Pedoman Sederhana Tafsir Alkitab[1]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Catatan Awal
Saya sengaja memilih Mazmur 1:1-6. Setelah dibaca, rupanya ada satu hal yang bisa dibagi secara bersama dalam rangka melakukan tafsir terhadap teks-teks Alkitab itu sendiri. Saya tidak melihat bagaimana pentingnya membahas ‘orang benar’ dan ‘orang fasik’, tetapi mencoba menafsir sehingga kita bisa melakukannya terhadap teks-teks lain pula.
Yang akan kita diskusikan bersama adalah menafsir teks dengan memperhatikan gaya penulisan, atau majas yang digunakan di dalamnya. Kitab Mazmur dan himpunan Sastra Hikmat lainnya (Amzal, Pengkhotbah, Tawarik, Ayub, Kidung Agung), banyak menggunakan gaya paralelisme, atau perbandingan setingkat dengan model pengembangan kasus di dalam mengemas tulisan mereka. Ini adalah salah satu gaya bahasa yang umum terdapat di dalam teks-teks sastra hikmat itu.
Jika kita perhatikan dari sisi gaya penulisan itu, maka yang penting juga adalah isu yang tergambar melalui kata-kata atau frasa yang digunakan, serta kekuatan simbol yang dirangkaikan di dalam kata-kata atau frasa tertentu. Tetapi adakalanya penulis pun menggunakan kata-kata dasar yang bermakna langsung (denotatif), sehingga tidak perlu ditafsir lagi.
2. Yang Penting diperhatikan
Jika kita berhadapan dengan teks-teks yang ditulis dengan gaya paralelisme itu, beberapa hal yang penting diperhatikan antara lain:
- Subyek yang ditonjolkan, atau tokoh cerita. Subyek biasanya disebut menurut namanya, tetapi juga melalui suatu sebutan umum (general actor). Dalam sastra hikmat, general actor yang paling sering tampil adalah ‘orang benar’ dan ‘orang fasik’, atau ‘orang bijaksana dan orang bodoh’.
Yang menarik ialah sastra hikmat, termasuk Mazmur langsung memberi ciri kepada subyek itu melalui seperangkat perilaku atau tindakannya.
Perhatikan Mzm.1:1a – ‘berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik...’ Perbandingan langsung di sini ialah tentang orang benar dan orang fasik. Penulis mendahuluinya dengan ucapan ‘berbahagialah’. Dalam gaya bahasa ini, setiap kata yang diberi partikel ‘...lah’ adalah kata-kata yang bermakna penuh, artinya mengandung kondisi ideal yang dimiliki atau harus dituruti seseorang (mis. Berbahagialah, dengarlah, lakukanlah.... bnd. Permohonan misalnya dengan kata ‘biarlah’, bangkitlah...’ Mzm.3,5) atau harus dijauhi seseorang (mis. Janganlah...).
Perbandingan langsung antara orang benar dan orang fasik dalam ay 1a ini menunjuk ada kualitas yang berbeda di antara keduanya. Kualitas yang berbeda itu kemudian dilukiskan penulis dengan gaya paralelisme bertingkat, yang menunjuk pada adanya norma, bahwa orang benar itu:
Tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
Tidak berdiri di jalan orang berdosa
Tidak duduk dalam kumpulan pencemooh
Perhatikan kata-kata bergaris bawah di atas. Hal tidak berjalan kemudian dilanjutkan dengan konsistensi untuk tidak berdiri, lalu dipertegas lagi dengan kata tidak duduk. Artinya ada konsistensi dari orang benar itu untuk benar-benar tidak menuruti nasihat orang fasik tadi. Orang fasik kemudian dikategorikan sebagai orang berdosa, dan kumpulan pencemooh. Kebiasaan mencemooh adalah salah satu ciri orang fasik, dan itu sama dengan orang berdosa.
Kata kerja berjalan, berdiri, duduk di atas adalah gambaran bahwa konsistensi sikap dan perilaku sang tokoh itu penting, dan perbedaannya sangat mencolok dengan orang fasik. Ini adalah suatu kualitas etik dan sosial. Artinya, karena perilakunya baik, ia pun tidak terseret ke dalam pergaulan yang salah.
Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam menafsir sastra hikmat adalah bentuk negasi, atau kondisi berlawanan yang dialami sang tokoh tadi. Karena ditulis dalam nuansa ‘berkat dan kutuk’ maka bentuk negasi itu adalah simbolisasi dari berkat kepada orang benar dan kutuk kepada orang fasik.
Perhatikan ay 2 – tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Kata tetapi (‘lo) di dalam naskah sastra hikmat adalah penegasan mengenai perbedaan kualitas orang benar dan orang fasik tadi. Perbedaan kualitas itu juga tampak dalam perilaku mereka.
Dan juga ay.4 – bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Kata bukan di sini adalah bentuk negatif, berbeda kualitasnya dari kata yang mengikuti kata tetapi pada ayat 2 di atas.
Taurat adalah norma standar dalam kehidupan orang Yahudi. Orang benar digambarkan sebagai yang mencintai Taurat. Dalam nuansa teologi berkat dan kutuk tadi, maka menuruti Taurat akan berdampak pada berkat (bnd. Ul.28:1-14), jauh dari Taurat berdampak pada kutuk (Ul.27:11-26; 28:15-46). Nah, dalam sastra hikmat, kualitas orang benar dan orang fasik diukur dari standar Taurat. Karena itu gambaran dalam ay.1 adalah materi hukum atau pedoman etika yang terdapat di dalam Taurat.
Selanjutnya ay.3 dan 5 adalah pahala yang diterima orang benar dan orang fasik. Hal ini adalah suatu ciri hukum dalam sastra hikmat. Sebab sastra hikmat itu cukup normatif, dalam arti jika hukum mengatakan begini, seseorang yang benar/baik akan menurutinya, dan orang yang jahat/fasik akan melangkahinya.
Perhatikan pula gaya paralelisme di dalam ay.3 – ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buah pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya, apa saja yang dibuatnya berhasil. Orang benar dilukiskan dalam simbol pohon (personifikasi). Berkat yang datang padanya itu berlipat ganda. Simbolisasi itu muncul dalam frasa: ditanam di tepi aliran air, lalu karena itu menghasilkan buah pada musimnya, dan karena itu tidak layu daunnya, sehingga apa saya yang dibuatnya berhasil.
Bandingkan perbedaannya yang tajam dengan ay.5, pahala kepada orang fasik – sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam kumpulan orang benar. Ini adalah suatu bentuk pahala yang memposisikan orang fasik sebagai yang memiliki kualitas berbeda dari orang benar tadi.
Yang terakhir, setiap bentuk negasi itu didasarkan pada satu prinsip teologis atau norma standar di dalam sastra hikmat. TUHAN adalah penentu norma standar itu. Ay.6 – sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik mennuju kebinasaan. Ayat ini adalah penjelasan terhadap ay.1, dan semata-mata menunjukkan bahwa jalan orang benar adalah jalan TUHAN, dan jalan orang fasik jauh dari jalan TUHAN. Jalan TUHAN itu menuju kehidupan (dengan sejumlah kualitas tadi), sedangkan jalan orang fasik menuju kebinasaan (kematian/tiada harapan).
Ini beberapa prinsip dalam menafsir sastra hikmat dengan memperhatikan gaya paralelisme di dalamnya. Sekian dulu sebagai bahan diskusi awal.
Tuhan memberkati!
[1] Dibawakan dalam Ibadah Keluarga Majelis Jemaat GPM Rumahtiga, 18 Agustus 2008, di Kel. Ibu Lien Tuhumena, Lemba Agro, Passo. Materi untuk kalangan terbatas
Saturday, September 13, 2008
Friday, September 12, 2008
SANIRI NEGERI DAN PERKUATAN KENDALI SIPIL
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Institusi sosial ialah suatu bentuk ekspetasi dari tindakan individu-individu dan kelompok yang berlangsung melalui sanksi-sanksi sosial, baik positif maupun negatif. Institusi merupakan bentuk normatif dan diselenggarakan melalui hukum-hukum dan kebiasaan. Term tersebut mengarah pada bentuk konkrti dalam sebuah organisasi. Bellah membedakan antara institusi dan organisasi sosial, dengan melihat pada korelasi antara institusi dan organisasi, sebab jika hanya berpikir mengenai organisasi dan tidak melihat pada institusi, artinya kita cenderung menyederhanakan masalah yang sesungguhnya (Bellah, 1993:10-11; Scott, 1995:33). Inti dari institusi adalah kerjasama (coorporation) dan tanggung jawab (responsibility).
Dalam masyarakat yang kompleks, institusi sosial merupakan mekanisme sosial yang disusun untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemerintahan sebagai bagian dari pola institusonalisasi meruakan suatu sistem kontrol yang berada di atas semua segmen sekuler kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan sudah dimulaidari zaman nenek moyang, walaupun dengan jabaran tugas, fungsi dan pembagian yang sederhana.
Jauh pada masa leluhur di Maluku (di pulau Seram) terdapat dua suku yakni Alune dan Wemale. Dalam suku-suku itu hidup kelompok-kelompok kecil masyarakat, atau keluarga yang membentuk satu persekutuan mata rumah. Kelompok mata rumah terdiri dari beberapa keluarga yang berasal dari satu leluhur. Mata rumah-mata rumah itu kemudian membentuk satu unit sosial yang disebut soa.
Tiap-tiap soa dipimpin oleh seorang upu, dan menempati bagian wilayah di dalam Aman atau Hena. Masing-masing soa membagi wilayahnya, di mana batas antarsoa ditandai dengan batu teung. Di dalam masyarakat tipe ini belum ada pembagian wewenang yang tegas.
Aman dipimpin oleh seorang Upu. Karena awalnya upu adalah juga pemimpin soa, maka upu yang memimpin aman biasa disebut Amanupui, atau di tempat lain disebut Latu-Nusa. Dalam aman pola pengorganisasian sosial mulai berkembang. Cooley menulis bahwa “upu bertanggung jawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan peperangan ia dibantu oleh seorang malessi. Sedangkan urusan agama dan “dunia seberang” diselenggarakan oleh mauweng dan pembantunya malimu atau maitale (Cooley, 1987:222).
Pola pembagian tugas dan peran sosial seperti itu menunjuk bahwa belum ada perbedaan yang mencolok dalam pola pengorganisasian masyarakat. Peran-peran masih bersifat sederhana, meliputi segmen-segmen sosial yang terbatas, berkaitan dengan bagaimana hidup di alam dan bagaimana hubungan masyarakat dengan dunia seberang. Bobot peran dipegang tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat, karena kharisma dan legitimasi tradisional (misalnya raja oleh mata rumah yang telah dikhususkan).
Lambat laun soa menjadi besar. Muncul usaha untuk memperluas teritori baik secara spontan maupun “agresi sosial”. Peperangan atarsuku Wemale dan Alune misalnya dalam sejarah migrasi orang-orang Wemale di Honitetu dengan Alune di Rumberu, memperlihatkan bahwa konflik menjadi bagian dari upaya pembentukan teritori baru. Pertambahan anggora soa dan/atau konflik mendorong ekspansi sosial untuk memperluas dan/atau mencari teritori baru ke luar pulau Seram. Terjadilah gelombang migrasi beberapa mata rumah atau soa pada satu aman/hena dari Seram ke Ambon-Ulias.
Pada masa migrasi leluhur sebagian besar migran dipimpin oleh seorang kapitan. Di negeri yang baru, struktur dan sistem pemerintahan Aman dipertahankan. Hanya saja kepala pemerintahan ialah kapitan (menggantikan posisi dan tempat Amanupui/Latu-Nusa), dibantu oleh malessi dan mauweng. Pembantu-pembantu lainnya ialah marinyo, dan kewang. Masa kepemimpinan kapitan relatif singkat; lebih banyak berkaitan dengan perebutan atau penetapan teritori baru. Sampai dengan penetapan sebuah teritori sebagai teritori defenitif, kapitan masih berfungsi untuk beberapa saat hingga diangkatnya Amanupui yang baru. Setelah itu, kapitan bertugas menangani urusan keamanan dan peperangan.
Penetrasi Ternate ke Ambon, melalui Hitu, turut pula membawa gelombang perobahan dalam tatanan pemerintahan lokal (autochtnous form of government). Sistem uli diperkenalkan sebagai suatu bentuk pemerintahan di Ambon. Namun, corak pemerintahannya jelas berbeda dengan tatanan sebelumnya. Oleh orang-orang Ambon, sistem ini malah dijadikan sebagai semacam sistem koordinasi plitis antaraman/hena; terutama yang memiliki garis keleluhuran dan pola penataan sosial yang (mirip) sama.
Dalam sistem uli, posisi aman tetap dipertahankan, malah setiap aman tetap memiliki pemimpinnya sendiri. Di Ambon, jejak peninggalan Uli terlihat seperti Uli Helawan, Uli Seilessy, Uli Sawani, Uli Hatunuku, Uli Ala, Uli Nau Bunau dan Uli Solameta, dan kemudian menjadi satu Uli yaitu Uli Hitu (Leihitu); atau Uli Nusanive, Uli Urimessing, Uli Terangbulan, Uli Sirimahu, Uli Ema (Leitimor).
Ketika penetrasi Portugis, sistem-sistem pemerintahan ini tidak mengalami pergeseran yang berarti. Kurang terasa di Leihitu, karena klik Ternate berdampak pada tergesernya Portugis ke Leitimor. Tetapi di Leitimor, justru persekutuan Uli ini digunakan dalam sistem pekabaran injil, sehingga setiap negeri merupakan pusat Uli, menjadi pusat jemaat untuk pengembangan kekristenan, yang bertugas mengkoordinasi negeri-negeri dalam persekutuan Ulinya.
Penetrasi Belanda yang membawa perubahan cukup serius dalam tatanan pemerintahan negeri itu. Persekutuan Uli tereliminasi dengan jalan menghidupkan kembali negeri-negeri sebagai sebuah “republik” yang dipimpin oleh seorang Raja. Raja mendapat tempat cukup istimewa sebagai bagian dari admininstratur residen. Malah menurut Cooley, mereka digaji cukup, dan juga mendapat bonus dari setiap anggota masyarakat yang menjadi pasukan Hongi. Di sini muncul jabatan baru dalam komposisi Saniri Negeri yakni “juru tulis” (orang yang berpendidikan).
Walau demikian, masa itu di setiap negeri dapat dijumpai Saniri Negeri, yang memperlihatkan telah adanya pola pembagian wewenang yang cukup modern. Pemerintahan telah berlangsung dalam corak adatis yang kuat. Setiap sistem dan elemen pemerintahan bertugas pada masing-masing sektor yang telah ditetapkan sejak zaman dahulu.
Mengenai Saniri sendiri, di setiap negeri terdapat tiga lembaga Saniri, yakni Saniri Rajapatih (dewan raja dan pembantunya), Saniri Negeri Lengkap, dan Saniri Negeri Besar. Saniri Negeri bertugas memilih anggotanya yang berasal dari setiap soa. Jabatan lain yang melengkapi struktur Saniri ini adalah kapitan, malessi, mauweng, kewang, marinyo; untuk tugas-tugas kemasyarakatan.
Institusi sosial ialah suatu bentuk ekspetasi dari tindakan individu-individu dan kelompok yang berlangsung melalui sanksi-sanksi sosial, baik positif maupun negatif. Institusi merupakan bentuk normatif dan diselenggarakan melalui hukum-hukum dan kebiasaan. Term tersebut mengarah pada bentuk konkrti dalam sebuah organisasi. Bellah membedakan antara institusi dan organisasi sosial, dengan melihat pada korelasi antara institusi dan organisasi, sebab jika hanya berpikir mengenai organisasi dan tidak melihat pada institusi, artinya kita cenderung menyederhanakan masalah yang sesungguhnya (Bellah, 1993:10-11; Scott, 1995:33). Inti dari institusi adalah kerjasama (coorporation) dan tanggung jawab (responsibility).
Dalam masyarakat yang kompleks, institusi sosial merupakan mekanisme sosial yang disusun untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemerintahan sebagai bagian dari pola institusonalisasi meruakan suatu sistem kontrol yang berada di atas semua segmen sekuler kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan sudah dimulaidari zaman nenek moyang, walaupun dengan jabaran tugas, fungsi dan pembagian yang sederhana.
Jauh pada masa leluhur di Maluku (di pulau Seram) terdapat dua suku yakni Alune dan Wemale. Dalam suku-suku itu hidup kelompok-kelompok kecil masyarakat, atau keluarga yang membentuk satu persekutuan mata rumah. Kelompok mata rumah terdiri dari beberapa keluarga yang berasal dari satu leluhur. Mata rumah-mata rumah itu kemudian membentuk satu unit sosial yang disebut soa.
Tiap-tiap soa dipimpin oleh seorang upu, dan menempati bagian wilayah di dalam Aman atau Hena. Masing-masing soa membagi wilayahnya, di mana batas antarsoa ditandai dengan batu teung. Di dalam masyarakat tipe ini belum ada pembagian wewenang yang tegas.
Aman dipimpin oleh seorang Upu. Karena awalnya upu adalah juga pemimpin soa, maka upu yang memimpin aman biasa disebut Amanupui, atau di tempat lain disebut Latu-Nusa. Dalam aman pola pengorganisasian sosial mulai berkembang. Cooley menulis bahwa “upu bertanggung jawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan peperangan ia dibantu oleh seorang malessi. Sedangkan urusan agama dan “dunia seberang” diselenggarakan oleh mauweng dan pembantunya malimu atau maitale (Cooley, 1987:222).
Pola pembagian tugas dan peran sosial seperti itu menunjuk bahwa belum ada perbedaan yang mencolok dalam pola pengorganisasian masyarakat. Peran-peran masih bersifat sederhana, meliputi segmen-segmen sosial yang terbatas, berkaitan dengan bagaimana hidup di alam dan bagaimana hubungan masyarakat dengan dunia seberang. Bobot peran dipegang tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat, karena kharisma dan legitimasi tradisional (misalnya raja oleh mata rumah yang telah dikhususkan).
Lambat laun soa menjadi besar. Muncul usaha untuk memperluas teritori baik secara spontan maupun “agresi sosial”. Peperangan atarsuku Wemale dan Alune misalnya dalam sejarah migrasi orang-orang Wemale di Honitetu dengan Alune di Rumberu, memperlihatkan bahwa konflik menjadi bagian dari upaya pembentukan teritori baru. Pertambahan anggora soa dan/atau konflik mendorong ekspansi sosial untuk memperluas dan/atau mencari teritori baru ke luar pulau Seram. Terjadilah gelombang migrasi beberapa mata rumah atau soa pada satu aman/hena dari Seram ke Ambon-Ulias.
Pada masa migrasi leluhur sebagian besar migran dipimpin oleh seorang kapitan. Di negeri yang baru, struktur dan sistem pemerintahan Aman dipertahankan. Hanya saja kepala pemerintahan ialah kapitan (menggantikan posisi dan tempat Amanupui/Latu-Nusa), dibantu oleh malessi dan mauweng. Pembantu-pembantu lainnya ialah marinyo, dan kewang. Masa kepemimpinan kapitan relatif singkat; lebih banyak berkaitan dengan perebutan atau penetapan teritori baru. Sampai dengan penetapan sebuah teritori sebagai teritori defenitif, kapitan masih berfungsi untuk beberapa saat hingga diangkatnya Amanupui yang baru. Setelah itu, kapitan bertugas menangani urusan keamanan dan peperangan.
Penetrasi Ternate ke Ambon, melalui Hitu, turut pula membawa gelombang perobahan dalam tatanan pemerintahan lokal (autochtnous form of government). Sistem uli diperkenalkan sebagai suatu bentuk pemerintahan di Ambon. Namun, corak pemerintahannya jelas berbeda dengan tatanan sebelumnya. Oleh orang-orang Ambon, sistem ini malah dijadikan sebagai semacam sistem koordinasi plitis antaraman/hena; terutama yang memiliki garis keleluhuran dan pola penataan sosial yang (mirip) sama.
