Tafsir Sosiologis Nehemiah 2:11-20
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Mencari Korelasi antara Dua Sistem Sosial
Teks ini menarik untuk ditelaah dalam konteks kebangsaan Indonesia. Walaupun ternyata sulit menemukan jalan mulus untuk menghubungkan dinamika Israel Alkitab di zaman Nehemiah taken for granted dengan dinamika Indonesia. Sebab saya kemudian menjadi sadar bahwa adalah tidak tepat melihat secara taken for granted dinamika kepemimpinan dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat monarkhi (Yahudi) dengan masyarakat demokratis (Indonesia).
Apalagi jika kita menyimak sejarah politik Israel kuno, bahwa mereka pernah masuk dalam suatu babakan ‘demokrasi’ yang tidak bertahan lama, melalui pemilihan saul menjadi Raja, karena kemudian Daud mengembangkan sikap anti-demokrasi dan membangun teokrasi yang sangat mapan (bnd. Gottwald). Di samping itu, memang komunitas Yahudi lebih dihayati sebagai suatu komunitas sosio-spiritualis; bukan politis-ekonomis (A.D.H. Mayes). Karena itu, sistem kepemimpinan dalam masyarakat dipegang oleh orang-orang, yang oleh Weber, memiliki kharisma legal dan tradisional (melalui dynasty model), dan kharismatik (dalam hal ini imam dari suku Lewi, dan para Nabi). Semuanya selalu atas ‘petunjuk’ atau ‘kehendak’ atau ‘panggilan’ Tuhan secara langsung, dan hukum (Taurat) seakan mensahkannya.
Sistem politik Israel kuno (monarkhi) baru berkembang 200 tahun setelah konfiderasi suku-suku itu dibentuk (Gottwald). Pada point ini kita perlu memberi sedikit perhatian, agar kita semakin terbantu untuk memahami gerakan pembangunan kembali tembok Yerusalem dalam narasi Nehemiah 2 ini.
Pertama, jika kita membaca teks-teks PL, ternyata karakter nomadik Israel kuno berbeda dari karakter nomadik bangsa Palestina kuno lainnya. Corak nomadik Israel kuno lebih menjurus pada pastoral nomadic, suatu tipikal penggembala, daripada agrarian nomadic, tipikal bertani (J.D.Martin). Makanya dalam kisah perjalanan Abraham (Kej.12 – lihat pula ketika Abraham menyuruh Lot yang terlebih dahulu memilih teritorinya. Mereka mencari tempat yang subur, bukan untuk bercocok tanam, tetapi sebagai tempat makan ternaknya), dan juga Yakub, baik pada saat bekerja di rumah Laban, maupun ketika keluar dari sana (Kej.29-32), unsur yang disertakan adalah ternak (kambing, domba). Corak agraris baru ditekuni orang Israel kuno ketika mereka dijajah Mesir. Hal itu pun berpengaruh dalam refleksi ketuhanan mereka. Israel kuno lebih familiar dengan identitas Tuhan seperti gembala (Mzm.2), atau burung rajawali, gunung batu, tempat perteduhan, penjaga yang setia, termasuk tiang awan dan tiang api (yang lebih bermakna militeristik).
Kedua, konteks tribalisme, atau komunitas suku adalah suatu komunitas eksklusif yang berkembang sepanjang sejarah nomadik dan pengembaraan Israel – pasca pembuangan di Mesir, selama mereka berserak dan menempati daerah yang mereka sebut ‘Kanaan’ (Diana Vikander Edelman), sampai membangun monarkhy. Fenomena ini menarik, sebab monarkhi memang berhasil membangun nasionalisme keyahudian dengan ideologi Yahwisme. Di sinilah menariknya memahami Israel kuno sebagai sebuah bangsa yang mendasarkan seluruh segmen kebangsaannya pada agama. Fenomena agama, melalui hukum dan ritus Yahwisme (di dalamnya, Torah) adalah fenomena bangsa itu sendiri. Tetapi satu hal yang tidak terselesaikan dalam monarkhi adalah terus mengentalnya primordialisme suku.
Ketika terbentuk monarkhi, sesungguhnya terjadi perubahan politik yang sangat besar dalam masyarakat Israel kuno. Tribalisme telah membentuk suatu corak desentralisasi yang sangat establish, dan tribalisme telah menjadi sebuah kekuatan ekonomi suku yang efektif. Tetapi monarkhi, yang didahului oleh strategi membangun Liga Suku, mengubah pola desentralisasi itu dengan gaya sentralisasi yang mapan, dan kemapanannya dibentuk oleh: (a) terbangnnya ideologi Yahwisme yang direpresentasi secara praksis dalam ideologi raja (royal ideologi, dinasty), dimana Raja dipahami sebagai ‘pilihan Tuhan’; (b) yang mendapat legitimasinya melalui ritus-ritus Yahwisme (di dalamnya berkembang kultur peziarahan, artinya pada event-event agama semua suku wajib berziarah ke Yerusalem), dengan Torah sebagai sumber legal formilnya; (c) dan pemusatan aktifitas ritus, sosial, politik, ekonomi yang berlangsung di Yerusalem sebagai Kota Suci, kemudian dengan Bait Allah sebagai simbol kehadiran Yahweh.
Ketiga, mengikuti istilah Georg Simmel, saya kira penting pula kita melihat dimensi sosialita masyarakat Israel kuno. Aspek ini perlu untuk memahami solidaritas sosial, dan juga gerakan-gerakan sosial yang berlangsung di sana, seperti kita baca dalam PL.
Unit sosial Israel kuno berkembang dari suku-suku yang egaliter ke dalam konfiderasi atau liga suku. Liga suku ini memberi perhatian utama pada kultus Yahwisme, hukum dan ideologi, komitmen untuk membangung kehidupan ekonomi yang egaliter seperti dijelaskan dalam hukum-hukum sosio-ekonomi dan mendirikan organisasi untuk melawan kekuatan dari luar, yaitu orang-orang Kanani dan Filistin.
Liga suku ini terbentuk dari unit-unit sosial yang otonom, yaitu dari apa yang disebut mišpāhot (suku) dan keluarga (family). Unit-unit sosial dasar ini yang menjadi dasar dari sebuah organisasi yang besar, yaitu Liga Suku. Unit sosial yang kedua disebut dalam bahasa Ibraninya ialah mišpāhāh, yang diartikan ‘protective asociation’, yaitu anggota-anggota keluarga yang tinggal dalam suatu lingkungan yang sama, atau di suatu kawasan tertentu yang dekat dengan desa suku itu. Mereka bertugas untuk mengusahakan kestabilan ekonomi anggota keluarga, dan membantu suku Lewi. Unit sosial yang ketiga adalah keluarga besar, yang terdiri daribeberapa generasi dari satu orang laki-laki (leluhur).
Ini berarti bahwa dinamika sosial masyarakat Israel kuno selalu harus dilihat dalam persekutuan suku-suku itu; termasuk pun ketika kita membaca fenomena konflik kepentingan antara Israel Utara dan Selatan pasca Daud. Itu adalah sebuah reaksi suku-suku, atu keluarga-keluarga yang memprotes sentralisasi yang sudah korup dan tidak lagi menjalankan fungsi ekonomisnya, seperti corak dasar sosialita Israel kuno itu. Sentralisasi sudah sangat politis, dan gila kekuasaan, lalu menjadi semakin otoriter untuk menarik semua potensi ekonomi suku (termasuk pekerja – SDM), untuk bekerja ‘memperkaya pusat’ dan bukan keluarganya lagi. Demikian pun adalah kritik terhadap dinasty model dalam kepentingan sosial-politik yang melemahkan daerah-daerah pinggiran/marginal dan menekan emansipasi politik warga.
Keempat, jatuhnya Israel kuno ke dalam pembuangan (terutama Babel), adalah fenomena baru yang dialami monarkhy ini. Term ‘pembuangan’ (exile) perlu untuk memahami konteks kolonisme yang dialami Israel kuno. Sebab konteks kolonisme di Palestina kuni tidak saja berarti penaklukan. Serentak dengan penaklukan, warga bangsa yang ditaklukkan diangkut/dikirim keluar dari akar kebangsaannya (native) (lht. R.J. Coogins).
Point penting sekaligus point kritik sosial di sini ialah theokrasi Israel kuno jelas-jelas mengalami ujian berat dalam konteks pembuangan. Artinya, secara politis, pembuangan menjadi isyarat paling praktis bahwa ‘Yhwh’ sebagai supreme one dalam theokrasi itu ‘kehilangan muka’ dalam arti kalah. Inilah kelemahan politis sebuah negara yang cenderung mendasarkan ideologinya pada paham agama atau paham Tuhan. Agama dan Tuhan akan terjebak dalam retorika politik-militeristik. Hegemoni agama dan Tuhan akan turut dipengaruhi oleh konteks politik-militeristik itu pula.
Dalam sejarah Israel kuno, episode kelabu mereka terjadi dalam konteks pembuangan. Bukan semata karena mereka diperbudak, tetapi karena jatidiri Yahwistik mereka menjadi hilang. Ini pun kelemahan dari sentralisasi-religius Yahudi. Yerusalem sebagai Kota Suci, dan terutama Bait Allah sebagai center of life dari orang-orang Israel kuno sudah hancur. Serentak dengan itu, eksistensi keyahudian dan yahwisme mereka pun hilang. Di luar Yerusalem (dalam domain desentralisasi) Israel bukanlah sebuah bangsa, melainkan sekelompok kecil para budak. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap sentralisasi yang selalu dibangun dengan jargon ‘pusat’ lalu seakan-akan di pusat pun ada ‘simbol-simbol nasional’ yang mesti dipelihara (di Indonesia, semua simbol nasional ada di Jakarta – Monumen Nasional, Taman Nasional A dan B, termasuk tokoh nasional – selalu adalah orang yang ada di Jakarta, dan tokoh-tokoh lain yang tidak tinggal di Jakarta disebut tokoh daerah, demikian pun artis nasional dan artis daerah, pejabat negara dan pejabat daerah – yang ternyata sama-sama aparatur negara).
Namun secara teologis, pembuangan memberi kontribusi besar dalam ‘pengharapa’ (mesianik) sebagai salah satu unsur penting dari agama. Yang menariknya adalah pengharapan yang muncul dalam pembuangan (lihat juga teks-teks Deutro dan Trito Yesaya, tetapi terutama Ezra dan Yehezkiel) adalah ‘kebebasan’ secara sosial, ekonomi, politik, agama, atau kebebasan kemanusiaan. Spirit ini yang kuat muncul di dalam Nehemiah, dan agak sedikit berbeda dari Ezra sebagai kitab kembarnya yang lebih melihat pada aspek kesucian, terutama larangan kawin campur. Artinya, restorasi Nehemiah adalah sebuah restorasi dalam arti fisik, secara politis-ekonomis, kesejahteraan (bnd. 2:10), tetapi Ezra lebih menjurus pada dimensi sosio-psikologis, dalam arti spiritual (Ezra 10).
Dari penjelasan itu, di mana jalan yang mulus untuk menghubungkan konteks Nehemiah dengan Indonesia? Ini tidak bisa disederhanakan atau dipaksakan. Sebab monarkhy dan demokrasi memiliki perbedaan yang sangat tajam. Seperti itu pula theokrasi dan kebebasan rakyat. Tetapi persoalan sosial sebuah bangsa, dan harapan pemulihan kemanusiaan yang terpuruk, adalah isu sosial yang selalu menjadi titik temu semua bangsa dan semua agama di dunia. Kemanusiaan. Itulah subyek yang abadi dari semua persoalan kebangsaan dan keagamaan di dunia.
2. Nehemiah 2:11-20 – “masih ada hari esok”
Sebaiknya kita sudah membaca teks pasal 1-2:10, dan sudah memahami dengan benar pergulatan personal Nehemiah dalam doa-doanya pada saat mau menghadap raja Artahsasta (Persia) untuk meminta ijin kembali ke Yerusalem. Alangkah baiknya juga jika kita telah memahami niat baiknya kembali ke sana (2:10).
Teks pasal 2:11-20, bukan kulminasi dari gerakan pembaruan Nehemiah. Teks ini malah menjadi titik kritisnya. Maksudnya, dia masih berhadapan dengan konflik politik lokal, dengan orang Israel kuno, tetapi juga dengan pemerintah-pemerintah daerah, dan bangsa lain di sekitarnya (orang Horon, Amon dan Arab). Nehemiah berniat ‘kembali’ ke Yerusalem (coming home). Keingian itu yang membuat dia di suatu waktu kemudian mendapat kepercayaan dari raja untuk menjadi bupati (445 sM). Jadi dia bukan bupat yang pernah berkuasa lalu mau menjadi bupati lagi di periode baru (incumbent) di sebuah wilayah pemerintahan yang baru mau dipulihkan kembali (identik konteks pemekaran wilayah yang sekarang ramai terjadi di Indonesia, dan ramai pula diwarnai perebutan kekuasaan). Ini penting untuk memahami posisi politik Nehemiah dalam gerakan pembangunan kembali Yerusalem, sekaligus memahami konstelasi kepemimpinan di Yerusalem yang hendak dibangun kembali.
Ada beberapa aspek penting secara eksegetik yang perlu dimaknai, antara lain:
Pertama, instabilitas sosial sebagai konteks pembangunan kembali Yerusalem. Sikap politik Persia (melalui Koresh) yang memungkinkan Israel kuno kembali ke Yerusalem dan memberi kebebasan beragama kepada mereka selalu ditafsir secara spiritualis, bahwa Yhwh memakai mereka untuk memebaskan umatNya. Tafsir PL selalu menitikberatkan hal itu, dengan pengertian bahwa Tuhan juga bisa menggunakan bangsa lain (orang lain) untuk melaksanakan kehendak atau misiNya. Tafsir itu selalu jatuh pada klaim ‘karena Israel adalah bangsa pilihan Allah’.
Dalam teks Nehemiah 2, sikap politik Persia (melalui Arthasasta) adalah bagian dari strategi politik Persia yang sangat terbuka. Persia, tidak seperti Mesir yang menjadikan vesel (bangsa yang dijajah) untuk membangun national and military sovereignty, karena kekuatan nasional dan militer Persia sudah lebih stabil dibandingkan negara-negara Palestina kuno lainnya. Kolonisasi Persia lebih diarahkan pada bagaimana menyebarkan pengaruh budaya dan memperkuat posisi tawarnya secara ekonomis di internasional. Karena itu jika kehidupan ekonomi daerah-daerah koloni berkembang, itu menjadi kontribusi besar secara nasional dan internasional kepada Persia.
Dalam urusan keagamaan, pemerintah Persia tidak mencampuri urusan agama orang lain. Ada toleransi yang sangat besar dalam hal ini, sehingga ijin untuk membangun kembali Bait Allah dan kota Yerusalem sejak zaman Ezra – Nehemiah adalah bagian dari sikap politik Persia (bnd. Ezra 7).
Realitas sosio-politik itu membuat kita mengerti mengapa Arthasasta serta-merta memberi ijin kepada Nehemiah untuk kembali ke Yerusalem dan melakukan pembangunan kembali kota itu. Gambaran kontrasnya ada pada Firaun yang bersikeras melarang Musa membawa orang Israel keluar dari Mesir (bnd. Kel. 5). Hal itu sekaligus menunjuk pada posisi politik Israel kuno yang berbeda di bawah Mesir dan Persia.
Ijin Arthasasta kepada Nehemiah (2:2-8), adalah ijin yang sama kepada Ezra (Ezra 7). Dalam masanya, Ezra gagal merampungkan tugas pembangunan itu karena masih ada ketegangan politik lokal (Ezra 4), terutama polemik antara orang-orang yang baru pulang dari pembuangan dengan orang-orang yang menetap di Yerusalem (bnd. H.G.M. Williamson); dan dengan para pemimpin di sekitar Yerusalem menjadi cemburu dengan rencana pembangunan itu, dan kembali menghasut raja untuk menghentikan pembangunan dimaksud karena sudah melewati ijin yang diberikan. Ketegangan politik itu dipahami benar oleh Nehemiah, yang adalah juru minum raja, terutama mengenai sikap Zanbalat dan Tobia, dua orang bupati, yang masih memiliki hubungan persaudaraan dengan orang-orang Yahudi.
Dari gambaran teks itu, instabilitas sosial-politik adalah konteks sosio-politik dari rencana pembangunan kembali Yerusalem di zaman Ezra dan Nehemiah. Konteks itu memperlihatkan bahwa pembangunan kembali Yerusalem tidak mesti dipahami semata untuk tujuan pemurnian Yahwisme, artinya agar ada suatu tempat ibadah. Stabilitas sosial, terutama harmonisasi politik lokal, adalah hal yang perlu diperhatikan dalam menata kehidupan masyarakat yang fundamental.
Gesekan-gesekan politik lokal ini yang perlu menjadi perhatian kita dalam memahami teks ini. Artinya, masalah dalam pembangunan tidak terjadi semata oleh persoalan-persoalan ekonomis, tetapi ketegangan politik (political tension) yang disulut oleh interese yang berbeda.
Kehadiran Zanbalat dan Tobia penting dimaknai dalam konteks ini. Apalagi sejak Ezra memerintah, mereka sudah menjadi lawan politik (oposan). Teks Nehemiah menyebut mereka secara khusus (2:10,19; 6:1-17) dan ini jelas menggabarkan ketagangan politik saat itu. Jelas bahwa semua ini sangat terkait dengan karier politik mereka masing-masing sebagai bupati dalam kerajaan Persia. Karier politik adalah hal yang menjadi perhatian kedua tokoh politik lokal ini. Sebab keputusan apa pun yang dibuat, atau tindakan politik apa pun yang dilakukan, termasuk keputusan untuk membangun, selalu merefleksikan interese politik mereka, dan semuanya mengarah pada karier politik (bnd. Barbara Geddes).
Pentingnya karier politik merupakan unsur penting dalam ketegangan politik lokal kala itu. Membaca teks ini dalam konteks kita di Indonesia, membuat kita kembali merefleksikan dinamika sosial-politik Indonesia secara kritis. Satu hal yang kiranya menjadi bagian telaah kita adalah kenyataan bahwa pergantian setiap rezim di Indonesia, otomatis mengganti seluruh paradigma pembangunan dalam segala segi, termasuk misalnya kenaikan atau penurunan harga BBM, sampai pada bantuan bibit padi, dan itu sangat terkait dengan karier politik seseorang/partai. Termasuk dalam era reformasi. Memang ‘reformasi’ dalam sistem demokratisasi yang sudah sangat terbuka ini selalu berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan politik, karena setiap orang mau menjadi ‘penentu’ dalam sejarah bangsa ini. Suatu keputusan dan kebijakan politik, akan dilihat sebagai keputusan dan kebijakan rezim yang berkuasa. Kita selalu mencari celah untuk ‘tidak setuju’ ketimbang menjalankan policy yang ada sambil membenahi sistem perlahan-lahan. Karena itu, semua kelompok/partai mungkin lebih suka dengan jargon ‘tunggu kalau saya memerintah, saya akan melakukan ini dan itu’.
