnyafar. Akibatnya tnyafar tidak lebih dari perkampungan nelayan dan pekebun miskin yang tersudutkan dari realitas pembangunan ekonomi.

Tnyafar dan Pelayanan Gereja

Jemaat Adaut, Klasis GPM Tanimbar Selatan adalah jemaat dengan tipikal yang unik. Sesuai dengan corak berjemaat GPM, jemaat Adaut adalah jemaat setempat yang terkonstruksi secara teritorial. Artinya seluruh anggota jemaat tinggal di dalam lokasi pelayanan jemaat, atau di sekitar gedung gereja (parokhial teritorial).
Namun fenomena tnyafar memperlihatkan sisi baru dari realitas bermukim warga jemaat Adaut. Dari 4.321 anggota jemaat, lebih dari separuh berada atau tinggal di dalam tnyafar-tnyafar yang tersebut tadi di atas. Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya jauh dari jangkauan pelayanan gereja bertahun-tahun pula. Walau dalam waktu tertentu, ketika ada event-event gerejawi, seperti Hari Ulang Tahun GPM (6 September), atau masa Natal dan Paskah, sebagiannya pulang ke Jemaat. Namun seiring dengan pola menetap di tnyafar, lebih banyak di antara mereka yang tidak pulang.

Menjadi permasalah serius bagi Majelis Jemaat ialah bagaimana menata pelayanan gereja terhadap jemaat yang tinggal di tnyafar. Mereka juga perlu dilayani, sehingga mesti ada pendekatan khusus dalam rangka pelayanan itu sendiri.

Menurut Pdt. Cale Bembuain, Majelis Jemaat GPM Adaut harus dibagi setiap hari minggu untuk melayani ibadah di dalam tnyafar-tnyafar. Tidak mungkin mengangkat Majelis yang mewakili tnyafar-tnyafar itu. Sebab tnyafar tidak terbentuk sebagai Sektor atau Unit Pelayanan di dalam sistem organisasi pelayanan Jemaat. Itu berarti pelayanan gereja di tnyafar bersifat insidentil. Padahal ada banyak aspek dari perilaku hidup jemaat di sana yang memerlukan adanya pendampingan pastoral dan bimbingan rohani yang intensif.

Setidaknya tnyafar membuat area pelayanan jemaat menjadi semakin luas. Ada perubahan tertentu dalam model pelayanan di sana. Pelayanan gereja tidak saja berlangsung di dalam rumah jemaat, melainkan di lokasi tempat kerja jemaat. Sebuah terobosan perlu dipikirkan tetapi ini pun memerlukan ketersediaan sumber daya pelayan yang memadai.
Mungkin perlu dibentuk semacam ‘tim pelayanan khusus’ yang secara khusus pula dilatih untuk bagaimana melayani kebutuhan rohani dan bimbingan spiritual kepada jemaat di dalam tnyafar-tnyafar. Ada model ‘kelompok sel’ atau ‘komsel’ sebagai salah satu pendekatan penginjilan kepada kelompok kecil secara intensif. Apakah model ini bisa digunakan? Hal ini sangat bergantung pada bagaimana manajemen pelayanan di sana diatur.

Setidaknya Komsel itu bertujuan untuk (a) membentuk kepribadian kristiani yang injili; (b) mengajak pribadi untuk memuji Tuhan; (c) mendalami firman Tuhan dalam hal praksis untuk kehidupan; (d) berhimpun bersama dalam satu kebaktian yang akrab satu sama lain dan dengan Tuhan; (e) agar setiap anggota dapat berbagi perhatian, kepedulian, saling membantu dan mendukung dalam berbagai permasalahan melalui sharing dan doa.

Jika direkayasa secara baik, Komsel itu akan dapat berlangsung efektif. Karena itu memerlukan ada pimpinan-pimpinan Komsel yakni orang yang bisa memberi perhatian serius pada pelayanan dimaksud. Dalam konteks tnyafar dan kepulauan seperti di Tanimbar Selatan, mekanisme itu perlu dipikirkan agar tidak pertumbuhan mental, spiritual dan carapandang jemaat dalam tnyafar dapat dibentuk secara etis-injili. Mereka harus pula sadar mengenai tanggungjawab hidup lain yang selama ini terkesan terabaikan (terutama pendidikan anak). (*)

Sunday, November 6, 2011

FENOMENA SOSIAL MIGRAN BABAR

Identitas Budaya dalam Reorganisasi Jemaat GPM
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kesan Awal
Ada dua sisi cerita yang penting sebagai alasan akademik dan praksis mengapa paper ini sengaja ditulis. Sisi cerita pertama ialah pengalaman tinggal di Karang Panjang, atau menjadi warga Jemaat Imanuel Karang Panjang Klasis GPM Kota Ambon (jauh sebelum Pemekaran Jemaat Petra dari Imanuel Karpan) membuat beta secara langsung berinteraksi dengan sesama warga jemaat yang sebagian besarnya adalah sub etnik Babar atau Tepa.

Orang-orang yang tinggal di Kampung Tepa menghisabkan diri dalam Lakopona Amarere, merupakan komunitas Babar/Tepa yang tinggal di daerah Lahane sampai Ahuru (sekarang merupakan wilayah Jemaat Petra Klasis GPM Kota Ambon). Mereka adalah mayoritas penduduk atau warga jemaat di kawasan tersebut dan menjadikan Jemaat Imanuel Karpan (dan kini Jemaat Petra) merupakan jemaat GPM di Kota Ambon dengan tipikal tersendiri. Fenomena ini tentu sama dengan kampung Ullath dan Aboru di kawasan Karang Panjang atau juga Kudamati. Namun fenomena migran Babar ternyata mampu mendorong suatu dinamika pertumbuhan jemaat yang baru.

Sisi cerita kedua adalah ketika menghadiri pelaksanaan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) di Jemaat Marbali, Klasis GPM Kepulauan Aru pada 23-27 Oktober 2011 dan Persidangan ke-33 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM di Dobo, 30 Oktober – 5 November 2011.

Jemaat Marbali merupakan Jemaat mandiri yang dimekarkan dari Jemaat Dobo pada 29 Maret 1998. Marbali sendiri adalah sebuah Dusun milik Negeri Wangel yang ditempati oleh migran dari Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1930-an untuk mencari pekerjaan atau untuk kepentingan studi ke jenjang SMP dan SMA di Dobo. Sampai dengan tahun dimekarkan, telah terdapat 47 kepala keluarga atau 176 jiwa warga jemaat yang nota bene adalah orang Babar/Tepa.

Dari sejarah terbentuknya Jemaat-jemaat yang termuat dalam Buku Panduan MPL ke-33, hasil penelitian dan penulisan oleh Pdt. Henkie Mussa dan teman-temannya, terungkap pula bahwa Jemaat Blakang Wamar, Lamerang, Londe, Katanter adalah juga jemaat yang terbentuk di antara komunitas orang Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1950. Hal yang sama pada jemaat Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru).

Dua sisi cerita itu cukup mengesankan sebab jemaat-jemaat GPM adalah jemaat-jemaat homogen yang terstruktur di dalam lingkungan kebudayaannya. Karena itu negeri adalah juga bagian utuh dari jemaat. Atau komunitas sub-etnik di negeri itu adalah warga jemaat GPM itu sendiri. Namun migran Babar/Tepa menunjukkan bahwa jemaat-jemaat mandiri yang terbentuk di dalam komunitas migran Babar di luar Babar memiliki tipikal tertentu yang unik.

