Kalau telah menjadi suatu kelaziman umum yang ada di setiap negeri di Maluku, badendang patut disebut sebagai sebuah tradisi yang dipraktekkan secara turun-temurun dalam masyarakat. Beta berpendapat mungkin kita perlu mencari suatu core sosial dari mana dan bagaimana sampai tradisi ini berkembang di setiap negeri.
Penelusuran ke arah itu mungkin bisa ditempuh dari beberapa item, seperti nyanyian pada saat badendang, dengan kebiasaan berbalas pantun. Lagu-lagu irama tifa, dll, yang menceritakan berbagai hal, terutama pemaknaan mengenai persaudaraan.
Mengapa tradisi ini lazim muncul pada saat ‘pesta tahun baru’, atau tepatnya sebagai suatu bentuk ekspresi masyarakat telah berada di tahun yang baru? Masyarakat di Eropa dan Amerika, biasa menyambutnya dengan mengadakan pesta atau perayaan besar (karnaval), yang berpuncak dengan pesta kembang api. Mungkinkah masyarakat kita juga demikian? Menanti saat pergantian tahun, lalu meluapkan kegembiraannya dengan ‘badendang’.
Beta masih ingat pula, dahulu di Rutong, badendang ini diadakan sebagai luapan sukacita dan persaudaraan ketika saudara ‘gandong’ dari Rumahkay, yang datang mengadakan “Panas Gandong” akan kembali ke negeri mereka, atau sebaliknya. Seluruh masyarakat badendang sampai pagi, dan langsung mengantar saudara gandongnya ‘naik motor’ untuk berlayar kembali ke negerinya.
Pada tahun 2003, beta mengantar mahasiswa Fakultas Teologi UKIM melakukan Studi Kejemaatan di Nusalaut. Sebagai tanda keakraban dengan mahasiswa, orang Ameth badendang sejak subuh-subuh, dan menjemput mahasiswa di rumah ‘mama dan papa piara’, untuk selanjutnya keliling negeri, sampai saat ‘naik motor’ untuk kembali ke Ambon.
Di Uweth, Kecamatan Taniwel, Kab. Seram Bagian Barat, tradisi ini juga dilaksanakan pada 1 Januari 2009. Bapak Ibe Mawene, salah seorang tua, menturkan begini: “akang barang ini (badendang) su lama. Dari dolo-dolo lai akang su ada. Katong iko saja” (badendang ini sudah ada sejak dahulu, dan kami yang sekarang hanya meneruskannya).
Biasanya di Uweth, badendang itu berlangsung selama 5 hari, sejak 1 Januari. Pada Ibadah Tahun Baru, 1 Januari 2009, Raja Negeri Uweth, Bapak Demianus Lumamena, setelah ibadah, masih dalam ruang gereja meminta masyarakat: “tradisi ini bisa katong biking skarang. Seng ada yang larang. Cuma beta minta, akang sampe tanggal 2 saja, kar’na tanggal 4 ada Perjamuan Kudus. Tanggal 3 itu ibu Pendeta deng majelis, deng katong samua musti persiapan diri par perjamuan” (= tradisi ini (badendang) bisa dilaksanakan sekarang. Tidak ada yang melarangnya. Hanya saya minta, cukup sampai tanggal 2, karena pada tanggal 4 nanti akan ada Ibadah Perjamuan Kudus. Pada tanggal 3, Majelis Jemaat dan kita semua harus melakukan persiapan diri untuk Perjamuan).
Kelompok Badendang
Di Uweth, menurut kebiasaannya, badendang ini dilakukan oleh setiap kelompok menurut kategori gerejawi, a.l: kelompok anak-anak SM-TPI (Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil), kelompok Angkatan Muda, Kelompok Laki-laki, dan Kelompok Perempuan. Yang mengkoordinirnya pun adalah Pengasuh, Pengurus AMGPM dan Wadah Laki-laki dan Perempuan. Sebenarnya memang perubahan ini baru terjadi di waktu kemudian; sebab dahulu tradisi ini diadakan hanya oleh orang dewasa dan secara umum.
Aturannya, setiap kelompok harus badendang di setiap rumah jemaat (kecuali rumah janda, dan keluarga yang oleh masyarakat dikategorikan ‘tidak mampu’). Setiap keluarga, pada setiap rumah wajib menyambut setiap kelompok badendang, dan cukup memberi sebuah kue, atau sepiring waji, dan sebotol minuman (Orange, Fanta, dan sejenis – untuk anak SM-TPI; dan sebotol sopi kepada kelompok pemuda, laki-laki dan perempuan).
Biasanya mereka tidak bisa badendang di setiap rumah pada tanggal 1 itu. Karena itu dilanjutkan untuk rumah-rumah yang belum dikunjungi pada tanggal 2. Pada malam tanggal 1, dilaksanakan Pesta Negeri (untuk umum).
Nah, ini juga ada suatu ‘aturan’ yang katanya sudah turun-temurun. Setiap orang dewasa diwajibkan menghadiri pesta. Jika ada yang tidak mau menghadiri pesta, wajib matawana (begadang) semalam suntuk sampai pesta selesai. Jika ada yang tidak matawana, berarti keluarganya dikenakan denda. Keesokan harinya (tanggal 2), para pemuda akan badendang ke rumah keluarga-keluarga yang tidak matawana itu untuk menagih denda. Denda ini bisa diberikan dalam bentuk uang (sukarela), atau juga kue. Setelah menagih denda, para pemuda ini biasanya melanjutkan badendang di rumah-rumah yang belum dikunjungi sehari sebelumnya, dan malamnya diadakan pesta khusus untuk pemuda.
Beberapa syair dalam badendang:
-Mau masuk Rumah yang dituju:
Mama bilang, mama bilang singgah dolo
Singgah di rumah e taong baru lele oooo
-Di depan pintu rumah yang dituju:
Bapa laeng-laeng tidak ku suka
Bapa ….(nama kepala keluarga) au suka neka
-Setelah diberi kue dan minuman:
Bae…bae….ada bae….bae
Tagal Bapa/ibu punya bae kami junjung di kepala
Kemudian diselingi nyanyian lain, dan berbalas pantun.
Beberapa syair dalam badendang:
-Mau masuk Rumah yang dituju:
Mama bilang, mama bilang singgah dolo
Singgah di rumah e taong baru lele oooo
-Di depan pintu rumah yang dituju:
Bapa laeng-laeng tidak ku suka
Bapa ….(nama kepala keluarga) au suka neka
-Setelah diberi kue dan minuman:
Bae…bae….ada bae….bae
Tagal Bapa/ibu punya bae kami junjung di kepala
Kemudian diselingi nyanyian lain, dan berbalas pantun.
No comments:
Post a Comment