Kedua, pembangunan kembali Yerusalem: keberpihakan pada kesejahteraan. Ada dua aspek penting dari pembuangan (exile) yang membentuk dinamika Israel kuno, yaitu pemahaman diri (self-understanding) karena merasa telah tercabut dari akar-akar eksistensinya, dan bentuk rekonstruksi sosial dan pembangunan politik yang dicita-citakan (bnd. R.J. Cogins).
Aspek pemahaman diri muncul dalam konteks keterpurukan secara multidimensional. Ritus-ritus Yahwisme hilang karena mereka sudah keluar dari Yerusalem. Sikap Israel seperti ini, maka dalam pembuangan mereka mengalami split personality baik individu maupun kelompok. Beragama mereka terlalu dikiblatkan pada teritori-domestik. Karena itu ketika mereka tercabut dari teritori-domestik itu, semua penyanggah moral dari agama ambruk.
Dampak teologisnya ialah Tuhan seakan jauh, karena Tuhan sudah didomestikasikan di Yerusalem (Bait Allah). Entah apa yang bisa dijelaskan dari fenomena beragama seperti itu jika memang Bait Allah sebagai tempat kediaman Tuhan pun sudah hancur. Artinya, Tuhan mungkin juga sudah tertimbun reruntuhannya.
Dampak politisnya ialah pembuangan dimaknai sebagai sebuah ideological victory kepada orang-orang Babel. Karena itu, pemahaman diri sebagai bangsa dan terutama manusia yang berhak atas kesejahteraan turut tenggelam. Spirit kebebasan menjadi utopia, dan ironisnya lagi, ketika muncul tokoh pembebas, mereka dicurigai sebagai orang-orang yang hendak mencari untung dan reputasi politik (bnd. ketegangan awal Musa dengan Israel – Kel. 6:8. Nasib yang sama pun dialami Yesaya dan Yeremia dalam karya-karya kenabian mereka).
Episode dalam Nehemiah lebih memperlihatkan dimensi kedua dari pembuangan, yaitu tipe rekonstruksi sosial-politik seperti apa yang dicita-citakan. Di dalam teks Nehemiah 2:11-20, ide reformasi ini didorong oleh perspektif kesejahteraan sosial (2:10). Artinya, tipe rekonstruksi yang dicita-citakan adalah kesejahteraan itu.
Perspektif itu harus menjadi perspektif kita dalam membaca teks 2:11-20 secara kritis. Ayat 11-13a, menunjukkan kepada kita, Nehemiah memulai reformasi itu dengan melakukan ‘pengamatan secara diam-diam’. Ada suatu aktifitas penting di sini, yaitu setibanya di Yerusalem, ia dengan ditemani beberapa orang saja, mengelilingi kota itu pada malam hari. Bahkan, ia pun tidak memberitahukan niatnya membangun Yerusalem ‘kepada siapa pun’.
Apakah artinya Nehemiah memiliki agenda terselubuh (the hidden agenda) dalam reformasi ini? Atau ia tidak mau terjebak dalam retorika politik yang kemudian gagal? Atau agar jangan sampai oposan menggagalkan proyeknya sebelum dilaksanakan?
Sikap Nehemiah ini dapat dipahami. Sikap itu beralasan, sebab ia sebenarnya meneruskan proyek lama (di zaman Ezra) yang sudah ‘macet’. Tindakannya itu memperlihatkan bahwa yang mesti diurus adalah bagaimana merampungkan pembangunan Yerusalem, dan bukan konflik politik lokal yang ada. Para oposan akan tetap melawannya, tetapi pembangunan itu perlu berjalan, dengan orang-orang yang memiliki perhatian yang sama dengannya. Orang-orang yang bersama-sama dengan Nehemia malam itu adalah mereka yang memiliki harapan dan cita-cita sosial yang sama.
Perbedaan Nehemiah dengan para oposan terletak pada perspektif mereka membangun Yerusalem. Perspektif Nehemiah adalah kesejahteraan, dan bukan politik militeristik. Di sini pun masih tergambar jelas perbedaannya dengan Ezra. Ezra lebih melihat pada aspek-aspek kultik, dan bagaimana menegakan kembali hukum Musa. Di samping itu, Ezra merasa terpanggil untuk mempersatukan kembali Israel, seperti dahulu di Zaman Daud. Berbeda dengan itu, Nehemiah lebih fokus pada bagaimana membangun kembali ketahanan ekonomi dan sosial orang-orang Israel yang selama ini terisolasi, terutama dari Samaria.
Perjalanan Nehemiah di malam hari, mulai dari pintu gerbang Lebak ke mata air Ular Naga dan pintu gerbang Sampah, kemudian ke mata air dan ke kolam raja, lalu kembali ke pintu gerbang Lebak (2:13-15) adalah upaya memahami kondisi masyarakat Israel.
Dari perjalanan itu, ayat 17 adalah penjelasan dari hasil ‘observasi diam-diam’ Nehemiah; ‘kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakat. Mari kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela’.
Ayat ini menjadi kunci masuk untuk memahami keterpurukan sosial-ekonomi dan politik Yahudi. ‘Kamu lihat…’ adalah sebuah istilah teologi PL yang setara dengan ‘dengarlah Israel…’ (shéma). Artinya dituntut perhatian dan kesadaran penuh terhadap firman Tuhan dan hukum, serta keberadaan manusia. Ada realitas yang terjadi, seperti ada hukum yang sudah ditetapkan, dan realitas itu terabaikan dari perhatian manusia setiap hari. Istilah: ‘kamu lihat…’ bukan karena realitas itu tersembunyi, atau terselubung, atau jauh di suatu tempat. Sebaliknya karena realitas itu nyata, tetapi orang menganggapnya sebagai hal yang biasa dan tidak penting. Ironinya, orang sudah merasa berbiasa dengan realitas itu.
Realitas yang dimaksudkan di sini adalah ‘kemalangan yang kita alami’. Di sinilah kita patut memberi kritik terhadap paradigma religiosentrik (corak pandangan divine system) yang cenderung mengabaikan realitas sosial (corak pandangan human system). Israel selalu melihat ‘kemalangan’ mereka sebagai bentuk ketercabutan Yahwisme semata. Seakan mereka bukan suat bangsa (dalam arti komunitas masyarakat) jika mengalami pembuangan. Kegagalan pembangunan yang dilakukan Ezra pun bagi mereka hanya berimplikasi religius, dalam arti mereka belum bisa menjalankan kewajiban beragama secara murni. Makanya reformasi Ezra ditegaskan melalui larangan kawin-campur, dan kewajiban menceraikan suami/istri yang bukan Yahudi.
Implikasi sosial akibat kegagalan itu tidak dilihat. Malah dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Kemalangan secara sosial, ekonomi, politik, itulah yang dituntut Nehemiah agar menjadi perhatian kembali secara bersama.
Nehemiah meminta kepedulian sosial dari para imam, para pemuka, para penguasa, dan petugas-petugas yang ada di dalam masyarakat (2:16b-18), sebab kemalangan itu sudah sangat parah. Kemalangan itu sudah menjadikan Israel berada di dalam situasi colapse atau katastrophal, situasi yang membingungkan karena tiada daya untuk melakukan hal yang positif/membangun, bukan karena tidak ada daya, tetapi karena semua jalan ke arah itu diliputi berbagai tantangan (situasi kelam kabut).
Ayat 18b ‘kami siap untuk membangun. Dan dengan sekuat tenaga mereka mulai melakukan pekerjaan yang baik itu’. Ini adalah suatu dinamika yang menarik disimak. Rupanya naskah-naskah PL dalam era pra dan pasca pembuangan dibentuk oleh pemahaman mengenai krisis panggilan. Bandingkan ungkapan dalam Yesaya 6:8b-c ‘…siapakah yang akan Ku-utus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ maka sahutku: ‘ini aku, utuslah aku…’, atau pledoid Yeremia: ‘ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda’ (1:6). Teks-teks itu memperlihatkan bahwa krisis panggilan itu dialami secara massal, sehingga hampir tidak ada orang lagi untuk menjalankan suatu tugas konstruktif. Ini terjadi tentu karena keterpurukan sosial, ekonomi, poliitk, dan moral masyarakat. Suatu kebangkrutan yang terjadi pada level moral, etik dan sosial.
Kesediaan orang Israel untuk membangun bersama Nehemiah dalam ayat 18 ini menunjukkan bahwa tujuan reformasi itu sudah dipahami, tetapi yang terutama adalah orang Israel benar-benar hendak keluar dari keterpurukan itu. Reformasi ini adalah tahapan baru untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat.
Sebuah proses reformasi memerlukan komunikasi yang setara dan transparan. Komunikasi reformasi bukanlah suatu proses penawaran karier politik, sebaliknya sebuah proses kontrak kesejahteraan yang murni dan tulus. Dimensi ini yang perlu dalam pembangunan kembali Yerusalem.
Komunikasi reformasi juga harus terjadi litas batas dan status sosial-politik. Suatu komunikasi setara, di mana setiap orang memiliki posisi yang sama, dan karena itu membicarakan cita-cita bersama. Suatu komunikasi kemanusiaan. Dari situ kita dapat memahami ‘aktifitas Nehemiah berjalan di malam hari’ (ayat 12). Maksudnya, ia mengamati dan berusaha memahami terlebih dahulu kondisi sosial masyarakat. Kondisi itu kemudian dijadikan sebagai content dari proyek reformasinya, dan itulah yang dikomunikasikan kepada para imam, para pemuka, para penguasa, dan petugas-petugas lain di dalam masyarakat. Suatu proses need assessment yang dikaitkan dengan tujuan bersama (general will) untuk dijadikan isi dari proyek bersama (general agenda).
Ketiga, tujuan boleh sama, kepentingan selalu berbeda. Saya kira ini adalah suatu jargon politik yang agaknya paling digemari dalam pentas politik dari abad ke abad. Niat baik Nehemiah dipolitisir oleh para penguasa di sekitar (Zanbalat dan Tobia) sebagai sikapnya berontak terhadap raja (ayat 19).
Di sinilah terletak paradigma yang berbeda dalam karier politik Nehemiah dengan kedua oposannya. Paradigma Nehemiah adalah kesejahteraan. Tembok Yerusalem yang hendak dibangunnya adalah strategi menciptakan stabilitas sosial, memelihara potensi air, dan melindungi teritori Yehuda dari perebutan tapal batas dengan bangsa lain. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat melakukan aktifitas ekonomi dengan aman, tanpa gangguan orang lain. Ini ditafsir secara politis-militeristik oleh Zanbalat dan Tobia, sebagai suatu strategi Nehemiah membangun kembali hegemoni Israel Raya sebagai sebuah monarkhi. Ternyata cara yang sama dipakai untukmenggagalkan reformasi Ezra.
Ayat 20 adalah jawaban Nehemiah kepada kedua oposannya itu. Suatu jawaban yang menunjuk pada spirit religius yang menjadi senyawa reformasinya. Artinya iman itu menjadi sumber motivasi dari semua gerakan pembaruan sosial yang dikerjakannya. Dia memberi isi iman ke dalam kerjanya, dan bukan sebaliknya membangun hegemoni agama sebagai proyek tunggal reformasinya. Reformasi Nehemiah adalah reformasi sosial yang dimotivasi oleh nilai-nilai etika dalam agama.
Dengan demikian Yerusalem yang dibangunnya adalah sebuah ‘residental teritory’, sebuah tempat tingal, yang di dalamnya orang bebas melakukan aktifitas sosial ekonomi untuk kesejahteraan kota. Kota dalam arti ini bukan kota berkubu, tetapi kota sebagai tempat berlangsungnya seluruh aktifitas kehidupan.
Selamat melakukan pekerjaan ‘perubahan’.
Tuhan memberkati
[Materi ini disusun untuk menjadi materi Penelaahan Alkitab dalam Kongres Nasional JKPLK di Ambon, Tahun 2007, tetapi tidak sempat dibawakan karena alasan yang tidak jelas]
Thursday, November 27, 2008
Monday, November 24, 2008
KETIKA TUHAN MEMILIH MENJADI MANUSIA
(Memahami Inkarnasi sebagai Pilihan TUHAN atau Rekayasa Kristen)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. “Jang marah kalu seng batul”
Maksud saya dengan sub topik di atas semata-mata untuk menghadapkan kepada kita bahwa refleksi atau pemahaman seseorang mengenai TUHAN bisa saja menimbulkan kontroversi, atau juga melahirkan pemahaman beriman yang baru. Mengapa demikian, sebab TUHAN telah menjadi keyakinan dasar dan ultima semua manusia. Ketika pemahaman itu berubah menjadi “keyakinan” atau ketika manusia “mengimani” sang TUHAN itu, maka mereka bukan saja akan terusik jika ada pemahaman lain yang berbeda dari keyakinannya, tetapi juga “menjauhkan” TUHAN dari sifat-sifat yang “manusiawi”. Seakan TUHAN itu tidak bisa atau “tidak boleh dipercayai” beraktivitas seperti halnya manusia.
Ini menjadi masalah bagi kekristenan. Ketika kita meyakini bahwa TUHAN itu telah menjadi manusia melalui inkarnasi diri-Nya di dalam YESUS, kita kemudian sepertinya “menjauhkan” TUHAN itu dari sifat-sifat “manusiawi”. Padahal “menjadi manusia” (being human) adalah cara yang TUHAN pilih untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Dengan perkenalan itu, manusia memahami TUHAN tidak lagi sebagai sesosok makhluk asing dari luar angkasa yang tiba-tiba datang ke dunia, melainkan memahami-Nya secara langsung melalui pengalaman diri-Nya itu ~Ia lahir dari seorang perempuan yang mengandungnya, ia menyusui pada ibunya, ia belajar menjadi seperti tukang kayu pada bapaknya, ia bertumbuh dalam lingkungan pergaulan sehari-hari bersama teman-teman sebayanya, dan bahkan sampai dewasa pun ia bergaul bersama dengan semua orang di zamannya itu.
Saya tidak bermaksud memperpanjang kontroversi seputar TUHAN dan YESUS, sebab ada sesuatu yang lebih produktif untuk dibicarakan di sini yaitu memahami sifat-sifat YESUS yang membuatnya menjadi sedemikian idealnya, yang dengannya kita semakin mengerti perbuatan-perbuatan TUHAN secara nyata dalam hidup manusia. Sebab dengan memilih “menjadi” manusia, TUHAN itu “telah ada di dalam dunia”, dan “diam di antara kita (manusia)” (bnd. Yoh. 1:14). Artinya, ia telah benar-benar masuk ke dalam medan hidup manusia, dan karena itu ia dapat dipahami sebagai “TUHAN dalam sejarah manusia”.
2. YESUS ~REKONSTRUKSI TUHAN YANG BARU
Jika kita membaca keempat injil (Markus, Lukas, Matius dan Yohanes) kita sebetulnya membaca penjelasan mereka mengenai “bagaimana YESUS itu memiliki (atau diberi) kualitas diri yang lebih dari manusia umumnya”. Atau secara teologis (Kristologis) mengenai “bagaimana ia diberi ciri-ciri keilahian, yang membuatnya menjadi berbeda dari manusia kebanyakan”.
Pencirian keilahian YESUS itu dilakukan oleh kekristenan pada masa jauh setelah YESUS mati. Pencirian itu dimaksudkan untuk membentuk suatu paham baru (Kristen) menjadi paham yang otonom dan memiliki otoritas tersendiri sebagai suatu aliran resmi dalam dunia agama-agama kala itu. Aspek utamanya adalah membangun pemahaman mengenai “TUHAN”, yang melahirkan iman kepada TUHAN itu pula. Di sini kekristenan melakukan suatu tindakan revolusioner terhadap pemahaman KETUHANAN Yahudi yang transenden ~memahami TUHAN sebagai makhluk adikodrati yang ada pada wilayah abstrak. Apa yang dilakukan kekristenan adalah mendekonstruksi TUHAN yang transenden itu ke dalam format baru yang imanen, yaitu TUHAN yang mengambil rupa dalam diri seorang manusia.
Dekonstruksi itu melahirkan suatu cara memahami yang baru, yaitu melihat TUHAN di dalam diri seorang manusia yang ideal, yaitu YESUS. Karena itu, injil memperlihatkan ~tidak lebih~ dari suatu pemberian kualitas ketuhanan kepada YESUS, sehingga ia dipahami dan kemudian diyakini sebagai TUHAN itu sendiri. Injil, seperti Markus, Lukas dan Matius, mencoba merekonstruksi sekelumit sejarah kehidupan seorang yang bernama YESUS, sesuai dengan sumber-sumber lisan yang beredar di masyarakat kala itu. Ini penting dipahami sebab injil itu ditulis pada masa kemudian, hampir empat puluh sampai tujuh puluh tahun setelah YESUS itu mati. Mereka menginterpretasi sumber-sumber yang ada, dan bukan merekam pernyataan saksi mata (Spong, 2005:279).
Penulisan injil memuat gambaran baru mengenai kehidupan YESUS yang dijadikan sebagai figur sentral di dalam masa awal munculnya kekristenan (Wilken, 1984:xv). Dalam tulisan injil itu, kita menemukan beberapa gambaran mengenai YESUS.
Pertama, Injil Markus, Matius dan Lukas, sama-sama hendak menjelaskan mengenai siapa YESUS itu, dengan memberi kepadanya ciri PENTUHANAN yang jelas.
- Markus, sebagai injil tertua (ditulis sekitar tahun 70-an) menyusun ceritanya dengan maksud menjelaskan detail tentang “YESUS” yang diberi gelar “KRISTUS” (Mark. 1:1). Tetapi penginjil ini justru memakai model “kemesiasan Yahudi”, dengan menunjuk pada nubuat Yesaya sebagai pendahuluan penjelasannya mengenai YESUS. Tidak hanya itu, Markus menghadirkan YESUS melalui perantaraan Yohanes Pembaptis, sebagai tokoh yang bertindak mengokohkan KETUHANAN YESUS. Karena itu, baptisan merupakan cerita yang mengokohkan KETUHANAN YESUS, dalam injil Markus, melalui suara dari langit “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11). Artinya Markus berbeda dengan Paulus yang mengokohkan KETUHANAN YESUS pada peristiwa kebangkitan.