Faktor-faktor Pengaruh Migrasi Orang Babar
Migran sering dipandang sebagai kelompok sosial yang terdorong keluar dari lokasi kulturalnya untuk suatu motivasi ekonomi yakni mencari kerja. Orang-orang Babar pun menyadari hal itu bahwa tujuan mereka memang untuk mencari pekerjaan seperti untuk mencari lahan produksi sopi dan penyelam mutiara guna menyambung ekonomi keluarga. Pdt. Veky Untailawan, Sekretaris Umum Sinode GPM, yang turut bermigrasi tahun 1973 dari Babar ke Dobo untuk bersekolah, menyampaikan semacam pomeo, orang Babar yang datang ke Aru terbagi atas dua angkatan yaitu angkatan laut (para penyelam mutiara) dan angkatan udara (kelompok tifar sopi).

Pendidikan anak merupakan dorongan lain yang menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah migran dari Babar/Tepa ke daerah lain seperti Dobo dan Pulau Ambon, mengingat keterbatasan sarana pendidikan di daerahnya. Hal itu dapat dikatakan sebagai dua alasan utama yang menyebabkan tingginya angka migrasi orang Babar ke berbagai daerah di Maluku.

Kita masih dapat bertanya mengapa migrasi itu terjadi secara pesat. Setidaknya kondisi wilayah di pulau Babar merupakan faktor tertentu yang mendorong migrasi. Fakta Babar adalah fakta pulau-pulau kecil, di mana kondisi dan luas tanah yang terbatas dan menjadi lahan produksi turun-temurun membuat keadaan tanah menjadi kurang potensial. Karena itu migrasi turut disebabkan oleh usaha menemukan lahan produksi baru. Ini terbukti sebab ketika lahan produksi potensial diperoleh, di pulau yang lain, orang tidak kembali lagi ke negeri asal, malah menjadi penduduk di suatu negeri baru.

Terjadi perubahan mindset di kalangan para migran. Orientasinya bukan lagi bekerja atau bersekolah melainkan menetap dan membangun sebuah komunitas di daerah yang baru. Mereka terkonsentrasi membangun hidup di daerah baru itu, malah membawa perubahan tertentu di daerah yang baru. Artinya migrasi bukan sekedar sebuah cara bertahan hidup (survive) tetapi lebih dari itu yakni untuk eksis (alife).

M. Harris (1959) atau juga E. Colson, dalam Wallerstein (1966) menengarai bahwa migrasi itu membuat kelompok migran menetap di suatu tempat selain oleh alasan pekerjaan, tetapi juga perkawinan dengan orang setempat. Karena itu perkawinan menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya mobilisasi penduduk dari suatu tempat ke tempat yang baru itu. Namun itu terjadi pada migran yang tinggal membaur di dalam teritori sosial komunitas setempat. Hal ini berbeda pada migran Babar yang cenderung menempati suatu lahan kosong dan berusaha di atas lahan itu.

Migran Babar berlangsung secara spontan dan memilih tempat tinggal khusus yang potensial untuk usaha perkebunan, kelautan atau usaha lainnya. Contoh di daerah Ahuru Karang Panjang. Mereka menempati kawasan yang dahulu disebut ‘ewang’ oleh orang-orang Karang Panjang atau Soya dan mereka menjadikan tempat itu sebagai lahan usaha keluarga, atas ijin orang Soya sebagai pemilik tanah tersebut. Dalam beberapa waktu, terjadi transformasi pada sisi tertentu. Kawasan itu berubah menjadi lokasi berpenghuni. Tidak hanya itu, orang-orang Ambon mulai berbiasa makan ‘mandekar’ sejenis penganan dari kasbi (ubi kayu) yang direbus, diiris tipis dan dikeringkan. Tentu masih ada bentuk pertukaran budaya lainnya di antara mereka, termasuk ketika terjadi perkawinan dengan penduduk asli setempat.

Proses-proses itu terjadi terus dalam sejarah kontak migran Babar dengan penduduk setempat. Mereka tetap mempertahankan identitas dan seluruh simbol budayanya, malah melakukan pertukaran budaya secara damai dengan komunitas setempat.

Dalam keadaan itu rasa cinta akan kampung halaman tetap terbangun. Sebab itu migran bukanlah orang yang tercabut hakekat dan identitasnya, mau lahan identitas kultural itu semakin menguat justru ketika mereka berada di luar. Hal ini cukup beralasan mengingat orang Maluku memiliki ideologi yang kuat akan negeri atau ‘tanah tampa potong pusa’. Ada pula ideologi lain seperti ‘gunung tanah’.

Dalam salah satu syair Lagu Kebesaran Bukar Buar, karangan bapak Junus Okimekma, tokoh adat Masbuar yang sempat beta sadur dari file Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis Pulau-pulau Babar, berkisah begini:

Buar Bukar tanah pusaka moyangku
Itu pulau kebanggaanku,
Buar Bukar kampung pujaan hatiku
Sana tempat kelahiranku
Waktu tenggelam hidupku menderita
Cari tempat untuk berteduh
Aku terpisah dengan sodaraku
Sungguh sangat hancur hatiku
Waktu ‘ku pergi ‘ku kenang padamu
Buar Bukar kesayanganku

Reef. Jauh aku padamu ‘ku tinggal di rantau
Mohon pimpinan pada Tuhan Yang Esa
Agar klak kita jumpa lagi

Terungkap dalam syair itu pujaan kepada negeri, tanah pusaka moyang, dan kuatnya keinginan untuk kembali atau pulang ke kampung, tanah pusaka moyang itu.

Jemaat GPM dalam Konstruksi Orang Babar
Beta tidak membahas Jemaat GPM di Klasis Pulau-pulau Babar dalam bagian ini, tetapi eksistensi jemaat-jemaat GPM yang beranggotakan orang-orang Babar di luar Pulau Babar. Dari data sementara yang berhasil dihimpun selama hari-hari bersidang di Dobo, ada beberapa Jemaat mandiri GPM yang anggotanya adalah migran Babar.

Di Klasis Pulau-pulau Aru terdapat beberapa Jemaat migran Babar yakni Blakang Wamar, Marbali, Lamerang, Londe, Katanter, Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru). Di Klasis Kota Ambon ialah Jemaat Petra. Mungkin masih ada di Klasis-klasis lainnya. Delapan Jemaat itu merupakan potret bahwa migran Babar mendorong munculnya jemaat-jemaat dengan tipikal tertentu. Migran Babar dan pertumbuhan gereja (GPM) merupakan sebuah kenyataan sosial dan sejarah. Pertumbuhan jemaat GPM turut didorong oleh reorganisasi sosial migran Babar. Jadi pelembagaan Jemaat-jemaat GPM terjadi bukan sekedar fenomena pertambahan jumlah anggota jemaat, melainkan faktor migrasi. Dalam hal itu migran Babar merupakan komunitas basis yang telah melahirkan jemaat-jemaat GPM yang baru.

