Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Pendahuluan
Kita digemparkan beberapa hari ini (4-5 Mei 2010) dengan kebijakan Pemerintah RI melelang ‘harta karun’ yang diambil dari Pantai di Cirebon. Dalam rekaman TV ternyata barang-barang itu adalah peninggalan Cina. Mengikuti tulisan teman saya, Sumanto Al Qurtuby, saya pun memperkirakan barang-barang Cina itu merupakan artefak-artefak yang ditinggalkan Muslim Cina. Artinya, barang-barang itu sebenarnya merupakan bukti dari sebuah sejarah penyebaran Islam di Jawa oleh orang Cina. Jika dipahami secara semantik, bukankah artefak-artefak itu sebenarnya telah menjadi sebagian dari kebudayaan material yang membentuk identitas Islam di Jawa, atau Muslim Cina Jawa itu sendiri. Saya percaya Sumanto, yang saat ini sedang menjalankan tugas Penelitian Disertasi di Ambon dan tinggal bersama saya di Pastori III Jemaat Rumahtiga, memiliki pemaknaan tersendiri terhadap fenomena itu. Suatu hal yang ditelitinya secara mendalam.
Apa yang hendak saya paparkan di sini adalah sebagian dari peninggalan Cina, termasuk artefak-artefak Cina yang ada di Maluku. Hal itu pun turut menjadi bukti dari pengaruh atau adanya kontak antara masyarakat Maluku dengan pedagang-pedagang atau orang Cina (lht. Tulisan saya yang lain: Jejak Cina di Maluku: Meneropong Jalur Lease).
Tulisan ini adalah upaya mencatat hal-hal yang kiranya nanti menjadi perlu dalam penelitian yang mendalam mengenai Pengaruh Cina di Maluku. Beberapa hal yang sudah ditulis dalam tulisan awal saya itu akan digali lagi, terutama berkaitan dengan aspek-aspek sosial, demografis, ekonomi, dll. Kali ini saya hendak mendatakan beberapa hal yang nanti juga menjadi data untuk menganalisa sejauhmana Cina meninggalkan ‘jejaknya’ di Maluku.
2. Artefak dan Labelisasi Cina
a. Bendera
Dalam tulisan awal saya itu, dikatakan di sana pula bahwa budaya membuat atau memiliki bendera adalah budaya Cina. Karena itu jika ada suatu Negeri di Maluku yang memiliki bendera Negeri, dengan simbol tertentu, boleh dikatakan bahwa itu adalah salah satu bukti pengaruh Cina dalam struktur ideologi atau politik Negeri itu.
Dalam Tesis Magister, Pdt. Max Haulussy, pada Program Pascasarjana Agama dan Kebudayaan, UKIM, Ambon (2010), dikabarkan bahwa Kerajaan Islam Iha bahkan memiliki sebuah bendera.
Dijelaskan dalam Tesis itu bahwa:
bendera Kerajaan Iha menyerupai seekor burung Talang yang menukik menyergap mangsanya. Burung ini menguasai (udara) langit dan kemampuannya dalam penyergapan terhadap musuhnya secara tepat. Setelah musuh dapat dilumpuhkan (dibunuh), ia kembali, terbang menuju sarangnya yang jauh di puncak gunung. Oleh karena itu, nenek moyang masyarakat Maluku menggunakan burung talang sebagai simbol keperkasaan orang Maluku. Mereka menyerang musuh, membunuhnya, membumihanguskan daerah musuh tersebut, lalu mereka kembali pulang ke tempatnya. Mereka tidak bermaksud menduduki atau menguasai daerah itu.