Dalam sistem uli, posisi aman tetap dipertahankan, malah setiap aman tetap memiliki pemimpinnya sendiri. Di Ambon, jejak peninggalan Uli terlihat seperti Uli Helawan, Uli Seilessy, Uli Sawani, Uli Hatunuku, Uli Ala, Uli Nau Bunau dan Uli Solameta, dan kemudian menjadi satu Uli yaitu Uli Hitu (Leihitu); atau Uli Nusanive, Uli Urimessing, Uli Terangbulan, Uli Sirimahu, Uli Ema (Leitimor).
Ketika penetrasi Portugis, sistem-sistem pemerintahan ini tidak mengalami pergeseran yang berarti. Kurang terasa di Leihitu, karena klik Ternate berdampak pada tergesernya Portugis ke Leitimor. Tetapi di Leitimor, justru persekutuan Uli ini digunakan dalam sistem pekabaran injil, sehingga setiap negeri merupakan pusat Uli, menjadi pusat jemaat untuk pengembangan kekristenan, yang bertugas mengkoordinasi negeri-negeri dalam persekutuan Ulinya.
Penetrasi Belanda yang membawa perubahan cukup serius dalam tatanan pemerintahan negeri itu. Persekutuan Uli tereliminasi dengan jalan menghidupkan kembali negeri-negeri sebagai sebuah “republik” yang dipimpin oleh seorang Raja. Raja mendapat tempat cukup istimewa sebagai bagian dari admininstratur residen. Malah menurut Cooley, mereka digaji cukup, dan juga mendapat bonus dari setiap anggota masyarakat yang menjadi pasukan Hongi. Di sini muncul jabatan baru dalam komposisi Saniri Negeri yakni “juru tulis” (orang yang berpendidikan).
Walau demikian, masa itu di setiap negeri dapat dijumpai Saniri Negeri, yang memperlihatkan telah adanya pola pembagian wewenang yang cukup modern. Pemerintahan telah berlangsung dalam corak adatis yang kuat. Setiap sistem dan elemen pemerintahan bertugas pada masing-masing sektor yang telah ditetapkan sejak zaman dahulu.
Mengenai Saniri sendiri, di setiap negeri terdapat tiga lembaga Saniri, yakni Saniri Rajapatih (dewan raja dan pembantunya), Saniri Negeri Lengkap, dan Saniri Negeri Besar. Saniri Negeri bertugas memilih anggotanya yang berasal dari setiap soa. Jabatan lain yang melengkapi struktur Saniri ini adalah kapitan, malessi, mauweng, kewang, marinyo; untuk tugas-tugas kemasyarakatan.
MASYARAKAT PESISIR: Peta Sosiologis Pulau Ambon
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Ruang sosial yang terabaikan dalam Sosiologi Ilmiah
Secara geografik, Maluku disebut kawasan “seribu pulau”; sebuah termini-teknikus, yang secara sosiologis menggambarkan karakteristik dan tipologi sosial masyarakat. Suatu masyarakat Laut-Pulau, yang menetap di dalam lingkar pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil.
“Seribu Pulau”. Sejak lama dimengerti secara fisik mengenai konstruksi pulau-pulau yang dihubungkan (karena kita menghindari istilah “dipisahkan”) oleh laut. Karena itu, ruang jelajah sosiologi lebih diarahkan pada komposisi pulau-pulau yang ada.
Akibatnya, kegiatan pembangunan pun dibahasakan menjangkau “daerah-daerah yang terpencil”, atau “pulau-pulau yang jauh”. Analogi yang sama digunakan untuk menyebut “Kawasan Tertinggal”. Malah dengan latah kita suka menyebut “Tenggara Jauh”, atau “Tenggara Dekat”; sebuah asosiasi yang diukur dari Ambon sebagai sentrum geo-politik.
Prof. A.J. Ajawaila, dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Universitas Pattimura, fasih membahasakan konteks pulau-pulau itu dalam terminus pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil. Sorotannyaterarah pada tipologi masyarakat di pulau-pulau itu sebagai syarat dalam mendaratkan sebuah kegiatan pembangunan.
Pekerjaan Rumah bagi sang profesor, dan juga kalangan akademis di Maluku, termasuk fakultas-fakultas ilmu sosial, untuk bangkit dari sebuah “kelesuan sosiologi ilmiah”. Karena selama ini, kajian sosiologi ilmiah lebih diarahkan pada sosiologi pedesaan dan pertanian.
Program Pascasarjana Injil Adat UKIM, sejak tahun 1997, telah menjadikan masyarakat pesisir sebagai ruang diskursus akademis di kelas. Masyarakat pesisir dengan konteks adat, lingkungan sosial, hukum, kosmologis, dan artefak-artefaknya telah menjadi bahan debat ilmiah yang segar. Prof. A.J. Ajawaila, Prof. R.Z. Titahelu, Prof. J. Lokolo, adalah para penyumbang yang patut diusung di sini. Bukan sekedar memberi preferensi akademis, melainkan keharusan intelektual untuk membangun kesadaran bersama merintis diskursus sosiologis di Maluku.
Masyarakat pesisir, dalam wacana sosiologi di Indonesia pun belum mendapat perhatian yang serius. Kita masih cenderung bertahan, mewarisi dan meneruskan sebuah corak sosiologi kontiental. Lalu sosiologi itu sendiri kerap dilihat dalam konteks sosiologi pedesaan dan perkotaan (rural and urban sociology), dengan seluruh kekaitannya pada isu-isu kontemporer yang muncul dari sana (seperti sosiologi industri, dll).
Wilayah pesisir (coastal) masih dimasukkan ke dalam konteks pedesaan, sebagai sub bagian teritori yang cenderung dilihat dalam kaitan dengan pusat aktifitas masyarakat. Padahal wilayah ini juga adalah permukiman masyarakat (mungkin pula agak berbeda secara sosiologis dengan desa-desa nelayan di daerah Pantai Utara pulau Jawa), yang tidak dapat disetarakan secara arbiter dengan desa/kota.
Dalam konteks Maluku, wilayah pesisir memiliki corak tersendiri. Suatu corak masyarakat yang telah lama terbentuk, dan dalam rentang waktu yang lama pula tereduksi bahkan disejajarkan dengan tipe-tipe dan ekotipe masyarakat desa yang mapan.
2. Historisitas Masyarakat Pesisir di Pulau Ambon
Tulisan ini coba disempitkan saja pada Pulau Ambon, mengingat diperlukan sebuah penelitian yang mendalam dan komprehensif menjangkau seluruh masyarakat pesisir di Maluku. Sempitan ini pun akan mengundang debat yang panjang. Apalagi jika dikaitkan dengan tipologi masyarakat pesisir tadi. Karena setiap negeri memiliki karekateristik tersendiri; dan memang tidak ada sebuah corak monokultur dalam masyarakat manapun.
Sosiologi sejarah, membantu membuat sketsa yang menuntun seluruh tulisan ini. Sebagai kemasan pewacanaan, saya akan melihat beberapa tonjolan sejarah yang memberi sumbangan berarti dalam pembentukan dan kemenjadian masyarakat pesisir di pulau Ambon.
Van Voelenhoefen, menggambarkan konteks sosial masyarakat di Maluku sebagai sebuah peta sosiologis pada Adatrechtbundel. Di situ, masyarakat Maluku dan Ambon khususnya, dibahasakan tinggal dalam lokus-lokus feodal, yang selalu berinteraksi dengan “tanah”, sebagai core sosialnya. Tanah dalam arti itu dimengerti dalam kerangka hak-hak sipil, tetapi juga basis pertumbuhan kosmologis mereka. Di sini sebetulnya keberadaan negeri-negeri di pulau Ambon sudah harus dilihat dari sejarah keleluhuran setiap negeri [bnd. karya Pattikayhatu, Sejarah Terbentuknya Negeri-negeri di Pulau Ambon].
Dalam sejarah pelayaran dagang di Maluku [di sini sejarahwan dan ekonom perlu memberi perhatian khusus, untuk mengkaji sejarah pertumbuhan perekonomian di Maluku], Hitu telah menjadi bandar transit yang mendunia. Para pedagang Cina, seperti dikisahkan Andaya, dalam waktu yang cukup lama telah “menyembunyikan” bandar ini sebagai pintu menemukan cengkeh, pala dan bunga pala.
Berabad lamanya, daerah-daerah pesisir di Leihitu menjadi pusat kontak sosial orang-orang Ambon dengan para pedagang dan pengelana dari luar. Bahkan dalam sejarah keleluhuran pun, daerah pesisir Leihitu, menjadi pintu menuju pesisir di Leitimor. Leluhur-leluhur dari Seram Utara, Tuban dan Gresik, seperti yang kemudian menetap di Hukurila, Ema, Mahia, sebetulnya mengadakan kontak pertama dengan daerah pesisir di Leihitu.
Armada Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris (melalui Ternate), dan Belanda pun pertama kali mengadakan kontak dengan orang-orang Ambon melalui pesisir Leihitu. Ketegangan dengan Ternate, yang berimbas ke Ambon, telah mendorong Portugis beralih dari Leihitu ke Leitimor. Konsekuensi sosiologisnya adalah, penduduk di Leitimor, yang semula berada di daerah pegunungan, mengalami kontak dengan orang-orang Eropa. Sentuhan dengan orang-orang Eropa ini lebih banyak bertendensi politik-keamanan; dalam rangka menjaga stabilitas negeri dari ekspansi orang-orang Leihitu [yang memang sedang bermusuhan], atau para bajak laut dari Seram. Hal yang sama sebetulnya masih bertahan sampai dengan masuknya Belanda.
Ada tonjolan peristiwa sejarah yang turut berpengaruh dalam kontak orang-orang pesisir di Pulau Ambon dengan para pendatang dari Jawa, Arab, Eropa. Orang-orang pesisir di Hitu, akhirnya menjadi pemeluk agama Islam. Sedangkan orang-orang Pesisir di Leitimor kemudian menjadi pemeluk agama kristen. Bahkan sebetulnya orang Hative Besar, di Leihitu lah yang menjadi pusat penyebaran kekristenan di pulau Ambon.
Masuknya agama [Islam dan Kristen] ke Ambon, telah mengubah konteks sosiologis negeri-negeri. Negeri yang bercorak sosio-genealogis, kemudian dibangun menjadi sebuah “republik-kecil”, di mana corak politis lebih menonjol dalam relasi antarnegeri. Chauvel malah melihat adanya pembedaan secara politis dalam hal pengorganisasian pemerintahan di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Kristen. Dan fungsi serta keberadaan rumah raja, merupakan artefak budaya yang menunjuk pembedaan itu.
Bahkan keberadaan negeri-negeri di pesisir seperti sekarang ini, juga merupakan bagian dari sistem rekayasa sosial Belanda, dengan jalan menarik turun penduduk dari daerah pegunungan ke pesisir pantai. Suatu strategi untuk memudahkan rentang kendali politik-ekonomi dengan orang-orang Ambon. Kecuali Soya, Ema, Hatalai, [Puta, Kappa], yang tidak turut diturunkan, karena semua penduduknya telah menjadi kristen. Alasan lain juga sebetulnya karena negeri-negeri ini diberikan status politis yang cukup baik oleh Belanda. Di sini kita memperoleh penjelasan sejarah mengenai adanya daerah-daerah seperti Soa Ema, Soa Kilang [sekarang daerah SMU PGRI], dan Belakang Soya, sebagai tempat tinggal para pekerja/kuli di Benteng Victoria. Kemudian pula Mardika, sebagai tempat tinggal para budak yang dibebaskan dari kerja di benteng.
Belum lagi, negeri-negeri terkonstruksi secara homogen berdasarkan agama yang dianut warga. Geo-sosial yang bercorak genealogis itu telah pula terpola menjadi sebuah geo-religius, setiap warga di salah satu negeri menganut agama yang sama. Atau juga sebuah peta sosiologis lain, di mana di salah satu negeri, warga memeluk lebih dari satu agama, tetapi permukiman mereka tersegregasi, juga oleh alasan agama yang dianut. Ini dapat dilihat di Hila-Kaitetu, Tial Islam – Tial Kristen, minus Larike yang tidak ada penyebutan Larike Islam-Larike Kristen, tetapi permukimannya tetap terpisah.
Corak geo-religius yang sama kemudian terbentuk ketika para pendatang dari Pulau Buton menetap di negeri-negeri pesisir Leitimor. Terbentuk permukiman Buton yang semuanya berlokasi di pesisir pantai, minus kampung Buton La Rela di negeri Rutung yang berlokasi di pegunungan. Jika dilihat lebih mendalam, semua kampung Buton itu berlokasi di negeri-negeri yang memiliki areal meti, pada saat air surut. Sehingga lebih banyak terbentuk di daerah Baguala dan Nusanive.
Paparan historis ini hendak memperlihatkan bahwa corak masyarakat pesisir di pulau Ambon telah terbentuk dalam domain-domain yang sarat akan masalah politik (sistem dan organisasi sosial), ekonomi (mata pencaharian), sosial (hubungan antarmasyarakat, sistem kerjasama), pendidikan dan agama. Hal-hal ini penting untuk melihat aspek “tindakan sosial” orang-orang pesisir, yang cenderung akan berbeda dengan pola tindakan sosial orang-orang di pegunungan. Atau corak tindakan sosial yang juga berbeda dari tindakan sosial masyarakat pedesaan dan perkotaan dalam bahasan sosiologi.
3. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pesisir pulau Ambon tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan. Sosiologi ilmiah di sini mencakup sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll.
Namun bahwa, secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Bahkan corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Sosiologi ilmiah di sini sudah masuk dalam sebuah diskursus sosiologi agama, untuk turut pula melihat peran dan fungsi lembaga-lembaga agama dalam proses pemasyarakatan masyarakat manusia.
Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni. Orang masih membuat kekaitan fakta sosial dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.
Beberapa terminus kultural seperti Salam – Sarane, juga merupakan sebuah kaidah kultur orang-orang [pesisir] pulau Ambon, dalam mewacanakan hubungan antarnegeri. Artinya, budaya telah menjadi fondasi kemengadaan masyarakat, dan mengandung mekanisme perekat yang mampu mengintegrasikan masyarakat. Walau untuk itu, perkembangan kontemporer agama-agama telah turut mengubah tatanan kelokalan tadi.
Banyak referensi budaya yang mampu menggambarkan secara memadai corak kultural orang-orang pesisir pulau Ambon. Saya tidak akan membuat reduplikasi yang berlebihan.
Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.
Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Leihitu dan umumnya negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu.
Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.
4. Ekotipe dan Ranji Pesisir
Eric Wolf mengartikan ekotipe sebagai kemampuan dan keandalan masyarakat di suatu wilayah mengelola dan menata lingkungannya, sesuai dengan kemampuan diri serta kapasitas wilayah, untuk kebutuhan produksi. Bahkan menurutnya, ekotipe menunjuk pada suatu corak khusus dalam orientasi kerja masyarakat di dalam wilayahnya.
Secara sosiologis, ekotipe itu lalu menunjuk pada kemampuan mengadaptasi diri dengan lingkungan. Ia berwujud dalam sebuah aksi atau tindakan sosial, yang termaterialisasi melalui kerja atau mata pencarian. Ekotipe adalah ciri yang darinya kita mengenal seperti apa masyarakat itu.
Telaahan kita ke pulau Ambon atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.
Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.
Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.
Ewang
Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---
Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---
Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir
Laut
Tanjung Batas meti Tanjung
Laut lepas
Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.
Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.
Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.
Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.
Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.
Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.
Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.
Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.
Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai di Waai, Galala, Tial, Seri. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon.
Secara umum, ekotipe masyarakat pesisir kita adalah sebuah ekotipe pencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Dan memang kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.
6. Epilog
Masyarakat pesisir [coastal society] tidak mesti kita bahasakan dalam terminus marine society. Aspek kepesisiran lalu memperlihatkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat masih ada dalam ruang binaritas, antara darat dan laut. Pekerjaan mereka secara berimbang terserap ke dalam dua areal.
Corak kepesisiran itu tampak pula sebagai sebuah fakta sosial yang ironis, sebab masyarakat masih belum beranjak dari pola-pola tradisonal. Artinya, pembangunan sosial yang didaratkan ke wilayah ini hendaknya direkayasa dalam sistem-sistem yang gradual, komprehensif.
Akhirnya, kajian ini terbuka bagi ruang kritik ilmiah yang akhirnya mampu membangun masyarakat kita.
1. Ruang sosial yang terabaikan dalam Sosiologi Ilmiah
Secara geografik, Maluku disebut kawasan “seribu pulau”; sebuah termini-teknikus, yang secara sosiologis menggambarkan karakteristik dan tipologi sosial masyarakat. Suatu masyarakat Laut-Pulau, yang menetap di dalam lingkar pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil.
“Seribu Pulau”. Sejak lama dimengerti secara fisik mengenai konstruksi pulau-pulau yang dihubungkan (karena kita menghindari istilah “dipisahkan”) oleh laut. Karena itu, ruang jelajah sosiologi lebih diarahkan pada komposisi pulau-pulau yang ada.
Akibatnya, kegiatan pembangunan pun dibahasakan menjangkau “daerah-daerah yang terpencil”, atau “pulau-pulau yang jauh”. Analogi yang sama digunakan untuk menyebut “Kawasan Tertinggal”. Malah dengan latah kita suka menyebut “Tenggara Jauh”, atau “Tenggara Dekat”; sebuah asosiasi yang diukur dari Ambon sebagai sentrum geo-politik.
Prof. A.J. Ajawaila, dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Universitas Pattimura, fasih membahasakan konteks pulau-pulau itu dalam terminus pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil. Sorotannyaterarah pada tipologi masyarakat di pulau-pulau itu sebagai syarat dalam mendaratkan sebuah kegiatan pembangunan.
Pekerjaan Rumah bagi sang profesor, dan juga kalangan akademis di Maluku, termasuk fakultas-fakultas ilmu sosial, untuk bangkit dari sebuah “kelesuan sosiologi ilmiah”. Karena selama ini, kajian sosiologi ilmiah lebih diarahkan pada sosiologi pedesaan dan pertanian.
Program Pascasarjana Injil Adat UKIM, sejak tahun 1997, telah menjadikan masyarakat pesisir sebagai ruang diskursus akademis di kelas. Masyarakat pesisir dengan konteks adat, lingkungan sosial, hukum, kosmologis, dan artefak-artefaknya telah menjadi bahan debat ilmiah yang segar. Prof. A.J. Ajawaila, Prof. R.Z. Titahelu, Prof. J. Lokolo, adalah para penyumbang yang patut diusung di sini. Bukan sekedar memberi preferensi akademis, melainkan keharusan intelektual untuk membangun kesadaran bersama merintis diskursus sosiologis di Maluku.
Masyarakat pesisir, dalam wacana sosiologi di Indonesia pun belum mendapat perhatian yang serius. Kita masih cenderung bertahan, mewarisi dan meneruskan sebuah corak sosiologi kontiental. Lalu sosiologi itu sendiri kerap dilihat dalam konteks sosiologi pedesaan dan perkotaan (rural and urban sociology), dengan seluruh kekaitannya pada isu-isu kontemporer yang muncul dari sana (seperti sosiologi industri, dll).
Wilayah pesisir (coastal) masih dimasukkan ke dalam konteks pedesaan, sebagai sub bagian teritori yang cenderung dilihat dalam kaitan dengan pusat aktifitas masyarakat. Padahal wilayah ini juga adalah permukiman masyarakat (mungkin pula agak berbeda secara sosiologis dengan desa-desa nelayan di daerah Pantai Utara pulau Jawa), yang tidak dapat disetarakan secara arbiter dengan desa/kota.
Dalam konteks Maluku, wilayah pesisir memiliki corak tersendiri. Suatu corak masyarakat yang telah lama terbentuk, dan dalam rentang waktu yang lama pula tereduksi bahkan disejajarkan dengan tipe-tipe dan ekotipe masyarakat desa yang mapan.
2. Historisitas Masyarakat Pesisir di Pulau Ambon
Tulisan ini coba disempitkan saja pada Pulau Ambon, mengingat diperlukan sebuah penelitian yang mendalam dan komprehensif menjangkau seluruh masyarakat pesisir di Maluku. Sempitan ini pun akan mengundang debat yang panjang. Apalagi jika dikaitkan dengan tipologi masyarakat pesisir tadi. Karena setiap negeri memiliki karekateristik tersendiri; dan memang tidak ada sebuah corak monokultur dalam masyarakat manapun.