Ada aspek misioner dari migrasi sosial orang Babar, walau sebenarnya itu bukan tujuan mereka. Keberadaan mereka di suatu tempat yang baru menambah dinamika pelayanan dan pertumbuhan GPM. Migran Babar telah melakoni suatu cara hidup bergereja yang solid, sebuah perwujudan koinonia yang transformatif secara struktural dan fungsional (praksis). Ini menjadi fakta eklesiologi gereja kepulauan yang harus terus direfleksikan dalam dinamika bergereja dewasa ini di Maluku dan Indonesia.

Beberapa persoalan yang dihadapi jemaat migran Babar di Aru misalnya (a) mereka bukan pemilik atas tanah tempat tinggal. Mereka merupakan buruh tani dan nelayan yang hanya memiliki hak pakai atas lahan-lahan usaha dan tempat tinggal; (b) jika tanah-tanah itu beralih fungsi dan kepemilikan ada dampak tertentu terhadap keberadaan jemaat.
Ini hanyalah sebuah realitas yang perlu menjadi bagian dari diskusi eklesiologi di GPM. Kita selama ini sibuk dengan diskursus akademis mengenai eklesiologi yang berpusat pada referensi dogmatika dan ajaran. Padahal migran Babar memberi interupsi bahwa debat eklesiologi adalah debat sosial yang harus dapat meluruskan bagaimana cara jemaat melembagakan dirinya ke dalam gereja dan bagaimana mereka hidup sebagai gereja yang bertanggungjawab dengan konteks kehadiran atau di tempat kehadirannya yang baru.

Demikian beberapa hal yang menggelisahkan. Kegelisahan ini masih terus ada. Mungkin bisa terus dilengkapi setelah nanti pergi ke pulau Babar. Sampai berjumpa tahun 2012, oh tanah Babar.(*)

Buku Rujukan:
M. Harris, “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959)
E. Colson, “Migration in Africa: Trends and Possibilities’, dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966

Ruang Sidang ke-33 MPL Sinode GPM, Gereja Bethel, Dobo, 3 November 2011

Tuesday, August 2, 2011

Kareda

Rekonsepsi Gereja dalam Teks Lokal Bahasa Yamdena
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Kesenjangan Makna

Perjumpaan dengan komunitas Tanimbar (baca tulisan beta yang lain mengenai ‘Fangridin: Inisiasi Lokal dalam Konteks Budaya Tanimbar di Watmasa’) menimbulkan ketertarikan tersendiri terhadap pemahaman teologi lokal setempat yang kaya makna filosofinya.

Pada saat mewawancarai Bpk. Meki Wuarlela (49) - Lanun Duan Watmasa, dan Bpk. Onesimus Wuarlela (67), di Watmasa (28 Mei 2011, jam 07.30- 08.20), beta sempat mendengar sebuah istilah lokal dalam bahasa Fordata, yakni kareda. Menelusuri jejak arti operasionalnya ternyata menemui kendala tersendiri karena mereka lazim menerjemahkan kata itu secara langsung berarti ‘gereja’. Dalam bentuk kata sandang, muncul beberapa istilah yang dilekatkan dengan kareda seperti mel-kareda, yang berarti Tuhan yang disembah. Ada pula mangun-kareda atau tamu gereja, dan dawan-kareda atau pelayan gereja (baca. Pendeta dan Majelis Jemaat).

Tampaknya istilah gereja merupakan istilah serapan dari bahasa melayu yang berlaku umum dan menunjuk pada gereja itu sendiri. Tetapi ternyata bahasa Fordata yang memiliki kosa kata khusus tentang gereja.

Usaha menggali kandungan makna operasional dari istilah kareda ini masih sangat terbatas. Alasan pertama ialah beta tidak memiliki waktu yang singkat berada bersama komunitas berbahasa Fordata. Artinya aspek emic dari istilah itu pun belum tergali secara mendalam. Alasan utamanya ialah beta tidak bisa dan belum belajar berbahasa Fordata. Kedua, masyarakat membahasa pun menggunakan istilah itu sebagai sebuah istilah yang lumrah. Mereka sulit menjelaskan makna operasionalnya. Bagi mereka, memang itu telah menjadi istilah tentang gereja dalam bahasa setempat. Karena itu ketika ditanyakan ‘apa arti kareda itu’? Orang Fordata sendiri akan menjawab langsung: ‘yah, gereja!’ Ketiga, pada sisi praktek pelayanan gereja (GPM), para pendeta jarang menggunakan bahasa setempat sebagai alat komunikasi. Melayu Ambon atau bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat komunikasi.

2. Kareda: Eklesiologi sebagai Fakta Linguistik

Kita patut bersyukur atas bahasa lokal masyarakat kita sendiri sebab bahasa merupakan cerminan identitas dan carapandang (worldview) masyarakat. Istilah apa pun yang digunakan oleh komunitas berbahasa merupakan refleksi jati diri dan carapandang mereka. Istilah atau kosa kata bersifat tidak menipu dan tidak spekulatif. Kosa kata yang digunakan oleh suatu komunitas mengungkapkan suatu maksud atau lahir sebagai cara mereka menunjukkan kedalaman pengertian mereka. Di situlah kita bisa memahami bahwa bahasa bahkan kosa kata yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan gambaran riil mengenai teologi atau cara mereka berteologi melalui komunikasi berbahasa setiap hari.

Eklesiologi bisa dimengerti secara mendalam ketika kita mendalami struktur bahasa dan makna dari kosa kata lokal yang digunakan oleh masyarakat setempat. Eklesiologi merupakan sebuah fakta linguistik yang tidak begitu saja, atau lahir bukan dalam ruang hampa (empty space). Ruang komunikasi antarwarga merupakan ruang sosial yang riil dan terbuka. Dalam ruang itu masyarakat membahasa, dalam arti berkomunikasi dan melahirkan kosa kata untuk membantu mereka bertukar pemahaman (thought) dan maksud (insight).

Ketika kosa kata tertentu digunakan secara terus menerus dan dalam ruang-ruang sosial khusus, seperti dalam gereja atau ibadah, maka kosa kata itu menjadi sebuah carapandang baru atau menunjuk pada identitas baru dari masyarakat. Ini yang terjadi pada istilah kareda. Ketika digunakan komunitas berbahasa Fordata, mereka sebenarnya menjelaskan cara pandang baru yang tidak bisa dipahami sama dengan istilah lain, walau sebenarnya istilah lain itu menunjuk makna yang sama dengan istilah kareda itu. Artinya, ketika kita menerjemahkan kareda sebagai ‘gereja’, tidak mungkin arti kareda kita mengerti dari arti istilah gereja. Sebab istilah kareda dan gereja lahir dalam dua atau lebih komunitas berbahasa yang berbeda.

Ada banyak istilah mengenai gereja dalam rupa-rupa bahasa. Istilah yang paling dekat dengan gereja dalam bahasa Indonesia adalah Igreja dalam bahasa Portugis. Istilah lain sudah muncul di zaman Bapa-bapa Gereja, seperti Luther, misalnya ‘curia’. Namun istilah ini lebih cenderung menunjuk kepada istilah lain dalam bahasa Jerman yang paralel dengan itu yakni gemeinde yang berarti ‘jemaat’ atau ‘komunitas’. Dalam bahasa Jerman sendiri masih ada istilah lain yang khusus menunjuk kepada gereja yakni ‘kirche’, atau dalam bahasa Swedia ‘kyrke’. Disebut ‘kerk’ oleh komunitas berbahasa Belanda, atau ‘carkov’ oleh orang-orang Slovenia. Komunitas berbahasa Inggris menyebutnya ‘church’.