- Matius, yang ditulis pada kurun waktu 80-an, sebetulnya masih melanjutkan model “kemesiasan Yahudi”, tetapi Matius memberi tempat pada malaikat sebagai tokoh supranatural yang memberitahu Maria dan Yusuf mengenai kelahiran seorang anak, yang harus dinamai YESUS (bnd. Peristiwa yang sama pada Sara dan Abraham dalam Kej. 18:10-15). Di sini sebetulnya Roh Kudus telah memainkan peran penting dalam peristiwa PENTUHANAN YESUS. Sebab Matius mengatakan “...sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus” (Mat. 1:20c). Dari catatan Matius ada dua hal yang penting, yaitu (a) YESUS yang digambarkannya memiliki garis keleluhuran yang jelas dalam keyahudian, dari suku Yehuda, suku yang oleh PL ditentukan sebagai pemimpin; (b) kelahirannya adalah sebuah peristiwa yang unik, berbeda dari kelahiran anak-anak manusia umumnya. Di sini Matius menggunakan gembaran Kejadian 18, 21 mengenai kelahiran Ishak, dengan memberi bobot tertentu pada kelahiran YESUS. Bahwa Sara adalah perempuan yang telah mati haid (menopause), tetapi dikaruniai TUHAN seorang anak laki-laki (catatan: tidak ada penjelasan mengenai Abraham “menyetubuhi” Sara sehingga ia hamil).[1] Berbeda dengan Sara, Maria ibu YESUS adalah seorang “anak dara” yang mengandung karena Roh Kudus (Mat. 1:18; bnd. Yes. 7:14). Tafsir umum terhadapnya ialah Maria hamil bukan sebagai hasil kontak sexual dengan Yusuf, melainkan “intervensi” TUHAN melalui Roh Kudus. Matius melukiskan PENTUHANAN YESUS itu melalui sebuah kisah mujisat/keajaiban.
- Dengan mengembangkan sumber Markus dan Matius, Lukas-lah (ditulis pada akhir 80-an – awal 90-an) memberi sebuah kisah yang cukup rapih. Ia lebih banyak memakai sumber Matius, dan karena itu malaikat Gabriel (Matius tidak menyebut nama malaikat itu) juga merupakan tokoh yang berperan dalam kisah PENTUHANAN YESUS. Sebetulnya dalam injil ini ada dua kisah kelahiran yang memiliki kualitas yang sama, yaitu kelahiran YOHANES PEMBAPTIS dan YESUS. YOHANES PEMBAPTIS lahir juga atas intervensi TUHAN kepada Zakaria yang sudah tua dan Elizabeth (bnd. Abram dan Sara) perempuan mandul. Kedua, kalahiran YESUS yang oleh Lukas melalui “seorang perawan”. PENTUHANAN YESUS dalam injil ini bersumber dari “kuasa Ilahi” yang mengambil prakarsa dalam hidup manusia. Karena itu YESUS dikukuhkan sebagai “Yang Kudus” dan “Anak ALLAH” (Luk. 1:32).
- Sementara injil Yohanes (akhir tahun 90-an) sama sekali tidak merekam kisah kelahiran YESUS. Sebab Yohanes tidak mengulas mengenai YESUS Sejarah, sebaliknya ia mengintepretasi YESUS dari Nazareth dalam sebuah proses mediasi kuasa ALLAH di dalam diri seorang manusia. Yohanes menjelaskan mengenai “Firman yang telah menjadi daging dan diam di antara kita” (Yoh. 1:1,14). Yohanes berkonsentrasi pada gambaran-gambaran simbolik yang merepresentasi “kuasa TUHAN” (Christpower), dengan memberi sebuah sifat tambahan kepada YESUS melalui rumusan “AKU ADALAH...” (ego eimi) sebagai formulasi langsung dari YESUS.
- Paulus-lah (ditulis dalam kurun tahun 30-an) yang pertama-tama memahami PENTUHANAN YESUS melalui kebangkitan diri-Nya. Bahwa kebangkitan tubuh adalah sebuah tindakan Ilahi yang membuat YESUS masuk ke dalam KEALAHANNNYA (Spong, 1973:88,89; 2005:280-1).
Kedua, PENTUHANAN YESUS dalam kekristenan dilihat dari pemberian gelar-gelar atau sifat-sifat atributif TUHAN (devine charachter) kepada YESUS. Kita mencatat ada beragam gelar yang diberi kekristenan kepada YESUS untuk semakin mengokohkan KETUHANANNYA. Sesungguhnya gelar-gelar itu diberi berdasarkan pengalaman kekristenan dengan TUHAN.
Saya kira kita harus mulai dengan memahami siapa TUHAN itu ~walau mungkin sebagian kalangan memandang bahwa realitas TUHAN itu sudah final dan tidak perlu diutak-atik lagi. Saya setuju dengan cara memahami seperti itu, tetapi yang dimaksudkan di sini ialah bagaimana pemahaman mengenai TUHAN itu telah membuat kita menjadi sedemikian terpautnya pada TUHAN, dan kemudian bagaimana pemahaman itu terimplementasi dalam hubungan kemanusiaan kita sesehari.
TUHAN itu bukan manusia yang berada di angkasa, yang berpikir dan bertindak, atau yang memiliki perasaan tertentu (seperti Kasih). TUHAN itu adalah sumber kehidupan. TUHAN itu tampak di mana ada kehidupan, dan Ia bukanlah makhluk asing atau yang terpisah dari hidup itu. TUHAN itu adalah sumber cinta. TUHAN itu ada ketika ada cinta yang terbagi, dan Dia tidak terasing atau terpisahkan dari cinta itu. TUHAN adalah dasar dari semua yang hidup. TUHAN itu tampak di mana seseorang mampu merangkul orang lain, dan ia tidak terpisahkan atau asing dari rangkulan itu (Spong, 1973:89).
Injil, dan juga kita kemudian menyebut YESUS KRISTUS sebagai sebuah identitas diri sang YESUS itu sendiri. Padahal KRISTUS itu adalah atributif TUHAN yang dikenakan kepada YESUS. Terjemahan yang sederhana ialah TUHAN YESUS. Lalu muncul pemahaman bahwa TUHAN itu adalah YESUS, atau TUHAN itu hanyalah YESUS. Ini adalah suatu klaim ketuhanan yang kerap membuat TUHAN itu sendiri terkurung di dalam “batasan-batasan” (boundaries) yang disusun menurut proyeksi manusia atau klaim agama tertentu. Padahal jika kita memahami TUHAN sebagai dasar dari semua yang hidup (groud of being), maka IA tidak bisa dibatasi oleh klaim agama atau sistem religius dan ritus agama itu sendiri.
YESUS adalah nama, dan KRISTUS adalah gelar yang diberi kepada nama itu; suatu gelar teologis. YESUS itu tokoh historik; sedangkan KRISTUS itu melampaui sejarah. YESUS adalah manusia, lemah dan terbatas, sedangkan KRISTUS itu ilahi, kuat dan tidak terbatas. YESUS memiliki ibu dan bapak, leluhur, dan kekayaan kemanusiaan. Ia dilahirkan. Ia mati. KRISTUS adalah suatu prinsip yang melampaui semua kapasitas dan pengalaman kemanusiaan itu. YESUS itu adalah manusia yang melaluiNya manusia dapat menyaksikan betapa TUHAN itu beroperasi secara aktif di dalam hidup manusia. Karena itu baru muncul klaim “ENGKAU ADALAH KRISTUS”.
Sebagai yang demikian, YESUS memiliki kualitas yang cukup handal untuk memerankan perbuatan-perbuatan TUHAN (divine deity) di dalam hidup manusia. Dari Perjanjian Baru, dan juga pengalaman beriman, kita melihat bahwa YESUS itu adalah seseorang yang memiliki kualitas hidup yang sangat luar biasa dibandingkan manusia lainnya. Ia secara jelas mempraktekkan “pemerintahan TUHAN” di dalam hidup manusia, di mana setiap hal yang tidak mungkin, bisa dicapai/terjadi. Ia menentang diskriminasi (atas ras ~Samaria-Yahudi, atas gender ~laki-laki – Perempuan, atas agama ~kafir – Yahudi, atas status sipil ~budak dan orang merdeka, dll). Dia menyingkirkan sekat-sekat sosial di dalam masyarakat, dan sambil melakukan itu, dia membentuk suatu tatanan sosial yang baru, di mana setiap orang bisa berelasi satu sama lain secara setara. Ia mengembangkan komunikasi kritis dengan pemerintah, dan karena itu pun menentang tindakan-tindakan yang menindas masyarakat, termasuk pajak. Ia menerobos semua itu tanpa rasa takut, ia mengajarkan orang banyak untuk tidak “menjadi takut” dalam melakukan tindakan-tindakan yang baik; ia menganjurkan orang banyak untuk melakukan perlawanan terhadap kesewenangan hukum dan pemerintahan (bnd. Hal menampar pipi kiri, beri pipi kanan).
YESUS itu menyatakan kehadiran TUHAN, yang melaluinya kita masuk ke dalam realitas TUHAN; memahami realitas TUHAN yang semula transenden dan terkurung pada lingkungan agama.
YESUS membuat TUHAN itu dikenal dan semakin dapat dimengerti. Dengan kata lain, inkarnasi telah membuat manusia mengenal dengan benar mengapa TUHAN memilih menjadi manusia. YESUS, dengan gelar apa pun yang kita beri padanya, telah membimbing kita untuk memahami siapa TUHAN itu: TUHAN dalam dirinya, TUHAN dalam sifatnya, TUHAN dalam kemahakuasaannya, dan TUHAN dalam suatu lingkungan yang luas, yaitu di alam, dalam relasi dengan sesama dan seterusnya.
YESUS membuat kita memahami TUHAN secara baru.
3. Amin dan Iman
Suatu hari Amin bertanya kepada Iman: “apakah engkau mengenal aku?”. Iman menundukkan kepalanya beberapa saat. Amin menyela, “loh, apa yang kau pikirkan?”. “Aku lagi mengenang saat pertama kita bertemu”, jawab Iman. “Lalu, apakah setelah kita berteman sampai saat ini, engkau sudah benar-benar mengenal aku?”, tanya Amin lagi. “Itulah yang membuatku tadi merenung”, sanggah Iman.
Mereka kemudian terdiam beberapa saat, dan Iman berkata: “Amin”. Amin jadi bingung sendiri. “Maksud kamu?”, tanyanya. “Amin”, jawab Iman lagi. “Maksud kamu”, tanya Iman lagi. “Ya Amin. Kamu Amin – kan?”, tegas Iman.
Pernah disampaikan dalam - Diskusi di AMGPM Cabang Bethania, 27 April 2006 -
[1] Dalam tradisi PL, peristiwa kehamilan seorang perempuan selalu digambarkan sebagai hasil kontak biologis (sexual intercourse) seorang laki-laki (suami) dengan perempuan (istri). Lihatlah Kej. 4:1, 25, Adam “bersetubuh” dengan Hawa; ay. 17 – Kain “bersetubuh” dengan istrinya...; 16:2,4 – Abram “menghampiri” Hagar lalu Hagar mengandung...” dll.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. “Jang marah kalu seng batul”
Maksud saya dengan sub topik di atas semata-mata untuk menghadapkan kepada kita bahwa refleksi atau pemahaman seseorang mengenai TUHAN bisa saja menimbulkan kontroversi, atau juga melahirkan pemahaman beriman yang baru. Mengapa demikian, sebab TUHAN telah menjadi keyakinan dasar dan ultima semua manusia. Ketika pemahaman itu berubah menjadi “keyakinan” atau ketika manusia “mengimani” sang TUHAN itu, maka mereka bukan saja akan terusik jika ada pemahaman lain yang berbeda dari keyakinannya, tetapi juga “menjauhkan” TUHAN dari sifat-sifat yang “manusiawi”. Seakan TUHAN itu tidak bisa atau “tidak boleh dipercayai” beraktivitas seperti halnya manusia.
Ini menjadi masalah bagi kekristenan. Ketika kita meyakini bahwa TUHAN itu telah menjadi manusia melalui inkarnasi diri-Nya di dalam YESUS, kita kemudian sepertinya “menjauhkan” TUHAN itu dari sifat-sifat “manusiawi”. Padahal “menjadi manusia” (being human) adalah cara yang TUHAN pilih untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Dengan perkenalan itu, manusia memahami TUHAN tidak lagi sebagai sesosok makhluk asing dari luar angkasa yang tiba-tiba datang ke dunia, melainkan memahami-Nya secara langsung melalui pengalaman diri-Nya itu ~Ia lahir dari seorang perempuan yang mengandungnya, ia menyusui pada ibunya, ia belajar menjadi seperti tukang kayu pada bapaknya, ia bertumbuh dalam lingkungan pergaulan sehari-hari bersama teman-teman sebayanya, dan bahkan sampai dewasa pun ia bergaul bersama dengan semua orang di zamannya itu.
Saya tidak bermaksud memperpanjang kontroversi seputar TUHAN dan YESUS, sebab ada sesuatu yang lebih produktif untuk dibicarakan di sini yaitu memahami sifat-sifat YESUS yang membuatnya menjadi sedemikian idealnya, yang dengannya kita semakin mengerti perbuatan-perbuatan TUHAN secara nyata dalam hidup manusia. Sebab dengan memilih “menjadi” manusia, TUHAN itu “telah ada di dalam dunia”, dan “diam di antara kita (manusia)” (bnd. Yoh. 1:14). Artinya, ia telah benar-benar masuk ke dalam medan hidup manusia, dan karena itu ia dapat dipahami sebagai “TUHAN dalam sejarah manusia”.
2. YESUS ~REKONSTRUKSI TUHAN YANG BARU
Jika kita membaca keempat injil (Markus, Lukas, Matius dan Yohanes) kita sebetulnya membaca penjelasan mereka mengenai “bagaimana YESUS itu memiliki (atau diberi) kualitas diri yang lebih dari manusia umumnya”. Atau secara teologis (Kristologis) mengenai “bagaimana ia diberi ciri-ciri keilahian, yang membuatnya menjadi berbeda dari manusia kebanyakan”.
Pencirian keilahian YESUS itu dilakukan oleh kekristenan pada masa jauh setelah YESUS mati. Pencirian itu dimaksudkan untuk membentuk suatu paham baru (Kristen) menjadi paham yang otonom dan memiliki otoritas tersendiri sebagai suatu aliran resmi dalam dunia agama-agama kala itu. Aspek utamanya adalah membangun pemahaman mengenai “TUHAN”, yang melahirkan iman kepada TUHAN itu pula. Di sini kekristenan melakukan suatu tindakan revolusioner terhadap pemahaman KETUHANAN Yahudi yang transenden ~memahami TUHAN sebagai makhluk adikodrati yang ada pada wilayah abstrak. Apa yang dilakukan kekristenan adalah mendekonstruksi TUHAN yang transenden itu ke dalam format baru yang imanen, yaitu TUHAN yang mengambil rupa dalam diri seorang manusia.
Dekonstruksi itu melahirkan suatu cara memahami yang baru, yaitu melihat TUHAN di dalam diri seorang manusia yang ideal, yaitu YESUS. Karena itu, injil memperlihatkan ~tidak lebih~ dari suatu pemberian kualitas ketuhanan kepada YESUS, sehingga ia dipahami dan kemudian diyakini sebagai TUHAN itu sendiri. Injil, seperti Markus, Lukas dan Matius, mencoba merekonstruksi sekelumit sejarah kehidupan seorang yang bernama YESUS, sesuai dengan sumber-sumber lisan yang beredar di masyarakat kala itu. Ini penting dipahami sebab injil itu ditulis pada masa kemudian, hampir empat puluh sampai tujuh puluh tahun setelah YESUS itu mati. Mereka menginterpretasi sumber-sumber yang ada, dan bukan merekam pernyataan saksi mata (Spong, 2005:279).
Penulisan injil memuat gambaran baru mengenai kehidupan YESUS yang dijadikan sebagai figur sentral di dalam masa awal munculnya kekristenan (Wilken, 1984:xv). Dalam tulisan injil itu, kita menemukan beberapa gambaran mengenai YESUS.
Pertama, Injil Markus, Matius dan Lukas, sama-sama hendak menjelaskan mengenai siapa YESUS itu, dengan memberi kepadanya ciri PENTUHANAN yang jelas.
- Markus, sebagai injil tertua (ditulis sekitar tahun 70-an) menyusun ceritanya dengan maksud menjelaskan detail tentang “YESUS” yang diberi gelar “KRISTUS” (Mark. 1:1). Tetapi penginjil ini justru memakai model “kemesiasan Yahudi”, dengan menunjuk pada nubuat Yesaya sebagai pendahuluan penjelasannya mengenai YESUS. Tidak hanya itu, Markus menghadirkan YESUS melalui perantaraan Yohanes Pembaptis, sebagai tokoh yang bertindak mengokohkan KETUHANAN YESUS. Karena itu, baptisan merupakan cerita yang mengokohkan KETUHANAN YESUS, dalam injil Markus, melalui suara dari langit “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11). Artinya Markus berbeda dengan Paulus yang mengokohkan KETUHANAN YESUS pada peristiwa kebangkitan.
- Matius, yang ditulis pada kurun waktu 80-an, sebetulnya masih melanjutkan model “kemesiasan Yahudi”, tetapi Matius memberi tempat pada malaikat sebagai tokoh supranatural yang memberitahu Maria dan Yusuf mengenai kelahiran seorang anak, yang harus dinamai YESUS (bnd. Peristiwa yang sama pada Sara dan Abraham dalam Kej. 18:10-15). Di sini sebetulnya Roh Kudus telah memainkan peran penting dalam peristiwa PENTUHANAN YESUS. Sebab Matius mengatakan “...sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus” (Mat. 1:20c). Dari catatan Matius ada dua hal yang penting, yaitu (a) YESUS yang digambarkannya memiliki garis keleluhuran yang jelas dalam keyahudian, dari suku Yehuda, suku yang oleh PL ditentukan sebagai pemimpin; (b) kelahirannya adalah sebuah peristiwa yang unik, berbeda dari kelahiran anak-anak manusia umumnya. Di sini Matius menggunakan gembaran Kejadian 18, 21 mengenai kelahiran Ishak, dengan memberi bobot tertentu pada kelahiran YESUS. Bahwa Sara adalah perempuan yang telah mati haid (menopause), tetapi dikaruniai TUHAN seorang anak laki-laki (catatan: tidak ada penjelasan mengenai Abraham “menyetubuhi” Sara sehingga ia hamil).[1] Berbeda dengan Sara, Maria ibu YESUS adalah seorang “anak dara” yang mengandung karena Roh Kudus (Mat. 1:18; bnd. Yes. 7:14). Tafsir umum terhadapnya ialah Maria hamil bukan sebagai hasil kontak sexual dengan Yusuf, melainkan “intervensi” TUHAN melalui Roh Kudus. Matius melukiskan PENTUHANAN YESUS itu melalui sebuah kisah mujisat/keajaiban.