Sosiologi sejarah, membantu membuat sketsa yang menuntun seluruh tulisan ini. Sebagai kemasan pewacanaan, saya akan melihat beberapa tonjolan sejarah yang memberi sumbangan berarti dalam pembentukan dan kemenjadian masyarakat pesisir di pulau Ambon.
Van Voelenhoefen, menggambarkan konteks sosial masyarakat di Maluku sebagai sebuah peta sosiologis pada Adatrechtbundel. Di situ, masyarakat Maluku dan Ambon khususnya, dibahasakan tinggal dalam lokus-lokus feodal, yang selalu berinteraksi dengan “tanah”, sebagai core sosialnya. Tanah dalam arti itu dimengerti dalam kerangka hak-hak sipil, tetapi juga basis pertumbuhan kosmologis mereka. Di sini sebetulnya keberadaan negeri-negeri di pulau Ambon sudah harus dilihat dari sejarah keleluhuran setiap negeri [bnd. karya Pattikayhatu, Sejarah Terbentuknya Negeri-negeri di Pulau Ambon].
Dalam sejarah pelayaran dagang di Maluku [di sini sejarahwan dan ekonom perlu memberi perhatian khusus, untuk mengkaji sejarah pertumbuhan perekonomian di Maluku], Hitu telah menjadi bandar transit yang mendunia. Para pedagang Cina, seperti dikisahkan Andaya, dalam waktu yang cukup lama telah “menyembunyikan” bandar ini sebagai pintu menemukan cengkeh, pala dan bunga pala.
Berabad lamanya, daerah-daerah pesisir di Leihitu menjadi pusat kontak sosial orang-orang Ambon dengan para pedagang dan pengelana dari luar. Bahkan dalam sejarah keleluhuran pun, daerah pesisir Leihitu, menjadi pintu menuju pesisir di Leitimor. Leluhur-leluhur dari Seram Utara, Tuban dan Gresik, seperti yang kemudian menetap di Hukurila, Ema, Mahia, sebetulnya mengadakan kontak pertama dengan daerah pesisir di Leihitu.
Armada Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris (melalui Ternate), dan Belanda pun pertama kali mengadakan kontak dengan orang-orang Ambon melalui pesisir Leihitu. Ketegangan dengan Ternate, yang berimbas ke Ambon, telah mendorong Portugis beralih dari Leihitu ke Leitimor. Konsekuensi sosiologisnya adalah, penduduk di Leitimor, yang semula berada di daerah pegunungan, mengalami kontak dengan orang-orang Eropa. Sentuhan dengan orang-orang Eropa ini lebih banyak bertendensi politik-keamanan; dalam rangka menjaga stabilitas negeri dari ekspansi orang-orang Leihitu [yang memang sedang bermusuhan], atau para bajak laut dari Seram. Hal yang sama sebetulnya masih bertahan sampai dengan masuknya Belanda.
Ada tonjolan peristiwa sejarah yang turut berpengaruh dalam kontak orang-orang pesisir di Pulau Ambon dengan para pendatang dari Jawa, Arab, Eropa. Orang-orang pesisir di Hitu, akhirnya menjadi pemeluk agama Islam. Sedangkan orang-orang Pesisir di Leitimor kemudian menjadi pemeluk agama kristen. Bahkan sebetulnya orang Hative Besar, di Leihitu lah yang menjadi pusat penyebaran kekristenan di pulau Ambon.
Masuknya agama [Islam dan Kristen] ke Ambon, telah mengubah konteks sosiologis negeri-negeri. Negeri yang bercorak sosio-genealogis, kemudian dibangun menjadi sebuah “republik-kecil”, di mana corak politis lebih menonjol dalam relasi antarnegeri. Chauvel malah melihat adanya pembedaan secara politis dalam hal pengorganisasian pemerintahan di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Kristen. Dan fungsi serta keberadaan rumah raja, merupakan artefak budaya yang menunjuk pembedaan itu.
Bahkan keberadaan negeri-negeri di pesisir seperti sekarang ini, juga merupakan bagian dari sistem rekayasa sosial Belanda, dengan jalan menarik turun penduduk dari daerah pegunungan ke pesisir pantai. Suatu strategi untuk memudahkan rentang kendali politik-ekonomi dengan orang-orang Ambon. Kecuali Soya, Ema, Hatalai, [Puta, Kappa], yang tidak turut diturunkan, karena semua penduduknya telah menjadi kristen. Alasan lain juga sebetulnya karena negeri-negeri ini diberikan status politis yang cukup baik oleh Belanda. Di sini kita memperoleh penjelasan sejarah mengenai adanya daerah-daerah seperti Soa Ema, Soa Kilang [sekarang daerah SMU PGRI], dan Belakang Soya, sebagai tempat tinggal para pekerja/kuli di Benteng Victoria. Kemudian pula Mardika, sebagai tempat tinggal para budak yang dibebaskan dari kerja di benteng.
Belum lagi, negeri-negeri terkonstruksi secara homogen berdasarkan agama yang dianut warga. Geo-sosial yang bercorak genealogis itu telah pula terpola menjadi sebuah geo-religius, setiap warga di salah satu negeri menganut agama yang sama. Atau juga sebuah peta sosiologis lain, di mana di salah satu negeri, warga memeluk lebih dari satu agama, tetapi permukiman mereka tersegregasi, juga oleh alasan agama yang dianut. Ini dapat dilihat di Hila-Kaitetu, Tial Islam – Tial Kristen, minus Larike yang tidak ada penyebutan Larike Islam-Larike Kristen, tetapi permukimannya tetap terpisah.
Corak geo-religius yang sama kemudian terbentuk ketika para pendatang dari Pulau Buton menetap di negeri-negeri pesisir Leitimor. Terbentuk permukiman Buton yang semuanya berlokasi di pesisir pantai, minus kampung Buton La Rela di negeri Rutung yang berlokasi di pegunungan. Jika dilihat lebih mendalam, semua kampung Buton itu berlokasi di negeri-negeri yang memiliki areal meti, pada saat air surut. Sehingga lebih banyak terbentuk di daerah Baguala dan Nusanive.
Paparan historis ini hendak memperlihatkan bahwa corak masyarakat pesisir di pulau Ambon telah terbentuk dalam domain-domain yang sarat akan masalah politik (sistem dan organisasi sosial), ekonomi (mata pencaharian), sosial (hubungan antarmasyarakat, sistem kerjasama), pendidikan dan agama. Hal-hal ini penting untuk melihat aspek “tindakan sosial” orang-orang pesisir, yang cenderung akan berbeda dengan pola tindakan sosial orang-orang di pegunungan. Atau corak tindakan sosial yang juga berbeda dari tindakan sosial masyarakat pedesaan dan perkotaan dalam bahasan sosiologi.
3. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pesisir pulau Ambon tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan. Sosiologi ilmiah di sini mencakup sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll.
Namun bahwa, secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Bahkan corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Sosiologi ilmiah di sini sudah masuk dalam sebuah diskursus sosiologi agama, untuk turut pula melihat peran dan fungsi lembaga-lembaga agama dalam proses pemasyarakatan masyarakat manusia.
Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni. Orang masih membuat kekaitan fakta sosial dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.
Beberapa terminus kultural seperti Salam – Sarane, juga merupakan sebuah kaidah kultur orang-orang [pesisir] pulau Ambon, dalam mewacanakan hubungan antarnegeri. Artinya, budaya telah menjadi fondasi kemengadaan masyarakat, dan mengandung mekanisme perekat yang mampu mengintegrasikan masyarakat. Walau untuk itu, perkembangan kontemporer agama-agama telah turut mengubah tatanan kelokalan tadi.
Banyak referensi budaya yang mampu menggambarkan secara memadai corak kultural orang-orang pesisir pulau Ambon. Saya tidak akan membuat reduplikasi yang berlebihan.
Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.
Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Leihitu dan umumnya negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu.
Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.
4. Ekotipe dan Ranji Pesisir
Eric Wolf mengartikan ekotipe sebagai kemampuan dan keandalan masyarakat di suatu wilayah mengelola dan menata lingkungannya, sesuai dengan kemampuan diri serta kapasitas wilayah, untuk kebutuhan produksi. Bahkan menurutnya, ekotipe menunjuk pada suatu corak khusus dalam orientasi kerja masyarakat di dalam wilayahnya.
Secara sosiologis, ekotipe itu lalu menunjuk pada kemampuan mengadaptasi diri dengan lingkungan. Ia berwujud dalam sebuah aksi atau tindakan sosial, yang termaterialisasi melalui kerja atau mata pencarian. Ekotipe adalah ciri yang darinya kita mengenal seperti apa masyarakat itu.
Telaahan kita ke pulau Ambon atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.
Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.
Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.
Ewang
Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---
Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---
Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir
Laut
Tanjung Batas meti Tanjung
Laut lepas
Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.
Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.
Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.
Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.
Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.
Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.
Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.
Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.
Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai di Waai, Galala, Tial, Seri. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon.
Secara umum, ekotipe masyarakat pesisir kita adalah sebuah ekotipe pencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Dan memang kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.
6. Epilog
Masyarakat pesisir [coastal society] tidak mesti kita bahasakan dalam terminus marine society. Aspek kepesisiran lalu memperlihatkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat masih ada dalam ruang binaritas, antara darat dan laut. Pekerjaan mereka secara berimbang terserap ke dalam dua areal.
Corak kepesisiran itu tampak pula sebagai sebuah fakta sosial yang ironis, sebab masyarakat masih belum beranjak dari pola-pola tradisonal. Artinya, pembangunan sosial yang didaratkan ke wilayah ini hendaknya direkayasa dalam sistem-sistem yang gradual, komprehensif.
Akhirnya, kajian ini terbuka bagi ruang kritik ilmiah yang akhirnya mampu membangun masyarakat kita.
BEBERAPA ISU SOSIAL DAN AGAMA DI KOTA AMBON:
Catatan Reflektif untuk Klasis GPM Kota Ambon
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Beberapa Kecenderungan
Pomeo bahwa “kota adalah jantung perubahan masyarakat” tidak bisa dielakkan oleh setiap orang, termasuk bahwa “perubahan terjadi secara cepat di kota”. Itu pertanda bahwa kota bukan hanya suatu lingkungan sosial yang heterogen, melainkan mobilitas masyarakat kota (baca. Jemaat kota) juga terjadi secara cepat dan terus berkembang (atau berubah) dari waktu ke waktu.
Apa yang kita sebut sebagai “persaingan” atau social competition berlangsung dengan melibatkan seluruh “energi” individu dan kelompok, termasuk organisasi sosial di dalam masyarakat (termasuk gereja). Energi di sini adalah sebuah gerakan untuk “membangun” sistem resistensi (ketahanan) diri dan juga kontrol sosial secara efektif terhadap perubahan itu sendiri. Sebab di dalam masyarakat (baca. Jemaat) yang semakin kompleks, setiap elemen sosial harus mampu memainkan peran kontrol sosial secara baik, karena terjadi banyak distorsi atau “gangguan” dan “ketimpangan” di dalam gerak perubahan pada semua segmen hidup masyarakat.
Menempatkan diri (secara ekklesiologis dan teologis) di tengah suatu masyarakat kota, menghadapkan gereja pada suatu kenyataan bahwa “ia” merupakan bagian dari suatu kumpulan masyarakat yang jamak (plural). Gereja hanyalah sekelompok orang di dalam pergaulan antar-manusia yang luas dan terbuka. Gereja adalah salah satu unit dan organisasi sosial-keagamaan yang berperan bersama dengan elemen-elemen sosial lainnya, dan menghadapi isu-isu kemanusiaan yang sama; walau dengan pendekatan yang (sedikit) berbeda.
Masalah-masalah sosial yang terjadi itu meliputi berbagai aspek hidup masyarakat, dan dialami bukan saja oleh orang-orang kristen, tetapi masalah yang sama, dengan tingkat pengaruh yang sama pula, bisa juga terjadi pada orang-orang Islam, dan lainnya. Artinya, masalah kemanusiaan itu tidak “beragama”, karena masalah itu adalah suatu kenyataan disfungsi dan kesenjangan sosial yang terjadi secara universal. Adalah suatu kebetulan secara sosial jika masalah itu menimpa seseorang yang kebetulan pula beragama kristen, atau kebetulan adalah anggota jemaat kita.
Perspektif itu harus dikemukakan untuk mengajak kita melihat peran gereja sebagai peran yang universal terhadap kemanusiaan; dan melihat tanggungjawab misi gereja tanpa mengembangkan “kecurigaan misiologis”, sebaliknya misi sebagai bagian dari panggilan pelayanan (calling for service) yang diberi TUHAN kepada gereja. Karena itu melihat gereja sebagai “agen berkat” TUHAN bagi manusia dan dunia. Suatu tugas penatalayanan yang dilakukan gereja dalam semangat love, justice, peace, and integrity of creation.
Karena itu, kehadiran gereja di tengah kota yang heterogen dan mobile adalah suatu pergulatan teologi sebagai akta kehidupan (doing theology as the act of live), yaitu teologi yang lahir dari kesadaran tekstual (textual consciousness) bahwa gereja mendapat amanat pelayanan dari TUHAN. Kesadaran itu melahirkan komitmen kontekstual (contextualization commitment) bahwa gereja harus bekerja di dalam dunia di mana ia berada, sebab gereja adalah produk masyarakat di dalam dunia yang menyatakan imannya kepada TUHAN dari pengalaman hidup mereka.
Tulisan sederhana ini mencoba membuat pemetaan terhadap beberapa isu sosial dan agama di Kota Ambon yang kiranya menjadi bagian dari proses refleksi bersama dalam menata tanggungjawab dan peran gereja di Kota Ambon, terutama Klasis GPM kota Ambon. Catatan ini adalah sekelumit pengalaman saya “berteologi” di Kota Ambon selama masa Vikaris, dan hidup sebagai orang Ambon di tengah kota ini pula.
2. Isu-isu yang mengemuka
Ada banyak problem yang terjadi di dalam masyarakat kota Ambon sebagai bagian dari dinamika sosialnya. Beberapa yang menonjol dan memerlukan perenungan bersama antara lain:
a. Konteks hubungan “orang basudara”. Beberapa kenyataan terkait dengan masalah ini antara lain:
- Kita baru saja pulih dari sebuah sejarah kelam relasi “orang basudara”; yakni sejarah konflik yang melibatkan orang-orang “Salam-Sarane” dalam suatu pertikaian yang memakan ribuan korban jiwa dan material.
- Karena itu proses rehabilitasi sosial dan psikhis menjadi agenda yang penting dan tetap harus ditempatkan dalam proses membangun peace and trust building dalam relasi antar-sesama. Upaya rehabilitasi itu harus dapat menciptakan rasa aman, adil, dan rasa saling percaya (kembali), serta menekan tingkat traumatik dan bahkan “ketakutan” (fearness) dan kecurigaan (prejudice) terhadap orang lain.
- Tetapi masih ada potensi sosial yang memiliki kerentanan tertentu, yakni: pertama, konteks bermukim yang terpisah (segregatif) antara komunitas masyarakat, termasuk pasar kaget, oleh faktor agama. Kita sudah tidak menjumpai lagi lingkungan permukiman campuran dalam kota Ambon. Menyebut “beta tinggal di Karpan” kini secara langsung menunjuk bahwa “beta Kristen”, sebaliknya “beta orang Batumerah” sekaligus menegaskan “beta Islam”. Berbeda dari waktu dulu lalu kita menyebut “Jemaat GPM Bethabara” dan karena itu kita berada di Batumerah, dan begitu sebaliknya. Kedua, kondisi itu dapat menumbuhkan rasa eksklusifisme baru dan solidaritas internal dibangun atas dasar sentimen agama (religious interese) sehingga fundamentalisme hampir tidak bisa dipungkiri. Ketiga, kenyataan relasi “orang basudara” itu menghadapi suatu kondisi yang ironi, atas mengentalnya tuntutan “perimbangan” dalam akses publik. Isu “perimbangan” sebagai Keputusan Malino justru melahirkan ketegangan baru dalam hal perolehan hak-hak publik baik di pemerintahan, pendidikan umum, pembangunan, pembagian lahan usaha (seperti di Pasar Mardika), dll.
- Kondisi kerentanan tadi mengisyaratkan bahwa konteks “orang basudara” di Ambon dihadapkan pada tantangan pluralisme yang serius. Usaha membangun “kesadaran pluralisme” di kalangan warga gereja dan umat beragama adalah usaha yang harus dapat melahirkan sikap saling terbuka dan mengakui kelebihan dan potensi sesama (secara kualitatif).
b. Konteks ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa indikator yang perlu direfleksikan di sini antara lain:
- Terserapnya warga jemaat sebagai pedangang di pasar-pasar kaget ditambah dengan munculnya profesi seperti penarik becak, tukang ojek, penjual tas kresek, tukang sol sepatu, pembuat cap/stempel, dll, menunjukkan bahwa mentalitas usaha ekonomi jemaat telah bertumbuh. Gereja dihadapkan pada usaha pembentukan mentalitas usaha yang jujur, santun, disiplin, setia, dan memahami kerja sebagai bagian dari panggilan TUHAN, agar orang bekerja dengan tetap mempertahankan etika-moral yang baik.
- Jenis-jenis usaha kecil lain yang ditekuni masyarakat, harus terus dirangsang.
- Persaingan usaha di Kota Ambon sebagai bagian dari dampak pembangunan telah menempatkan warga jemaat di dalamnya. Ada warga jemaat yang menjadi pengusaha-pengusaha menengah pada berbagai bidang jasa (kontraktor, dll), di samping PNS, dan profesi lainnya, semakin memaksa gereja melakukan pelayanan yang menyentuh jemaat pada konteks profesi mereka. [Dalam PIP/RIPP diisyaratkan pelayanan jemaat profesi, demikian pun dalam Strategi Pelaksanaan dan Sistem Alokasi Pegawai Organik (SP-SAPO) GPM, dan Kurikulum Pembinaan Umat GPM, sudah ada arah dan muatan kurikulumnya. Menjadi pekerjaan kita di Kota Ambon untuk menerapkan pola pelayanan jemaat profesi itu].
- Masih adanya kantong-kantong tradisional di dalam jemaat-jemaat kita, seperti warga di “Kampung Ullath, Kampung Tepa, Kampung Aboru, dll” merupakan fenomena sosial yang turut membentuk iklim usaha masyarakat. Maksudnya pada kantong-kantong permukiman seperti itu, sering muncul sikap tradisional sebagai akibat dari belum berubahnya kultur di desa ketika tinggal di kota.
- Masih adanya keluarga-keluarga miskin adalah konteks ekonomi dan kesejahteraan yang tidak bisa dipungkiri.
- Demikian pun kecenderungan tingginya angka pengangguran, termasuk pengangguran intelektual, bisa memancing angka kerawanan sosial tertentu di kota. Di samping itu gejala ini memperlihatkan terabaikan kelompok potensial dalam berbagai dinamika perubahan di dalam gereja dan di masyarakat. Konteks ini perlu dilihat di jemaat-jemaat, dan bila perlu datanya dihimpun untuk menentukan program pemberdayaan jemaat yang lebih variatif dan inovatif.
- Jemaat-jemaat pengungsi merupakan bagian dari kenyataan sosial bahwa usaha kesejahteraan merupakan usaha sistematis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan.
c. Konteks Pendidikan.
Beberapa indikator di sini ialah:
- Tuntutan akan kualitas SDM menjadi hal yang penting dalam masyarakat. Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan milik gereja (TK-Perguruan Tinggi) dituntut untuk memberi kontribusi ke arah dimaksud.
- Artinya, gereja harus mampu membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada dalam usaha pemutakhiran kurikulum.
- Pendidikan Anak harus menjadi perhatian setiap keluarga. Oleh sebab itu pengawasan terhadap jam belajar anak dan penyediaan fasilitas belajar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) adalah hal yang tidak bisa dihindari.
- Peran orang tua dalam memberi pendidikan secara dini kepada anak menjadi hal yang perlu, terutama dalam membentuk mentalitas anak agar tidak terpengaruh dengan berbagai perkembangan eksesif dalam masyarakat (sebagai akibat globalisasi).
- Di samping itu, masih ada anak-anak cerdas yang terbatas secara finansial. Gereja kiranya memikirkan strategi penyantunan yang lebih profesional terhadap kelompok ini. Apalagi gempuran modernisasi pendidikan terus memaksa naiknya biaya pendidikan anak.