Apakah semua istilah itu berasal dari istilah eklesia dalam bahasa Yunani? Jika demikian apakah eklesia itu pula berasal dari bahasa ibrani kehal? Kita tidak bisa memutlakkan bahwa karena semua istilah itu menunjuk pada suatu pengertian yang sama maka ada semacam garis keturunan bahasa dan istilah. Beta memahami bahwa apa pun istilah yang digunakan dalam suatu komunitas, istilah dan bahasa itu lahir untuk kepentingan khusus komunitas itu. Leluhur yang melahirkan bahasa dan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa mereka malah pasti tidak pernah berjumpa satu sama lain. Jika pun berjumpa tidak mungkin mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa masing-masing. Karena itu ada istilah yang bermakna rahasia. Termasuk apa yang dikenal dengan sebutan ‘sandi’. Bahkan jauh sebelum aksara terbentuk, kita hanya mengenal sistem tanda atau apa yang di era modern dipakai dalam bentuk marka, seperti di jalan raya sebagai penunjuk lalu lintas.

Artinya istilah kareda itu benar-benar lahir dalam komunitas berbahasa Fordata dan digunakan pula oleh mereka sebagai suatu gambaran baru mengenai realitas beragama mereka. Bahwa istilah itu paling mungkin lahir ketika injil masuk ke Yamdena merupakan suatu asumsi yang bisa dibenarkan. Karena itu orang Fordata merasa perlu menyebut realitas kekristenan atau gereja itu dengan bahasa mereka. Dalam arti itu kareda dapat dipahami sebagai sebuah bentuk operasional tentang adanya suatu komunitas baru, yaitu gereja atau kekristenan.

Artinya sebagai sebuah fakta linguistik, maka paham eklesiologi GPM, atau dalam konteks masyarakat berbahasa Yamdena dibangun dari sebuah kenyataan bahwa gereja dan kekristenan adalah komunitas baru yang lahir di tengah masyarakat itu. Fakta ini menunjukkan bahwa injil dan kekristenan tidak lahir di dalam ruang sosial yang hampa. Dengan kata lain kekristenan bertumbuh justru di dalam dan dari komunitas berbudaya (Yamdena) dan berbahasa tertentu (Fordata).

Jika komunitas yang baru itu disebut sebagai jemaat, maka jemaat dalam arti itu lahir sebagai hasil pemaknaan gereja secara baru pula. Ini menjadi pendasaran sosial untuk memahami eklesiologi dalam suatu komunitas kristen.

3. Kareda: Antara Esensi dan Bentuk

Beta meminjam teori Hans Küng (1976:5) untuk membantu kita mendudukkan beberapa paham mendasar mengenai gereja. Bagi Küng gereja merupakan realitas yang memiliki esensi dan bentuk. Esensi gereja itu lahir dari tengah sejarah masyarakat, dan esensi itu tampak dalam beragam praktek bergereja, termasuk di dalamnya ritus gereja.

Küng (1976:5,6) menandaskan bahwa: [a] bahwa esensi dan bentuk merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, melainkan harus dilihat sebagai satu bagian; sebab esensi tanpa bentuk itu ‘tak berbentuk’ (formless) dan ‘tidak nyata’ (unreal). Sebab itu esensi gereja hanya bisa dimengerti dari eksistensinya di dalam sejarah gereja itu. Walau begitu [b] esensi dan bentuk tidaklah identik, walau demikian esensi dan bentuk gereja mesti diakui keberadaannya walau harus dibedakan. Kedua alasan itu membantu kita memahami tiap perubahan dalam bergereja. Perubahan itu bagi Küng merupakan manifestasi empirik dari gereja.

Untuk menjelaskan maksudnya itu, Küng (1976:227-239) menggunakan istilah gereja sebagai tubuh Kristus sebagai esensi dan bentuk gereja. menurutnya [a]. Jemaat lokal adalah tubuh Kristus, yang menurut Paulus, dibangun melalui baptisan (1 Kor. 12:12,13, 14-27; bnd. 6:5-17), dan yang turut merayakan Perjamuan Kudus, sebagai simbol keterhisabannya ke dalam tubuh dan darah Kristus (1 Kor. 10:16). Angota tubuh itu selalu memiliki kharisma atau karunia yang beragam satu sama lain dan dengannya mereka wajib melayani seorang akan yang lain.

[b]. Gereja seluruhnya adalah tubuh Kristus. Jika dalam Surat Korintus dan Roma gereja lebih menekankan pada individunya, namun dalam Surat Kolose dan Efesus lebih ditekankan pada keseluruhannya. Artinya dimensi eskatologi gereja berkaitan dengan aspek antropologi dari masyarakat yang nyata. Karena itu gereja ada dan terbangun sebagai satu keluarga dalam dunia yang luas (world-wide Church), di mana Kristus adalah kepala dari gereja dalam arti keseluruhan itu.

[c]. Yesus dan Gereja. Küng melihat tiga aspek penting di sini, yakni (1) Yesus ada di dalam gereja, bahwa Kristus tidak ada tanpa gereja dan gereja juga tidak ada tanpa Kristus. Yesus adalah untuk gereja dan ia ada sejak dahulu, sekarang dan selamanya. Sebagai tanda IA ada, jemaat menyelenggarakan ibadah yang Kristosentris; (2) Yesus yang hidup dan berkarya tidak ada seterusnya dengan gereja. Artinya Ia sudah mati, bangkit dan terangkat ke surga. Sebab itu gereja mengaku Yesus sebagai kepala Gereja dalam arti bahwa gereja bukanlah tubuh fisik dari Yesus melainkan tubuh spiritual dari Yesus. Karena Yesus adalah kepalanya, maka gereja hidup secara aktif di dunia; (3) Gereja mesti taat kepada Kristus, sebab Yesuslah kepala gereja.

Esensi kedua ialah gambaran gereja sebagai umat Tuhan (1979:130). Baginya mungkin dapat dipahami sebagai semacam adanya relasi quasy-divine antara Tuhan dan manusia. Hal ini dapat menimbulkan kesalahanpahaman yang memisahkannya dari warga masyarakat yang terhisab dalam gereja dan memasukkannya ke dalam suatu komunitas sendiri (ecclesia quod substantium), suatu institusi supra-personal di antara atau yang memediasi Allah dan manusia. Tentu gereja itu selalu dilihat sebagai institusi yang menghisabkan tiap individu anggotanya; tetapi mereka disebut sebagai para pengikut atau anggota orang beriman, yang dihimpun Allah menjadi umatNya. Maka tidak ada gereja tanpa adanya orang-orang percaya ini. Kita (manusia) adalah gereja, bukan Allah, bukan Kristus, bukan Roh Kudus. Tanpa kita atau di luar kita (manusia) gereja bukanlah suatu realitas. Memang di sini pula letak bahayanya yakni ketika kita menjadikan perbedaan atau keterpisahan kita itu sebagai sesuatu yang penting, dan memahami bahwa keterpisahan kita dari dunia itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Memang perlu membedakan antara “struktur” dan “kehidupan” gereja, tetapi salah jika menjadikan struktur iman, sakramen dan institusi, seakan-akan itulah jalan yang benar. Tidak mungkin ada sakramen, iman, dan institusi tanpa manusia. Jadi manusia menjadi subyek dan manusia adalah struktur dasar (basic structure) dari gereja.