- Dengan mengembangkan sumber Markus dan Matius, Lukas-lah (ditulis pada akhir 80-an – awal 90-an) memberi sebuah kisah yang cukup rapih. Ia lebih banyak memakai sumber Matius, dan karena itu malaikat Gabriel (Matius tidak menyebut nama malaikat itu) juga merupakan tokoh yang berperan dalam kisah PENTUHANAN YESUS. Sebetulnya dalam injil ini ada dua kisah kelahiran yang memiliki kualitas yang sama, yaitu kelahiran YOHANES PEMBAPTIS dan YESUS. YOHANES PEMBAPTIS lahir juga atas intervensi TUHAN kepada Zakaria yang sudah tua dan Elizabeth (bnd. Abram dan Sara) perempuan mandul. Kedua, kalahiran YESUS yang oleh Lukas melalui “seorang perawan”. PENTUHANAN YESUS dalam injil ini bersumber dari “kuasa Ilahi” yang mengambil prakarsa dalam hidup manusia. Karena itu YESUS dikukuhkan sebagai “Yang Kudus” dan “Anak ALLAH” (Luk. 1:32).
- Sementara injil Yohanes (akhir tahun 90-an) sama sekali tidak merekam kisah kelahiran YESUS. Sebab Yohanes tidak mengulas mengenai YESUS Sejarah, sebaliknya ia mengintepretasi YESUS dari Nazareth dalam sebuah proses mediasi kuasa ALLAH di dalam diri seorang manusia. Yohanes menjelaskan mengenai “Firman yang telah menjadi daging dan diam di antara kita” (Yoh. 1:1,14). Yohanes berkonsentrasi pada gambaran-gambaran simbolik yang merepresentasi “kuasa TUHAN” (Christpower), dengan memberi sebuah sifat tambahan kepada YESUS melalui rumusan “AKU ADALAH...” (ego eimi) sebagai formulasi langsung dari YESUS.
- Paulus-lah (ditulis dalam kurun tahun 30-an) yang pertama-tama memahami PENTUHANAN YESUS melalui kebangkitan diri-Nya. Bahwa kebangkitan tubuh adalah sebuah tindakan Ilahi yang membuat YESUS masuk ke dalam KEALAHANNNYA (Spong, 1973:88,89; 2005:280-1).
Kedua, PENTUHANAN YESUS dalam kekristenan dilihat dari pemberian gelar-gelar atau sifat-sifat atributif TUHAN (devine charachter) kepada YESUS. Kita mencatat ada beragam gelar yang diberi kekristenan kepada YESUS untuk semakin mengokohkan KETUHANANNYA. Sesungguhnya gelar-gelar itu diberi berdasarkan pengalaman kekristenan dengan TUHAN.
Saya kira kita harus mulai dengan memahami siapa TUHAN itu ~walau mungkin sebagian kalangan memandang bahwa realitas TUHAN itu sudah final dan tidak perlu diutak-atik lagi. Saya setuju dengan cara memahami seperti itu, tetapi yang dimaksudkan di sini ialah bagaimana pemahaman mengenai TUHAN itu telah membuat kita menjadi sedemikian terpautnya pada TUHAN, dan kemudian bagaimana pemahaman itu terimplementasi dalam hubungan kemanusiaan kita sesehari.
TUHAN itu bukan manusia yang berada di angkasa, yang berpikir dan bertindak, atau yang memiliki perasaan tertentu (seperti Kasih). TUHAN itu adalah sumber kehidupan. TUHAN itu tampak di mana ada kehidupan, dan Ia bukanlah makhluk asing atau yang terpisah dari hidup itu. TUHAN itu adalah sumber cinta. TUHAN itu ada ketika ada cinta yang terbagi, dan Dia tidak terasing atau terpisahkan dari cinta itu. TUHAN adalah dasar dari semua yang hidup. TUHAN itu tampak di mana seseorang mampu merangkul orang lain, dan ia tidak terpisahkan atau asing dari rangkulan itu (Spong, 1973:89).
Injil, dan juga kita kemudian menyebut YESUS KRISTUS sebagai sebuah identitas diri sang YESUS itu sendiri. Padahal KRISTUS itu adalah atributif TUHAN yang dikenakan kepada YESUS. Terjemahan yang sederhana ialah TUHAN YESUS. Lalu muncul pemahaman bahwa TUHAN itu adalah YESUS, atau TUHAN itu hanyalah YESUS. Ini adalah suatu klaim ketuhanan yang kerap membuat TUHAN itu sendiri terkurung di dalam “batasan-batasan” (boundaries) yang disusun menurut proyeksi manusia atau klaim agama tertentu. Padahal jika kita memahami TUHAN sebagai dasar dari semua yang hidup (groud of being), maka IA tidak bisa dibatasi oleh klaim agama atau sistem religius dan ritus agama itu sendiri.
YESUS adalah nama, dan KRISTUS adalah gelar yang diberi kepada nama itu; suatu gelar teologis. YESUS itu tokoh historik; sedangkan KRISTUS itu melampaui sejarah. YESUS adalah manusia, lemah dan terbatas, sedangkan KRISTUS itu ilahi, kuat dan tidak terbatas. YESUS memiliki ibu dan bapak, leluhur, dan kekayaan kemanusiaan. Ia dilahirkan. Ia mati. KRISTUS adalah suatu prinsip yang melampaui semua kapasitas dan pengalaman kemanusiaan itu. YESUS itu adalah manusia yang melaluiNya manusia dapat menyaksikan betapa TUHAN itu beroperasi secara aktif di dalam hidup manusia. Karena itu baru muncul klaim “ENGKAU ADALAH KRISTUS”.
Sebagai yang demikian, YESUS memiliki kualitas yang cukup handal untuk memerankan perbuatan-perbuatan TUHAN (divine deity) di dalam hidup manusia. Dari Perjanjian Baru, dan juga pengalaman beriman, kita melihat bahwa YESUS itu adalah seseorang yang memiliki kualitas hidup yang sangat luar biasa dibandingkan manusia lainnya. Ia secara jelas mempraktekkan “pemerintahan TUHAN” di dalam hidup manusia, di mana setiap hal yang tidak mungkin, bisa dicapai/terjadi. Ia menentang diskriminasi (atas ras ~Samaria-Yahudi, atas gender ~laki-laki – Perempuan, atas agama ~kafir – Yahudi, atas status sipil ~budak dan orang merdeka, dll). Dia menyingkirkan sekat-sekat sosial di dalam masyarakat, dan sambil melakukan itu, dia membentuk suatu tatanan sosial yang baru, di mana setiap orang bisa berelasi satu sama lain secara setara. Ia mengembangkan komunikasi kritis dengan pemerintah, dan karena itu pun menentang tindakan-tindakan yang menindas masyarakat, termasuk pajak. Ia menerobos semua itu tanpa rasa takut, ia mengajarkan orang banyak untuk tidak “menjadi takut” dalam melakukan tindakan-tindakan yang baik; ia menganjurkan orang banyak untuk melakukan perlawanan terhadap kesewenangan hukum dan pemerintahan (bnd. Hal menampar pipi kiri, beri pipi kanan).
YESUS itu menyatakan kehadiran TUHAN, yang melaluinya kita masuk ke dalam realitas TUHAN; memahami realitas TUHAN yang semula transenden dan terkurung pada lingkungan agama.
YESUS membuat TUHAN itu dikenal dan semakin dapat dimengerti. Dengan kata lain, inkarnasi telah membuat manusia mengenal dengan benar mengapa TUHAN memilih menjadi manusia. YESUS, dengan gelar apa pun yang kita beri padanya, telah membimbing kita untuk memahami siapa TUHAN itu: TUHAN dalam dirinya, TUHAN dalam sifatnya, TUHAN dalam kemahakuasaannya, dan TUHAN dalam suatu lingkungan yang luas, yaitu di alam, dalam relasi dengan sesama dan seterusnya.
YESUS membuat kita memahami TUHAN secara baru.
3. Amin dan Iman
Suatu hari Amin bertanya kepada Iman: “apakah engkau mengenal aku?”. Iman menundukkan kepalanya beberapa saat. Amin menyela, “loh, apa yang kau pikirkan?”. “Aku lagi mengenang saat pertama kita bertemu”, jawab Iman. “Lalu, apakah setelah kita berteman sampai saat ini, engkau sudah benar-benar mengenal aku?”, tanya Amin lagi. “Itulah yang membuatku tadi merenung”, sanggah Iman.
Mereka kemudian terdiam beberapa saat, dan Iman berkata: “Amin”. Amin jadi bingung sendiri. “Maksud kamu?”, tanyanya. “Amin”, jawab Iman lagi. “Maksud kamu”, tanya Iman lagi. “Ya Amin. Kamu Amin – kan?”, tegas Iman.
Pernah disampaikan dalam - Diskusi di AMGPM Cabang Bethania, 27 April 2006 -
[1] Dalam tradisi PL, peristiwa kehamilan seorang perempuan selalu digambarkan sebagai hasil kontak biologis (sexual intercourse) seorang laki-laki (suami) dengan perempuan (istri). Lihatlah Kej. 4:1, 25, Adam “bersetubuh” dengan Hawa; ay. 17 – Kain “bersetubuh” dengan istrinya...; 16:2,4 – Abram “menghampiri” Hagar lalu Hagar mengandung...” dll.
Sunday, November 23, 2008
PENGENALAN KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI LOKUS PEKABARAN INJIL
Bagian 2 - MASYARAKAT ADAT di Kepulauan Lease
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Pengantar
Saya hanya melanjutkan bahasan pertama yang telah dilewati. Kali ini kita lebih fokus pada konteks masyarakat adat dalam seluruh dinamikanya. Sorotan kita masih sama yakni pemetaan masyarakat adat di Lease. Dalam kaitan itu, saya memiliki keterbatasan tersendiri, karena kurang memiliki referensi yang memadai tentang masyarakat adat di Lease.
Tetapi saya memiliki beberapa pengalaman langsung di dalam basis-basis kultural masyarakat Adat di Lease. Saya pernah menjalani serangkaian penelitian di Nusalaut – dengan fokus untuk menstudikan ‘Ideologi Pusa Pulu’ yang menjadi pembentuk mentalitas sosial dan religius orang-orang Nusahulawano. Di Saparua, saya pernah terlibat dalam “ibadah Natal” masyarakat Nolloth dan Itawaka di ‘Batu Damai’ (desember 1998), dan terlibat dalam Panas Pela di Tuhaha (desember 2007) antara Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) dan Rohomoni (Mandalise Haitapessy).
Beberapa kali membimbing Mahasiswa STAKPN Ambon menulis Skripsi tentang aspek-aspek tertentu dalam adat orang-orang Haruku (perkawinan di Wasuu), pela Hulaliu-Tulehu, Kora-kora Raja di Ullath, dan budaya Masulio di Ullath, mungkin tidak cukup untuk mengatakan bahwa saya telah bisa mengenal konteks masyarakat adat di Lease. Pengalaman baru yang bagi saya membuat saya bisa merasakan dinamika ber-adat di Saparua adalah ketika melangsungkan acara adat ‘bayar harta’ di Tuhaha (Juli 2007), sebagai konsekuensi menikah dengan gadis Tuhaha dari mata rumah Raja Adat (Aipassa).
Karena itu, saya mungkin tidak akan ‘molo’ lebih dalam, sehingga materi ini adalah suatu kupasan di permukaan mengenai hal-hal pokok dari masyarakat adat itu sendiri. Tetapi saya mengakui bahwa pengenalan intens dengan masyarakat adat setempat (pada masing-masing negeri) menjadi suatu pengalaman emic sekaligus etik yang penting bagi gereja. Termasuk bagi tugas PIKOM.
Alasan kedua ialah, suatu ajakan untuk menghentikan seluruh polemik Injil-Adat dalam paradigma dikotomis. Karena INJIL ketika masuk ke dalam dunia pun telah mengadaptasikan diriNya dengan adat masyarakat. Suatu relasi intens dan intim yang tidak bermuara pada sinkretisme, tetapi adaptasi yang kuat. Dalam adaptasi itu muncul fungsi koreksi dan penyelarasan. Suatu hal yang selama ini diabaikan dalam sejarah PI di Maluku.
2. Relasi Injil-Adat
Saya merasa penting menjelaskan hal ini terlebih dahulu agar pandangan kita mengenai masyarakat adat terpola dalam suatu carapandang baru yang lebih adaptif (adaptable).
Dalam tulisan penghormatan saya kepada Opa Bu Louhenapessy (Putra Lease), saya menulis begini:
“Paparan Leonard Andaya mengenai “benturan pandangan dunia” antara penginjil dengan orang Maluku telah melukiskan bagaimana pemetaan antropologis itu diabaikan para misionaris untuk menyusun strateginya. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]
Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]
Sikap “melawan kafir” menjadi karakteristik dasar para pekabar injil. Di berbagai tempat, gerakan “melawan kafir” itu dilakukan. Metode mereka dapat disebut sebagai “metode main larang”, tanpa diikuti oleh penanaman pemahaman yang memadai mengenai hal-hal dimaksud. Masyarakat yang dibimbing menjadi kristen cukup hanya mampu menghafal beberapa rumusan iman, dan itu sudah menjadi prasyarat kekristenannya. Kemudian mahir menyanyikan lagu-lagu rohani, dan menjalankan doa-doa malam, sudah menjadi “kepuasan” bahwa mereka telah menjadi kristen.
Padahal “metode main larang” meninggalkan residu yang menjadi ciri kedua dari kekristenan orang-orang Maluku. Suatu corak kekristenan yang masih bertindih rapat dengan agama leluhurnya. Kekristenan mistis, yang merupakan kombinasi pietisme dengan agama lama.
Mereka dikenal sebagai “orang-orang beriman”[3] dan loyal kepada gereja. Mereka gemar beribadah dan menjaga lingkungan serta suasana bergerejanya di setiap negeri dengan sangat baik. Ini misalnya terlihat dari tidak adanya aktifitas kerja yang dilakukan pada hari minggu. Bagi siapa yang tidak beribadah ke gereja pada hari minggu, dilarang keluar dari rumah, sampai jam ibadah selesai.[4]
Namun “Agama Ambon” dinilai merupakan suatu corak baru dalam kekristenan. Kritik terhadap agama Ambon adalah sikap dualisnya yang kuat; percaya kepada Allah Bapa, dan percaya kepada Leluhur. Sebuah kekristenan yang dikatakan tidak terlepas seluruhnya dari ketergantungan pada adat.[5] Suatu kritik yang dilekatkan pada fenomena theistik di dalam Agama. Tuhan telah diposisikan kembali dalam kawasan pantheon, suatu tema klasik yang ditolak oleh kalangan monotheis.
Orientasi seperti itu dinilai sebagai yang “tidak murni” kristen. Kramer menyebutnya sebagai “kristen setengah hati”. Pomeo yang cukup populer pada waktu itu adalah “di sini, di Ambon, agama adalah produk masyarakat, seperti cengkeh”. Hanya dengan membuka penutup orang Ambon, dan agama akan keluar”. Pernyataan yang lain bahwa “pada orang Ambon, agama hanya lapisan varnish yang tipis” [a thin varnish]. Semua itu melukiskan bahwa “Agama Ambon” telah menjadi sesuatu yang dipuja, tetapi juga ditimpali kritikan tajam [yang menyakitkan hati].[6]
Van den End melukiskan, ketika mendapat kritik sebagai orang-orang yang tidak taat beragama, orang-orang Ambon kembali mengkritik orang-orang Belanda, termasuk para pendeta. Pada tahun-tahun pertama orang Belanda belum melakukan kebaktian umum di benteng [New Victoria-Ambon], orang-orang Ambon bertanya “apakah kalian tidak mempunyai agama?” Segera diselenggarakan kebaktian umum untuk membuktikan bahwa orang-orang Belanda itu beragama. Mengenai kehidupan moral, orang-orang Ambon juga ditimpali kritik tajam sebagai yang berkelakuan “barbarism”. Tetapi dari laporan para pendeta Belanda, rupanya kelakuan orang-orang Belanda, termasuk para perempuannya jauh lebih buruk dari kehidupan orang Ambon. Sikap para Pendeta Belanda pun dibandingkan dengan para imam Yesuit yang terlihat saleh, serta mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, dibanding para Pendeta Belanda yang juga lebih banyak melayani pekerjaan VOC.[7]
Dari situasi itu tampak bahwa eksistensi “Agama Ambon” tidak serta merta merupakan fenomena yang negatif. Ia dinilai negatif, justru karena para pengkritik menghakimi “Agama Ambon” dengan tanpa melihat pada struktur kepercayaan asali mereka yang telah lama mengakar. Di sini dapat diajukan beberapa argumen:
Pertama, eksistensi “Agama Ambon” sebagai “setengah kristen” telah mengabaikan fakta bahwa ia menjadi demikian sebagai akibat dari penerapan strategi penginjilan yang kurang memperhatikan budaya setempat. Budaya injil datang secara ekspansif, dan memposisikan diri pada struktur dominan. Komunikasi injil berlangsung, tetapi sebatas pada komunikasi simbol dan penggantian forma, tanpa mampu membangun korelasi dengan tatanan filsafatis masyarakat. Dinamika psikologis masyarakat kurang mendapat perhatian serius. Orang tidak dibimbing bagaimana menjadi percaya, tetapi “dimasukkan” ke dalam suatu Corpus Christianum Belanda.
Kedua, “Agama Ambon” membentuk sebagai bukti dari orientasi politis yang terlalu kuat dari menjadi kristen. Menjadi kristen, berarti bersekutu dengan Belanda. Ini menjadi semacam “merk dagang” yang diiklankan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Dua kepentingan berjalan sekaligus, kepentingan VOC dan Belanda untuk menanamkan pengaruh serta memperluas kekuasaan monopoli, tetapi juga kepentingan orang-orang Ambon [khusus Leitimor] untuk mendapat perlindungan dan bantuan melawan musuh dari Seram dan Leihitu. Otomatis menjadi kristen ibarat menerima pangkat sarani, yang terkesan mengabaikan fungsionalisasi kekristenan itu sendiri.
Ketiga, orang-orang Ambon yang telah dikristenkan [pada masa Katolik, dan kemudian masa Protestan], terlalu lama “ditinggalkan” tanpa ada pelayanan gerejawi. Dalam kondisi demikian, orientasi dan praktek agama lama muncul kembali. Struktur ini yang terkesan diabaikan oleh para pengkritik. Mereka menyangka, kekristenan muda akan sanggup berkembang jika tidak “digembleng” oleh “yang tua”. Padahal justru di tengah masa kekosongan tadi, dan gencarnya ancaman yang mengurung mereka, kekristenan muda itu akan dapat jatuh ke suasana anomi, tanpa ada pegangan yang jelas. Kalangan Freudian akan menunjukkan bahwa, di situlah, bangkit memori akan pengalaman masa lalu, yang membuat “ego” kembali menemukan jati dirinya yang asali. Lalu berkembang di jalur itu, menjadi “ego” yang terasing dari “tubuh barunya”.