Simbol burung Talang untuk Kerajaan Iha sendiri berarti: barangsiapa yang menguasai udara (langit), ia adalah pengawal upu lanite (Tuhan). Burung Talang juga mengandung makna walaupun kecil tetapi memiliki kekuatan yang sangat besar. Warna merah dan kuning pada gambar burung melambangkan keberanian dan keagungan. Lambang bulan sabit melambangkan corak keislaman kerajaan Iha. Sedangkan lambang plus (tanda tambah) menunjuk pada relasi masyarakat Iha secara vertikal kepada Upu Lanite dan secara horisontal dengan sesama manusia. Warna putih pada keduanya menggambarkan kesucian hubungan yang tercipta (vertikal dan horisontal), sekaligus memberi kesan terhadap karakteristik masyarakat Iha yang selalu terbuka dalam interaksi, baik dengan Tuhan maupun sesama manusia, tetapi tetap memerangi kebatilan dan keserakahan terutama terhadap apa yang dilakukan oleh para penjajah. Pengaruh kerajaan ini tersebar sampai ke luar Nusa Iha.
Di manakah letak pengaruh Cina dalam gambaran bendera itu? Hal itu masih perlu diteliti. Tetapi jika dalam peperangan, tentara Kerajaan Iha selalu maju di bawah panji/bendera itu, itu bisa menunjuk pada salah satu bukti pengaruh Cina. Bendera telah membentuk suatu lapis pemahaman ideologis terhadap negerinya.
b. Piring Tua
Dalam setiap upacara adat di Maluku, termasuk pembayaran denda adat, piring tua menjadi bentuk budaya material yang bermakna sakral. Jika dilihat fisiknya, tentu itu bukanlah hasil invensi budaya orang Maluku. Ada tembikar sebagai hasil kerajinan tangan orang Maluku, seperti sempe di Negeri Ouw – Pulau Saparua. Dari mana kemampuan itu dimiliki orang Ouw, perlu pula diteliti secara mendalam. Tetapi kemampuan membuat tembikar dari bahan porselin memerlukan teknologi yang jauh lebih maju dari membuat sempe. Mulai dari bahan dasarnya, sampai dengan peralatan serta keterampilan si pembuatnya.
Karena itu dipastikan bahwa piring tua itu adalah peninggalan Cina yang terangkut bersamaan dengan proses perdagangan di Maluku. Bisa saja diperkirakan bahwa piring-piring tua dan aneka porselin lain, termasuk barang-barang tembaga bermotif Cina (seperti tongkat berkepala naga), adalah material dalam perdagangan barter dengan orang Maluku.
Dari segi wilayah persebarannya, piring tua ini tersebar tidak saja di pesisir tetapi sampai ke pegunungan dan bahkan di daerah pelosok. Ini terbukti karena komunitas orang Nuaulu di pedalaman pulau Seram juga memiliki piring tua dalam jumlah yang banyak. Orang Honitetu (Kairatu) dan Riring Rumahsoal (Taniwel) bahkan memiliki areal piring tua yang luas, dan piring tua itu ditanam di dalam tanah di dusun-dusun peninggalan leluhur mereka. Tempat itu bahkan masih ada sampai saat ini.
Teman saya Pdt. Wiliam Hehakaya, yang bertugas di Jemaat Piliana, Klasis Telutih, baru-baru ini memperlihatkan kepada saya sebuah Foto mengenai keberadaan piring tua, peninggalan Cina yang dianggap sakral bagi masyarakat Piliana yang sudah menjadi Kristen atau yang masih tinggal di Losa dan masih memeluk agama sukunya.
Dari mana datangnya piring tua itu bisa dipastikan dari atau oleh orang-orang/pedagang Cina. Mengapa piring tua itu menjadi material penting dalam budaya orang Maluku? Hal itu yang perlu diteliti secara mendalam. Apakah karena barangnya yang mewah sehingga bisa mewakili simbol atau status sosial?
c. Nama Tempat
Dahulu di Kota Ambon ada Kampung Cina, tepat di pusat kota dan kini sudah menjadi kawasan pertokoan (Jl. A.Y. Patty). Namun kini tidak ada lagi bekas kampung Cina tersebut. Namun ada suatu kawasan di Kota Ambon yang menggunakan nama Cina, yakni ONGKO LIONG. Kawasan di pesisir pantai Negeri Batu Merah ini kini menjadi terminal transit Bus Ambon-Seram.
Selain itu beberapa orang Cina yang berperan penting dalam sejarah Gereja di Ambon, misalnya Mr. Lee. Beliau menjadi salah satu tokoh yang membangun Jemaat Hok Im Tong, sebagai Jemaat Cina tertua di Ambon. Dari Jemaat ini kemudian berkembang Jemaat Gereja Kalam Kudus.