Memahami kareda dalam pendekatan Küng tadi menolong kita untuk memaknai kareda sebagai suatu ‘komunitas baru’ (new community). Namun komunitas baru ini tidak lahir dari kehampaan melainkan lahir dari basis kebudayaan setempat. Artinya kareda melahirkan suatu pranata baru yang bersifat sosio-religius.

Kareda membuat umat/jemaat membangun pula suatu paham atau konsepsi Tuhan lokal yang khas yakni Mel-Kareda atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab konsepsi Tuhan yang lain dalam paham budaya masyarakat Yamdena ialah Ubu Ratu. Walau demikian Mel-Kareda dan Ubu Ratu bukanlah dualisme kepercayaan orang Yamdena. Mel-Kareda adalah sebutan khas Tuhan dalam komunitas baru yang bernama kareda atau jemaat. Mel-Kareda sesungguhnya adalah Ubu Ratu itu. Namun penggunaan dan fungsinya akan tampak dalam konteks khusus.
Menjadi menarik ketika rekonsepsi Tuhan itu dikaitkan dengan posisi pemaknaan dan penempatan Yesus di dalam pranata baru yang disebut kareda. Ini ruang baru bagi paham Tuhan dalam konteks masyarakat Yamdena atau komunitas berbahasa Fordata. Beta merasa ini menjadi pokok serius yang perlu digali secara lebih mendalam. Fenomena ini pun sama dengan ketika kita harus mempertanyakan kembali posisi Ubu Ratu, Upu Lanite, Upu Ume, Oplastala, Upu Ama, Upukuanahatana, Up-Ler, Duad Ler Vuan, bahkan Tete Manis dan Elmeseh, sebagai konsep dan ide-ide budaya mengenai Tuhan.

Konsepsi Tuhan yang khas ini memperlihatkan bahwa kareda merupakan suatu sistem sosial baru yang bernama jemaat. Realitas berjemaat itu bersifat terbuka. Keterbukaan itu dibangun dari fondasi budaya orang Tanimbar/Yamdena yang sangat akomodatif terhadap orang dari luar. Artinya proses pembauran sosial yang terjadi melalui organisasi sosial yang bernama kareda atau jemaat menjadi salah satu ciri dan kekuatan sosial orang Yamdena/Tanimbar. Keterbukaan itu menunjukkan bahwa aspek kepercayaan (trust) sebagai kekuatan harmoni sosial (sosiasi) berlangsung secara wajar di kalanngan orang Yamdena/Tanimbar. Sikap keterbukaan itu tampak dari kemampuan orang Tanimbar menerima orang lain menjadi bagian dari komunitas mereka (baca tulisan beta tentang “Fangridin”).

Itulah sebabnya kekristenan yang bertumbuh di Tanimbar memiliki corak yang khas. Salah satu kekhasan yang masih terpelihara, dan menurut beta perlu digali maknanya secara lebih mendalam ialah sapaan ‘Itrana’ kepada para pendeta laki-laki, dan ‘Itwata’ kepada para pendeta perempuan (Yamdena Barat), atau ‘Maken’ kepada pendeta laki-laki dan ‘Batmaken’ kepada pendeta perempuan (Yamdena Timur). Sebab pengenaan istilah itu memang merupakan suatu fakta umum dalam bentuk sapaan masyarakat. Namun dalam eklesiologi, sapaan itu merupakan bentuk pelabelan sebagai rasa penghargaan (espektasi) sosial.

Kareda pada akhirnya membangun pranata baru dan itu tampak dalam pemberlakuan berbagai praktek bergereja. Lahirnya kekristenan di Yamdena, seperti halnya pula di tempat lain dalam sejarah GPM, merupakan fakta bahwa gereja selalu lahir dalam kontak yang intens dengan kebudayaan setempat. Di dalam kontak itu, kareda dituntut pula untuk mampu melaksanakan amanatnya di tengah dunia dan dalam relasi dengan masyarakat majemuk.

Aspek kesatuan (unity) atau keutuhan (totally) kareda sebenarnya memiliki kekuatan tertentu karena kareda tidak menghancurkan bentuk kekerabatan dalam masyarakat melainkan dibangun di atas fondasi kekerbatan itu. Ini hanyalah tuangan pemikiran sederhana yang masih perlu digali lagi secara lebih mendalam. (1/8-2011)

ELMESEH

Ide Lokal orang Ameth – Nusalaut Tentang TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


John Hicks, dalam salah satu bukunya menyebut bahwa Tuhan memiliki banyak sekali nama budaya (cultural name). Maksud Hicks bahwa tiap agama dan tiap masyarakat menyebut Tuhan menurut bahasa dan istilah mereka, malah mendefenisikan Tuhan menurut hal-hal yang berhasil mereka tangkap atau pengalaman mereka.

Lebih dalam mengenai itu, Hicks mengatakan tentang Tuhan itu ada dua realitas, yakni realitas ‘nomenon’ dan ‘fenomenon’. Realitas ‘nomenon’ itu merupakan defenisi atau pengenalan tentang Tuhan yang mengandung dimensi kekekalan, atau penyebutan/ pengistilahan yang menunjuk pada sifat Tuhan yang Absolut, seperti Sang Kebenaran, Jalan Yang Benar, Air Hidup, Roti Hidup, Gembala, dan lainnya.

Sedangkan realitas fenomenon ialah realitas penamaan yang tetap menurut bahasa atau budaya masyarakat. Nama-nama Tuhan seperti Shang Hyang Widi Wasa, Allah SWT, Thian, Tri Tunggal. Karena itu nama-nama budaya misalnya di Maluku: Upu Lanite, Upu Tepele, Upu Ume, Upukuanahatana, Upu Ama (Maluku Tengah), Upler, Duad Ler Vuan, Ubu Ratu (Maluku Tenggara), Oplastalah (Buru), dan lainnya adalah juga realitas fenomenon dari Tuhan tadi.

Realitas fenomenon tentu tidak sebatas pada cara masyarakat memberi nama mengenai Tuhan. Lebih jauh dari itu pada realitas ini masyarakat membangun suatu komunikasi dengan Tuhan atau menggunakan Tuhan sesuai dengan nama-nama itu sebagai media komunikasi dengan Tuhan yang absolut tadi. Maka baik nomenon maupun fenomenon, Tuhan itu adalah satu dan absolut.

Elmeseh: Fenomena Tuhan, Fenomena Bahasa

Orang Ameth, Nusalaut, sebagai pemangku istilah Elmeseh menggunakan nama Tuhan ini secara tipikal. Nama ini menjadi semacam tabu jika digunakan dalam komunikasi ritual atau ibadah gereja. Dalam doa dan khotbah, tabu jika nama ini digunakan. Sedangkan dalam komunikasi sesehari nama ini paling sering digunakan. Malah hampir semua orang Ameth menggunakannya dalam komunikasi satu sama lainnya. Bisa dikata, setiap mengawali pembicaraan apa pun selalu didahului dengan sebutan Elmeseh.