Di sini pun dapat dikatakan, “Agama Ambon” dalam kacamata antropologis, adalah suatu bentuk dari perjumpaan dan pengkomunikasian injil di Maluku. Ia menjadi demikian karena komunikasi injil telah memperkenalkan kepada mereka “apa yang mestinya mereka ketahui” tentang injil itu sendiri, dan dalam hal ini juga Tuhan. Tetapi pertanyaannya tidak sebatas pada “apa yang mereka ketahui”.
“Agama Ambon” mendiskrepansi suatu pertanyaan yang lebih mendalam yakni “bagaimana kita kemudian mengetahui apa yang kita [telah] ketahui”. Sebab fenomena “Agama Ambon” memperlihatkan bagimana ajaran-ajaran kristen itu telah dipercayai pada masa-masa yang lampau, melainkan juga bagaimana dan mengapa ia masih bertahan sampai kini.[8] Demikian pun “Agama Ambon” itu sendiri. Kritik terhadapnya mesti dibangun dari pertanyaan-pertanyaan dasar “bagaimana dan mengapa mereka masih percaya pada kepercayaan lama, dan bagaimana serta mengapa ia masih dipraktekkan sampai saat ini, ketika orang-orang Ambon telah menjadi Kristen”.
Kritik yang selama ini ada semata melihat fenomena itu sebagai hal yang mendikotomikan injil dan adat. Padahal fakta sosialnya justu lebih mendalam dari itu; yakni masyarakat telah terkonstruksi ke dalam dua sistem kepercayaan yang tidak mengalami asimilasi secara sempurna. Suatu fakta binaritas. Suatu waktu, dalam kasus tertentu, akan lebih menonjolkan sisi injil, atau sebaliknya sisi adat. Tetapi pada waktu dan kasus yang lain akan menampilkan interelasi kedua sisi itu secara bersama. Misalnya ketika injil dan institusi gereja terlibat di dalam suatu upacara adat, atau sebaliknya ketika adat dipakai sebagai “variasi” dalam ritus agama kristen.
3. Identifikasi Masyarakat Adat
Masyarakat adat di Lease memiliki tipikal yang sama dengan masyarakat adat di Maluku pada umumnya. Suatu masyarakat adat memiliki beberapa ciri yang sangat dominan. Adat sendiri telah dipandang sebagai:
(a). Suatu norma hukum, yang mengatur tata etika (misalnya dalam hal ‘bapanggel’ antara Ua dan Wate), dan kepemilikan dalam suatu masyarakat (misalnya kepemilikan tanah, dati, dusun, sasi, dll).
(b). Suatu norma sosial, yang mengatur pola kekerabatan (misalnya marga, soa, bahkan pela/gandong), pola relasi (ipar, konyadu), pembagian kerja (dalam peran adat, antara laki-laki dan perempuan), sistem komunikasi (melalui bahasa, dan juga pertemuan saniri), dan sistem kerjasama antarlembaga (misalnya Tiga Batu Tungku).
(c). Sistem kepercayaan, yang mengatur tentang carapandang (keyakinan/dogma tradisional), dan tata cara ritual dalam masyarakat.
Dalam pemahaman seperti itu, adat selalu diidentikkan dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat. Ini yang menjadi pangkal mengapa dalam banyak kasus, kekristenan menjadi cukup curiga kepada adat, dan melakukan sikap ‘melawan’ adat pada dimensi kepercayaan, tetapi mengakomodasi adat dalam dimensi hukum dan sosial, malah mengambil alih ritus adat tertentu menjadi ritus gerejawi, seperti sasi.
Saya tidak aka masuk dalam debat itu. Baiklah kita melakukan identifikasi pada beberapa segi penting dari masyarakat adat yang dapat dikembangkan dalam model-model PIKOM Gereja.
3.1. Pola Pengaturan Masyarakat. Dalam sistem pengaturan masyarakat adat, setiap masyarakat adalah bagian dari klennya. Dalam bahasa kita di Maluku, soa merupakan organisasi sosial yang mengatur pola hidup masyarakat pada basis keluarga, atau mata rumah. Pada sistem soa, telah terkonstruksi pula jabatan dan peran adat yang harus dimainkan oleh masing-masing soa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini adalah suatu pola yang mengarah pada tertib sosial dalam relasi dan pembagian kerja antar-masyarakat.
Pola ini dalam sejarah masyarakat telah menjadi kekuatan integrasi sosial, sehingga perlu dikembangkan. Bahkan PIKOM pun dituntut untuk menggunakan beragam pola integrasi sosial dalam masyarakat di mana ia ada.
3.2. Pola Kerjasama antar-Institusi. Saya melihat bahwa TIGA BATU TUNGKU merupakan model kerjasama antarinstitusi (Pemerintah Negeri, Gereja, Pendidikan) yang sudah saatnya dikembangkan sebagai kekuatan membangun masyarakat secara bersama-sama. Perbedaan ketiga institusi itu bukanlah suatu titik singgung yang berujung pada konflik.
Dalam banyak kasus, ketidakcocokan Raja dan Pendeta disebabkan oleh faktor-faktor feodalistik, dalam hal ini klaim antara masyarakat dan jemaat. Raja merasa memiliki rakyat, pendeta memiliki jemaat. Padahal rakyat dan jemaat adalah unit sosial yang sama, seperti halnya jemaat berada di dalam negeri, dan negeri adalah satuan dari jemaat. Selain itu, Raja dan Pendeta, lebih sering terjebak dalam ‘kharisma adatis’ dan ‘kharisma religius’, yang ujung-ujungnya adalah persinggungan sikap dan relasi yang berdampak pada masyarakat dan jemaat. Belum lagi jika ketegangan itu bermuara pada paham ‘biking salah par nene moyang tuh capat dapa, biking salah par Tuhan tuh antua lanjar’. Akibatnya terjadi pelecehan spiritual dalam masyarakat/jemaat.
Peran TBT untuk mengatur keseimbangan peran setiap elemen sosial perlu disinergikan pula dengan tugas membangun masyarakat dan jemaat.
Pada beberapa negeri di Lease, ada jabatan Raja Adat (misalnya di Tuhaha) yang dalam struktur TBT yang lama/asli, merupakan figur pemersatu dan tokoh kharismatik yang memiliki peran untuk menyeimbangkan hidup sosial dan keagamaan masyarakat. Posisi Raja Adat ini pun kiranya dimanfaatkan dalam menjaga relasi kerjasama antar-institusi sosial.
Dalam hal ini, PIKOM gereja diharapkan bisa menjaga tertib sosial dalam masyarakat, dan mendorong usaha bersama masyarakat untuk membangun secara bersama-sama pula. PIKOM harus mewujudkan integrasi dan bukan dikotomi apalagi diskriminasi.
3.3. Sistem Kepercayaan. Masyarakat adat selalu dilihat sebagai pewaris agama lama/agama suku, atau kepercayaan kepada Tete Nene Moyang. Gereja selalu berusaha melawannya, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Dalam banyak segi, sikap gereja itu semata-mata dibentuk oleh kecurigaan missiologis, sehingga seluruh praktek adat dipandang gelap. Apa yang disebut ‘menginjilkan adat’ atau ‘mengadatkan injil’ selama ini adalah suatu usaha klasik yang tidak jelas wujudnya. Gereja malah mengembangkan cara-cara yang ambivalen. Setuju dengan praktek adat terentu, melawan praktek adat yang lain. Setuju dengan ritus adat tertentu, asal tidak ‘tiup kuli bia’ atau ‘tidak baca-baca’, tetapi membenarkan ‘kapata adat’ yang telah direformulasi dengan menyebut ‘Tiga Oknum’ (Bapa, Anak dan Roh Kudus).
Pada saat saya melaksanakan ritus ‘bayar harta kawin’ di Tuhaha, Raja Adat Tuhaha berkata begini: “akang pung lengkap ni, dong dua musti minong aer yang papa dong kasi, la musti mandi deng akang lai. Ini aer dari tanah Beinusa. Mar ambel pake doa adat”. Saat itu, saya menjawab begini: “papa biking saja iko yang su di ator adat di sini”. “Mar dong dua pandeta”, katanya. “Iya, mar ini adat, jadi beta yakin adat ini Tuangallah yang kasih par masyarakat Beinusa, jadi iko jua”.
Dialog itu sebenarnya adalah suatu dialog dalam konteks adat. Jabatan Pendeta yang dilibatkan di situ adalah suatu bukti bahwa dalam relasi Injil-Adat, pola yang mesti dikembangkan adalah pola adaptasi. Karena itu, saya memahami adat sebagai berkat TUHAN kepada masyarakat adat melalui tete nene moyang. Jika berkat itu tidak diberi di waktu dahulu, bisa dibayangkan saja, bagaimana keberadaan kita kini. Mungkin kita akan menikah tanpa memperhatikan norma yang semestinya, dan pernikahan pun mungkin tidak akan menjadi tanda persekutuan antar-dua keluarga, atau bahkan dua-komunitas adat yang berbeda. Saya percaya bahwa oleh karena aturan adat itu, saya yang adalah orang Rutung (Pulau Ambon), tidak hanya memperistri perempuan Saparua (Tuhaha), melainkan menjadi bagian dari orang Tuhaha (Saparua).
Dari situ kita belajar mengenai tujuan adaptasi Injil – Adat. Adaptasi injil adat harus melahirkan suatu hakekat kemanusiaan yang baru. Jika injil merombak adat dan tidak berhasil membangun kemanusiaan baru, injil itu tidak ada faedahnya. Sebaliknya pun jika adat tidak membangun kemanusiaan, adat itu tidak ada faedahnya. Injil yang memanusiakan adalah yang berfaedah.
3.4. Mitos. Dalam kaitan dengan sistem kepercayaan itu, masyarakat adat pun memiliki beragam mitos yang menceritakan mengenai asal-muasal negeri, manusia, atau juga suatu marga, dll. Mitos-mitos lain juga mengenai suatu tempat sakral (tampa karas), dll. Artinya, masyarakat adat itu memiliki corak pandangan dunia yang kosmogonik, yang juga terikat pada alam dan lingkungan sekitarnya.
3.5. Simbol dan ritus Budaya. Masyarakat adat itu kaya simbol. Bahkan seluruh carapandang atau pandangan dunia mereka dibentuk oleh simbol itu pula. Dalam hal ini, baileu selalu dijadikan simbol pusat, dan pusat makrokosmos suatu negeri. Baileu pun membentuk cara hidup dan pembagian peran dan kerja masing-masing kelompok (soa) dalam suatu negeri. Ini bisa dilihat dalam tradisi ‘tutu baileu’ atau ‘nai baileu’ atau ‘pemancangan tiang baileu’.
Simbol lain yang cukup kuat yaitu negeri lama. Pada beberapa negeri tertentu, negeri lama dilihat sebagai titik pusat dari suatu komunitas adat yang besar, misalnya Pusa Pulu di Nusalaut. Saya pun mendengar, bahwa orang Ullath, Itawaka dan Tuhaha, juga memiliki sejarah yang menghubungkan mereka pada satu negeri lama, sehingga tiga negeri ini pun mengakui dirinya sebagai ‘basudara’ (hal ini bisa saja dikoreksi, karena ini baru informasi yang saya dengar).
Ritus-ritus budaya yang menarik misalnya “kora-kora raja” di Ullath, atau juga Eklesiano (meja kawin) di Haria, adalah ritus yang perlu sekali dikembangkan dalam forma-forma Penginjilan yang transformatif. Terlebih lagi sasi lompa di Haruku, adalah suatu pola ritus yang bisa menjadi model dari PIKOM yang mengarah kepada kemanusiaan dan juga keutuhan ciptaan.
Berbagai ritus adat lain, termasuk hahi di Hulaliu, atau juga ritus pelantikan Raja di setiap negeri, sampai pada Pela/Gandong, dengan negeri-negeri Salam, adalah bentuk-bentuk ritus adat yang menantang gereja tentang bagaimana membangun suatu model PIKOM yang transformatif.
3.6. Ide Ketuhanan. Tuangallah, Allah Bapa, O Allah, Tuanggalah-Tuangisa, Elmeseh, adalah sebutan-sebutan untuk TUHAN yang ternyata telah ‘dikorupsi’ makna hakikinya oleh orang Lease Sendiri. Saya agak sulit mencari makna ide Upu Lanite atau Upu Tepele dalam bahasa orang Lease. Yang paling sering dijumpai adalah ide-ide ketuhanan sebagai warisan kekristenan yang ternyata telah mengalami pergeseran dalam ruang penggunaan dan pemaknaannya.
Orang Ambon-Lease memang telah menjadikan sebutan “Tuangallah, atau Tuangisa” sebagai semacam ucapan kasar (sarkastik) tentang Tuhan, dan karena itu dikaitkan dengan ‘basumpah’ atau ‘menyebut nama Tuhan dengan sia-sia’. Padahal jika kita teliti lebih mendalam, ide-ide itu adalah penyebutan TUHAN sesuai dengan konteks membahasa orang-orang Lease.
Apalagi Elmeseh. Ide ini dalam masyarakat Nusalaut hanya ada di Ameth. Pertanyaan kita ialah, mengapa enam negeri lainnya di Nusalaut yang semuanya Kristen, tidak menggunakan ide Elmeseh itu? Tetapi hanya orang Ameth? Hal ini tidak bisa dipahami sebagai fenomena membahasa an-sich, karena orang Nusalaut menganut satu rumpun bahasa yang sama.
Perbedaan hanya pada dialeg. Secara teologis, ini adalah ide ketuhanan lokal yang diproduksi oleh orang Ameth untuk menyebut TUHAN, dalam ISA Al Masih. Di sini sebenarnya kuatnya pengaruh bahasa Arab (bukan Islam) dalam hidup masyarakat kita.
Komunikasi injil harus pula bisa melihat ide-ide ketuhanan itu, dan melakukan transformasi terhadapnya. Sebab ide-ide itu menunjukkan telah ada struktur kepercayaan dasar yang perlu dikembangkan sesuai dengan jalur yang semestinya, dan tidak dibiarkan ‘terlecehkan’.
4. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didiskusikan.
Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008
[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23
[3] Bahkan Joseph Kam pun menemukan corak kekristenan yang tekun di kalangan orang-orang Ambon, ketika ia kemudian tahu bahwa di setiap rumah pada malam hari, terdengar kidung-kidung rohani dan orang khusuk berdoa. Baca. I.H. Enklaar, Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
[4] Kraemer mencontohkan hubungan orang-orang Salam Tulehu dengan Sarane Waay. Pada setiap hari minggu orang-orang Tulehu yang melintasi negeri Waay tidak sedikitpun bersuara [baribot], demikian pun orang-orang Waay tidak akan mengambil babi melintasi negeri Tulehu. Suasana yang sama tampak pula di Tial, di mana penduduk Islam dan Kristen tinggal berbaur. Kraemer, op.cit, h.22
[5] Padahal kekristenan di manapun akan menampilkan fenomena itu sebagai hasil kontekstualisasi dengan lingkungannya sendiri. Kekristenan di Eropa pun adalah hasil yang demikian.
[6] Ibid, h.19
[7] Van den End, op.cit, h.74
[8] bnd. David J. Hesselgrave,Communicating Christ Cross-Culturally: An Introduction to Missionary Communication, Michigan: Grand Rapids, 1978, h. 199
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Pengantar
Saya hanya melanjutkan bahasan pertama yang telah dilewati. Kali ini kita lebih fokus pada konteks masyarakat adat dalam seluruh dinamikanya. Sorotan kita masih sama yakni pemetaan masyarakat adat di Lease. Dalam kaitan itu, saya memiliki keterbatasan tersendiri, karena kurang memiliki referensi yang memadai tentang masyarakat adat di Lease.
Tetapi saya memiliki beberapa pengalaman langsung di dalam basis-basis kultural masyarakat Adat di Lease. Saya pernah menjalani serangkaian penelitian di Nusalaut – dengan fokus untuk menstudikan ‘Ideologi Pusa Pulu’ yang menjadi pembentuk mentalitas sosial dan religius orang-orang Nusahulawano. Di Saparua, saya pernah terlibat dalam “ibadah Natal” masyarakat Nolloth dan Itawaka di ‘Batu Damai’ (desember 1998), dan terlibat dalam Panas Pela di Tuhaha (desember 2007) antara Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) dan Rohomoni (Mandalise Haitapessy).
Beberapa kali membimbing Mahasiswa STAKPN Ambon menulis Skripsi tentang aspek-aspek tertentu dalam adat orang-orang Haruku (perkawinan di Wasuu), pela Hulaliu-Tulehu, Kora-kora Raja di Ullath, dan budaya Masulio di Ullath, mungkin tidak cukup untuk mengatakan bahwa saya telah bisa mengenal konteks masyarakat adat di Lease. Pengalaman baru yang bagi saya membuat saya bisa merasakan dinamika ber-adat di Saparua adalah ketika melangsungkan acara adat ‘bayar harta’ di Tuhaha (Juli 2007), sebagai konsekuensi menikah dengan gadis Tuhaha dari mata rumah Raja Adat (Aipassa).
Karena itu, saya mungkin tidak akan ‘molo’ lebih dalam, sehingga materi ini adalah suatu kupasan di permukaan mengenai hal-hal pokok dari masyarakat adat itu sendiri. Tetapi saya mengakui bahwa pengenalan intens dengan masyarakat adat setempat (pada masing-masing negeri) menjadi suatu pengalaman emic sekaligus etik yang penting bagi gereja. Termasuk bagi tugas PIKOM.
Alasan kedua ialah, suatu ajakan untuk menghentikan seluruh polemik Injil-Adat dalam paradigma dikotomis. Karena INJIL ketika masuk ke dalam dunia pun telah mengadaptasikan diriNya dengan adat masyarakat. Suatu relasi intens dan intim yang tidak bermuara pada sinkretisme, tetapi adaptasi yang kuat. Dalam adaptasi itu muncul fungsi koreksi dan penyelarasan. Suatu hal yang selama ini diabaikan dalam sejarah PI di Maluku.
2. Relasi Injil-Adat
Saya merasa penting menjelaskan hal ini terlebih dahulu agar pandangan kita mengenai masyarakat adat terpola dalam suatu carapandang baru yang lebih adaptif (adaptable).