- Pendidikan terhadap anak-anak cacat harus diperhatikan setiap keluarga, agar mereka tidak melulu dipandang sebagai beban dalam keluarga, atau “memalukan”, sebab kini peluang mereka untuk berkembang semakin terbuka. Ini akan membantu proses pembentukan jatidiri anak cacat itu serta membuat orang lain memandang mereka sebagai sesama yang juga memiliki potensi.
d. Konteks Keamanan.
Beberapa indikator yang menonjol adalah:
- Kota merupakan “pusat segalanya”, termasuk pusat berbagai tindakan kriminal. Angka kriminalitas terus meninggi, dibuktikan dengan semakin meningkatnya penghuni Lapas dan persidangan berbagai kasus di Pengadilan yang tiada henti sampai di tahun 2008 ini. Artinya, keamanan merupakan faktor yang rentan di kota karena tingginya angka kriminalitas oleh berbagai alasan.
- Salah satu faktor rentan dalam aspek keamanan adalah kasus-kasus politik yang kerap terjadi di Ambon, seperti teror bom, pengibaran bendera RMS, dll, adalah fakta bahwa masalah keamanan adalah juga masalah rakyat dengan negara. Ini pertanda kita menghadapi gelombang politisasi yang dirancang oleh kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja memperkeruh suasana, lalu mematikan emansipasi dan partisipasi politik kita (gereja).
- Artinya keamanan di Kota Ambon bisa menjadi baik atau buruk juga sangat tergantung pada pihak ketiga yang ada di Kota Ambon atau di luarnya.
- Memasuki agenda-agenda politik 2008-2009 nanti, faktor keamanan dan kasus-kasus politik diperkirakan akan cukup rentan, karena kelompok kepentingan masih memprovokasi kondisi kekacauan di sana-sini, melalui berbagai cara.
e. Konteks Sosio-Politik.
Beberapa indikator di sini adalah:
- Agenda Pilkada Maluku 2008 adalah suatu “Pesta Demokrasi” yang harus disukseskan, dan gereja bertanggungjawab mensukseskannya. Wujud tanggungjawab gereja adalah dengan melakukan pencerdasan politik kepada masyarakat agar mereka bisa menggunakan hak-hak mereka secara tertanggungjawab, lalu menjaga harmonisasi sosial selama proses Pilkada itu berlangsung, dilanjutkan dalam pembangunan yang akan terus berjalan.
- Sebagai social and moral force gereja dituntut melakukan fungsi profetiknya secara sadar dan memiliki kepekaan etis-injili. Bahwa kontrol sosial yang dimainkannya adalah bagian dari tanggungjawabnya melayani agar politik menjadi seni melayani kepentingan masyarakat, dan kekuasaan menjadi instrumen membangun keadilan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya politik menjadi alat kekuasaan dan kekuasaan menjadi alat politik.
- Gereja dengan sadar dan bersyukur berdoa kepada TUHAN agar setiap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan “bertarung” di “arena Pilkada” akan menjadi orang-orang yang dengan rendah hati “siap kalah – siap menang”. Gereja bertanggungjawab membina para calon Gubernur dan Wakil Gubernur itu agar mereka menjadi teladan dalam proses politik, dengan jalan mempertahankan kejujuran, dan menjunjung tinggi profesionalitasnya. Kekuasaan bukan tujuan, sebaliknya alat untuk mensejahterakan. Itulah suara politik gereja.
- Kota Ambon harus menjadi tempat yang aman bagi berlangsungnya Pilkada Maluku 2008, sekaligus menjadi tempat yang indah bagi berseminya damai di Maluku melalui Pemerintahan yang baru.
f. Konteks relasi beragama.
Beberapa indikator yang penting adalah:
- Pluralisme sebagai agenda kemanusiaan bersama harus mampu menjadikan agama-agama sebagai “pelayan-pelayan kemanusiaan”. Karena itu kesadaran pluralisme harus dibangun dari dasar kearifan lokal dan social capital di Ambon.
- Agama-agama terpanggil untuk menjadi “orang basudara” dan membangun agenda bersama untuk masa depan masyarakat Ambon.
g. Konteks bergereja.
Beberapa indikator yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Strategi pemberdayaan jemaat sebagai pendekatan pelayanan GPM harus diterjemahkan secara praksis di level program jemaat.
- Usaha membangun Profil Bergereja yang meliputi profil pelayan, profil umat dan profil gereja, mesti diejawantahkan ke dalam bentuk-bentuk program riil yang terkait dengan usaha membentuk kematangan politik, kematangan teologis, kematangan sosial-budaya warga jemaat.
Dengan ditetapkannya Peraturan Keuangan GPM dengan model sentraliasi keuangan (70:30%) sebagai hasil Sidang BPL ke-29 di Tual, mengisyaratkan bahwa:
- Jemaat-jemaat dituntut mengembangkan pelayanan yang relevan dan menyentuh basis kebutuhan warga jemaat. Karena itu rancangan program pelayanan harus bertumpu pada need assessment (pendataan kebutuhan riil) di dalam jemaat. Program partisipatif (dalam kaitan dengan hasil Sidang BPL) harus dipikirkan alokasinya kembali, dan memperkaya program yang berbasis jemaat, agar kita pun mampu menggerakkan sistem-sistem sumber pelaksanaannya secara mantap.
- Pola pelaksanaan sentralisasi keuangan itu (sesuai Juklak yang diturunkan dari BPH Sinode) kiranya dijalankan dengan semangat “kekeluargaan” agar terwujud “keseimbangan”. Karena itu otorisator di tingkat jemaat harus mampu melakukan fungsi kontrol keuangan yang efektif, dan menyusun sistem keuangan gereja sesuai nomenklatur yang ada, agar tidak terjadi pembebanan pada satu pos keuangan tertentu, dan juga tidak mengacaukan lalulintas keuangan gereja ke jenjang gereja di atasnya.
- Pelayanan yang menyentuh jemaat adalah pelayanan gereja yang nyata.
Demikian beberapa hal.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Beberapa Kecenderungan
Pomeo bahwa “kota adalah jantung perubahan masyarakat” tidak bisa dielakkan oleh setiap orang, termasuk bahwa “perubahan terjadi secara cepat di kota”. Itu pertanda bahwa kota bukan hanya suatu lingkungan sosial yang heterogen, melainkan mobilitas masyarakat kota (baca. Jemaat kota) juga terjadi secara cepat dan terus berkembang (atau berubah) dari waktu ke waktu.
Apa yang kita sebut sebagai “persaingan” atau social competition berlangsung dengan melibatkan seluruh “energi” individu dan kelompok, termasuk organisasi sosial di dalam masyarakat (termasuk gereja). Energi di sini adalah sebuah gerakan untuk “membangun” sistem resistensi (ketahanan) diri dan juga kontrol sosial secara efektif terhadap perubahan itu sendiri. Sebab di dalam masyarakat (baca. Jemaat) yang semakin kompleks, setiap elemen sosial harus mampu memainkan peran kontrol sosial secara baik, karena terjadi banyak distorsi atau “gangguan” dan “ketimpangan” di dalam gerak perubahan pada semua segmen hidup masyarakat.
Menempatkan diri (secara ekklesiologis dan teologis) di tengah suatu masyarakat kota, menghadapkan gereja pada suatu kenyataan bahwa “ia” merupakan bagian dari suatu kumpulan masyarakat yang jamak (plural). Gereja hanyalah sekelompok orang di dalam pergaulan antar-manusia yang luas dan terbuka. Gereja adalah salah satu unit dan organisasi sosial-keagamaan yang berperan bersama dengan elemen-elemen sosial lainnya, dan menghadapi isu-isu kemanusiaan yang sama; walau dengan pendekatan yang (sedikit) berbeda.
Masalah-masalah sosial yang terjadi itu meliputi berbagai aspek hidup masyarakat, dan dialami bukan saja oleh orang-orang kristen, tetapi masalah yang sama, dengan tingkat pengaruh yang sama pula, bisa juga terjadi pada orang-orang Islam, dan lainnya. Artinya, masalah kemanusiaan itu tidak “beragama”, karena masalah itu adalah suatu kenyataan disfungsi dan kesenjangan sosial yang terjadi secara universal. Adalah suatu kebetulan secara sosial jika masalah itu menimpa seseorang yang kebetulan pula beragama kristen, atau kebetulan adalah anggota jemaat kita.
Perspektif itu harus dikemukakan untuk mengajak kita melihat peran gereja sebagai peran yang universal terhadap kemanusiaan; dan melihat tanggungjawab misi gereja tanpa mengembangkan “kecurigaan misiologis”, sebaliknya misi sebagai bagian dari panggilan pelayanan (calling for service) yang diberi TUHAN kepada gereja. Karena itu melihat gereja sebagai “agen berkat” TUHAN bagi manusia dan dunia. Suatu tugas penatalayanan yang dilakukan gereja dalam semangat love, justice, peace, and integrity of creation.
Karena itu, kehadiran gereja di tengah kota yang heterogen dan mobile adalah suatu pergulatan teologi sebagai akta kehidupan (doing theology as the act of live), yaitu teologi yang lahir dari kesadaran tekstual (textual consciousness) bahwa gereja mendapat amanat pelayanan dari TUHAN. Kesadaran itu melahirkan komitmen kontekstual (contextualization commitment) bahwa gereja harus bekerja di dalam dunia di mana ia berada, sebab gereja adalah produk masyarakat di dalam dunia yang menyatakan imannya kepada TUHAN dari pengalaman hidup mereka.
Tulisan sederhana ini mencoba membuat pemetaan terhadap beberapa isu sosial dan agama di Kota Ambon yang kiranya menjadi bagian dari proses refleksi bersama dalam menata tanggungjawab dan peran gereja di Kota Ambon, terutama Klasis GPM kota Ambon. Catatan ini adalah sekelumit pengalaman saya “berteologi” di Kota Ambon selama masa Vikaris, dan hidup sebagai orang Ambon di tengah kota ini pula.
2. Isu-isu yang mengemuka
Ada banyak problem yang terjadi di dalam masyarakat kota Ambon sebagai bagian dari dinamika sosialnya. Beberapa yang menonjol dan memerlukan perenungan bersama antara lain:
a. Konteks hubungan “orang basudara”. Beberapa kenyataan terkait dengan masalah ini antara lain:
- Kita baru saja pulih dari sebuah sejarah kelam relasi “orang basudara”; yakni sejarah konflik yang melibatkan orang-orang “Salam-Sarane” dalam suatu pertikaian yang memakan ribuan korban jiwa dan material.
- Karena itu proses rehabilitasi sosial dan psikhis menjadi agenda yang penting dan tetap harus ditempatkan dalam proses membangun peace and trust building dalam relasi antar-sesama. Upaya rehabilitasi itu harus dapat menciptakan rasa aman, adil, dan rasa saling percaya (kembali), serta menekan tingkat traumatik dan bahkan “ketakutan” (fearness) dan kecurigaan (prejudice) terhadap orang lain.
- Tetapi masih ada potensi sosial yang memiliki kerentanan tertentu, yakni: pertama, konteks bermukim yang terpisah (segregatif) antara komunitas masyarakat, termasuk pasar kaget, oleh faktor agama. Kita sudah tidak menjumpai lagi lingkungan permukiman campuran dalam kota Ambon. Menyebut “beta tinggal di Karpan” kini secara langsung menunjuk bahwa “beta Kristen”, sebaliknya “beta orang Batumerah” sekaligus menegaskan “beta Islam”. Berbeda dari waktu dulu lalu kita menyebut “Jemaat GPM Bethabara” dan karena itu kita berada di Batumerah, dan begitu sebaliknya. Kedua, kondisi itu dapat menumbuhkan rasa eksklusifisme baru dan solidaritas internal dibangun atas dasar sentimen agama (religious interese) sehingga fundamentalisme hampir tidak bisa dipungkiri. Ketiga, kenyataan relasi “orang basudara” itu menghadapi suatu kondisi yang ironi, atas mengentalnya tuntutan “perimbangan” dalam akses publik. Isu “perimbangan” sebagai Keputusan Malino justru melahirkan ketegangan baru dalam hal perolehan hak-hak publik baik di pemerintahan, pendidikan umum, pembangunan, pembagian lahan usaha (seperti di Pasar Mardika), dll.
- Kondisi kerentanan tadi mengisyaratkan bahwa konteks “orang basudara” di Ambon dihadapkan pada tantangan pluralisme yang serius. Usaha membangun “kesadaran pluralisme” di kalangan warga gereja dan umat beragama adalah usaha yang harus dapat melahirkan sikap saling terbuka dan mengakui kelebihan dan potensi sesama (secara kualitatif).
b. Konteks ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa indikator yang perlu direfleksikan di sini antara lain:
- Terserapnya warga jemaat sebagai pedangang di pasar-pasar kaget ditambah dengan munculnya profesi seperti penarik becak, tukang ojek, penjual tas kresek, tukang sol sepatu, pembuat cap/stempel, dll, menunjukkan bahwa mentalitas usaha ekonomi jemaat telah bertumbuh. Gereja dihadapkan pada usaha pembentukan mentalitas usaha yang jujur, santun, disiplin, setia, dan memahami kerja sebagai bagian dari panggilan TUHAN, agar orang bekerja dengan tetap mempertahankan etika-moral yang baik.
- Jenis-jenis usaha kecil lain yang ditekuni masyarakat, harus terus dirangsang.
- Persaingan usaha di Kota Ambon sebagai bagian dari dampak pembangunan telah menempatkan warga jemaat di dalamnya. Ada warga jemaat yang menjadi pengusaha-pengusaha menengah pada berbagai bidang jasa (kontraktor, dll), di samping PNS, dan profesi lainnya, semakin memaksa gereja melakukan pelayanan yang menyentuh jemaat pada konteks profesi mereka. [Dalam PIP/RIPP diisyaratkan pelayanan jemaat profesi, demikian pun dalam Strategi Pelaksanaan dan Sistem Alokasi Pegawai Organik (SP-SAPO) GPM, dan Kurikulum Pembinaan Umat GPM, sudah ada arah dan muatan kurikulumnya. Menjadi pekerjaan kita di Kota Ambon untuk menerapkan pola pelayanan jemaat profesi itu].
- Masih adanya kantong-kantong tradisional di dalam jemaat-jemaat kita, seperti warga di “Kampung Ullath, Kampung Tepa, Kampung Aboru, dll” merupakan fenomena sosial yang turut membentuk iklim usaha masyarakat. Maksudnya pada kantong-kantong permukiman seperti itu, sering muncul sikap tradisional sebagai akibat dari belum berubahnya kultur di desa ketika tinggal di kota.
- Masih adanya keluarga-keluarga miskin adalah konteks ekonomi dan kesejahteraan yang tidak bisa dipungkiri.
- Demikian pun kecenderungan tingginya angka pengangguran, termasuk pengangguran intelektual, bisa memancing angka kerawanan sosial tertentu di kota. Di samping itu gejala ini memperlihatkan terabaikan kelompok potensial dalam berbagai dinamika perubahan di dalam gereja dan di masyarakat. Konteks ini perlu dilihat di jemaat-jemaat, dan bila perlu datanya dihimpun untuk menentukan program pemberdayaan jemaat yang lebih variatif dan inovatif.
- Jemaat-jemaat pengungsi merupakan bagian dari kenyataan sosial bahwa usaha kesejahteraan merupakan usaha sistematis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan.
c. Konteks Pendidikan.
Beberapa indikator di sini ialah:
- Tuntutan akan kualitas SDM menjadi hal yang penting dalam masyarakat. Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan milik gereja (TK-Perguruan Tinggi) dituntut untuk memberi kontribusi ke arah dimaksud.
- Artinya, gereja harus mampu membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada dalam usaha pemutakhiran kurikulum.
- Pendidikan Anak harus menjadi perhatian setiap keluarga. Oleh sebab itu pengawasan terhadap jam belajar anak dan penyediaan fasilitas belajar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) adalah hal yang tidak bisa dihindari.
- Peran orang tua dalam memberi pendidikan secara dini kepada anak menjadi hal yang perlu, terutama dalam membentuk mentalitas anak agar tidak terpengaruh dengan berbagai perkembangan eksesif dalam masyarakat (sebagai akibat globalisasi).
- Di samping itu, masih ada anak-anak cerdas yang terbatas secara finansial. Gereja kiranya memikirkan strategi penyantunan yang lebih profesional terhadap kelompok ini. Apalagi gempuran modernisasi pendidikan terus memaksa naiknya biaya pendidikan anak.
- Pendidikan terhadap anak-anak cacat harus diperhatikan setiap keluarga, agar mereka tidak melulu dipandang sebagai beban dalam keluarga, atau “memalukan”, sebab kini peluang mereka untuk berkembang semakin terbuka. Ini akan membantu proses pembentukan jatidiri anak cacat itu serta membuat orang lain memandang mereka sebagai sesama yang juga memiliki potensi.
d. Konteks Keamanan.
Beberapa indikator yang menonjol adalah:
- Kota merupakan “pusat segalanya”, termasuk pusat berbagai tindakan kriminal. Angka kriminalitas terus meninggi, dibuktikan dengan semakin meningkatnya penghuni Lapas dan persidangan berbagai kasus di Pengadilan yang tiada henti sampai di tahun 2008 ini. Artinya, keamanan merupakan faktor yang rentan di kota karena tingginya angka kriminalitas oleh berbagai alasan.
- Salah satu faktor rentan dalam aspek keamanan adalah kasus-kasus politik yang kerap terjadi di Ambon, seperti teror bom, pengibaran bendera RMS, dll, adalah fakta bahwa masalah keamanan adalah juga masalah rakyat dengan negara. Ini pertanda kita menghadapi gelombang politisasi yang dirancang oleh kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja memperkeruh suasana, lalu mematikan emansipasi dan partisipasi politik kita (gereja).
- Artinya keamanan di Kota Ambon bisa menjadi baik atau buruk juga sangat tergantung pada pihak ketiga yang ada di Kota Ambon atau di luarnya.
- Memasuki agenda-agenda politik 2008-2009 nanti, faktor keamanan dan kasus-kasus politik diperkirakan akan cukup rentan, karena kelompok kepentingan masih memprovokasi kondisi kekacauan di sana-sini, melalui berbagai cara.
e. Konteks Sosio-Politik.
Beberapa indikator di sini adalah:
- Agenda Pilkada Maluku 2008 adalah suatu “Pesta Demokrasi” yang harus disukseskan, dan gereja bertanggungjawab mensukseskannya. Wujud tanggungjawab gereja adalah dengan melakukan pencerdasan politik kepada masyarakat agar mereka bisa menggunakan hak-hak mereka secara tertanggungjawab, lalu menjaga harmonisasi sosial selama proses Pilkada itu berlangsung, dilanjutkan dalam pembangunan yang akan terus berjalan.
- Sebagai social and moral force gereja dituntut melakukan fungsi profetiknya secara sadar dan memiliki kepekaan etis-injili. Bahwa kontrol sosial yang dimainkannya adalah bagian dari tanggungjawabnya melayani agar politik menjadi seni melayani kepentingan masyarakat, dan kekuasaan menjadi instrumen membangun keadilan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya politik menjadi alat kekuasaan dan kekuasaan menjadi alat politik.
- Gereja dengan sadar dan bersyukur berdoa kepada TUHAN agar setiap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan “bertarung” di “arena Pilkada” akan menjadi orang-orang yang dengan rendah hati “siap kalah – siap menang”. Gereja bertanggungjawab membina para calon Gubernur dan Wakil Gubernur itu agar mereka menjadi teladan dalam proses politik, dengan jalan mempertahankan kejujuran, dan menjunjung tinggi profesionalitasnya. Kekuasaan bukan tujuan, sebaliknya alat untuk mensejahterakan. Itulah suara politik gereja.
- Kota Ambon harus menjadi tempat yang aman bagi berlangsungnya Pilkada Maluku 2008, sekaligus menjadi tempat yang indah bagi berseminya damai di Maluku melalui Pemerintahan yang baru.
f. Konteks relasi beragama.
Beberapa indikator yang penting adalah:
- Pluralisme sebagai agenda kemanusiaan bersama harus mampu menjadikan agama-agama sebagai “pelayan-pelayan kemanusiaan”. Karena itu kesadaran pluralisme harus dibangun dari dasar kearifan lokal dan social capital di Ambon.