Dari sejarah kebahasaan, kita bisa mengatakan bahwa nama Elmeseh merupakan gaya serapan baru di Ameth dari istilah Almasih dalam bahasa Arab. Beta sendiri tidak bisa memastikan apakah cara penulisan yang benar mengenai istilah itu ialah Elmeseh atau El-Meseh. Karena bagaimana pun cara penulisannya, artinya tetap menunjuk pada cara khas orang Ameth menamakan Tuhan.
Dari segi tata bahasa baik ditulis Elmeseh, maupun El-Meseh atau El Meseh, semuanya menunjuk pada bentuk infinitif atau bentuk dasar, artinya menunjuk pada subyek khusus yang digelari. Sebab dalam bahasa Semit, termasuk bahasa Arab, istilah El- atau Al- itu adalah atributif untuk menunjukkan genus atau bahwa kata yang mengikutinya adalah subyek tertentu. Karena itu tidak berdiri sendiri melainkan diikuti oleh genus kata tertentu yang dilekatkan pada suatu subyek tertentu pula.

Misalnya Al-Masih tidak berdiri sendiri melainkan mengikuti subyek tertentu yakni Isa Al-Masih atau Isa Al Masih. Dalam bahasa Arab, Almasih berarti ‘Yang dibangkitkan kembali’, dan selalu digunakan di belakang nama Isa = Isa Almasih, artinya Nabi Isa Yang dibangkitkan kembali. Sama dengan nama teman beta, Sumanto Al-Qurtuby atau Sumanto Al Qurtuby. Sedangkan istilah El juga menunjuk pada atributif Tuhan dari bahasa Aram, yang dipakai dalam teks-teks Perjanjian Lama, seperti El-Elyon, El-Roy, El-Shaday, yang bentuk jamaknya tampak pada istilah Elohim (Tuhan).

Beta merasa bahwa Elmeseh adalah suatu bentuk infinitif yang mungkin berarti sama. Artinya orang Ameth menyerap bahasa Arab melalui istilah itu. Peristiwa penyerapan bahasa Arab oleh orang Ameth itu dapat dibenarkan karena sejarah kontak orang Nusalaut dengan Islam Arab pun berlangsung cukup intens. Malah bukti-bukti kontak dengan Islam Arab di Nusalaut pun masih bisa didapati sampai saat ini. Termasuk karena itu relasi mereka dengan orang Ambalau. Malah bahasa Arab pun pernah digunakan secara meluas di Lease melalui beberapa teks Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa Arab.

Namun orang Ameth menggunakan Elmeseh itu tanpa disertakan pada subyek Yesus atau Isa. Mereka telah menggunakannya secara tunggal. Tetapi menurut mereka, penyebutan itu sesungguhnya berarti Yesus itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Elmeseh bagi mereka adalah istilah lokal tentang Yesus. Atau kembali pada teori Hicks, Elmeseh merupakan realitas fenomenon mengenai Tuhan dalam cara membahasa orang Ameth.

Apakah istilah ini penting? Franz Boas, dalam sebuah tulisannya pada buku ‘Language in Culture and Society’ (Dell Hymes, 1964:173) menjelaskan bahwa istilah-istilah yang dipakai oleh suatu masyarakat dapat menunjuk pada adanya ‘mythical beings’ dan ‘kepercayaan lokal’. Atau kembali kepada teori Hicks, maka istilah-istilah itu tentu menunjuk kepada Tuhan sebagai subyek absolut. Namun Tuhan dalam arti ini lahir dari pengalaman masyarakat, yakni orang Ameth.
Ada pengalaman unik yang mereka alami dari waktu ke waktu sehingga melahirkan konsepsi yang khas tentang Tuhan. Pendapat ini cukup beralasan sebab hanya orang Ameth yang memproduksi istilah Elmeseh dan menggunakannya dalam keseharian mereka. Penamaan itu tidak dijumpai pada enam negeri atau jemaat lainnya di Nusalaut yakni Akoon, Abubu, Titawai, Leinitu, Sila, dan Nalahia. Ini pula yang membuat istilah Elmeseh ini memiliki makna yang khas dibandingkan Tete Manis yang justru digunakan secara umum pada semua komunitas di Maluku.

Elmeseh: Rekonsepsi Tuhan dalam Sejarah Gereja di Ameth

Penjelasan tentang topik ini mestinya mengacu dari detail sejarah gereja di Ameth. Beta tidak memiliki detail sejarah itu. Karena itu gambaran ‘apa adanya’ pada topik ini merupakan semacam refleksi ‘di kuli aer’ (baca. refleksi umum) yang masih harus didalami lagi.

Apa yang mau beta sampaikan dalam bagian ini ialah bahwa orang Ameth memproduksi nama Tuhan dalam kerangka pemahaman mereka. Cara reproduksi seperti itu memang bisa menjadi semacam critical point of view ketika penamaan itu dibiarkan mengambang sehingga menjadi tabu yang dilegalkan. Ini sama dengan sebutan ‘TUANGALLAH’ yang lalu sudah menjadi semacam tabu. Padahal jika didalami dari segi kekhasan bahasa, justru Elmeseh dan Tuangallah tadi merupakan rekonsepsi nama Tuhan itu sendiri. Hanya kita sering tidak mengklarifikasi hal-hal serupa itu secara teologis. Akibatnya, seperti Tuangalah, dipahami sebagai konotasi kasar dari nama Tuhan yang lalu dipahami sebagai tabu.

Pada tempat lain, ada pula penyebutan seperti: ‘Tuangallah Tuangisa’ oleh orang-orang Tuhaha, Pulau Saparua. Jika dilihat sebagai gaya serapan bahasa Indonesia maka sesungguhnya penamaan itu berarti ‘Tuhan Allah, Tuhan Isa atau Tuhan Allah, Tuhan Yesus’. Sebuah penamaan umum dalam tata bahasa Indonesia tentang Tuhan dan Tuhan Yesus. Hanya orang Tuhaha menggunakannya secara bersama-sama, dengan tipikal mereka yang mengakui Yesus sebagai Tuhan itu sendiri.
Sebutan ‘Allah Bapa’ oleh orang-orang Oma (Pulau Haruku) pun adalah pengambilalihan secara langsung istilah dalam bahasa Indonesia. Namun karena digunakan dalam percakapan sesehari, seperti halnya Elmeseh tadi, maka sebutan itu dipandang pula sebagai tabu, sama dengan Tuangallah yang digunakan secara umum.

Kembali kepada Elmeseh. Jika penamaan itu diambil dari artinya dalam bahasa Arab, yakni ‘Yang Bangkit Kembali’, maka tentu harus dicari alasan-alasan sejarah dari penggunaan istilah itu. Apakah ini terkait dengan pemaknaan Yesus dalam sejarah gereja di Ameth atau Nusalaut, atau ada peristiwa sejarah tertentu yang membidaninya. Artinya kita tidak bisa melepaskan fenomena-fenomena itu begitu saja melainkan harus ada fungsi kritis teologis dalam rangka melihat reproduksi teks-teks tentang Tuhan oleh masyarakat kita di Maluku. Sebab Elmeseh tentu menjadi sebuah cara pandang yang tipikal Ameth tentang Tuhan. Jika digunakan dalam ruang-ruang ritus dan khotbah gereja, makna dasar dari Elmeseh itu akan menunjuk pada sebuah pemahaman baru yang bermakna teologis bagi jemaat. (1/8-2011)

Tuesday, June 7, 2011

FANGRIDIN:

Inisiasi Lokal dalam Konteks Budaya Tanimbar di Watmasa
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella




Kamis, 26 Mei 2011, jam. 08.35, beta bersama Tim Penatar dari MPH Sinode GPM dan Klasis Tanimbar Utara (Pdt. Jopy Noya, Pdt. Yan Latuwael, Pdt. Nick Taberima, Pdt. Nor Refialy, Pdt. Da Salakory dan Pdt. Dece Herbawal - Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, Pdt. Rooy Maail, Penginjil Cepu Ratuanik, dan Wem Masrikat - Jurumudi Speed boat) melayari lautan dari Larat ke Jemaat GPM Watmasa, untuk melaksanakan kegiatan Penataran Majelis Jemaat Periode 2010-2015 di Klasis Tanimbar Utara.