Dalam tulisan penghormatan saya kepada Opa Bu Louhenapessy (Putra Lease), saya menulis begini:
“Paparan Leonard Andaya mengenai “benturan pandangan dunia” antara penginjil dengan orang Maluku telah melukiskan bagaimana pemetaan antropologis itu diabaikan para misionaris untuk menyusun strateginya. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]
Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]
Sikap “melawan kafir” menjadi karakteristik dasar para pekabar injil. Di berbagai tempat, gerakan “melawan kafir” itu dilakukan. Metode mereka dapat disebut sebagai “metode main larang”, tanpa diikuti oleh penanaman pemahaman yang memadai mengenai hal-hal dimaksud. Masyarakat yang dibimbing menjadi kristen cukup hanya mampu menghafal beberapa rumusan iman, dan itu sudah menjadi prasyarat kekristenannya. Kemudian mahir menyanyikan lagu-lagu rohani, dan menjalankan doa-doa malam, sudah menjadi “kepuasan” bahwa mereka telah menjadi kristen.
Padahal “metode main larang” meninggalkan residu yang menjadi ciri kedua dari kekristenan orang-orang Maluku. Suatu corak kekristenan yang masih bertindih rapat dengan agama leluhurnya. Kekristenan mistis, yang merupakan kombinasi pietisme dengan agama lama.
Mereka dikenal sebagai “orang-orang beriman”[3] dan loyal kepada gereja. Mereka gemar beribadah dan menjaga lingkungan serta suasana bergerejanya di setiap negeri dengan sangat baik. Ini misalnya terlihat dari tidak adanya aktifitas kerja yang dilakukan pada hari minggu. Bagi siapa yang tidak beribadah ke gereja pada hari minggu, dilarang keluar dari rumah, sampai jam ibadah selesai.[4]
Namun “Agama Ambon” dinilai merupakan suatu corak baru dalam kekristenan. Kritik terhadap agama Ambon adalah sikap dualisnya yang kuat; percaya kepada Allah Bapa, dan percaya kepada Leluhur. Sebuah kekristenan yang dikatakan tidak terlepas seluruhnya dari ketergantungan pada adat.[5] Suatu kritik yang dilekatkan pada fenomena theistik di dalam Agama. Tuhan telah diposisikan kembali dalam kawasan pantheon, suatu tema klasik yang ditolak oleh kalangan monotheis.
Orientasi seperti itu dinilai sebagai yang “tidak murni” kristen. Kramer menyebutnya sebagai “kristen setengah hati”. Pomeo yang cukup populer pada waktu itu adalah “di sini, di Ambon, agama adalah produk masyarakat, seperti cengkeh”. Hanya dengan membuka penutup orang Ambon, dan agama akan keluar”. Pernyataan yang lain bahwa “pada orang Ambon, agama hanya lapisan varnish yang tipis” [a thin varnish]. Semua itu melukiskan bahwa “Agama Ambon” telah menjadi sesuatu yang dipuja, tetapi juga ditimpali kritikan tajam [yang menyakitkan hati].[6]
Van den End melukiskan, ketika mendapat kritik sebagai orang-orang yang tidak taat beragama, orang-orang Ambon kembali mengkritik orang-orang Belanda, termasuk para pendeta. Pada tahun-tahun pertama orang Belanda belum melakukan kebaktian umum di benteng [New Victoria-Ambon], orang-orang Ambon bertanya “apakah kalian tidak mempunyai agama?” Segera diselenggarakan kebaktian umum untuk membuktikan bahwa orang-orang Belanda itu beragama. Mengenai kehidupan moral, orang-orang Ambon juga ditimpali kritik tajam sebagai yang berkelakuan “barbarism”. Tetapi dari laporan para pendeta Belanda, rupanya kelakuan orang-orang Belanda, termasuk para perempuannya jauh lebih buruk dari kehidupan orang Ambon. Sikap para Pendeta Belanda pun dibandingkan dengan para imam Yesuit yang terlihat saleh, serta mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, dibanding para Pendeta Belanda yang juga lebih banyak melayani pekerjaan VOC.[7]
Dari situasi itu tampak bahwa eksistensi “Agama Ambon” tidak serta merta merupakan fenomena yang negatif. Ia dinilai negatif, justru karena para pengkritik menghakimi “Agama Ambon” dengan tanpa melihat pada struktur kepercayaan asali mereka yang telah lama mengakar. Di sini dapat diajukan beberapa argumen:
Pertama, eksistensi “Agama Ambon” sebagai “setengah kristen” telah mengabaikan fakta bahwa ia menjadi demikian sebagai akibat dari penerapan strategi penginjilan yang kurang memperhatikan budaya setempat. Budaya injil datang secara ekspansif, dan memposisikan diri pada struktur dominan. Komunikasi injil berlangsung, tetapi sebatas pada komunikasi simbol dan penggantian forma, tanpa mampu membangun korelasi dengan tatanan filsafatis masyarakat. Dinamika psikologis masyarakat kurang mendapat perhatian serius. Orang tidak dibimbing bagaimana menjadi percaya, tetapi “dimasukkan” ke dalam suatu Corpus Christianum Belanda.
Kedua, “Agama Ambon” membentuk sebagai bukti dari orientasi politis yang terlalu kuat dari menjadi kristen. Menjadi kristen, berarti bersekutu dengan Belanda. Ini menjadi semacam “merk dagang” yang diiklankan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Dua kepentingan berjalan sekaligus, kepentingan VOC dan Belanda untuk menanamkan pengaruh serta memperluas kekuasaan monopoli, tetapi juga kepentingan orang-orang Ambon [khusus Leitimor] untuk mendapat perlindungan dan bantuan melawan musuh dari Seram dan Leihitu. Otomatis menjadi kristen ibarat menerima pangkat sarani, yang terkesan mengabaikan fungsionalisasi kekristenan itu sendiri.
Ketiga, orang-orang Ambon yang telah dikristenkan [pada masa Katolik, dan kemudian masa Protestan], terlalu lama “ditinggalkan” tanpa ada pelayanan gerejawi. Dalam kondisi demikian, orientasi dan praktek agama lama muncul kembali. Struktur ini yang terkesan diabaikan oleh para pengkritik. Mereka menyangka, kekristenan muda akan sanggup berkembang jika tidak “digembleng” oleh “yang tua”. Padahal justru di tengah masa kekosongan tadi, dan gencarnya ancaman yang mengurung mereka, kekristenan muda itu akan dapat jatuh ke suasana anomi, tanpa ada pegangan yang jelas. Kalangan Freudian akan menunjukkan bahwa, di situlah, bangkit memori akan pengalaman masa lalu, yang membuat “ego” kembali menemukan jati dirinya yang asali. Lalu berkembang di jalur itu, menjadi “ego” yang terasing dari “tubuh barunya”.
Di sini pun dapat dikatakan, “Agama Ambon” dalam kacamata antropologis, adalah suatu bentuk dari perjumpaan dan pengkomunikasian injil di Maluku. Ia menjadi demikian karena komunikasi injil telah memperkenalkan kepada mereka “apa yang mestinya mereka ketahui” tentang injil itu sendiri, dan dalam hal ini juga Tuhan. Tetapi pertanyaannya tidak sebatas pada “apa yang mereka ketahui”.
“Agama Ambon” mendiskrepansi suatu pertanyaan yang lebih mendalam yakni “bagaimana kita kemudian mengetahui apa yang kita [telah] ketahui”. Sebab fenomena “Agama Ambon” memperlihatkan bagimana ajaran-ajaran kristen itu telah dipercayai pada masa-masa yang lampau, melainkan juga bagaimana dan mengapa ia masih bertahan sampai kini.[8] Demikian pun “Agama Ambon” itu sendiri. Kritik terhadapnya mesti dibangun dari pertanyaan-pertanyaan dasar “bagaimana dan mengapa mereka masih percaya pada kepercayaan lama, dan bagaimana serta mengapa ia masih dipraktekkan sampai saat ini, ketika orang-orang Ambon telah menjadi Kristen”.
Kritik yang selama ini ada semata melihat fenomena itu sebagai hal yang mendikotomikan injil dan adat. Padahal fakta sosialnya justu lebih mendalam dari itu; yakni masyarakat telah terkonstruksi ke dalam dua sistem kepercayaan yang tidak mengalami asimilasi secara sempurna. Suatu fakta binaritas. Suatu waktu, dalam kasus tertentu, akan lebih menonjolkan sisi injil, atau sebaliknya sisi adat. Tetapi pada waktu dan kasus yang lain akan menampilkan interelasi kedua sisi itu secara bersama. Misalnya ketika injil dan institusi gereja terlibat di dalam suatu upacara adat, atau sebaliknya ketika adat dipakai sebagai “variasi” dalam ritus agama kristen.
3. Identifikasi Masyarakat Adat
Masyarakat adat di Lease memiliki tipikal yang sama dengan masyarakat adat di Maluku pada umumnya. Suatu masyarakat adat memiliki beberapa ciri yang sangat dominan. Adat sendiri telah dipandang sebagai:
(a). Suatu norma hukum, yang mengatur tata etika (misalnya dalam hal ‘bapanggel’ antara Ua dan Wate), dan kepemilikan dalam suatu masyarakat (misalnya kepemilikan tanah, dati, dusun, sasi, dll).
(b). Suatu norma sosial, yang mengatur pola kekerabatan (misalnya marga, soa, bahkan pela/gandong), pola relasi (ipar, konyadu), pembagian kerja (dalam peran adat, antara laki-laki dan perempuan), sistem komunikasi (melalui bahasa, dan juga pertemuan saniri), dan sistem kerjasama antarlembaga (misalnya Tiga Batu Tungku).
(c). Sistem kepercayaan, yang mengatur tentang carapandang (keyakinan/dogma tradisional), dan tata cara ritual dalam masyarakat.
Dalam pemahaman seperti itu, adat selalu diidentikkan dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat. Ini yang menjadi pangkal mengapa dalam banyak kasus, kekristenan menjadi cukup curiga kepada adat, dan melakukan sikap ‘melawan’ adat pada dimensi kepercayaan, tetapi mengakomodasi adat dalam dimensi hukum dan sosial, malah mengambil alih ritus adat tertentu menjadi ritus gerejawi, seperti sasi.
Saya tidak aka masuk dalam debat itu. Baiklah kita melakukan identifikasi pada beberapa segi penting dari masyarakat adat yang dapat dikembangkan dalam model-model PIKOM Gereja.
3.1. Pola Pengaturan Masyarakat. Dalam sistem pengaturan masyarakat adat, setiap masyarakat adalah bagian dari klennya. Dalam bahasa kita di Maluku, soa merupakan organisasi sosial yang mengatur pola hidup masyarakat pada basis keluarga, atau mata rumah. Pada sistem soa, telah terkonstruksi pula jabatan dan peran adat yang harus dimainkan oleh masing-masing soa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini adalah suatu pola yang mengarah pada tertib sosial dalam relasi dan pembagian kerja antar-masyarakat.
Pola ini dalam sejarah masyarakat telah menjadi kekuatan integrasi sosial, sehingga perlu dikembangkan. Bahkan PIKOM pun dituntut untuk menggunakan beragam pola integrasi sosial dalam masyarakat di mana ia ada.
3.2. Pola Kerjasama antar-Institusi. Saya melihat bahwa TIGA BATU TUNGKU merupakan model kerjasama antarinstitusi (Pemerintah Negeri, Gereja, Pendidikan) yang sudah saatnya dikembangkan sebagai kekuatan membangun masyarakat secara bersama-sama. Perbedaan ketiga institusi itu bukanlah suatu titik singgung yang berujung pada konflik.
Dalam banyak kasus, ketidakcocokan Raja dan Pendeta disebabkan oleh faktor-faktor feodalistik, dalam hal ini klaim antara masyarakat dan jemaat. Raja merasa memiliki rakyat, pendeta memiliki jemaat. Padahal rakyat dan jemaat adalah unit sosial yang sama, seperti halnya jemaat berada di dalam negeri, dan negeri adalah satuan dari jemaat. Selain itu, Raja dan Pendeta, lebih sering terjebak dalam ‘kharisma adatis’ dan ‘kharisma religius’, yang ujung-ujungnya adalah persinggungan sikap dan relasi yang berdampak pada masyarakat dan jemaat. Belum lagi jika ketegangan itu bermuara pada paham ‘biking salah par nene moyang tuh capat dapa, biking salah par Tuhan tuh antua lanjar’. Akibatnya terjadi pelecehan spiritual dalam masyarakat/jemaat.
Peran TBT untuk mengatur keseimbangan peran setiap elemen sosial perlu disinergikan pula dengan tugas membangun masyarakat dan jemaat.
Pada beberapa negeri di Lease, ada jabatan Raja Adat (misalnya di Tuhaha) yang dalam struktur TBT yang lama/asli, merupakan figur pemersatu dan tokoh kharismatik yang memiliki peran untuk menyeimbangkan hidup sosial dan keagamaan masyarakat. Posisi Raja Adat ini pun kiranya dimanfaatkan dalam menjaga relasi kerjasama antar-institusi sosial.
Dalam hal ini, PIKOM gereja diharapkan bisa menjaga tertib sosial dalam masyarakat, dan mendorong usaha bersama masyarakat untuk membangun secara bersama-sama pula. PIKOM harus mewujudkan integrasi dan bukan dikotomi apalagi diskriminasi.
3.3. Sistem Kepercayaan. Masyarakat adat selalu dilihat sebagai pewaris agama lama/agama suku, atau kepercayaan kepada Tete Nene Moyang. Gereja selalu berusaha melawannya, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Dalam banyak segi, sikap gereja itu semata-mata dibentuk oleh kecurigaan missiologis, sehingga seluruh praktek adat dipandang gelap. Apa yang disebut ‘menginjilkan adat’ atau ‘mengadatkan injil’ selama ini adalah suatu usaha klasik yang tidak jelas wujudnya. Gereja malah mengembangkan cara-cara yang ambivalen. Setuju dengan praktek adat terentu, melawan praktek adat yang lain. Setuju dengan ritus adat tertentu, asal tidak ‘tiup kuli bia’ atau ‘tidak baca-baca’, tetapi membenarkan ‘kapata adat’ yang telah direformulasi dengan menyebut ‘Tiga Oknum’ (Bapa, Anak dan Roh Kudus).
Pada saat saya melaksanakan ritus ‘bayar harta kawin’ di Tuhaha, Raja Adat Tuhaha berkata begini: “akang pung lengkap ni, dong dua musti minong aer yang papa dong kasi, la musti mandi deng akang lai. Ini aer dari tanah Beinusa. Mar ambel pake doa adat”. Saat itu, saya menjawab begini: “papa biking saja iko yang su di ator adat di sini”. “Mar dong dua pandeta”, katanya. “Iya, mar ini adat, jadi beta yakin adat ini Tuangallah yang kasih par masyarakat Beinusa, jadi iko jua”.
Dialog itu sebenarnya adalah suatu dialog dalam konteks adat. Jabatan Pendeta yang dilibatkan di situ adalah suatu bukti bahwa dalam relasi Injil-Adat, pola yang mesti dikembangkan adalah pola adaptasi. Karena itu, saya memahami adat sebagai berkat TUHAN kepada masyarakat adat melalui tete nene moyang. Jika berkat itu tidak diberi di waktu dahulu, bisa dibayangkan saja, bagaimana keberadaan kita kini. Mungkin kita akan menikah tanpa memperhatikan norma yang semestinya, dan pernikahan pun mungkin tidak akan menjadi tanda persekutuan antar-dua keluarga, atau bahkan dua-komunitas adat yang berbeda. Saya percaya bahwa oleh karena aturan adat itu, saya yang adalah orang Rutung (Pulau Ambon), tidak hanya memperistri perempuan Saparua (Tuhaha), melainkan menjadi bagian dari orang Tuhaha (Saparua).
Dari situ kita belajar mengenai tujuan adaptasi Injil – Adat. Adaptasi injil adat harus melahirkan suatu hakekat kemanusiaan yang baru. Jika injil merombak adat dan tidak berhasil membangun kemanusiaan baru, injil itu tidak ada faedahnya. Sebaliknya pun jika adat tidak membangun kemanusiaan, adat itu tidak ada faedahnya. Injil yang memanusiakan adalah yang berfaedah.
3.4. Mitos. Dalam kaitan dengan sistem kepercayaan itu, masyarakat adat pun memiliki beragam mitos yang menceritakan mengenai asal-muasal negeri, manusia, atau juga suatu marga, dll. Mitos-mitos lain juga mengenai suatu tempat sakral (tampa karas), dll. Artinya, masyarakat adat itu memiliki corak pandangan dunia yang kosmogonik, yang juga terikat pada alam dan lingkungan sekitarnya.
3.5. Simbol dan ritus Budaya. Masyarakat adat itu kaya simbol. Bahkan seluruh carapandang atau pandangan dunia mereka dibentuk oleh simbol itu pula. Dalam hal ini, baileu selalu dijadikan simbol pusat, dan pusat makrokosmos suatu negeri. Baileu pun membentuk cara hidup dan pembagian peran dan kerja masing-masing kelompok (soa) dalam suatu negeri. Ini bisa dilihat dalam tradisi ‘tutu baileu’ atau ‘nai baileu’ atau ‘pemancangan tiang baileu’.
Simbol lain yang cukup kuat yaitu negeri lama. Pada beberapa negeri tertentu, negeri lama dilihat sebagai titik pusat dari suatu komunitas adat yang besar, misalnya Pusa Pulu di Nusalaut. Saya pun mendengar, bahwa orang Ullath, Itawaka dan Tuhaha, juga memiliki sejarah yang menghubungkan mereka pada satu negeri lama, sehingga tiga negeri ini pun mengakui dirinya sebagai ‘basudara’ (hal ini bisa saja dikoreksi, karena ini baru informasi yang saya dengar).
Ritus-ritus budaya yang menarik misalnya “kora-kora raja” di Ullath, atau juga Eklesiano (meja kawin) di Haria, adalah ritus yang perlu sekali dikembangkan dalam forma-forma Penginjilan yang transformatif. Terlebih lagi sasi lompa di Haruku, adalah suatu pola ritus yang bisa menjadi model dari PIKOM yang mengarah kepada kemanusiaan dan juga keutuhan ciptaan.
Berbagai ritus adat lain, termasuk hahi di Hulaliu, atau juga ritus pelantikan Raja di setiap negeri, sampai pada Pela/Gandong, dengan negeri-negeri Salam, adalah bentuk-bentuk ritus adat yang menantang gereja tentang bagaimana membangun suatu model PIKOM yang transformatif.
3.6. Ide Ketuhanan. Tuangallah, Allah Bapa, O Allah, Tuanggalah-Tuangisa, Elmeseh, adalah sebutan-sebutan untuk TUHAN yang ternyata telah ‘dikorupsi’ makna hakikinya oleh orang Lease Sendiri. Saya agak sulit mencari makna ide Upu Lanite atau Upu Tepele dalam bahasa orang Lease. Yang paling sering dijumpai adalah ide-ide ketuhanan sebagai warisan kekristenan yang ternyata telah mengalami pergeseran dalam ruang penggunaan dan pemaknaannya.