- Agama-agama terpanggil untuk menjadi “orang basudara” dan membangun agenda bersama untuk masa depan masyarakat Ambon.
g. Konteks bergereja.
Beberapa indikator yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Strategi pemberdayaan jemaat sebagai pendekatan pelayanan GPM harus diterjemahkan secara praksis di level program jemaat.
- Usaha membangun Profil Bergereja yang meliputi profil pelayan, profil umat dan profil gereja, mesti diejawantahkan ke dalam bentuk-bentuk program riil yang terkait dengan usaha membentuk kematangan politik, kematangan teologis, kematangan sosial-budaya warga jemaat.
Dengan ditetapkannya Peraturan Keuangan GPM dengan model sentraliasi keuangan (70:30%) sebagai hasil Sidang BPL ke-29 di Tual, mengisyaratkan bahwa:
- Jemaat-jemaat dituntut mengembangkan pelayanan yang relevan dan menyentuh basis kebutuhan warga jemaat. Karena itu rancangan program pelayanan harus bertumpu pada need assessment (pendataan kebutuhan riil) di dalam jemaat. Program partisipatif (dalam kaitan dengan hasil Sidang BPL) harus dipikirkan alokasinya kembali, dan memperkaya program yang berbasis jemaat, agar kita pun mampu menggerakkan sistem-sistem sumber pelaksanaannya secara mantap.
- Pola pelaksanaan sentralisasi keuangan itu (sesuai Juklak yang diturunkan dari BPH Sinode) kiranya dijalankan dengan semangat “kekeluargaan” agar terwujud “keseimbangan”. Karena itu otorisator di tingkat jemaat harus mampu melakukan fungsi kontrol keuangan yang efektif, dan menyusun sistem keuangan gereja sesuai nomenklatur yang ada, agar tidak terjadi pembebanan pada satu pos keuangan tertentu, dan juga tidak mengacaukan lalulintas keuangan gereja ke jenjang gereja di atasnya.
- Pelayanan yang menyentuh jemaat adalah pelayanan gereja yang nyata.
Demikian beberapa hal.
KONTEKSTUALISASI TUNAS PEKABARAN INJIL
Membangun Strategi Kontekstual dalam Kegiatan Belajar Mengajar[1]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Prinsip
Tunas Pekabaran Injil (TPI) dalam strategi pembelajaran di Sekolah Minggu-Tunas Pekabaran Injil (SM-TPI) Gereja Protestan Maluku (GPM), pada dirinya sendiri sudah kontekstual. Maksudnya, ia telah diselenggarakan sebagai suatu strategi aplikasi atau penerapan muatan kurikulum SM secara praksis.
Karena itu, materi-materi TPI pada dirinya sendiri merupakan materi-materi yang kontekstual; dalam arti materi yang diangkat dari kenyataan yang aktual (yang benar-benar terjadi dan berpengaruh pada diri anak/masyarakat).
Di samping itu, kegiatan pembelajaran di TPI pada dirinya sendiri sudah kontekstual; yakni suatu kegiatan pembelajaran yang benar-benar diselenggarakan secara terbuka dan menyentuh kehidupan anak asuh, dan memampukan mereka memiliki keterampilan tertentu untuk dapat berperan di dalam hidupnya setiap hari.
Kontekstualisasi TPI dalam arti itu adalah suatu penerapan pembelajaran yang dilakukan melalui penggunaan metode-metode tertentu, sebagai alat untuk membentuk sisi keterampilan atau pengembangan kapasitas anak asuh agar menjadi mandiri dan matang dalam hidupnya.
Kontekstualisasi TPI adalah juga kegiatan pembelajaran sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk membentuk sikap anak asuh (menjadi matang) berhadapan dengan perkembangan konteks (dinamika masyarakat/perubahan sosial). Dalam arti itu, kontekstualisasi TPI menghendaki kontekstualisasi materi pembelajaran itu sendiri. Di sini berarti kurikulum pembelajaran mesti terbuka pada perubahan dan rekayasa.
Kontekstualisasi TPI berlangsung dan mengarah pada perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungan pembelajaran. Setiap lingkungan pembelajaran, di mana pun, berada dalam konteks sosial yang selalu mengalami perubahan secara cepat. Dalam kaitan itu, pembelajaran TPI dituntut untuk menjadi lebih adaptable, atau mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat itu. Injil adalah roh yang menggerakkan kontekstualisasi TPI di dalam perubahan sosial yang cepat itu.
2. Konteks
Secara umum, konteks penyelenggaraan TPI adalah pada anak-anak yang tinggal dalam jemaat-jemaat di perkotaan, pedesaan, pulau-pulau, kawasan industri, daerah transmigrasi, pelosok, dll.
Kita mencoba melihat konteks perkotaan dan pedesaan sebagai dua lingkungan pembelajaran yang umumnya dihadapi dalam kegiatan pembelajaran TPI di GPM (termasuk dalam hal ini Jemaat Bethania dan Rutong).
a. Jemaat Perkotaan dan Anak-Remaja
Jemaat Perkotaan adalah bagian mutlak dari kawasan perkotaan itu sendiri. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di kota, berpengaruh secara langsung dan cepat kepada diri anak. Anak secara otomatis terhisab ke dalam berbagai bentuk pengaruh atau perubahan sosial itu, baik yang konstruktif (positif) maupun yang destruktif (negatif). Bahkan ada suatu bentuk perubahan sosial yang berindikasi pada dua aspek perubahan sekaligus (positif tetapi juga bisa negatif) – misanya media internet.
Di kota tersedia berbagai macam sarana dan prasarana sosial yang bisa diakses secara langsung oleh anak. Keberadaan sarana dan prasarana itu pun membuat anak memiliki sejumlah media alternatif untuk belajar dan rekreasi. Salah satu sarana belajar dan rekreasi yang paling membangkitkan minat dan menyita perhatian anak adalah media elektronik dan pusat-pusat bermain elektronik (seperti play station).
Kota sebagai pusat transaksi ekonomi juga memberi pengaruh tertentu dan cepat terhadap diri anak. Corak transakasional itu juga membuat anak cenderung ingin mencobai suatu komoditi tertentu. Pada sisi tertentu, corak transaksional itu membuat anak pun bersikap transaksional, dalam arti cenderung memilih hal-hal yang bisa mendatangkan kesenangan/kepuasan secara cepat. Kenyataan lain yang umumnya terjadi di kota dalam kaitan dengan dunia ekonomi ini pun adalah eksploitasi anak ke dalam lapangan kerja, atau kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam lingkungan kerja. Kebutuhan ekonomi pun akan dapat mengungkung hak anak untuk pendidikan, sebab dia dituntut bekerja untuk keluarganya, atau pun bekerja karena keterbatasan ekonomi keluarga.
Karena itu, lalu lintas transaksi narkoba dan sex bebas, sering menjadi bentuk pengaruh yang rentan terhadap anak di perkotaan. Ini akan mengganggu proses pertumbuhan dan pembinaan mentalitas anak.
Walau demikian, pesatnya persaingan dunia pendidikan membuat anak pun terpacu untuk mengembangkan diri, termasuk belajar dari berbagai sarana yang tersedia tadi. Motivasi untuk berprestasi begitu tinggi di kalangan anak, sehingga ia memerlukan pula media-media alternatif yang dapat mengasah keterampilannya pada bidang tertentu (seperti bahasa asing, dll).
Pergaulan dalam masyarakat yang heterogen (plural) adalah bagian dari kehidupan di perkotaan yang selalu pula diselingi oleh kompetisi (yang konstruktif). Pada sisi tertentu, heterogenitas perkotaan juga mampu menumbuhkan minat dan keinginan untuk mengembangkan kualitas diri dan kerjasama. Saya melihat ada indikasi lain dari heterogenitas perkotaan itu, yaitu bahwa setiap kelompok agama memiliki media pembinaan anak-remaja masing-masing. Ini bisa menjadi bagian dari proses saling belajar untuk menata strategi pembelajaran pada masing-masing lembaga pembinaan anak-remaja (mis. SM-TPI, Remaja Mesjid) secara matang.
Kita pun tidak bisa mengabaikan dinamika politik masyarakat kota yang berkembang setiap saat sebagai juga faktor kontekstual untuk membina anak memiliki pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran politik anak.
b. Jemaat Pedesaan dan Anak-Remaja
Apakah perubahan sosial juga terjadi di desa? Tentu. Desa dewasa ini ibaratnya “kota mini”, karena tingkat hubungan dengan kota yang sangat tinggi. Dahulu orang-orang di desa menjadikan kebun/dusun, laut, sebagai pusat-pusat aktifitasnya. Berbeda saat ini, orang-orang desa malah menjadikan kota sebagai pusat aktifitas, dan itu pun terjadi pada diri anak.
“Ke kota” adalah semacam kegemaran baru orang-orang desa, yang karena itu membuat mereka sangat cepat menyerap atau bahkan didatangi perubahan itu. Belum lagi perubahan-perubahan di kota membutuhkan “perluasan area” (teritorial-expanded), termasuk perluasan pasar. Dalam arti, dulu, seluruh barang kebutuhan pokok tertentu dipasok dari desa ke kota. Kini, sebaliknya, barang-barang kebutuhan itu ditransfer dari kota ke desa melalui mekanisme pasar. Yang “masuk desa” dewasa ini antara lain “listrik, media (TV+koran), pedagang sayuran keliling, bahkan narkoba”.
Budaya orang-orang desa yang solider lambat laun mengalami pergeseran akibat dari gaya hidup kota yang individual. Karena itu kita sulit lagi menjumpai pola-pola kerjasama dan spontanitas orang-orang desa. Semuanya sudah berubah seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan modal (fiskal). Ini juga merupakan akibat dari “perluasan area pasar” dari kota ke desa, sehingga persaingan dan sifat konsumtif menjadi ternd perilaku orang desa pula.
Hal-hal itu akan berdampak secara langsung kepada anak. Anak akan menerima pengaruh perubahan itu secara “tidak utuh”. Artinya, ia menerima pengaruhnya mungkin tanpa ia sendiri memahami apa sebetulnya hal itu. Ia menjadi korban yang benar-benar tidak tahu penyebabnya. Di sini memperlihatkan bahwa sosialisasi dan informasi menjadi penting dalam menumbuhkan pengetahuan anak mengenai bentuk-bentuk perubahan itu.
Pendidikan adalah salah satu sarana yang penting untuk hal itu. Dalam arti anak mesti didorong untuk bersekolah dan belajar setinggi-tingginya. Di sini pun ada kendala. Artinya, harapan untuk anak bersekolah sering terbentur oleh tiga hal pokok di desa, yaitu (a) ketidaksanggupan keluarga secara ekonomi; (b) pemahaman orang tua yang lemah mengenai pendidikan anak; dan (c) budaya belajar di desa yang “pas-pasan” karena banyak faktor.
Kawin muda (pernikahan dini) atau hamil di luar nikah (pada usia muda/belia) adalah trend lain di desa sebagai akibat dari pemahamannya yang “tidak utuh” terhadap perubahan sosial itu. Ini sudah menjadi fenomena yang umum di desa-desa, dan menjadi bagian dari problem pembinaan Anak-Remaja itu sendiri. Kita tidak dapa mengatakan itu menimpa kalangan pemuda. Sebaliknya hal itu akan memberi rangsangan tersendiri terhadap anak yang dapat menjadi alarm bagi mentalitasnya. Apalagi dengan pemanfaatan media elektronik yang juga sudah marak di desa.
Dalam iklim perubahan sosial itu, desa masih menjadi lingkungan pembelajaran yang tenang. Di samping tenang, relasi pembelajaran di desa berlangsung dalam nuansa kekeluargaan dan karena itu interaksi dengan anak asuh cukup efektif, termasuk kontrol. Ini yang menjadi modal dan model dari pengembangan pembelajaran di desa.
3. Model Kontekstualisasi TPI: di Kota dan di Desa
Semua barang instan itu efektif, tetapi tidak semua barang instan itu tidak beresiko. Artinya model kontekstualisasi TPI tidak bisa kita samakan dengan barang instan. Kontekstualisasi TPI diharapkan memperhatikan beberapa hal, antara lain:
- Lingkungan Pembelajaran, sebab kontekstualisasi TPI berlangsung dalam suatu lingkungan pembelajaran yang nyata.
- Komunitas belajar, yaitu anak asuh dan pengasuh. Untuk SM-TPI, komunitas belajar ini mesti dikenal secara mendalam, sebab ada 12 Sub-Jenjang. Pengenalan di sini terutama pengenalan karakter dan kapasitas komunitas belajar.
- Kondisi dan waktu pembelajaran, dalam arti menentukan timing yang jelas untuk penerapan suatu materi.
- Media pembelajaran, menyangkut alat peraga, sarana-prasarana penunjang
- Budaya masyarakat/lingkungan pembelajaran, dalam rangka penerapan model yang tepat.
- Perubahan Sosial, dalam rangka merekam isu-isu aktual ke dalam materi pembelajaran.
- Kreatifitas dan Metode pembelajaran, agar sesuai dengan karakter komunitas belajar, waktu dan kondisi perubahan itu sendiri.
- Injil, sebagai roh dalam pembelajaran.
Apa pun model yang kemudian dikembangkan, bertujuan untuk membentuk keterampilan dan sikap anak agar mereka menjadi matang dan mandiri dalam hidup ke masa depan. TPI yang kontekstual harus diorganisasi sebaik mungkin. Cara mengorganisasinya ialah dengan membentuk TPI sebagai semacam “sekolah latihan” atau “Pusat Pembinaan Kreatifitas dan Mental”. Karena itu, kurikulum TPI mesti direncanakan secara tersendiri, dengan tetap membangun korelasi dengan SM.
Agenda pembelajaran TPI mesti diformat ulang, dan ini terkait dengan wahana TPI itu sendiri. Untuk Jenjang TK-AK, kegiatan TPI harus dapat merangsang munculnya kreatifitas dan bakat anak. Melatih anak untuk memiliki perhatian yang terfokus pada suatu hal tertentu. Idealnya TPI di sini diharapkan menumbuhkan keterampilan anak mengindentifikasi hal-hal tertentu, termasuk perubahan sosial itu sendiri.
Jenjang AT, kreatifitas anak itu perlu dikembangkan, dan anak dilatih untuk mandiri. Idealnya anak sudah dapat membedakan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya untuk AR, anak harus dibiarkan berprakarsa secara mandiri. Idealnya anak sudah bisa menentukan keputusan berhadapan dengan perubahan-perubahan itu. Di sini, motivasi injil sudah menjadi bagian dari proses penetapan keputusan hidup anak.
Demikian dari saya.
Wasalam
[1] Materi Seminar dan Workshop “Membangun Strategi TPI yang Kontekstual” yang diselenggarakan oleh Sub Komisi Anak-Remaja Jemaat Bethania Klasis GPM Kota Ambon, bekerjasama dengan Sub Komisi Anak-Remaja Jemaat Rutung Klasis GPM Pulau Ambon, di Rutung, 24 Mei 2006.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Prinsip
Tunas Pekabaran Injil (TPI) dalam strategi pembelajaran di Sekolah Minggu-Tunas Pekabaran Injil (SM-TPI) Gereja Protestan Maluku (GPM), pada dirinya sendiri sudah kontekstual. Maksudnya, ia telah diselenggarakan sebagai suatu strategi aplikasi atau penerapan muatan kurikulum SM secara praksis.
Karena itu, materi-materi TPI pada dirinya sendiri merupakan materi-materi yang kontekstual; dalam arti materi yang diangkat dari kenyataan yang aktual (yang benar-benar terjadi dan berpengaruh pada diri anak/masyarakat).
Di samping itu, kegiatan pembelajaran di TPI pada dirinya sendiri sudah kontekstual; yakni suatu kegiatan pembelajaran yang benar-benar diselenggarakan secara terbuka dan menyentuh kehidupan anak asuh, dan memampukan mereka memiliki keterampilan tertentu untuk dapat berperan di dalam hidupnya setiap hari.
Kontekstualisasi TPI dalam arti itu adalah suatu penerapan pembelajaran yang dilakukan melalui penggunaan metode-metode tertentu, sebagai alat untuk membentuk sisi keterampilan atau pengembangan kapasitas anak asuh agar menjadi mandiri dan matang dalam hidupnya.
Kontekstualisasi TPI adalah juga kegiatan pembelajaran sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk membentuk sikap anak asuh (menjadi matang) berhadapan dengan perkembangan konteks (dinamika masyarakat/perubahan sosial). Dalam arti itu, kontekstualisasi TPI menghendaki kontekstualisasi materi pembelajaran itu sendiri. Di sini berarti kurikulum pembelajaran mesti terbuka pada perubahan dan rekayasa.
Kontekstualisasi TPI berlangsung dan mengarah pada perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungan pembelajaran. Setiap lingkungan pembelajaran, di mana pun, berada dalam konteks sosial yang selalu mengalami perubahan secara cepat. Dalam kaitan itu, pembelajaran TPI dituntut untuk menjadi lebih adaptable, atau mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat itu. Injil adalah roh yang menggerakkan kontekstualisasi TPI di dalam perubahan sosial yang cepat itu.
2. Konteks
Secara umum, konteks penyelenggaraan TPI adalah pada anak-anak yang tinggal dalam jemaat-jemaat di perkotaan, pedesaan, pulau-pulau, kawasan industri, daerah transmigrasi, pelosok, dll.
Kita mencoba melihat konteks perkotaan dan pedesaan sebagai dua lingkungan pembelajaran yang umumnya dihadapi dalam kegiatan pembelajaran TPI di GPM (termasuk dalam hal ini Jemaat Bethania dan Rutong).
a. Jemaat Perkotaan dan Anak-Remaja
Jemaat Perkotaan adalah bagian mutlak dari kawasan perkotaan itu sendiri. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di kota, berpengaruh secara langsung dan cepat kepada diri anak. Anak secara otomatis terhisab ke dalam berbagai bentuk pengaruh atau perubahan sosial itu, baik yang konstruktif (positif) maupun yang destruktif (negatif). Bahkan ada suatu bentuk perubahan sosial yang berindikasi pada dua aspek perubahan sekaligus (positif tetapi juga bisa negatif) – misanya media internet.
Di kota tersedia berbagai macam sarana dan prasarana sosial yang bisa diakses secara langsung oleh anak. Keberadaan sarana dan prasarana itu pun membuat anak memiliki sejumlah media alternatif untuk belajar dan rekreasi. Salah satu sarana belajar dan rekreasi yang paling membangkitkan minat dan menyita perhatian anak adalah media elektronik dan pusat-pusat bermain elektronik (seperti play station).
Kota sebagai pusat transaksi ekonomi juga memberi pengaruh tertentu dan cepat terhadap diri anak. Corak transakasional itu juga membuat anak cenderung ingin mencobai suatu komoditi tertentu. Pada sisi tertentu, corak transaksional itu membuat anak pun bersikap transaksional, dalam arti cenderung memilih hal-hal yang bisa mendatangkan kesenangan/kepuasan secara cepat. Kenyataan lain yang umumnya terjadi di kota dalam kaitan dengan dunia ekonomi ini pun adalah eksploitasi anak ke dalam lapangan kerja, atau kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam lingkungan kerja. Kebutuhan ekonomi pun akan dapat mengungkung hak anak untuk pendidikan, sebab dia dituntut bekerja untuk keluarganya, atau pun bekerja karena keterbatasan ekonomi keluarga.
Karena itu, lalu lintas transaksi narkoba dan sex bebas, sering menjadi bentuk pengaruh yang rentan terhadap anak di perkotaan. Ini akan mengganggu proses pertumbuhan dan pembinaan mentalitas anak.
Walau demikian, pesatnya persaingan dunia pendidikan membuat anak pun terpacu untuk mengembangkan diri, termasuk belajar dari berbagai sarana yang tersedia tadi. Motivasi untuk berprestasi begitu tinggi di kalangan anak, sehingga ia memerlukan pula media-media alternatif yang dapat mengasah keterampilannya pada bidang tertentu (seperti bahasa asing, dll).