Pemandangan pulau-pulau kecil dan terkecil di hamparan lautan itu begitu indah. Usi Ana, demikian beta menyapa Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, bercerita banyak hal tentang pulau-pulau tersebut. Ada yang berpenghuni, ada yang kosong tak berpenghuni, tetapi sudah dimiliki oleh para kapitalis lokal. Usi Ana juga bercerita mengenai tantangan pelayanan antarpulau di kawasan yang kaya dan indah ini. Keindahan alam pesisir ini kelihatan dari jejeran hutan bakau dan areal budidaya rumput laut milik warga jemaat.

Jam 09.10 kami tiba di pesisir pantai Watmasa. Tampak warga jemaat sudah mempersiapkan acara penyambutan terhadap tamu gereja (mel kareda).
Pada gapura utama, anak-anak Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil (SMTPI) sudah bersiap untuk acara penyambutan. Mereka mengenakan pakaian adat: kebaya putih dan kain tenun Tanimbar. Ada sekitar 20- an orang, di antaranya dua anak laki-laki yang mengenakan ikat kepala dari kain tenun.

Di gapura kedua, tampak ibu-ibu yang juga mengenakan pakaian adat. Mereka kemudian memainkan tarian 'dobol' salah satu jenis tarian penyambutan dalam budaya Tanimbar, selain 'Tnebar ila' dan 'Tnebar fanewa'.

Namun sebelum kami memasuki gapura dan dua kelompok penyambutan itu, ada proses inisasi yang dilayani oleh tuan tanah (lanun duan) Watmasa. Prosesi inisiasi ini yang akan diulas pada tulisan ini.

1. WATMASA: Tanah Yang Dibeli dengan Harta Kawin Saudara Perempuan
Nama Watmasa berasal dari dua suku kata dalam bahasa Fordata (rumpun Fordata Molo), yakni: wata yang berarti perempuan, dan mas yang berarti emas -menunjuk pada harta kawin dalam bentuk sepasang emas berbentuk bulat (seperti koin).

Dalam ceritanya, orang-orang Watmasa sebelumnya tinggal di Korba Leka (batu putih). Karena kondisi tanah di situ tidak baik, dan sering terancam longsor, maka orang-orang tua membeli tanah dari Empat Serangkai yakni komunitas Lelingluan, Ritabel, Ridol dan Watidal. Tanah itu dibeli seharga sepasang emas yang adalah harta kawin saudara perempuan mereka.

Akhirnya orang Watmasa menempati negeri yang sekarang dan daerah Batu Putih kini menjadi dusun orang Watmasa. Masyarakat ini masih mempraktekkan adat dan kebudayaan seperti diwariskan dari zaman nenek moyangnya.

Konsepsi agama suku masih meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Penyebutan Tuhan sebagai Ubu (Tuhan) atau Ubu Ratu (Tuhan Semesta Alam) masih lestari dalam sapaan mereka, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat tertentu.
Begitu pun konsepsi mengenai sesama atau saudara (kidabela; kida=teman, bela=saudara, pela) merupakan semacam ideologi budaya yang membuat orang Watmasa, dan Tanimbar pada umumnya dapat menerima orang lain, atau orang lain bisa dengan mudah beradaptasi dengan mereka.

2. FANGRIDIN: Inisiasi Lokal
Lazimnya masyarakat Tanimbar, setiap tamu atau orang luar yang datang ke negerinya disambut dengan rangkaian upacara adat yang khusus untuk itu.
Demikian pun orang-orang Tanimbar di Watmasa. Pada hari kamis itu, ada sebuah pengalaman unik yang mengundang perlunya kajian dari sisi kebudayaan dan teologi. Suatu praksis kearifan lokal yang terpintal dalam upacara ritus penyambutan tamu gereja (mel kareda).

a. Persiapan Ritus

Fangridin, atau diartikan 'kasi atau biking dingin' merupakan tindakan ritual dalam upacara penyambutan tamu atau orang yang datang dari luar dan hendak melakukan serangkaian aktifitas, tugas atau tinggal dan menetap di dalam serta bersama orang Watmasa.


Dalam prakteknya, fangridin itu bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar menghindarkan penyakit, mengatasi kesulitan atau kekurangan akan bebab-beban tertentu dari tamu atau orang yang akan tinggal di Watmasa. Juga memohon menyampaikan kepada para leluhur atau Tete Nene Moyang (TNM - ubun nusi) tentang ada orang dari luar yang datang dan tinggal di Watmasa. Ini dimaksudkan agar TNM 'seng takajo' (tidak kaget/bingung) bahwa ada orang lain yang datang dan tinggal di sana.
Intinya dengan fangridin, orang luar itu sudah diterima dan menjadi bagian utuh dari masyarakat Watmasa. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang luar, sebab sudah diterima oleh masyarakat, dan diketahui atau disetujui oleh para TNM. Mereka dan orang Watmasa adalah satu dan dapat disebut sebagai orang Watmasa.

Hal ini ternyata sudah dipersiapkan jauh hari sebelum orang itu datang. Pada malam persiapan penyambutan, biasanya tuan tanah dan semua tua adat serta Kepala Desa, sebagai Kepala Adat (Raja), berkumpul dan mempersiapkan upacara dimaksud.
Dalam persiapan itu, tuan tanah mendoakan material air dan sopi yang dipersiapkan untuk kebutuhan upacara itu. Doa itu memohon agar tamu itu selamat dalam perjalanan, diterima oleh semua masyarakat dan TNM. Mereka pun mendoakan agar sopi dan air yang akan menjadi simbol ritus pada upacara itu pun diberkati Tuhan ketika akan digunakan. Dalam doa itu, mereka pun memohon supaya TNM membantu menyampaikan maksud itu kepada Tuhan.

Jadi posisi TNM di sini sebagai orang yang turut menjadi saksi atas upacara fangridin dan mediator antara masyarakat dengan Tuhan.

b. Simbol Ritus
Ritus fangridin dilaksanakan dengan menggunakan material sopi dan air. Kedua material ini dipersiapkan terlebih dahulu dalam doa adat malam hari sebelum upacara penyambutan itu diadakan keesokan harinya.

Sopi menjadi simbol bahwa tamu atau orang yang datang dari luar itu diterima menjadi atau menjadi bagian dari orang setempat. Dengan meminum sopi, tamu atau orang dari luar yang datang dan hendak hidup di salah satu negeri di Tanimbar, misalnya Watmasa, bukan lagi orang lain bagi mereka. Begitu pun tamu atau orang dari luar harus memandang orang setempat sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Mereka dituntut untuk saling membantu dalam segala hal, dan tidak perlu sungkan dalam hal saling berbagi.