Jemaat Hok Im Tong kini menjadi Jemaat Khusus dalam pelayanan GPM.
d. Kayu Cina
Entah darimana nama ini muncul. Tetapi di hutan-hutan di Pulau Seram ditumbuhi sejenis pohon kayu. Kayu ini biasa disebut masyarakat ‘kayo bagus’; artinya maknanya sama dengan kayu lenggua, kayu besi, kayu samama, kayu nesat, dll, yang selalu menjadi material pembuatan rumah.
Tetapi kayu yang dimaksud ini biasa digunakan untuk membuat dinding atau flafon rumah, atau meja, kursi. Ini bukan jenis kayu keras seperti lenggua dan kayu besi, tetapi dapat tahan dalam waktu yang lama, tidak gampang rusak walau kena air dan panas matahari.
Jenis kayu ini disebut ‘kayu Cina’. Dari mana asal sebutan dan nama itu? Toh label Cina memperlihatkan bahwa nama itu tidak muncul begitu saja, melainkan ada suatu aktifitas sosial yang terjadi di masa lampau sehingga masyarakat menamai pohon kayu itu demikian.
Ini sudah menjadi bentuk kebiasaan dalam masyarakat Maluku. Seperti orang menamai pohon durian dengan rupa-rupa nama, misalnya ‘durian otak mas’ atau ‘durian mentega’, karena isinya yang kuning bersih dan lezat rasanya. Atau ‘durian tinggi’ karena pohonnya yang tinggi, ‘durian gayang’ karena tumbuhnya berlapis dengan pohon gayang. Atau juga penaamaan lain seperti ‘Air Majapahit’ (di Ema, Pulau Ambon) untuk sumber air/sumur yang pernah menjadi tempat minum orang-orang Majapahit, dusun Maspait (di Rumahtiga, Pulau Ambon), juga sebagai dusun yang pernah dihuni orang-orang Majapahit sebelum berpindah ke Rutong (Pulau Ambon). Atau ‘rumah masigi’ atau ‘rumah salam’ untuk areal di mana pernah ada Masijd di situ; artinya ada jejak-jejak Islam di daerah itu.(
e. Asimilasi
Proses asimilasi Cina di Maluku sudah berlangsung sejak lama. Proses ini berlangsung melalui penggantian atau penggunaan nama-nama lokal, terutama nama marga/fam pada keluarga-keluarga Cina.
Beberapa contoh dari proses asimilasi itu a.l:
- Di Maluku Tenggara (Komunitas Kei), beberapa marga Cina seperti ‘Li’ menjadi ‘Liubun’. Nama ‘ubun’ merupakan nama marga dalam komunitas Kei seperti ‘Hukubun’, Betaubun, dll.
- Di Ambon, nama marga seperti ‘Lie’ menjadi ‘Liemena’; bentuk adaptasi pada fam ‘Leimena’ (dari Negeri Ema).
- Di Kepulauan Aru, nama marga seperti ‘Ang’, menjadi ‘Angker’. Di sana pun terjadi beberapa penyesuaian, khusus pada anak-anak yang kemudian dibaptis. Kepada anak-anak itu diberi fam mengikuti beberapa pejabat daerah yang bertugas di sana, seperti Hursepuny dan Kailola. Bentuk penyesuaian itu pun tampak pada marga ‘Te’ yang kemudian menjadi ‘Tengko’, diadaptasi pada nama marga ‘Engko’.
- Di Seram Barat, beberapa marga seperti ‘Talaway’ adalah bentuk adaptasi marga Cina mengikuti nama mata air keramat dalam kosmologi orang-orang Seram, yaitu ‘Tala’, sedangkan ‘Way’ adalah istilah dalam bahasa setempat yang berarti air.
- Selain itu, marga-marga Cina lainnya, sesuai dengan kebijakan Pemerintah RI, kemudian memakai fam-fam yang ada di Maluku secara umum.*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
-
Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’ Saya memberi judul di...
No comments:
Post a Comment