Pergaulan dalam masyarakat yang heterogen (plural) adalah bagian dari kehidupan di perkotaan yang selalu pula diselingi oleh kompetisi (yang konstruktif). Pada sisi tertentu, heterogenitas perkotaan juga mampu menumbuhkan minat dan keinginan untuk mengembangkan kualitas diri dan kerjasama. Saya melihat ada indikasi lain dari heterogenitas perkotaan itu, yaitu bahwa setiap kelompok agama memiliki media pembinaan anak-remaja masing-masing. Ini bisa menjadi bagian dari proses saling belajar untuk menata strategi pembelajaran pada masing-masing lembaga pembinaan anak-remaja (mis. SM-TPI, Remaja Mesjid) secara matang.
Kita pun tidak bisa mengabaikan dinamika politik masyarakat kota yang berkembang setiap saat sebagai juga faktor kontekstual untuk membina anak memiliki pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran politik anak.
b. Jemaat Pedesaan dan Anak-Remaja
Apakah perubahan sosial juga terjadi di desa? Tentu. Desa dewasa ini ibaratnya “kota mini”, karena tingkat hubungan dengan kota yang sangat tinggi. Dahulu orang-orang di desa menjadikan kebun/dusun, laut, sebagai pusat-pusat aktifitasnya. Berbeda saat ini, orang-orang desa malah menjadikan kota sebagai pusat aktifitas, dan itu pun terjadi pada diri anak.
“Ke kota” adalah semacam kegemaran baru orang-orang desa, yang karena itu membuat mereka sangat cepat menyerap atau bahkan didatangi perubahan itu. Belum lagi perubahan-perubahan di kota membutuhkan “perluasan area” (teritorial-expanded), termasuk perluasan pasar. Dalam arti, dulu, seluruh barang kebutuhan pokok tertentu dipasok dari desa ke kota. Kini, sebaliknya, barang-barang kebutuhan itu ditransfer dari kota ke desa melalui mekanisme pasar. Yang “masuk desa” dewasa ini antara lain “listrik, media (TV+koran), pedagang sayuran keliling, bahkan narkoba”.
Budaya orang-orang desa yang solider lambat laun mengalami pergeseran akibat dari gaya hidup kota yang individual. Karena itu kita sulit lagi menjumpai pola-pola kerjasama dan spontanitas orang-orang desa. Semuanya sudah berubah seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan modal (fiskal). Ini juga merupakan akibat dari “perluasan area pasar” dari kota ke desa, sehingga persaingan dan sifat konsumtif menjadi ternd perilaku orang desa pula.
Hal-hal itu akan berdampak secara langsung kepada anak. Anak akan menerima pengaruh perubahan itu secara “tidak utuh”. Artinya, ia menerima pengaruhnya mungkin tanpa ia sendiri memahami apa sebetulnya hal itu. Ia menjadi korban yang benar-benar tidak tahu penyebabnya. Di sini memperlihatkan bahwa sosialisasi dan informasi menjadi penting dalam menumbuhkan pengetahuan anak mengenai bentuk-bentuk perubahan itu.
Pendidikan adalah salah satu sarana yang penting untuk hal itu. Dalam arti anak mesti didorong untuk bersekolah dan belajar setinggi-tingginya. Di sini pun ada kendala. Artinya, harapan untuk anak bersekolah sering terbentur oleh tiga hal pokok di desa, yaitu (a) ketidaksanggupan keluarga secara ekonomi; (b) pemahaman orang tua yang lemah mengenai pendidikan anak; dan (c) budaya belajar di desa yang “pas-pasan” karena banyak faktor.
Kawin muda (pernikahan dini) atau hamil di luar nikah (pada usia muda/belia) adalah trend lain di desa sebagai akibat dari pemahamannya yang “tidak utuh” terhadap perubahan sosial itu. Ini sudah menjadi fenomena yang umum di desa-desa, dan menjadi bagian dari problem pembinaan Anak-Remaja itu sendiri. Kita tidak dapa mengatakan itu menimpa kalangan pemuda. Sebaliknya hal itu akan memberi rangsangan tersendiri terhadap anak yang dapat menjadi alarm bagi mentalitasnya. Apalagi dengan pemanfaatan media elektronik yang juga sudah marak di desa.
Dalam iklim perubahan sosial itu, desa masih menjadi lingkungan pembelajaran yang tenang. Di samping tenang, relasi pembelajaran di desa berlangsung dalam nuansa kekeluargaan dan karena itu interaksi dengan anak asuh cukup efektif, termasuk kontrol. Ini yang menjadi modal dan model dari pengembangan pembelajaran di desa.
3. Model Kontekstualisasi TPI: di Kota dan di Desa
Semua barang instan itu efektif, tetapi tidak semua barang instan itu tidak beresiko. Artinya model kontekstualisasi TPI tidak bisa kita samakan dengan barang instan. Kontekstualisasi TPI diharapkan memperhatikan beberapa hal, antara lain:
- Lingkungan Pembelajaran, sebab kontekstualisasi TPI berlangsung dalam suatu lingkungan pembelajaran yang nyata.
- Komunitas belajar, yaitu anak asuh dan pengasuh. Untuk SM-TPI, komunitas belajar ini mesti dikenal secara mendalam, sebab ada 12 Sub-Jenjang. Pengenalan di sini terutama pengenalan karakter dan kapasitas komunitas belajar.
- Kondisi dan waktu pembelajaran, dalam arti menentukan timing yang jelas untuk penerapan suatu materi.
- Media pembelajaran, menyangkut alat peraga, sarana-prasarana penunjang
- Budaya masyarakat/lingkungan pembelajaran, dalam rangka penerapan model yang tepat.
- Perubahan Sosial, dalam rangka merekam isu-isu aktual ke dalam materi pembelajaran.
- Kreatifitas dan Metode pembelajaran, agar sesuai dengan karakter komunitas belajar, waktu dan kondisi perubahan itu sendiri.
- Injil, sebagai roh dalam pembelajaran.
Apa pun model yang kemudian dikembangkan, bertujuan untuk membentuk keterampilan dan sikap anak agar mereka menjadi matang dan mandiri dalam hidup ke masa depan. TPI yang kontekstual harus diorganisasi sebaik mungkin. Cara mengorganisasinya ialah dengan membentuk TPI sebagai semacam “sekolah latihan” atau “Pusat Pembinaan Kreatifitas dan Mental”. Karena itu, kurikulum TPI mesti direncanakan secara tersendiri, dengan tetap membangun korelasi dengan SM.
Agenda pembelajaran TPI mesti diformat ulang, dan ini terkait dengan wahana TPI itu sendiri. Untuk Jenjang TK-AK, kegiatan TPI harus dapat merangsang munculnya kreatifitas dan bakat anak. Melatih anak untuk memiliki perhatian yang terfokus pada suatu hal tertentu. Idealnya TPI di sini diharapkan menumbuhkan keterampilan anak mengindentifikasi hal-hal tertentu, termasuk perubahan sosial itu sendiri.
Jenjang AT, kreatifitas anak itu perlu dikembangkan, dan anak dilatih untuk mandiri. Idealnya anak sudah dapat membedakan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya untuk AR, anak harus dibiarkan berprakarsa secara mandiri. Idealnya anak sudah bisa menentukan keputusan berhadapan dengan perubahan-perubahan itu. Di sini, motivasi injil sudah menjadi bagian dari proses penetapan keputusan hidup anak.
Demikian dari saya.
Wasalam
[1] Materi Seminar dan Workshop “Membangun Strategi TPI yang Kontekstual” yang diselenggarakan oleh Sub Komisi Anak-Remaja Jemaat Bethania Klasis GPM Kota Ambon, bekerjasama dengan Sub Komisi Anak-Remaja Jemaat Rutung Klasis GPM Pulau Ambon, di Rutung, 24 Mei 2006.
Integrasi sosial masyarakat Rumahtiga pascakonflik Ambon:
Perspektif Kristen Protestan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
The lamp are different, but the light is the same
(Jalalu’l-Din Rumi)
1. Pengantar
Saya bersyukur hadir dalam “Rujuk Sosial Rumahtiga” (Integrasi Sosial Rumahtiga), suatu kondisi kohesif yang sudah menjadi cita-cita bersama bukan hanya orang Rumahtiga, tetapi cita-cita kemanusiaan Maluku yang sejati, cita-cita Indonesia, dan saya yakin cita-cita seluruh warga dunia yang peduli pada kemanusiaan.
Sebetulnya proses-proses sosial ke arah integrasi itu harus dilihat sebagai bagian dari dinamika sosial yang selalu berhadapan dengan social tension (ketegangan sosial) sebagai akibat dari telah terbentuknya klaim diri (self-centered) dan klaim teritori (geo social) – dan lebih parah lagi jika bentuk-bentuk klaim sosial itu sudah terstruktur dalam basis-basis eksklusifitas, dan salah satunya dikondisikan oleh agama. Akibatnya bukan saja terjadi kemacetan dalam komunikasi, tetapi kemacetan dalam proses sosial bersama.
Integrasi sosial yang menuju pada suatu situasi kohesi memang sering dikritik sebagai sesuatu yang utopis, tetapi integrasi itu adalah tujuan esensial dari beradanya masyarakat di mana pun, kapan pun, dalam situasi apa pun mereka. Sebab setiap masyarakat itu hendak berada dalam suatu type ideal masyarakat, dan konflik sosial selalu dimengerti sebagai bagian dari dinamika sosial yang [harus] mengarah ke integrasi atau harmoni sosial. Keterarahan itu yang menunjukkan bahwa masyarakat manusia itu adalah makhluk yang beradab; dalam kalimat lain, suatu masyarakat yang tidak mencapai integrasi dan terus menjebak diri dalam konflik adalah masyarakat yang gagal membentuk pemberadaban dirinya sendiri. Masyarakat ini tipe ini kehilangan spirit kemanusiaannya dan terkapar di dasar ciri zoologis yang mengkristal di bawah alam sadarnya.
Jika kita masih berhadapan dengan kendala-kendala dalam proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” saya kira kita harus mempersoalkan kembali proses-proses sosial yang kita jalani pascakonflik. Dalam teorinya, suatu kondisi kohesif selalu berproses dari:
- Tahap Konflik Sosial
- Tahap Rekonseliasi
- Tahap Rehabilitasi - Restrukturisasi
- Tahap Integrasi
- Tahap Kohesif, kesadaran purna
Sering suatu kondisi integrasi terganggu karena ada persoalan-persoalan laten yang tidak terselesaikan dalam masa rekonseliasi dan rehabilitasi – restrukturisasi. Dan persoalan-persoalan itu terkait dengan akses masyarakat akan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan – kesederajatan, di samping trauma dan pemahaman diri (self-understanding) yang masih rapuh. Atau mungkin saja rekonseliasi itu dilompati dengan rehabilitasi, artinya kita belum siap hidup berdampingan tetapi [pemerintah] sudah langsung melakukan rehabilitasi sosial secara fisik. Akibatnya kita terbawa dalam situasi ketegangan sosial yang serius dan sulit teratasi.
Sebelum membicarakan topik ini dari sudut pandang Teologi Kristen Protestan, perlu ada pemetaan mengenai realitas sosial kita bersama dalam rangka melihat di mana sumber-sumber kemacetan yang terjadi serta bagaimana usaha kita untuk membangun suatu agenda bersama yang lebih menjamin proses hidup bersama itu.
Konflik sosial Maluku dalam kondisi tertentu telah melahirkan beberapa keadaan sosial yang harus diarifi secara bersama.
a. Terbentuknya segmentasi ekonomi, di mana muncul pasar-pasar kaget yang terstruktur dalam suatu lingkungan sosial yang dihuni oleh satu kelompok agama saja. Transaksi di pasar-pasar itu terjadi antara penjual dan pembeli yang berlatar belakang agama sama (Kristen), karena itu pasar tidak lagi menjadi wilayah publik yang terbuka, melainkan suatu wilayah ekonomi yang eksklusif. Pasar tidak menjadi ruang perjumpaan antar warga yang berbeda latar belakang agama sehingga dapat saja pasar melanggengkan eksklusifisme agama itu sendiri. Apalagi jika aktifitas ritus suatu agama juga sudah dibawa masuk ke dalam pasar. Ini tentu harus dikritisi kembali.
Pasca konflik, justru pasar kembali menjadi satu-satunya pusat pertemuan publik. Tetapi di pasar kita mengembangkan komunikasi transaksional, di mana orang membangun komunikasi untuk menawarkan komoditi dan harga barang. Materi percakapan tidak menyentuh bagaimana hidup bersama, tetapi sebatas pada tawar-menawar produk dan harga. Ada dimensi jasa yang terwujud di situ, tetapi juga dalam nuansa transaksional.
b. Terbentuknya permukiman segregatif, di mana tidak ada lokasi permukiman bercampur seperti yang dijumpai pada saat sebelum konflik. Corak bermukim seperti ini terbentuk karena self-defence approach pada masa konflik. Orang merasa aman jika bermukim dalam satu kawasan yang semua penduduk/tetangganya beragama sama. Karena itu terbentuk kembali permukiman homogen yang bercorak religius, seperti dibentuk kolonial di zaman lampau. Dari sisi teologi, corak bermukim seperti ini akan memupuk eksklusifisme dan semangat triumphalisme yang kuat, karena umat beragama kehilangan pengalaman hidup bersama (neighbour lost), akibatnya proses-proses toleransi tidak saja macet, tetapi hilang. Karena itu kita perlu membentuk pengalaman hidup bersama kembali.
c. Menguatnya klaim diri (self-centered) yang bertumpu pada klaim kebenaran agama (the truth claim). Umat beragama merasa lebih benar satu terhadap lainnya. Kesejatian agama ditentukan berdasarkan paham-paham beragama yang mapan. Lucunya ialah oleh karena paham agama itu, kita cenderung memberi penilaian yang berat sebelah terhadap kebenaran yang dianut dalam dan sesuai dengan ajaran agama kelompok lainnya. Dan tanpa disadari klaim diri seperti itu juga lahir karena tafsir kitab suci yang kaku. Perilaku biblisentrisme dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran diri dan kelompok. Pertanyaan kritisnya di sini ialah apakah setiap agama itu menyembah TUHAN yang berbeda, atau sebaliknya hanya ada satu TUHAN yang disembah melalui beribu nama, jalan dan cara?
d. Kerentanan pluralisme, sebagai akibat dari ketiga hal tadi. Artinya konteks kemajemukan masyarakat, berdasar pada berbagai faktor, salah satunya agama, dilihat secara dikotomi. Citra manusia yang berbeda-beda tidak dipahami sebagai kekayaan kemanusiaan yang sejati, sebaliknya dipertentangkan oleh karena hegemoni sosial yang hendak diciptakan dalam konteks kemajemukan itu. Di sini kita sebenarnya mengalami krisis perbedaan yang cukup fundamental. Kesadaran pluralisme merupakan suatu kondisi sosial dan personal yang perlu dibentuk dalam hidup bersama.
Keempat hal ini akan mengantar kita melihat perspektif Teologi Kristen Protestan tentang “Rujuk Sosial Rumahtiga”. Saya hendak menegaskan bahwa proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” adalah sebuah tanggungjawab pemberadaban publik di Maluku demi kemanusiaan yang sejati.
2. Fakta Pluralisme
Pluralisme adalah kondisi kepelbagaian yang terjadi karena berbagai macam faktor sosial, seperti budaya, bahasa, pengetahuan, sistem politik, agama, dll. Bahwa masing-masing orang dan komunitas itu memiliki ciri-ciri masing-masing yang beragam, tidak sama persis dengan orang dan komunitas lainnya. Ciri-ciri masing-masing itu dimiliki mereka sebagai anugerah TUHAN, dan dikembangkan melalui mekanisme sosial dan kebudayaan yang khas pula.
Ciri masing-masing itu bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya disyukuri sebab pada ciri masing-masing itulah terletak citra/fitrah kemanusiaan manusia itu. Karena itu, pluralisme itu anti terhadap:
- Uniformitas atau penyeragaman, di mana setiap orang dan setiap kelompok harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan jatidirinya sesuai dengan ciri masing-masing yang mereka miliki. Penyeragaman justru akan mengabaikan jatidiri manusia, dan akan menjebak kita dalam tirani suatu budaya mayoritas terhadap yang minoritas. Jika semua orang dan semua komunitas harus berciri sama, maka masyarakat manusia itu tidak lebih daripada robot yang dikendalikan dengan remote control. Beragama yang seperti itu akan membawa kita ke dalam perangkap egosentrisme.
- Dominasi. Pluralisme atau kemajemukan itu dalam segala seginya berusaha memajukan budaya kehidupan yang egaliter, membangun komunikasi yang sejajar, emansipatif, dan membentuk iklim sosial yang harmonis. Dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya justru memperlihatkan bahwa masyarakat dan umat beragama itu jatuh dalam paham triumphalisme (kemauan untuk menang sendiri). Paham ini akan membuat agama-agama menjadi “penjajah baru” di dalam satu komunitas masyarakat majemuk. Tidak ada keselarasan dalam menata hidup bersama.
Dalam teologi, paham pluralisme itu mengakui bahwa setiap kelompok agama memiliki kebenaran masing-masing, dan kelompok agama itu harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan dirinya sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini, tanpa harus diganggu/dihalangi.
Bagaimana dengan kekhasan masing-masing agama? Dalam pluralisme kekhasan itu dibiarkan bertumbuh dan berkembang, dan diserahkan menjadi urusan internal masing-masing kelompok agama. Itu menjadi hak privat agama yang tidak bisa dihalangi. Ada aspek kebebasan dalam berekspresi, sebab agama, bagi penganut paham pluralisme, adalah suatu bentuk refleksi kebudayaan dan kesadaran manusia akan keberadaannya di tengah masyarakat, alam semesta, dan di hadapan Tuhan Yang Satu.
Realitas Tuhan Yang Satu itu yang membuat setiap kelompok agama harus mengembangkan sikap hidup yang terbuka. Karena itu pluralisme menolak klaim kaum Eksklusifisme yang memandang bahwa di luar diri mereka tidak ada lagi kebenaran yang lain – otomatis kalau Tuhan itu juga dipandang sebagai suatu “kebenaran tertinggi” maka bagi mereka di luar mereka juga tidak ada Tuhan yang lain; kalau pun ada, Tuhan itu memiliki harkat yang lebih rendah dan mungkin rusak dari Tuhan mereka.
Demikian pun pluralisme memahami kaum Inklusifisme sebagai eksklusifisme gaya baru, karena jika inkulsifisme menerima kebenaran di luar mereka, bagi mereka kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang mereka yakini. Bagi kaum pluralisme, hal itu pun masih membuat agama terkurung dalam “egosentrisme”.
Kaum pluralisme lebih suka mewacanakan kehidupan bersama, sebab setiap manusia memiliki citra yang sama di hadapan Tuhan, yaitu makhluk, dan Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang satu, hanya disembah melalui beribu nama, jalan dan cara. Hal nama, jalan dan cara menyembah Tuhan, itu adalah hasil produksi budaya masing-masing orang dan/atau kelompok umat beragama.
Karena itu bagi kaum pluralisme, kepelbagaian yang ada bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya digunakan sebagai potensi untuk membangun harmoni kehidupan dan melakukan agenda kehidupan bersama di dalam masyarakat, bangsa dan negara dan dunia yang satu juga.
3. Pandangan Kristen tentang Hidup Bersama
Sebenarnya agama-agama itu memiliki tujuan yang sama yaitu “melayani manusia dan alam ciptaan TUHAN”, sebagai wujud pelayanan atau bakti (ibadah) kepada TUHAN. Tidak satupun agama di dunia ini yang anti kemanusiaan, sebaliknya agama adalah mekanisme yang dihasilkan untuk membentuk kemanusiaan yang paripurna.
Jika ditanyakan mengenai konsepsi kristen tentang pluralisme atau kemajemukan, sebenarnya tidak berbeda dari pandangan teologi lainnya. Kekristenan melihat pluralisme atau kemajemukan itu sebagai realitas anugerah/kodrat TUHAN kepada setiap manusia dalam setiap komunitasnya. Hal pokok dari kemajemukan atau ciri masing-masing itu ialah derajat atau dignitas kemanusiaan itu sendiri.