Sedangkan air menjadi simbol bahwa seluruh hambatan, kesulitan, tantangan dan kekurangan akan bisa teratasi atau tidak akan menjadi beban yang memberatkan hidup tamu atau orang yang baru datang serta masyarakat setempat. Termasuk beban-beban psikhis, seperti salah paham, emosi dan konflik. Air memainkan fungsi harmoni dalam rangka pelaksanaan tugas atau dalam hal hidup bersama nantinya (baik temporal maupun dalam waktu yang panjang). Di situ letak makna 'kasi dinging'.

c. Pelaksanaan Ritus
Ritus fangridin berlangsung atas permintaan Raja/Kepala Desa (mela) atau gereja. Kepala Desa menghendaki dilaksanakan fangridin kepada tamu-tamu yang datang dari unsur pemerintah, atau juga guru baru yang akan mengajar dan tinggal di negerinya, bidan atau tenaga kesehatan. Dalam hal itu juga kepada salah seorang anak dari luar yang menikah dengan anak negeri setempat (laki-laki maupun perempuan) dan hendak tinggal di situ.


Begitu pun jika ada tamu gereja (mel kareda), pihak Majelis Jemaat dapat meminta dilaksanakan fangridin. Dalam hal ini pun Kepala Desa akan bertindak selaku pemangku adat untuk mengumpulkan tuan tanah dan semua pemuka adat mempersiapkan upacara fangridin.

Rangkaian persiapan upacaranya dilakukan sehari sebelum acara penyambutan, dan biasanya pada malam hari. Kepala Desa akan mempersiapkan air dan sopi dan mengumpulkan pemuka adat dan tuan tanah untuk melakukan doa adat mempersiapkan sopi dan air serta pelaksanaan upacara keesokan harinya.

Mereka biasanya berkumpul di rumah Kepala Desa atau juga di temarlolan, atau baileu dalam bahasa di Maluku Tengah. Selain temarolan ada pula tempat berkumpul yang biasa disebut ridalan yakni lokasi tempat berkumpul (bukan bangunan).

Keesokan harinya upacara fangridin dilaksanakan. Tuan tanah bersama dengan salah seorang perempuan anggota mata rumah tuan tanah berdiri di jalan masuk ke negeri untuk menyambut tamu. Tuan tanah melayankan doa adat fangridin meminta kepada Tuhan (Ubu Ratu) dan TNM (Ubun Nusi) agar tamu atau orang yang baru datang itu diberkati selama berada di negeri mereka.

Formulasi doa adat itu disesuaikan dengan kebutuhan atau orang yang datang; dengan demikian berbeda untuk tamu yang datang dan tinggal dalam waktu singkat dan yang datang tinggal karena bekerja atau berkeluarga.

Doa adat yang dipakai dalam upacara penyambutan mel kareda pada hari itu seperti ini:
O Ubu. Mrenara mam sambayang amarini mangun mela rma ma habana mu karya ini te Ubu.
Amhera tali oa te Ubu, muflahar hera maling sian sala tali hera, boma deka rtuan sian te Ubu.
Fwatuang hera tinemun boma rnaa wanglolin Ubu mam har hera lawan ini te Ubu.


Setelah doa itu dilayankan, tuan tanah mengambil sedikit sopi dan memerciknya ke atas sebanyak tiga kali. Tindkan itu berarti ditujukan kepada Tuhan agar memberkati tamu yang datang dan menghindarkan dari sakit, celaka, beban-bebannya menjadi ringan dan tidak menghambat. Hidup dalam damai dengan masyarakat dan tidak ada salah paham yang menjurus pada konflik sehingga kegiatan tersebut terhalang.

Setelah itu menyiram air ke tanah (tiga kali) sebagai tanda bahwa tamu ini sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Semua masyarakat dan TNM menjadi saksinya. Begitu pun meminta supaya selama mereka hidup di negeri itu, negeri tidak menolak -dalam arti tamu itu tidak sakit oleh sebab yang tidak jelas. Tindakan itu pun dimaksudkan agar TNM tidak 'takajo' terhadap tamu itu.

Setelah itu, tuan tanah memercik air ke kepala para tamu, seperti pelayanan baptisan Kristen, sebanyak tiga kali; sebagai tanda bahwa tamu itu bukan lagi orang asing bagi masyarakat. Ia sudah menyatu dengan masyarakat setempat; dan masyarakat pun dengan sukacita menerima mereka.

Setelah itu mereka disuguhi sopi adat oleh tuan tanah. Dengan meminum sopi maka tamu itu langsung menjadi bagian dari masyarakat di situ. Pada beberapa kasus, adakalanya tamu itu diberi nama-nama setempat (dalam bahasa tanah).

d. Makna Teologis

Inisiasi sebagai suatu tindakan sosio-budaya menunjuk pada tingkat adaptasi dan pembauran sosial antarindividu dan komunitas. Setiap komunitas memiliki ritus dan simbol khusus sebagai tanda diterimanya seseorang ke dalam atau menjadi bagian dari masyarakat setempat.

Ritus-ritus sosial itu selalu terjadi dalam relasi antarmanusia. Bentuk ritus itu patut pula dipahami sebagai suatu tindakan teologis masyarakat lokal. Sebab tiap tindakan sosial- budaya lahir dari konsepsi pandangan dunia (worldview). Sebuah pandangan dunia mengandung selain harapan tetapi juga keyakinan atau kepercayaan (sense of belief).

Jika seseorang atau satu komunitas bisa menerima orang lain dan menjadikan orang lain itu bagian dari hidup mereka maka relasi harapan, keyakinan dan kepercayaan telah menjadi suatu sistem kehidupan yang terwujud dalam persekutuan (baca. hidup bersama).

Dalam injil, kelahiran Yesus patut dimaknai sebagai tindakan inisiasi Allah ke dalam realitas dan struktur sosial manusia dan masyarakat. Allah tidak lagi menjadi 'orang asing', dan tidak usah dijumpai dengan tindakan-tindakan ritus yang abstrak. Allah sudah ada bersama masyarakat dan tinggal dalam struktur serta beradaptasi dengan sistem- sistem sosial dalam masyarakat.

Sedangkan ketika Yesus ditolak oleh orang Nazareth artinya bahwa proses inisiasi seseorang dalam suatu masyarakat dapat terbentur oleh perbedaan carapandang di antara mereka.

Untuk mengatasi itu, masyarakat membuat ritus dan simbol inisiasi yang bertujuan agar mereka bisa saling menerima. Inisiasi membuat seseorang mengenakan 'jubah budaya dan sosial' konteks setempat. Ia bukan hanya dipandang sama, melainkan dipandang sebagai bagian dari masyarakat setempat. Inisiasi membawa sesorang menjadi bagian dari suatu komunitas.

Tindakan menginisiasi seseorang atau berinisiasi ke dalam komunitas tertentu merupakan wujud dari tindakan mengenakan identitas baru. Di dalam identitas itu mereka akan mampu berbagi dalam berbagai hal.
--------------


Informan:
Bpk. Meki Wuarlela (49 thn) - Lanun Duan Watmasa,
dan Bpk. Onesimus Wuarlela (67 thn)
Percakapan pada 28 Mei 2011, jam 07.30- 08.20 di Watmasa

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...