Orang Ambon-Lease memang telah menjadikan sebutan “Tuangallah, atau Tuangisa” sebagai semacam ucapan kasar (sarkastik) tentang Tuhan, dan karena itu dikaitkan dengan ‘basumpah’ atau ‘menyebut nama Tuhan dengan sia-sia’. Padahal jika kita teliti lebih mendalam, ide-ide itu adalah penyebutan TUHAN sesuai dengan konteks membahasa orang-orang Lease.
Apalagi Elmeseh. Ide ini dalam masyarakat Nusalaut hanya ada di Ameth. Pertanyaan kita ialah, mengapa enam negeri lainnya di Nusalaut yang semuanya Kristen, tidak menggunakan ide Elmeseh itu? Tetapi hanya orang Ameth? Hal ini tidak bisa dipahami sebagai fenomena membahasa an-sich, karena orang Nusalaut menganut satu rumpun bahasa yang sama.
Perbedaan hanya pada dialeg. Secara teologis, ini adalah ide ketuhanan lokal yang diproduksi oleh orang Ameth untuk menyebut TUHAN, dalam ISA Al Masih. Di sini sebenarnya kuatnya pengaruh bahasa Arab (bukan Islam) dalam hidup masyarakat kita.
Komunikasi injil harus pula bisa melihat ide-ide ketuhanan itu, dan melakukan transformasi terhadapnya. Sebab ide-ide itu menunjukkan telah ada struktur kepercayaan dasar yang perlu dikembangkan sesuai dengan jalur yang semestinya, dan tidak dibiarkan ‘terlecehkan’.
4. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didiskusikan.
Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008
[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23
[3] Bahkan Joseph Kam pun menemukan corak kekristenan yang tekun di kalangan orang-orang Ambon, ketika ia kemudian tahu bahwa di setiap rumah pada malam hari, terdengar kidung-kidung rohani dan orang khusuk berdoa. Baca. I.H. Enklaar, Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
[4] Kraemer mencontohkan hubungan orang-orang Salam Tulehu dengan Sarane Waay. Pada setiap hari minggu orang-orang Tulehu yang melintasi negeri Waay tidak sedikitpun bersuara [baribot], demikian pun orang-orang Waay tidak akan mengambil babi melintasi negeri Tulehu. Suasana yang sama tampak pula di Tial, di mana penduduk Islam dan Kristen tinggal berbaur. Kraemer, op.cit, h.22
[5] Padahal kekristenan di manapun akan menampilkan fenomena itu sebagai hasil kontekstualisasi dengan lingkungannya sendiri. Kekristenan di Eropa pun adalah hasil yang demikian.
[6] Ibid, h.19
[7] Van den End, op.cit, h.74
[8] bnd. David J. Hesselgrave,Communicating Christ Cross-Culturally: An Introduction to Missionary Communication, Michigan: Grand Rapids, 1978, h. 199
PENGENALAN KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI LOKUS PEKABARAN INJIL
Bagian 1 - MASYARAKAT PESISIR: Suatu Peta Sosiologis di Kepulauan Lease
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Pengantar
Materi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi konteks sosial masyarakat pesisir untuk memahami bagaimana pendekatan Pekabaran Injil & Komunikasi (PIKOM) yang relevan. Sebab injil mesti ‘masuk’ ke dalam hidup masyarakat (manusia), dan beroperasi di dalam konteks hidup masyarakat (bnd. Yoh.1:1,14), sambil membangun pembebasan kepada yang terpenjara/terbelenggu, keadilan, kebenaran, kesejahteraan, penglihatan kepada yang buta, dll (bnd. Luk. 4:18,19). Pekabaran injil itu juga harus dilakukan secara operasional dengan solidaritas kepada yang lemah dan kaum marginal (bnd. Mat. 25:34-40).
Konteks kepulauan, adalah suatu kenyataan fisiologis Provinsi Maluku. Dan secara sosiologik, masyarakat Maluku tinggal dalam Pulau-pulau besar, sedang, kecil dan terkecil. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa banyak daerah atau masyarakat di Maluku berada pada “kawasan tertinggal”.
Kenyataan ini memerlukan identifikasi yang jelas. Sebab dalam ketersebaran pada setiap pulau itu, ciri sosial dan budaya masyarakat saling berbeda, malahan kebutuhan (the needs) pun berbeda. Selain itu, setiap masyarakat pada setiap pulau itu terdiri dari sub-sub suku yang berbeda. Setiap sub suku memiliki corak budaya, alam pemikiran (worldview) dan carapandang (point of view) yang berbeda.
Selain itu, mengapa penting diidentifikasi, karena masyarakat pada setiap pulau mengalami pertumbuhan dan perubahan sosial yang berbeda. Ini terkait dengan akses pembangunan yang terkadang kurang menyentuh masyarakat di setiap pulau secara merata, selain faktor keterbatasan transportasi, informasi dan komunikasi.
Perubahan dalam sistem politik-pemerintahan, melalui pemekaran wilayah (Kabupaten dan Kecamatan), turut menjadi faktor yang menentukan kemajuan setiap daerah dan tingkat pertumbuhan masyarakat yang berbeda. Apalagi dalam konteks kepulauan, pemekaran wilayah selalu didasarkan pada pertimbangan pemerataan akses pembangunan dan kesejahteraan. Dengan demikian, jika muncul kawasan pertumbuhan dan pusat produksi baru, pertanyaan pokoknya adalah apakah kapasitas masyarakat telah siap untuk itu? Jangan sampai masyarakat justru menjadi korban karena kapasitasnya yang belum siap.
Melalui materi ini, kita akan berusaha untuk mendiskusikan konteks masyarakat dalam kawasan kepulauan (masyarakat pesisir) sambil melihat metode dan model PIKOM yang lebih relevan.
2. Masyarakat Kepulauan dalam Konteks Pulau-pulau Lease
Komposisi Pulau Saparua, Nusahulawano (Nusalaut), Pulau Haruku, atau yang secara sosiologik disebut Lease/Uliaser, adalah suatu fakta masyarakat kepulauan (Laut-Pulau) yang memiliki dinamika sosial tinggi dalam sejarah kemasyarakatan di Maluku.
Sebagai kota legenda, Saparua atau Lease, merupakan titik pusat perubahan peta ekonomi di Maluku. Memang bandar terbesar kala itu berada di Ternate dan Hitu, sebagai akibat dari ekspansi pedagang-pedagang Islam dan Portugis. Tetapi perebutan kekuasaan oleh Belanda dari Portugis memunculkan suatu pusat produksi baru di Nusantara, yaitu Uliaser/Lease. Berbagai catatan sejarah merekam sampai dengan munculnya Kerajaan Iha, yang bertarung rapat dengan kekuatan Portugis (di Porto), sampai pada ekspansinya ke Haruku, lantaran kekuatan Kerajaan Amaika dan Kerajaan Hatuhaha, yang turut bersaing dengan Ternate dan Portugis.
Memang cengkih menjadi primadona dari sejarah Uliaser (Lease) yang turut melegenda itu. Tetapi jika kita meneliti lebih mendalam, posisi Uliaser menjadi sangat penting karena posisinya yang mengontrol jalur Ambon/Hitu ke Banda, Seram, dan lalu lintas Ternate dan Malaka. Sehingga jauh lebih efektif mengirim armada Hongi dari Ternate ke Seram, ketimbang dari Hitu, yang sudah lebih dahulu masuk dikuasai pedagang-pedagang Islam dan Kerajaan Ternate. Saat itu, Ambon belum begitu penting, karena bandarnya sempit. Kemudian Ambon pun hanya dijadikan pusat administratif pemerintahan yang mengontrol seluruh Hindia Belanda/Regent van Ambon.
Saya tidak akan mengulas sejarah itu secara detail. Baiklah kita melihat komposisi kepulauan Lease itu sebagai suatu kenyataan sosial masyarakat kepulauan.
a. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pulau Ambon-Lease tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan (mis. di Pulau Seram). Hal itu dapat dilihat dalam sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll. Malahan dalam mentalitas kerja pun tampak corak monodualitas. Sesekali bekerja di laut (mencari ikan), sesekali di kebun, tergantung pada musim (Timur/Barat). Pada aspek ini kita punya cukup alasan mengapa orang pesisir pun tidak berubah dalam mentalitas kerjanya, karena rata-rata orang-orang pesisir itu adalah kaum migran dari pedalaman pulau Seram yang pada saat bermigrasi ke Ambon-Lease, memilih tinggal di punggung-punggung bukit, jauh dari musuh, dan kemudian di zaman Belanda, ‘ditarik’ turun ke pesisir.
Secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni, bahwa fakta sosial selalu dilihat dalam kaitan dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.
Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.
Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Di Ambon, Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu. Demikian pun Lease turut mengalami hal itu. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]
Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]
Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon-Lease. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.
b. Ranji Pesisir
Telaahan kita ke pulau Ambon-Lease atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.
Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.
Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon-Lease. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.
Ewang
Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---
Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---
Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir
Laut
Tanjung Batas meti Tanjung
Laut lepas
Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon-Lease, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon-Lease pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.
Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon-Lease. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.
Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.
Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.
Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.
Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon-Lease. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon-Lease pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon-Lease. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.
Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.
Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.
Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai misalnya di Waai, Galala, Tial, Seri, Haria, Tuhaha. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon-Lease.
Masyarakat pesisir kita bermatapencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon-Lease, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon-Lease. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.
c. Desain Pembangunan Kawasan Kepulauan di Provinsi Maluku
Bagian ini dimaksudkan untuk melihat konteks masyarakat kepulauan dalam desain pembangunan daerah Maluku. Sejalan dengan itu, perjuangan pengakuan Maluku sebagai Provinsi Kepulauan kiranya kita lihat sebagai suatu cara mengembangkan kapasitas masyarakat di setiap pulau (besar, sedang, kecil dan terkecil), terutama dalam akses pengembangan potensi spatial yang ada. Dalam kacamata PIKOM, pengembangan mana menantang kita mengenai bagaimana gereja mampu membentuk karakter dan mentalitas jemaat, agar Injil pun dimengerti dalam arti yang lebih terbuka (tidak sebatas dimensi verbalistik).
Di Maluku terdapat 972 buah pulau dengan panjang garis pantai 10.552 Km, tersebar pada wilayah seluas 712.479 Km2. Wilayah daratannya seluas 7,6 % sedangkan wilayah laut 92,4 %. Ini adalah bukti bahwa Provinsi Maluku memiliki corak kepulauan yang tinggi.
Karena itu pembangunan di Maluku disusun dalam suatu Model Makro yang meliputi pengembangan di berbagai bidang pembangunan dengan berdasar pada empat pendekatan utama yaitu Pendekatan Bertahap, Komprehensif dan Terintegrasi, Pendekatan Kewilayahan, Pendekatan Komoditas Unggulan Spasial, dan Pendekatan Kultural yang memperhitungkan kearifan budaya lokal.
Model Makro pembangunan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan berbagai Model Mikro pembangunan di bidang ekonomi dan infrastruktur.
Di bidang ekonomi, sementara dikembangkan berbagai klaster-klaster prioritas baik di wilayah laut maupun darat. Pengembangan klaster prioritas yang dilakukan di wilayah laut misalnya adalah pengembangan klaster tuna, klaster rumput laut, klaster mutiara, ataupun kluster wisata bahari. Sedangkan contoh klaster prioritas yang sementara dikembangkan di wilayah darat adalah klaster pala, klaster cengkeh ataupun klaster minyak kayu putih.
Di bidang infrastruktur, sementara dikembangkan berbagai sarana dan prasarana ke-PU-an seperti jalan, jembatan, bendungan dan air bersih. Sementara dikembangkan pula sarana-prasarana Perhubungan yang dapat meningkatkan transportasi antarpulau di Seluruh Provinsi Maluku. Pembangunan prasarana pekerjaan umum dan perhubungan terutama akan diprioritaskan pada pembangunan Trans Maluku dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan membuka keterisolasian pada wilayah-wilayah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara, serta meningkatkan hubungan perdagangan antar daerah dalam provinsi Maluku maupun dengan daerah lainnya di Indonesia.
Pembangunan berbagai Prasarana dan Sarana energi juga dilakukan dengan melakukan pengembangan energi listrik dan berbagai energi alternatif lainnya seperti energi angin, air, sinar matahari maupun energi panas bumi.
Pengembangan infrastruktur komunikasi melalui pengembangan Pusat Komunikasi Daerah (Puskomda) diharapkan dapat meningkatkan arus informasi mulai dari Kota Ambon sampai dengan daerah-daerah yang relatif masih terpencil.
Di Bidang Sumberdaya Manusia, akan diprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis terutama kepada penduduk miskin serta di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara. Khususnya di Bidang pendidikan dengan program pendidikan wajib belajar 12 tahun (SD – SMA).
3. Identifikasi Masalah Sosial Masyarakat Kepulauan Lease
Dari paparan tadi, kita dituntut untuk melakukan identifikasi sosial masyarakat kepualauan Lease, dengan tujuan untuk melihat bagaimana model PIKOM yang relevan.
Beberapa hal sebagai instrumen untuk mengidentifikasi masyarakat kepulauan di Lease, adalah:
- Kondisi Kewilayahan. Jemaat-jemaat GPM dalam kawasan kepulauan di Lease menempati pulau-pulau kecil (Saparua, Haruku dan Nusalaut). Di dalam ruang sosial ini, daya dukung wilayah (carrying capacity) menjadi masalah tersendiri. Karena hampir sulit ditemukan ada peremajaan negeri. Orang-orang Ambon-Lease, terutama keluarga-keluarga baru, masih cenderung tinggal bersama dengan dan serumah dengan orang tua (patrilokal), atau tinggal berdekatan dengan kerabat suami/istri (untolokal). Karena itu, negeri-negeri di Ambon-Lease dari waktu ke waktu tidak mengalami perluasan teritori. Kepadatan rumah dan penduduk sudah menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri di beberapa negeri di Ambon-Lease.
Corak sosial lain yang tidak kalah pentingnya ialah, pola membangun permukiman atau rumah di areal dusun, yang dekat dengan permukiman warga (blakang negeri), atau terus ke perbatasan dengan negeri lain. Hal ini adalah suatu bentuk perluasan teritori yang positif. Tetapi karena faktor feodal, kadang menjadi titik picu pertikaian dengan negeri tetangga, masalah batas tanah.
- Solidaritas Sosial. Orang-orang di kawasan kepulauan, pesisir dan pegunungan, memiliki solidaritas sosial yang bervariasi. Orang-orang di kawasan pegunungan cenderung memiliki solidaritas yang rapat, karena pola berkelompok lebih kental di sana. Keputusan-keputusan penting bagi hidup perlu diambil secara bersama-sama dalam kelompok, karena kebiasaan bekerja yang juga berkelompok dan memerlukan keserasian, seperti ‘berburu’. Persekutuan sosialnya melibatkan keluarga luas, seperti tampak dalam badati, masohi, dll. Sebaliknya orang-orang di pesisir cenderung mengambil keputusan sendiri, sebagai akibat dari corak kerja di laut. Mereka jarang sekali berkelompok, atau kelompoknya sangat terbatas, karena persekutuan sosialnya melibatkan keluarga batih. Makanya, orang bekerja untuk kepentingan keluarga saja.
Tetapi di Maluku (Ambon-Lease), dua corak solidaritas itu ada pada semua kelompok masyarakat secara bersamaan. Sehingga model solidaritas sosialnya sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan atau aktifitas sosial yang hendak dikerjakan (apakah di darat/dusun atau lautan).
- Mobilitas Sosial. Orang-orang Lease adalah kelompok sosial dengan tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi, lebih dari orang-orang Ambon dan Seram, atau juga sebanding dengan orang-orang di Maluku Tenggara. Mobilitas sosial yang tinggi itu memperlihatkan bahwa kultur dan cara berpikir mereka dibentuk oleh kemauan ‘panggayo arumbae ka Ambon’. Dengan posisi Ambon sebagai sentrum ekonomi, administrasi, pendidikan, maka daya juang orang-orang Lease untuk mengatasi tantangan laut semata-mata untuk sampai ke Ambon itu sangat tinggi. Ini berdampak pada daya juang dan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek.
Karena itu, tidak heran jika ternyata di Ambon, orang-orang Lease yang menempati posisi-posisi penting di berbagai lini kehidupan sosial. Tetapi di sisi lain, hal itu berdampak pada terbatasnya kapasitas sumber daya umat/manusia di Lease sendiri. Akibatnya, harus diakui dengan jujur bahwa Lease, dengan pasokan sumber daya yang berlimpah itu, jauh tertinggal dari kawasan lain di Maluku; termasuk dari Kota Masohi yang baru berdiri pada zaman Kemerdekaan RI.
- Kultur Berusaha. Dalam kaitan dengan mobilitas yang tinggi itu, kultur berusaha orang Lease tergolong sangat tinggi. Dalam hal ini, budaya papalele, sebenarnya adalah budaya orang Lease, yang lambat laun diserap oleh orang-orang Ambon gunung, karena ekspansi pasar orang Lease ke Ambon. Sebab, ternyata papalele adalah suatu jenis usaha/kerja yang ditekuni oleh keluarga-keluarga tertentu dengan tujuan untuk mencukupi biaya pendidikan anak-anak yang bersekolah di Ambon.
Dari sisi produk, papalele dahulu lebih banyak menjual produk-produk lokal, seperti sagu mantah, buah-buahan (jenis buah-buahan ini mungkin dari Ambon gunung sebagai hasil serapan budaya papalele itu sendiri). Dalam sejarah perdagangan lokal (hal ini belum diteliti secara mendalam), orang-orang Ouw, Ulath, memiliki arumbae yang setiap waktu digunakan untuk mengangkut sagu ke pasar Ambon (ini juga yang kemudian membuat orang Ambon mengenal Sempe dan Porna Sagu lempeng). Kebiasaan ‘panggayo’ arumbae/belang, untuk kepentingan dagang, juga ditekuni oleh orang-orang Haria dan Porto (entah mengangkut produk apa? Perlu diteliti).
- Organisasi sosial. Hal ini akan lebih disoroti dalam Bagian kedua materi saya. Tetapi sebagai suatu kenyataan sosial, organisasi-organisasi sosial di Lease juga menjadi sesuatu yang bermakna penting dalam pemetaan sosial masyarakat kepulauan. Yang dimaksud di sini adalah organisasi-organisasi sosial dalam setiap negeri. Ada tipikal yang menarik. Orang Saparua tersusun dalam suatu perhimpunan berdasarkan kawasan dalam hal ini Jazirah Tenggara dan Hatawano. Pengelompokkan ini menunjuk pada corak kultur yang mirip/sama. Tipikal lain yang unik lagi yaitu persekutuan orang-orang di Nusalaut dalam ideologi Pusa Pulu. Ada ideologi pemersatu yang dibangun dari paham kepercayaan lokal setempat. Demikian pun orang-orang di Haruku, dengan struktur sosial Hatuhaha-Amarima, dan Uli Hatuhaha it sendiri.