Saya mengutip apa yang dikatakan Paul F. Kniter, bahwa:
“tidaklah cukup mengakui dan membuka diri terhadap perbedaan yang ada, di samping mengakui perbedaan tersebut kita harus juga mengakui kebebasan dan martabat seseorang. Kalau tidak ada kebebasan dan dignitas, kita harus berusaha menghadirkannya. Menyenangi perbedaan tetapi tidak prihatin terhadap martabat berarti kita tidak sepenuh hati mengulurkan tangan kepada orang lain” (Kniter, 2006:129)
Di sisi lainnya, jika diambil dari teks Injil, Yesus menterjemahkan realitas kemajemukan itu dalam satu istilah “sesama manusia”. Artinya setiap orang itu adalah “sesama manusia” yang potensial untuk membuat kebaikan bersama (common good) di dalam dunia. Cerita Injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria yang murah hati” adalah kritik terhadap eksklusifisme keyahudian (dan gereja) yang mengklaim sesama manusia itu hanya pada diri dan kelompok mereka saja.
Satu hal mendasar dalam teks Injil itu adalah pentingnya memulihkan dignitas manusia dan memberi jaminan kehidupan kepada orang-orang yang tertindas, teraniaya, kelompok marginal. Yesus malah menunjuk kepada orang-orang Yahudi bahwa, saudara mereka orang Samaria memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik, karena kepekaan sosialnya begitu tinggi. Dimensi ini yang kadang hilang dari agama-agama dewasa ini, karena kita sudah terjebak dalam klaim diri dan kelompok secara kaku.
Ada beberapa sumber kemacetan dalam teologi yang menjadi alasan mengapa menata hidup bersama (dalam konteks kemajemukan) itu sulit, antara lain:
- Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks-teks kitab suci yang eksklusif. Agama-agama memiliki dan menganggap kitab suci mereka sebagai yang mengandung kebenaran sempurna; padahal kita lupa akan situasi sosial yang mempengaruhi terbentuknya tulisan suci itu. Dalam kekristenan diakui bahwa para penulis Alkitab memang mendapat ilham Roh Kudus untuk memproduksi tulisan suci, tetapi tulisan suci dalam Alkitab itu juga lahir dari konteks sosial yang riil, termasuk situasi sosial di mana orang-orang Yahudi menganggap diri mereka yang paling benar dan mereka sebagai satu-satunya komunitas yang diselamatkan Tuhan (konsep predestinasi).
Demikian pun kelompok kristen dalam Perjanjian Baru menganggap kebenaran dan keselamatan itu hanya terjadi di dalam gereja dan tidak ada di luarnya (extra ecclesia nula salus). Konsep-konsep seperti itu sudah menjadi semacam pandangan dunia (worldview) yang melahirkan teks-teks tertentu. Karena itu, teks-teks suci di dalam Alkitab juga ada yang sangat eksklusif atau bahkan triumphalistik.
Sekarang Alkitab yang diproduksi di luar Indonesia dalam zaman dan waktu yang sangat panjang dan lama itu harus dibaca dala konteks Indonesia. Oleh sebab itu, teks-teks yang bernuansa eksklusif seperti itu sudah tidak bisa lagi dipahami dalam konteks keyahudian dan keyunaniannya, tetapi mesti dikritisi dalam konteks keindonesiaan kita yang majemuk. Pada saat teks-teks Alkitab itu ditulis, Yahudi dan Kristen menjadi kelompok yang dominan, dan sistem politik dewasa itu menjamin posisi dominasi mereka. Berbeda kondisinya dengan Indonesia yang demokratis yang menjamin kebersamaan dalam hak dan kedudukan sosial di dalam bangsa dan negara. Teks-teks itu tidak harus dipahami secara harfiah seperti tertulis demikian. Di sini tafsir teks yang baru harus dikerjakan secara serius.
- Paham Tuhan. Agama-agama di dunia itu menyembah Tuhan yang satu, yaitu Pencipta manusia dan alam semesta. Tidak ada Tuhan yang lain, selain Tuhan Sang Pencipta itu. Kadang paham Tuhan ini menjebak agama-agama ke dalam klaim kebenaran (truth claim) yang rapuh, seakan Tuhan yang benar dan mulia itu hanya ada di dalam satu kelompok agama saja. Tuhan itu adalah realitas ultima. Teolog seperti John B. Cobb, jr, malah memahami Tuhan ibarat “sumber air dalam tanah”. Di suatu tempat akan muncul dalam bentuk sumur, di tempat lain danau, di tempat lain lagi sungai, dll, tetapi semuanya memancar dari satu sumber air yang sama di dalam tanah.
Agama-agama di Indonesia kini terjebak dalam cara memahami Tuhan secara tidak kontekstual. Kita masih mewarisi cara memahami Tuhan ala orang Barat dan Timur Tengah yang hierarkhis.
Di Eropa, yang kala itu didominasi kristen, Tuhan: dalam arti Tri Tunggal menempati posisi tertinggi, kemudian di bawahnya adalah orang Eropa (etnis) dan yang beragama Kristen, kemudian di bawahnya lagi baru orang-orang berkebangsaan dan beragama lain. Sama halnya dengan paham Tuhan di Arab, di mana Tuhan: dalam arti Allah SWT menempati posisi tertinggi, di bawahnya adalah orang-orang Arab dan agama Islam, baru di bawahnya lagi komunitas lain yang beragama lain. Paham hierarkhis seperti ini adalah politisasi paham Tuhan, seakan Tuhan itu melegalkan dominasi dan ordinasi. Tetapi itu relevan di Eropa dan Arab karena corak sosial dan politik mereka memungkinkan terjadinya struktur pemahaman seperti itu.
Bagaimana dengan Indonesia yang demokratis dan majemuk? Tuhan Yang Satu dalam pemahaman dunia orang Indonesia adalah Tuhan yang disembah oleh setiap agama melalui nama yang berbeda-beda. Dia adalah Allah SWT dalam namanya yang Islam, Tritunggal sesuai namanya di Kristen, Shang Hyang Widi Wasa dalam nama Hindu dan BuddhaNya, dll, termasuk nama-nama kebudayaan lainnya. Nama-nama itu adalah identitas budaya atau nama budaya tentang Tuhan, dan Tuhan itu sendiri ada di atas seluruh pengalaman budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Di bawah Tuhan ada setiap agama dengan semua perangkat nama dan cara mereka menyembah Tuhan. Setiap agama menempati posisi dan ruang yang sama di Indonesia, dan ada kesetaraan di antara mereka, lalu karena itu mereka semua hidup dalam keadilan dan kesejahteraan yang sama pula.
- kekayaan agama dilihat sebatas pada kekayaan ritual, sehingga agama-agama memberi fokus pada aspek ritual lalu mengabaikan tanggungjawab sosial sebagai esensi beragama. Orang lebih suka “memperkuat agama”, daripada menjalankan fungsi agama yaitu “melayani sesama manusia dan alam semesta”. Ritus dibuat untuk menertibkan cara ekspresi umat beragama, bukan membentengi agama dari kepedulian terhadap orang lain. Karena itu kekayaan agama justru terletak pada tanggungjawab pemanusiaan.
Tiga hal itu yang kiranya kita maknai dalam kerangka hidup bersama ke depan.
4. Menata Agenda “Rujuk Sosial Rumahtiga” keluar dari krisis perbedaan
Saya tidak akan memberikan formula dan agenda yang praksis, karena hal itu harus datang dari need assessment yang jelas. Bagi saya “orang Rumahtiga” itu lebih memahami apa yang mereka perlukan dan apa yang harus mereka kerjakan secara bersama.
Saya bertanggungjawab untuk meningkatkan kita mengenai dimensi “Rujuk Sosial Rumahtiga” sebagai suatu strategi pemberadaban kemanusiaan melalui agama.
Bagi saya, dengan hilangnya permukiman bercampur di Kota Ambon (dan Maluku secara umum), kita kehilangan momentum untuk menjadi agama yang solider dengan masa depan manusia di Maluku, di Indonesia dan di dunia. Agama-agama dapat terjebak dalam klaim sosial yang semakin memperuncing ketegangan, sehingga integrasi akan sulit dicapai. Sebaliknya suatu waktu kita akan kembali ke titik anomali, lalu terkapar lagi dalam konflik lama yang semakin membawa luka dan kebencian.
Rumahtiga sebagai kawasan permukiman bercampur harus ditempatkan dalam semangat kontekstualisasi agama di Ambon dan Indonesia. Artinya, kita memerlukan tipikal masyarakat yang benar-benar mampu mengelola kepelbagaiannya di dalam krisis perbedaan itu tadi. Basudara Salam-Sarane di Rumahtiga harus berani untuk hidup berdampingan, sebab kita harus melepaskan diri dari “momok perbedaan” yang terus-menerus dipertentangkan.
Krisis perbedaan itu terjadi ketika sesuatu dianggap bersalah, perbedaan-perbedaan ditiadakan dan muncullah pola-pola kebiasaan suatu pranata. Krisis perbedaan merupakan krisis sosial dan kultural yang mengancam kehidupan komunitas (L. Lefebure).
Rene Girard melihat bahwa karena krisis perbedaan itu, maka di dalam masyarakat akan muncul “tuduhan” sebagai cara orang “mencari kambing hitam”. Orang, karena perbedaan tertentu dengan orang lain – termasuk perbedaan kepentingan politik – dapat saja menggunakan mekanisme “tuduhan” sebagai cara untuk menekan orang lain, dan karena itu mengeksekusi suatu ciri tipikal orang lain yang berbeda dari dirinya. “Tuduhan” dalam hal ini dilancarkan untuk memaksakan pola kelompok yang arogan ke dalam suatu public sphere yang luas dan plural. Akibatnya “kambing hitam” selalu merupakan orang atau kelompok marjinal yang karena krisis perbedaan itu tidak dibiarkan berkembang sesuai dengan tipikalnya itu.
Di dalam suatu masyarakat plural, mekanisme “tuduhan” ini muncul sebagai bukti masih menguatnya fundamentalisme dan eksklusifisme yang terkadang radikal. Tampak polarisasi yang terus menajam, sebab kelompok tertentu terus melancarkan paksaan karena tidak bersedia menerima adanya perbedaan di dalam masyarakat. Perbedaan telah dilihat sebagai realitas kontra-produktif, yang harus ditiadakan. Cara semacam ini hanya terjadi dalam suatu masyarakat barbar, dan bukan masyarakat sipil yang berkeadaban.
Di sini pluralisme di Rumahtiga sudah tidak mesti dilihat dalam kaitan dengan isu-isu sensetif dalam agama lagi, yang dapat menimbulkan tabrakan dogma. Agenda pluralisme atau hidup bersama di Rumahtiga mesti menjadikan isu kesejahteraan sebagai persoalan bersama yang mesti dikelola demi masa depan bersama. Masalah-masalah kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan, perlu ditempatkan sebagai isu utama untuk merumuskan agenda pembaruan bersama. Dengan demikian, komunitas beragama di Rumahtiga kini bertanggungjawab membangun peradaban yang baru, suatu peradaban orang basudara.
Demikian!
Elifas Tomix Maspaitella. Email: elifas-tm@hotmail.com, elifastomix@yahoo.com, HP. 081343451221.
Sejak tanggal 3 Agustus 2008, bertugas sebagai Penghentar Jemaat GPM Rumahtiga
Materi ini disampaikan dalam Kegiatan Rujuk Sosial RumahTiga, yang diselenggarakan oleh JAICA, Ambon, 2007
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
The lamp are different, but the light is the same
(Jalalu’l-Din Rumi)
1. Pengantar
Saya bersyukur hadir dalam “Rujuk Sosial Rumahtiga” (Integrasi Sosial Rumahtiga), suatu kondisi kohesif yang sudah menjadi cita-cita bersama bukan hanya orang Rumahtiga, tetapi cita-cita kemanusiaan Maluku yang sejati, cita-cita Indonesia, dan saya yakin cita-cita seluruh warga dunia yang peduli pada kemanusiaan.
Sebetulnya proses-proses sosial ke arah integrasi itu harus dilihat sebagai bagian dari dinamika sosial yang selalu berhadapan dengan social tension (ketegangan sosial) sebagai akibat dari telah terbentuknya klaim diri (self-centered) dan klaim teritori (geo social) – dan lebih parah lagi jika bentuk-bentuk klaim sosial itu sudah terstruktur dalam basis-basis eksklusifitas, dan salah satunya dikondisikan oleh agama. Akibatnya bukan saja terjadi kemacetan dalam komunikasi, tetapi kemacetan dalam proses sosial bersama.
Integrasi sosial yang menuju pada suatu situasi kohesi memang sering dikritik sebagai sesuatu yang utopis, tetapi integrasi itu adalah tujuan esensial dari beradanya masyarakat di mana pun, kapan pun, dalam situasi apa pun mereka. Sebab setiap masyarakat itu hendak berada dalam suatu type ideal masyarakat, dan konflik sosial selalu dimengerti sebagai bagian dari dinamika sosial yang [harus] mengarah ke integrasi atau harmoni sosial. Keterarahan itu yang menunjukkan bahwa masyarakat manusia itu adalah makhluk yang beradab; dalam kalimat lain, suatu masyarakat yang tidak mencapai integrasi dan terus menjebak diri dalam konflik adalah masyarakat yang gagal membentuk pemberadaban dirinya sendiri. Masyarakat ini tipe ini kehilangan spirit kemanusiaannya dan terkapar di dasar ciri zoologis yang mengkristal di bawah alam sadarnya.
Jika kita masih berhadapan dengan kendala-kendala dalam proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” saya kira kita harus mempersoalkan kembali proses-proses sosial yang kita jalani pascakonflik. Dalam teorinya, suatu kondisi kohesif selalu berproses dari:
- Tahap Konflik Sosial
- Tahap Rekonseliasi
- Tahap Rehabilitasi - Restrukturisasi
- Tahap Integrasi
- Tahap Kohesif, kesadaran purna
Sering suatu kondisi integrasi terganggu karena ada persoalan-persoalan laten yang tidak terselesaikan dalam masa rekonseliasi dan rehabilitasi – restrukturisasi. Dan persoalan-persoalan itu terkait dengan akses masyarakat akan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan – kesederajatan, di samping trauma dan pemahaman diri (self-understanding) yang masih rapuh. Atau mungkin saja rekonseliasi itu dilompati dengan rehabilitasi, artinya kita belum siap hidup berdampingan tetapi [pemerintah] sudah langsung melakukan rehabilitasi sosial secara fisik. Akibatnya kita terbawa dalam situasi ketegangan sosial yang serius dan sulit teratasi.
Sebelum membicarakan topik ini dari sudut pandang Teologi Kristen Protestan, perlu ada pemetaan mengenai realitas sosial kita bersama dalam rangka melihat di mana sumber-sumber kemacetan yang terjadi serta bagaimana usaha kita untuk membangun suatu agenda bersama yang lebih menjamin proses hidup bersama itu.
Konflik sosial Maluku dalam kondisi tertentu telah melahirkan beberapa keadaan sosial yang harus diarifi secara bersama.
a. Terbentuknya segmentasi ekonomi, di mana muncul pasar-pasar kaget yang terstruktur dalam suatu lingkungan sosial yang dihuni oleh satu kelompok agama saja. Transaksi di pasar-pasar itu terjadi antara penjual dan pembeli yang berlatar belakang agama sama (Kristen), karena itu pasar tidak lagi menjadi wilayah publik yang terbuka, melainkan suatu wilayah ekonomi yang eksklusif. Pasar tidak menjadi ruang perjumpaan antar warga yang berbeda latar belakang agama sehingga dapat saja pasar melanggengkan eksklusifisme agama itu sendiri. Apalagi jika aktifitas ritus suatu agama juga sudah dibawa masuk ke dalam pasar. Ini tentu harus dikritisi kembali.
Pasca konflik, justru pasar kembali menjadi satu-satunya pusat pertemuan publik. Tetapi di pasar kita mengembangkan komunikasi transaksional, di mana orang membangun komunikasi untuk menawarkan komoditi dan harga barang. Materi percakapan tidak menyentuh bagaimana hidup bersama, tetapi sebatas pada tawar-menawar produk dan harga. Ada dimensi jasa yang terwujud di situ, tetapi juga dalam nuansa transaksional.
b. Terbentuknya permukiman segregatif, di mana tidak ada lokasi permukiman bercampur seperti yang dijumpai pada saat sebelum konflik. Corak bermukim seperti ini terbentuk karena self-defence approach pada masa konflik. Orang merasa aman jika bermukim dalam satu kawasan yang semua penduduk/tetangganya beragama sama. Karena itu terbentuk kembali permukiman homogen yang bercorak religius, seperti dibentuk kolonial di zaman lampau. Dari sisi teologi, corak bermukim seperti ini akan memupuk eksklusifisme dan semangat triumphalisme yang kuat, karena umat beragama kehilangan pengalaman hidup bersama (neighbour lost), akibatnya proses-proses toleransi tidak saja macet, tetapi hilang. Karena itu kita perlu membentuk pengalaman hidup bersama kembali.
c. Menguatnya klaim diri (self-centered) yang bertumpu pada klaim kebenaran agama (the truth claim). Umat beragama merasa lebih benar satu terhadap lainnya. Kesejatian agama ditentukan berdasarkan paham-paham beragama yang mapan. Lucunya ialah oleh karena paham agama itu, kita cenderung memberi penilaian yang berat sebelah terhadap kebenaran yang dianut dalam dan sesuai dengan ajaran agama kelompok lainnya. Dan tanpa disadari klaim diri seperti itu juga lahir karena tafsir kitab suci yang kaku. Perilaku biblisentrisme dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran diri dan kelompok. Pertanyaan kritisnya di sini ialah apakah setiap agama itu menyembah TUHAN yang berbeda, atau sebaliknya hanya ada satu TUHAN yang disembah melalui beribu nama, jalan dan cara?
d. Kerentanan pluralisme, sebagai akibat dari ketiga hal tadi. Artinya konteks kemajemukan masyarakat, berdasar pada berbagai faktor, salah satunya agama, dilihat secara dikotomi. Citra manusia yang berbeda-beda tidak dipahami sebagai kekayaan kemanusiaan yang sejati, sebaliknya dipertentangkan oleh karena hegemoni sosial yang hendak diciptakan dalam konteks kemajemukan itu. Di sini kita sebenarnya mengalami krisis perbedaan yang cukup fundamental. Kesadaran pluralisme merupakan suatu kondisi sosial dan personal yang perlu dibentuk dalam hidup bersama.
Keempat hal ini akan mengantar kita melihat perspektif Teologi Kristen Protestan tentang “Rujuk Sosial Rumahtiga”. Saya hendak menegaskan bahwa proses “Rujuk Sosial Rumahtiga” adalah sebuah tanggungjawab pemberadaban publik di Maluku demi kemanusiaan yang sejati.
2. Fakta Pluralisme
Pluralisme adalah kondisi kepelbagaian yang terjadi karena berbagai macam faktor sosial, seperti budaya, bahasa, pengetahuan, sistem politik, agama, dll. Bahwa masing-masing orang dan komunitas itu memiliki ciri-ciri masing-masing yang beragam, tidak sama persis dengan orang dan komunitas lainnya. Ciri-ciri masing-masing itu dimiliki mereka sebagai anugerah TUHAN, dan dikembangkan melalui mekanisme sosial dan kebudayaan yang khas pula.
Ciri masing-masing itu bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya disyukuri sebab pada ciri masing-masing itulah terletak citra/fitrah kemanusiaan manusia itu. Karena itu, pluralisme itu anti terhadap:
- Uniformitas atau penyeragaman, di mana setiap orang dan setiap kelompok harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan jatidirinya sesuai dengan ciri masing-masing yang mereka miliki. Penyeragaman justru akan mengabaikan jatidiri manusia, dan akan menjebak kita dalam tirani suatu budaya mayoritas terhadap yang minoritas. Jika semua orang dan semua komunitas harus berciri sama, maka masyarakat manusia itu tidak lebih daripada robot yang dikendalikan dengan remote control. Beragama yang seperti itu akan membawa kita ke dalam perangkap egosentrisme.
- Dominasi. Pluralisme atau kemajemukan itu dalam segala seginya berusaha memajukan budaya kehidupan yang egaliter, membangun komunikasi yang sejajar, emansipatif, dan membentuk iklim sosial yang harmonis. Dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya justru memperlihatkan bahwa masyarakat dan umat beragama itu jatuh dalam paham triumphalisme (kemauan untuk menang sendiri). Paham ini akan membuat agama-agama menjadi “penjajah baru” di dalam satu komunitas masyarakat majemuk. Tidak ada keselarasan dalam menata hidup bersama.
Dalam teologi, paham pluralisme itu mengakui bahwa setiap kelompok agama memiliki kebenaran masing-masing, dan kelompok agama itu harus dibiarkan berkembang dan mengembangkan dirinya sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini, tanpa harus diganggu/dihalangi.
Bagaimana dengan kekhasan masing-masing agama? Dalam pluralisme kekhasan itu dibiarkan bertumbuh dan berkembang, dan diserahkan menjadi urusan internal masing-masing kelompok agama. Itu menjadi hak privat agama yang tidak bisa dihalangi. Ada aspek kebebasan dalam berekspresi, sebab agama, bagi penganut paham pluralisme, adalah suatu bentuk refleksi kebudayaan dan kesadaran manusia akan keberadaannya di tengah masyarakat, alam semesta, dan di hadapan Tuhan Yang Satu.
Realitas Tuhan Yang Satu itu yang membuat setiap kelompok agama harus mengembangkan sikap hidup yang terbuka. Karena itu pluralisme menolak klaim kaum Eksklusifisme yang memandang bahwa di luar diri mereka tidak ada lagi kebenaran yang lain – otomatis kalau Tuhan itu juga dipandang sebagai suatu “kebenaran tertinggi” maka bagi mereka di luar mereka juga tidak ada Tuhan yang lain; kalau pun ada, Tuhan itu memiliki harkat yang lebih rendah dan mungkin rusak dari Tuhan mereka.
Demikian pun pluralisme memahami kaum Inklusifisme sebagai eksklusifisme gaya baru, karena jika inkulsifisme menerima kebenaran di luar mereka, bagi mereka kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang mereka yakini. Bagi kaum pluralisme, hal itu pun masih membuat agama terkurung dalam “egosentrisme”.
Kaum pluralisme lebih suka mewacanakan kehidupan bersama, sebab setiap manusia memiliki citra yang sama di hadapan Tuhan, yaitu makhluk, dan Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang satu, hanya disembah melalui beribu nama, jalan dan cara. Hal nama, jalan dan cara menyembah Tuhan, itu adalah hasil produksi budaya masing-masing orang dan/atau kelompok umat beragama.
Karena itu bagi kaum pluralisme, kepelbagaian yang ada bukanlah hal yang harus dipertentangkan, sebaliknya digunakan sebagai potensi untuk membangun harmoni kehidupan dan melakukan agenda kehidupan bersama di dalam masyarakat, bangsa dan negara dan dunia yang satu juga.
3. Pandangan Kristen tentang Hidup Bersama
Sebenarnya agama-agama itu memiliki tujuan yang sama yaitu “melayani manusia dan alam ciptaan TUHAN”, sebagai wujud pelayanan atau bakti (ibadah) kepada TUHAN. Tidak satupun agama di dunia ini yang anti kemanusiaan, sebaliknya agama adalah mekanisme yang dihasilkan untuk membentuk kemanusiaan yang paripurna.
Jika ditanyakan mengenai konsepsi kristen tentang pluralisme atau kemajemukan, sebenarnya tidak berbeda dari pandangan teologi lainnya. Kekristenan melihat pluralisme atau kemajemukan itu sebagai realitas anugerah/kodrat TUHAN kepada setiap manusia dalam setiap komunitasnya. Hal pokok dari kemajemukan atau ciri masing-masing itu ialah derajat atau dignitas kemanusiaan itu sendiri.
Saya mengutip apa yang dikatakan Paul F. Kniter, bahwa:
“tidaklah cukup mengakui dan membuka diri terhadap perbedaan yang ada, di samping mengakui perbedaan tersebut kita harus juga mengakui kebebasan dan martabat seseorang. Kalau tidak ada kebebasan dan dignitas, kita harus berusaha menghadirkannya. Menyenangi perbedaan tetapi tidak prihatin terhadap martabat berarti kita tidak sepenuh hati mengulurkan tangan kepada orang lain” (Kniter, 2006:129)
Di sisi lainnya, jika diambil dari teks Injil, Yesus menterjemahkan realitas kemajemukan itu dalam satu istilah “sesama manusia”. Artinya setiap orang itu adalah “sesama manusia” yang potensial untuk membuat kebaikan bersama (common good) di dalam dunia. Cerita Injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria yang murah hati” adalah kritik terhadap eksklusifisme keyahudian (dan gereja) yang mengklaim sesama manusia itu hanya pada diri dan kelompok mereka saja.
Satu hal mendasar dalam teks Injil itu adalah pentingnya memulihkan dignitas manusia dan memberi jaminan kehidupan kepada orang-orang yang tertindas, teraniaya, kelompok marginal. Yesus malah menunjuk kepada orang-orang Yahudi bahwa, saudara mereka orang Samaria memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik, karena kepekaan sosialnya begitu tinggi. Dimensi ini yang kadang hilang dari agama-agama dewasa ini, karena kita sudah terjebak dalam klaim diri dan kelompok secara kaku.
Ada beberapa sumber kemacetan dalam teologi yang menjadi alasan mengapa menata hidup bersama (dalam konteks kemajemukan) itu sulit, antara lain:
- Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks-teks kitab suci yang eksklusif. Agama-agama memiliki dan menganggap kitab suci mereka sebagai yang mengandung kebenaran sempurna; padahal kita lupa akan situasi sosial yang mempengaruhi terbentuknya tulisan suci itu. Dalam kekristenan diakui bahwa para penulis Alkitab memang mendapat ilham Roh Kudus untuk memproduksi tulisan suci, tetapi tulisan suci dalam Alkitab itu juga lahir dari konteks sosial yang riil, termasuk situasi sosial di mana orang-orang Yahudi menganggap diri mereka yang paling benar dan mereka sebagai satu-satunya komunitas yang diselamatkan Tuhan (konsep predestinasi).
Demikian pun kelompok kristen dalam Perjanjian Baru menganggap kebenaran dan keselamatan itu hanya terjadi di dalam gereja dan tidak ada di luarnya (extra ecclesia nula salus). Konsep-konsep seperti itu sudah menjadi semacam pandangan dunia (worldview) yang melahirkan teks-teks tertentu. Karena itu, teks-teks suci di dalam Alkitab juga ada yang sangat eksklusif atau bahkan triumphalistik.
Sekarang Alkitab yang diproduksi di luar Indonesia dalam zaman dan waktu yang sangat panjang dan lama itu harus dibaca dala konteks Indonesia. Oleh sebab itu, teks-teks yang bernuansa eksklusif seperti itu sudah tidak bisa lagi dipahami dalam konteks keyahudian dan keyunaniannya, tetapi mesti dikritisi dalam konteks keindonesiaan kita yang majemuk. Pada saat teks-teks Alkitab itu ditulis, Yahudi dan Kristen menjadi kelompok yang dominan, dan sistem politik dewasa itu menjamin posisi dominasi mereka. Berbeda kondisinya dengan Indonesia yang demokratis yang menjamin kebersamaan dalam hak dan kedudukan sosial di dalam bangsa dan negara. Teks-teks itu tidak harus dipahami secara harfiah seperti tertulis demikian. Di sini tafsir teks yang baru harus dikerjakan secara serius.
- Paham Tuhan. Agama-agama di dunia itu menyembah Tuhan yang satu, yaitu Pencipta manusia dan alam semesta. Tidak ada Tuhan yang lain, selain Tuhan Sang Pencipta itu. Kadang paham Tuhan ini menjebak agama-agama ke dalam klaim kebenaran (truth claim) yang rapuh, seakan Tuhan yang benar dan mulia itu hanya ada di dalam satu kelompok agama saja. Tuhan itu adalah realitas ultima. Teolog seperti John B. Cobb, jr, malah memahami Tuhan ibarat “sumber air dalam tanah”. Di suatu tempat akan muncul dalam bentuk sumur, di tempat lain danau, di tempat lain lagi sungai, dll, tetapi semuanya memancar dari satu sumber air yang sama di dalam tanah.
Agama-agama di Indonesia kini terjebak dalam cara memahami Tuhan secara tidak kontekstual. Kita masih mewarisi cara memahami Tuhan ala orang Barat dan Timur Tengah yang hierarkhis.
Di Eropa, yang kala itu didominasi kristen, Tuhan: dalam arti Tri Tunggal menempati posisi tertinggi, kemudian di bawahnya adalah orang Eropa (etnis) dan yang beragama Kristen, kemudian di bawahnya lagi baru orang-orang berkebangsaan dan beragama lain. Sama halnya dengan paham Tuhan di Arab, di mana Tuhan: dalam arti Allah SWT menempati posisi tertinggi, di bawahnya adalah orang-orang Arab dan agama Islam, baru di bawahnya lagi komunitas lain yang beragama lain. Paham hierarkhis seperti ini adalah politisasi paham Tuhan, seakan Tuhan itu melegalkan dominasi dan ordinasi. Tetapi itu relevan di Eropa dan Arab karena corak sosial dan politik mereka memungkinkan terjadinya struktur pemahaman seperti itu.
Bagaimana dengan Indonesia yang demokratis dan majemuk? Tuhan Yang Satu dalam pemahaman dunia orang Indonesia adalah Tuhan yang disembah oleh setiap agama melalui nama yang berbeda-beda. Dia adalah Allah SWT dalam namanya yang Islam, Tritunggal sesuai namanya di Kristen, Shang Hyang Widi Wasa dalam nama Hindu dan BuddhaNya, dll, termasuk nama-nama kebudayaan lainnya. Nama-nama itu adalah identitas budaya atau nama budaya tentang Tuhan, dan Tuhan itu sendiri ada di atas seluruh pengalaman budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Di bawah Tuhan ada setiap agama dengan semua perangkat nama dan cara mereka menyembah Tuhan. Setiap agama menempati posisi dan ruang yang sama di Indonesia, dan ada kesetaraan di antara mereka, lalu karena itu mereka semua hidup dalam keadilan dan kesejahteraan yang sama pula.
- kekayaan agama dilihat sebatas pada kekayaan ritual, sehingga agama-agama memberi fokus pada aspek ritual lalu mengabaikan tanggungjawab sosial sebagai esensi beragama. Orang lebih suka “memperkuat agama”, daripada menjalankan fungsi agama yaitu “melayani sesama manusia dan alam semesta”. Ritus dibuat untuk menertibkan cara ekspresi umat beragama, bukan membentengi agama dari kepedulian terhadap orang lain. Karena itu kekayaan agama justru terletak pada tanggungjawab pemanusiaan.
Tiga hal itu yang kiranya kita maknai dalam kerangka hidup bersama ke depan.
4. Menata Agenda “Rujuk Sosial Rumahtiga” keluar dari krisis perbedaan
Saya tidak akan memberikan formula dan agenda yang praksis, karena hal itu harus datang dari need assessment yang jelas. Bagi saya “orang Rumahtiga” itu lebih memahami apa yang mereka perlukan dan apa yang harus mereka kerjakan secara bersama.
Saya bertanggungjawab untuk meningkatkan kita mengenai dimensi “Rujuk Sosial Rumahtiga” sebagai suatu strategi pemberadaban kemanusiaan melalui agama.
Bagi saya, dengan hilangnya permukiman bercampur di Kota Ambon (dan Maluku secara umum), kita kehilangan momentum untuk menjadi agama yang solider dengan masa depan manusia di Maluku, di Indonesia dan di dunia. Agama-agama dapat terjebak dalam klaim sosial yang semakin memperuncing ketegangan, sehingga integrasi akan sulit dicapai. Sebaliknya suatu waktu kita akan kembali ke titik anomali, lalu terkapar lagi dalam konflik lama yang semakin membawa luka dan kebencian.
Rumahtiga sebagai kawasan permukiman bercampur harus ditempatkan dalam semangat kontekstualisasi agama di Ambon dan Indonesia. Artinya, kita memerlukan tipikal masyarakat yang benar-benar mampu mengelola kepelbagaiannya di dalam krisis perbedaan itu tadi. Basudara Salam-Sarane di Rumahtiga harus berani untuk hidup berdampingan, sebab kita harus melepaskan diri dari “momok perbedaan” yang terus-menerus dipertentangkan.
Krisis perbedaan itu terjadi ketika sesuatu dianggap bersalah, perbedaan-perbedaan ditiadakan dan muncullah pola-pola kebiasaan suatu pranata. Krisis perbedaan merupakan krisis sosial dan kultural yang mengancam kehidupan komunitas (L. Lefebure).
Rene Girard melihat bahwa karena krisis perbedaan itu, maka di dalam masyarakat akan muncul “tuduhan” sebagai cara orang “mencari kambing hitam”. Orang, karena perbedaan tertentu dengan orang lain – termasuk perbedaan kepentingan politik – dapat saja menggunakan mekanisme “tuduhan” sebagai cara untuk menekan orang lain, dan karena itu mengeksekusi suatu ciri tipikal orang lain yang berbeda dari dirinya. “Tuduhan” dalam hal ini dilancarkan untuk memaksakan pola kelompok yang arogan ke dalam suatu public sphere yang luas dan plural. Akibatnya “kambing hitam” selalu merupakan orang atau kelompok marjinal yang karena krisis perbedaan itu tidak dibiarkan berkembang sesuai dengan tipikalnya itu.
Di dalam suatu masyarakat plural, mekanisme “tuduhan” ini muncul sebagai bukti masih menguatnya fundamentalisme dan eksklusifisme yang terkadang radikal. Tampak polarisasi yang terus menajam, sebab kelompok tertentu terus melancarkan paksaan karena tidak bersedia menerima adanya perbedaan di dalam masyarakat. Perbedaan telah dilihat sebagai realitas kontra-produktif, yang harus ditiadakan. Cara semacam ini hanya terjadi dalam suatu masyarakat barbar, dan bukan masyarakat sipil yang berkeadaban.
Di sini pluralisme di Rumahtiga sudah tidak mesti dilihat dalam kaitan dengan isu-isu sensetif dalam agama lagi, yang dapat menimbulkan tabrakan dogma. Agenda pluralisme atau hidup bersama di Rumahtiga mesti menjadikan isu kesejahteraan sebagai persoalan bersama yang mesti dikelola demi masa depan bersama. Masalah-masalah kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan, perlu ditempatkan sebagai isu utama untuk merumuskan agenda pembaruan bersama. Dengan demikian, komunitas beragama di Rumahtiga kini bertanggungjawab membangun peradaban yang baru, suatu peradaban orang basudara.
Demikian!
Elifas Tomix Maspaitella. Email: elifas-tm@hotmail.com, elifastomix@yahoo.com, HP. 081343451221.
Sejak tanggal 3 Agustus 2008, bertugas sebagai Penghentar Jemaat GPM Rumahtiga
Materi ini disampaikan dalam Kegiatan Rujuk Sosial RumahTiga, yang diselenggarakan oleh JAICA, Ambon, 2007
Pesan Tobat Synode GPM Tahun 1960
aRSIP:
Synode Geredja Protestan Maluku dalam Sidang tertangal 4 Mei Tahun 1960 di Kota Ambon, karena mengalami pergumulan rochani jang hebat, pergumulan mana mengenai Geredja ini dalam keseluruhannja, merasa sangat perlu dan wadjib menjampaikan pesan kepada sekalian anggota dan pedjabat Geredja, sebagai berikut:
1. Dengan penuh kerendahan hati, Synode mengaku serta pertjaja Anugerah dan Pimpinan Allah, jang telah memanggil dari antara umat manusia di Maluku, suatu persekutuan orang-orang pertjaja kepada Jesus Kristus, Djuru Selamat dunia; persekutuan jang dihimpunkanNja ke dalam Geredja Protestan Maluku ini, supaya mendirikan tanda jang njata dan mendjadi alat daripada Keradjaan Allah di dunia ini, bersama-sama dengan Geredja-geredja di Indonesia dan di seluruh muka bumi.
2. Synode mengaku, serta pertjaja, bahwa Geredja ini hanya hidup dan bertahan di sepandjang masa oleh Pimpinan Rochulkudus sebagaimana ternjata dalam Pemberitaan Firman Allah dan Pelajanan tanda-tanda Ezrad jang kudus
3. Synode mengaku pula, bahwa seluruh Geredja ini tidak selalu mau dan jakin akan Anugrah dan Pimpinan Rochulkudus itu serta taat kepadaNja, sehingga dalam menunaikan panggilannja terhadap kepada dunia ini, Geredja tampak lemah dan gagal (Rum.3:9-19); tetapi Geredja mengaku bahwa Allah tidak mengambil RochNja dari tengah-tengah Geredja ini dan tidak melepaskan segala perbuatan tanganNja. Geredja pertjaja dan jakin, bahwa Roh Allah bukan Roh jang mematikan, melainkan Roh yang menghidupkan.
4. Synode dalam persidangannja mengaku pekerdjaan Rochulkudus itu dan hendak taat kepadaNja, seraja berdasarkan pengakuan itu hendak diperbarui dan memperbarui diri
5. Djalan jang pertama ke arah pembaruan itu ialah pertobatan total dari seluruh anggota-anggota dan pedjabat-pedjabat Geredja
6. Synode jakin dan pertjaja, bahwa pembaruan Geredja dan pensutjian hidup hanja dapat berlaku oleh Firman Allah dan Rochulkudus.
Berdasarkan kejakinan di atas, maka Synode dalam PESANNJA ini memanggil sekalian anggota dan pedjabat Geredja Protestan Maluku untuk menaklukkan diri ke bawah Firman Allah seraja mewudjudkannja di dalam kesuluruhan hidup di tengah-tengah dunia ini.
Ds. P. de Fretes Ds. D. Louhenapessy
Ketua Sekretaris
Synode Geredja Protestan Maluku dalam Sidang tertangal 4 Mei Tahun 1960 di Kota Ambon, karena mengalami pergumulan rochani jang hebat, pergumulan mana mengenai Geredja ini dalam keseluruhannja, merasa sangat perlu dan wadjib menjampaikan pesan kepada sekalian anggota dan pedjabat Geredja, sebagai berikut:
1. Dengan penuh kerendahan hati, Synode mengaku serta pertjaja Anugerah dan Pimpinan Allah, jang telah memanggil dari antara umat manusia di Maluku, suatu persekutuan orang-orang pertjaja kepada Jesus Kristus, Djuru Selamat dunia; persekutuan jang dihimpunkanNja ke dalam Geredja Protestan Maluku ini, supaya mendirikan tanda jang njata dan mendjadi alat daripada Keradjaan Allah di dunia ini, bersama-sama dengan Geredja-geredja di Indonesia dan di seluruh muka bumi.
2. Synode mengaku, serta pertjaja, bahwa Geredja ini hanya hidup dan bertahan di sepandjang masa oleh Pimpinan Rochulkudus sebagaimana ternjata dalam Pemberitaan Firman Allah dan Pelajanan tanda-tanda Ezrad jang kudus
3. Synode mengaku pula, bahwa seluruh Geredja ini tidak selalu mau dan jakin akan Anugrah dan Pimpinan Rochulkudus itu serta taat kepadaNja, sehingga dalam menunaikan panggilannja terhadap kepada dunia ini, Geredja tampak lemah dan gagal (Rum.3:9-19); tetapi Geredja mengaku bahwa Allah tidak mengambil RochNja dari tengah-tengah Geredja ini dan tidak melepaskan segala perbuatan tanganNja. Geredja pertjaja dan jakin, bahwa Roh Allah bukan Roh jang mematikan, melainkan Roh yang menghidupkan.
4. Synode dalam persidangannja mengaku pekerdjaan Rochulkudus itu dan hendak taat kepadaNja, seraja berdasarkan pengakuan itu hendak diperbarui dan memperbarui diri
5. Djalan jang pertama ke arah pembaruan itu ialah pertobatan total dari seluruh anggota-anggota dan pedjabat-pedjabat Geredja
6. Synode jakin dan pertjaja, bahwa pembaruan Geredja dan pensutjian hidup hanja dapat berlaku oleh Firman Allah dan Rochulkudus.
Berdasarkan kejakinan di atas, maka Synode dalam PESANNJA ini memanggil sekalian anggota dan pedjabat Geredja Protestan Maluku untuk menaklukkan diri ke bawah Firman Allah seraja mewudjudkannja di dalam kesuluruhan hidup di tengah-tengah dunia ini.
Ds. P. de Fretes Ds. D. Louhenapessy
Ketua Sekretaris
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...