- Kondisi Perekonomian. Mungkin tidak negeri/desa miskin di Lease. Tetapi perekonomian daerah di Lease perlu digerakkan dengan menumbuhkan kawasan pertumbuhan baru. Mari kita melihat, apakah produksi sempe tidak bisa berkembang lebih maju, dan bersaing dengan tembikar dan porselin? Apakah sagu tumbuh, bagea, gula tare, akan tetap menjadi produk-produk lokal yang kalah dalam pasar ekspor? Di Ambon, bagea Ternate lebih bernilai jual di pasar ekspor. Produk-produk lokal ini sudah saatnya dikembangkan dalam segala aspek.
Di sisi lain, potensi perikanan dan kelautan di Lease perlu pula dikembangkan untuk mendatangkan kesejahteraan dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Kawasan pertumbuhan baru perlu dimunculkan dari sini, dan itu terkait dengan penataan infrastruktur pembangunan/perekonomian daerah. Apakah gereja tidak bisa mendorong percepatan pembangunan itu? Tentu bisa.
5. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didisuksikan dalam rangka membangun suatu pola PIKOM yang mendorong proses “MENJADI GEREJA YANG MEMANUSIAKAN”.
Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008
[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Pengantar
Materi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi konteks sosial masyarakat pesisir untuk memahami bagaimana pendekatan Pekabaran Injil & Komunikasi (PIKOM) yang relevan. Sebab injil mesti ‘masuk’ ke dalam hidup masyarakat (manusia), dan beroperasi di dalam konteks hidup masyarakat (bnd. Yoh.1:1,14), sambil membangun pembebasan kepada yang terpenjara/terbelenggu, keadilan, kebenaran, kesejahteraan, penglihatan kepada yang buta, dll (bnd. Luk. 4:18,19). Pekabaran injil itu juga harus dilakukan secara operasional dengan solidaritas kepada yang lemah dan kaum marginal (bnd. Mat. 25:34-40).
Konteks kepulauan, adalah suatu kenyataan fisiologis Provinsi Maluku. Dan secara sosiologik, masyarakat Maluku tinggal dalam Pulau-pulau besar, sedang, kecil dan terkecil. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa banyak daerah atau masyarakat di Maluku berada pada “kawasan tertinggal”.
Kenyataan ini memerlukan identifikasi yang jelas. Sebab dalam ketersebaran pada setiap pulau itu, ciri sosial dan budaya masyarakat saling berbeda, malahan kebutuhan (the needs) pun berbeda. Selain itu, setiap masyarakat pada setiap pulau itu terdiri dari sub-sub suku yang berbeda. Setiap sub suku memiliki corak budaya, alam pemikiran (worldview) dan carapandang (point of view) yang berbeda.
Selain itu, mengapa penting diidentifikasi, karena masyarakat pada setiap pulau mengalami pertumbuhan dan perubahan sosial yang berbeda. Ini terkait dengan akses pembangunan yang terkadang kurang menyentuh masyarakat di setiap pulau secara merata, selain faktor keterbatasan transportasi, informasi dan komunikasi.
Perubahan dalam sistem politik-pemerintahan, melalui pemekaran wilayah (Kabupaten dan Kecamatan), turut menjadi faktor yang menentukan kemajuan setiap daerah dan tingkat pertumbuhan masyarakat yang berbeda. Apalagi dalam konteks kepulauan, pemekaran wilayah selalu didasarkan pada pertimbangan pemerataan akses pembangunan dan kesejahteraan. Dengan demikian, jika muncul kawasan pertumbuhan dan pusat produksi baru, pertanyaan pokoknya adalah apakah kapasitas masyarakat telah siap untuk itu? Jangan sampai masyarakat justru menjadi korban karena kapasitasnya yang belum siap.
Melalui materi ini, kita akan berusaha untuk mendiskusikan konteks masyarakat dalam kawasan kepulauan (masyarakat pesisir) sambil melihat metode dan model PIKOM yang lebih relevan.
2. Masyarakat Kepulauan dalam Konteks Pulau-pulau Lease
Komposisi Pulau Saparua, Nusahulawano (Nusalaut), Pulau Haruku, atau yang secara sosiologik disebut Lease/Uliaser, adalah suatu fakta masyarakat kepulauan (Laut-Pulau) yang memiliki dinamika sosial tinggi dalam sejarah kemasyarakatan di Maluku.
Sebagai kota legenda, Saparua atau Lease, merupakan titik pusat perubahan peta ekonomi di Maluku. Memang bandar terbesar kala itu berada di Ternate dan Hitu, sebagai akibat dari ekspansi pedagang-pedagang Islam dan Portugis. Tetapi perebutan kekuasaan oleh Belanda dari Portugis memunculkan suatu pusat produksi baru di Nusantara, yaitu Uliaser/Lease. Berbagai catatan sejarah merekam sampai dengan munculnya Kerajaan Iha, yang bertarung rapat dengan kekuatan Portugis (di Porto), sampai pada ekspansinya ke Haruku, lantaran kekuatan Kerajaan Amaika dan Kerajaan Hatuhaha, yang turut bersaing dengan Ternate dan Portugis.
Memang cengkih menjadi primadona dari sejarah Uliaser (Lease) yang turut melegenda itu. Tetapi jika kita meneliti lebih mendalam, posisi Uliaser menjadi sangat penting karena posisinya yang mengontrol jalur Ambon/Hitu ke Banda, Seram, dan lalu lintas Ternate dan Malaka. Sehingga jauh lebih efektif mengirim armada Hongi dari Ternate ke Seram, ketimbang dari Hitu, yang sudah lebih dahulu masuk dikuasai pedagang-pedagang Islam dan Kerajaan Ternate. Saat itu, Ambon belum begitu penting, karena bandarnya sempit. Kemudian Ambon pun hanya dijadikan pusat administratif pemerintahan yang mengontrol seluruh Hindia Belanda/Regent van Ambon.
Saya tidak akan mengulas sejarah itu secara detail. Baiklah kita melihat komposisi kepulauan Lease itu sebagai suatu kenyataan sosial masyarakat kepulauan.
a. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pulau Ambon-Lease tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan (mis. di Pulau Seram). Hal itu dapat dilihat dalam sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll. Malahan dalam mentalitas kerja pun tampak corak monodualitas. Sesekali bekerja di laut (mencari ikan), sesekali di kebun, tergantung pada musim (Timur/Barat). Pada aspek ini kita punya cukup alasan mengapa orang pesisir pun tidak berubah dalam mentalitas kerjanya, karena rata-rata orang-orang pesisir itu adalah kaum migran dari pedalaman pulau Seram yang pada saat bermigrasi ke Ambon-Lease, memilih tinggal di punggung-punggung bukit, jauh dari musuh, dan kemudian di zaman Belanda, ‘ditarik’ turun ke pesisir.
Secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni, bahwa fakta sosial selalu dilihat dalam kaitan dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.
Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.
Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Di Ambon, Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu. Demikian pun Lease turut mengalami hal itu. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]
Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]
Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon-Lease. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.
b. Ranji Pesisir
Telaahan kita ke pulau Ambon-Lease atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.
Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.
Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon-Lease. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.
Ewang
Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---
Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---
Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir
Laut
Tanjung Batas meti Tanjung
Laut lepas
Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon-Lease, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon-Lease pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.
Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon-Lease. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.
Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.
Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.
Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.
Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon-Lease. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon-Lease pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon-Lease. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.
Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.
Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.
Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai misalnya di Waai, Galala, Tial, Seri, Haria, Tuhaha. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon-Lease.
Masyarakat pesisir kita bermatapencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon-Lease, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon-Lease. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.
c. Desain Pembangunan Kawasan Kepulauan di Provinsi Maluku
Bagian ini dimaksudkan untuk melihat konteks masyarakat kepulauan dalam desain pembangunan daerah Maluku. Sejalan dengan itu, perjuangan pengakuan Maluku sebagai Provinsi Kepulauan kiranya kita lihat sebagai suatu cara mengembangkan kapasitas masyarakat di setiap pulau (besar, sedang, kecil dan terkecil), terutama dalam akses pengembangan potensi spatial yang ada. Dalam kacamata PIKOM, pengembangan mana menantang kita mengenai bagaimana gereja mampu membentuk karakter dan mentalitas jemaat, agar Injil pun dimengerti dalam arti yang lebih terbuka (tidak sebatas dimensi verbalistik).
Di Maluku terdapat 972 buah pulau dengan panjang garis pantai 10.552 Km, tersebar pada wilayah seluas 712.479 Km2. Wilayah daratannya seluas 7,6 % sedangkan wilayah laut 92,4 %. Ini adalah bukti bahwa Provinsi Maluku memiliki corak kepulauan yang tinggi.
Karena itu pembangunan di Maluku disusun dalam suatu Model Makro yang meliputi pengembangan di berbagai bidang pembangunan dengan berdasar pada empat pendekatan utama yaitu Pendekatan Bertahap, Komprehensif dan Terintegrasi, Pendekatan Kewilayahan, Pendekatan Komoditas Unggulan Spasial, dan Pendekatan Kultural yang memperhitungkan kearifan budaya lokal.
Model Makro pembangunan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan berbagai Model Mikro pembangunan di bidang ekonomi dan infrastruktur.
Di bidang ekonomi, sementara dikembangkan berbagai klaster-klaster prioritas baik di wilayah laut maupun darat. Pengembangan klaster prioritas yang dilakukan di wilayah laut misalnya adalah pengembangan klaster tuna, klaster rumput laut, klaster mutiara, ataupun kluster wisata bahari. Sedangkan contoh klaster prioritas yang sementara dikembangkan di wilayah darat adalah klaster pala, klaster cengkeh ataupun klaster minyak kayu putih.
Di bidang infrastruktur, sementara dikembangkan berbagai sarana dan prasarana ke-PU-an seperti jalan, jembatan, bendungan dan air bersih. Sementara dikembangkan pula sarana-prasarana Perhubungan yang dapat meningkatkan transportasi antarpulau di Seluruh Provinsi Maluku. Pembangunan prasarana pekerjaan umum dan perhubungan terutama akan diprioritaskan pada pembangunan Trans Maluku dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan membuka keterisolasian pada wilayah-wilayah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara, serta meningkatkan hubungan perdagangan antar daerah dalam provinsi Maluku maupun dengan daerah lainnya di Indonesia.
Pembangunan berbagai Prasarana dan Sarana energi juga dilakukan dengan melakukan pengembangan energi listrik dan berbagai energi alternatif lainnya seperti energi angin, air, sinar matahari maupun energi panas bumi.
Pengembangan infrastruktur komunikasi melalui pengembangan Pusat Komunikasi Daerah (Puskomda) diharapkan dapat meningkatkan arus informasi mulai dari Kota Ambon sampai dengan daerah-daerah yang relatif masih terpencil.
Di Bidang Sumberdaya Manusia, akan diprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis terutama kepada penduduk miskin serta di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan Negara. Khususnya di Bidang pendidikan dengan program pendidikan wajib belajar 12 tahun (SD – SMA).
3. Identifikasi Masalah Sosial Masyarakat Kepulauan Lease
Dari paparan tadi, kita dituntut untuk melakukan identifikasi sosial masyarakat kepualauan Lease, dengan tujuan untuk melihat bagaimana model PIKOM yang relevan.
Beberapa hal sebagai instrumen untuk mengidentifikasi masyarakat kepulauan di Lease, adalah:
- Kondisi Kewilayahan. Jemaat-jemaat GPM dalam kawasan kepulauan di Lease menempati pulau-pulau kecil (Saparua, Haruku dan Nusalaut). Di dalam ruang sosial ini, daya dukung wilayah (carrying capacity) menjadi masalah tersendiri. Karena hampir sulit ditemukan ada peremajaan negeri. Orang-orang Ambon-Lease, terutama keluarga-keluarga baru, masih cenderung tinggal bersama dengan dan serumah dengan orang tua (patrilokal), atau tinggal berdekatan dengan kerabat suami/istri (untolokal). Karena itu, negeri-negeri di Ambon-Lease dari waktu ke waktu tidak mengalami perluasan teritori. Kepadatan rumah dan penduduk sudah menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri di beberapa negeri di Ambon-Lease.
Corak sosial lain yang tidak kalah pentingnya ialah, pola membangun permukiman atau rumah di areal dusun, yang dekat dengan permukiman warga (blakang negeri), atau terus ke perbatasan dengan negeri lain. Hal ini adalah suatu bentuk perluasan teritori yang positif. Tetapi karena faktor feodal, kadang menjadi titik picu pertikaian dengan negeri tetangga, masalah batas tanah.
- Solidaritas Sosial. Orang-orang di kawasan kepulauan, pesisir dan pegunungan, memiliki solidaritas sosial yang bervariasi. Orang-orang di kawasan pegunungan cenderung memiliki solidaritas yang rapat, karena pola berkelompok lebih kental di sana. Keputusan-keputusan penting bagi hidup perlu diambil secara bersama-sama dalam kelompok, karena kebiasaan bekerja yang juga berkelompok dan memerlukan keserasian, seperti ‘berburu’. Persekutuan sosialnya melibatkan keluarga luas, seperti tampak dalam badati, masohi, dll. Sebaliknya orang-orang di pesisir cenderung mengambil keputusan sendiri, sebagai akibat dari corak kerja di laut. Mereka jarang sekali berkelompok, atau kelompoknya sangat terbatas, karena persekutuan sosialnya melibatkan keluarga batih. Makanya, orang bekerja untuk kepentingan keluarga saja.
Tetapi di Maluku (Ambon-Lease), dua corak solidaritas itu ada pada semua kelompok masyarakat secara bersamaan. Sehingga model solidaritas sosialnya sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan atau aktifitas sosial yang hendak dikerjakan (apakah di darat/dusun atau lautan).
- Mobilitas Sosial. Orang-orang Lease adalah kelompok sosial dengan tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi, lebih dari orang-orang Ambon dan Seram, atau juga sebanding dengan orang-orang di Maluku Tenggara. Mobilitas sosial yang tinggi itu memperlihatkan bahwa kultur dan cara berpikir mereka dibentuk oleh kemauan ‘panggayo arumbae ka Ambon’. Dengan posisi Ambon sebagai sentrum ekonomi, administrasi, pendidikan, maka daya juang orang-orang Lease untuk mengatasi tantangan laut semata-mata untuk sampai ke Ambon itu sangat tinggi. Ini berdampak pada daya juang dan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek.
Karena itu, tidak heran jika ternyata di Ambon, orang-orang Lease yang menempati posisi-posisi penting di berbagai lini kehidupan sosial. Tetapi di sisi lain, hal itu berdampak pada terbatasnya kapasitas sumber daya umat/manusia di Lease sendiri. Akibatnya, harus diakui dengan jujur bahwa Lease, dengan pasokan sumber daya yang berlimpah itu, jauh tertinggal dari kawasan lain di Maluku; termasuk dari Kota Masohi yang baru berdiri pada zaman Kemerdekaan RI.
- Kultur Berusaha. Dalam kaitan dengan mobilitas yang tinggi itu, kultur berusaha orang Lease tergolong sangat tinggi. Dalam hal ini, budaya papalele, sebenarnya adalah budaya orang Lease, yang lambat laun diserap oleh orang-orang Ambon gunung, karena ekspansi pasar orang Lease ke Ambon. Sebab, ternyata papalele adalah suatu jenis usaha/kerja yang ditekuni oleh keluarga-keluarga tertentu dengan tujuan untuk mencukupi biaya pendidikan anak-anak yang bersekolah di Ambon.
Dari sisi produk, papalele dahulu lebih banyak menjual produk-produk lokal, seperti sagu mantah, buah-buahan (jenis buah-buahan ini mungkin dari Ambon gunung sebagai hasil serapan budaya papalele itu sendiri). Dalam sejarah perdagangan lokal (hal ini belum diteliti secara mendalam), orang-orang Ouw, Ulath, memiliki arumbae yang setiap waktu digunakan untuk mengangkut sagu ke pasar Ambon (ini juga yang kemudian membuat orang Ambon mengenal Sempe dan Porna Sagu lempeng). Kebiasaan ‘panggayo’ arumbae/belang, untuk kepentingan dagang, juga ditekuni oleh orang-orang Haria dan Porto (entah mengangkut produk apa? Perlu diteliti).
- Organisasi sosial. Hal ini akan lebih disoroti dalam Bagian kedua materi saya. Tetapi sebagai suatu kenyataan sosial, organisasi-organisasi sosial di Lease juga menjadi sesuatu yang bermakna penting dalam pemetaan sosial masyarakat kepulauan. Yang dimaksud di sini adalah organisasi-organisasi sosial dalam setiap negeri. Ada tipikal yang menarik. Orang Saparua tersusun dalam suatu perhimpunan berdasarkan kawasan dalam hal ini Jazirah Tenggara dan Hatawano. Pengelompokkan ini menunjuk pada corak kultur yang mirip/sama. Tipikal lain yang unik lagi yaitu persekutuan orang-orang di Nusalaut dalam ideologi Pusa Pulu. Ada ideologi pemersatu yang dibangun dari paham kepercayaan lokal setempat. Demikian pun orang-orang di Haruku, dengan struktur sosial Hatuhaha-Amarima, dan Uli Hatuhaha it sendiri.
- Kondisi Perekonomian. Mungkin tidak negeri/desa miskin di Lease. Tetapi perekonomian daerah di Lease perlu digerakkan dengan menumbuhkan kawasan pertumbuhan baru. Mari kita melihat, apakah produksi sempe tidak bisa berkembang lebih maju, dan bersaing dengan tembikar dan porselin? Apakah sagu tumbuh, bagea, gula tare, akan tetap menjadi produk-produk lokal yang kalah dalam pasar ekspor? Di Ambon, bagea Ternate lebih bernilai jual di pasar ekspor. Produk-produk lokal ini sudah saatnya dikembangkan dalam segala aspek.
Di sisi lain, potensi perikanan dan kelautan di Lease perlu pula dikembangkan untuk mendatangkan kesejahteraan dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Kawasan pertumbuhan baru perlu dimunculkan dari sini, dan itu terkait dengan penataan infrastruktur pembangunan/perekonomian daerah. Apakah gereja tidak bisa mendorong percepatan pembangunan itu? Tentu bisa.
5. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didisuksikan dalam rangka membangun suatu pola PIKOM yang mendorong proses “MENJADI GEREJA YANG MEMANUSIAKAN”.
Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008
[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...