PROBLEM PEMBANGUNAN DI PULAU-PULAU KECIL

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


People centered development atau pembangunan berbasis masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pendekatan kesejahteraan (social welfare) di mana masyarakat menjadi subyek utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh dinamika pembangunan. Sudah tentu hal itu mengindikasikan bahwa pembangunan menjadikan manusia atau masyarakat manusia sebagai tujuan. Suatu gerakan protes terhadap developmentisme yang cenderung memosisikan manusia sebagai alat untuk melaksanakan proyek-proyek raksasa atas nama kesejahteraan.

Ada empat pengalaman kecil dari empat kali berkunjung ke pulau-pulau kecil di Maluku. Pertama, pengalaman berkunjung ke Pulau Larat (MTB), kedua ke Pulau Selaru (MTB), ketiga ke pulau Kisar (MBD) dan keempat ke pulau Wamar-Dobo (Kepulauan Aru). Pengalaman-pengalaman kecil yang patut disyukuri dalam tugas sebagai Ketua Umum PB AMGPM dan Tim Evaluasi PIP/RIPP GPM sepanjang tahun 2010.

Dengan pengalaman-pengalaman itu kita bisa melihat bagaimana pembangunan berlangsung di kawasan-kawasan itu. Optimisme muncul ketika pemekaran wilayah atau otonomisasi daerah yang melahirkan beberapa kabupaten baru (MTB, Kepulauan Aru, dan MBD) lepas dari Kabupaten induk Maluku Tenggara. Sebab idiom Tenggara Jauh, yang berbau stigmatisasi, merupakan sebuah fakta ironi ekonomi pula. Betapa masyarakat di kawasan itu dahulu kesulitan dalam akses-akses ekonomi, sebagai akibat dari rentang kendali pembangunan yang sangat panjang. Sudah tentu bukan percepatan pembangunan melainkan keterlambatan pembangunan yang mereka alami.

Terlalu lama mereka dijauhkan dari sebuah sentuhan pembangunan yang adil dan merata. Mereka mendengar istilah-istilah itu di bangku sekolah, tetapi sekolah-sekolah mereka reyot, bangunannya rusak, ruang kelasnya terbatas, gurunya sangat terbatas, hari-hari sekolahnya tetap senin-sabtu, tetapi jam belajar mungkin sekali seminggu. Istilah-istilah itu mereka dengar dalam situasi ironi. Pemekaran wilayah menjadi semacam ‘obat penenang’ yang semoga bisa membangunkan gairah kemajuan di kawasan-kawasan tadi. Harapan itu sangat wajar, apalagi jika harapan itu muncul dari masyarakat di kawasan-kawasan tadi.

1. Tnyafar dan Ijonisasi: Lingkaran Setan Kemiskinan di MTB
Dua tulisan saya dalam www.kutikata.blogspot.com (Ijonisasi dan Ijonisme, serta Tnyafar) menjadi sebuah catatan yang memberi gambaran tersendiri mengenai realitas pembangunan di MTB. Sebagai kabupaten dengan tipikal kelautan, potensi perikanan dan kelautan terlalu melimpah tersedia di sini. Saya terkesan karena usaha perikanan dan rumput laut yang dikelola secara tradisional dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga.

Di sektor rumput laut, mereka bisa memproduksi lebih dari 1 ton rumput laut kering. Harga jualnya berkisar antara Rp.8.000 – 10.000/kg. Artinya dalam satu masa panen, satu kepala keluarga mampu memperoleh sekitar Rp.8.000.000 – 10.000.000. Ini menunjukkan angka kesejahteraan rakyat sangat baik. Belum lagi di sektor perikanan tangkap. Dalam satu kali memancing, seorang nelayan mampu membawa pulang lebih dari 100 kg ikan. Jika dihitung Rp.10.000/kg, maka mereka bisa mendapat 1.000.000 dari satu kali tangkapan. Pada kedua komoditi ini saja kita sudah bisa menghitung berapa besar tingkat ekonomi rumah tangga di MTB.

Namun faktanya ialah, masyarakat MTB seperti di Pulau Larat dan kepulauan di sekitarnya, juga di Pulau Selaru, masih tergolong miskin. Mereka menguasai pusat produksi, tetapi mereka bukan penentu atas harga komoditinya. Harga komoditi itu ditentukan oleh pedagang yang adalah juga pengijon. Malah mereka terbelilit di dalam ijonisasi yang justru memperparah kondisi perekonomian mereka. Ditambah dengan mind-set sebagian besar masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumtif. Beberapa teman yang belajar ilmu ekonomi mengingatkan saya bahwa, ada soal dalam lalu lintas perekonomian itu, sebab ijonisasi selain merupakan fakta monopoli tetapi juga terbangunnya oligarki ekonomi sehingga ada semacam genealogi ijonisasi di sana. Maksudnya yang mengijon adalah satu kelompok yang terhubung dengan kelompok lain di pusat pasar.

Fakta itu mencuat di tnyafar-tnyafar di Pulau Selaru. Masyarakat yang tinggal bertahun-tahun di tnyafar untuk tujuan berusaha, bukannya menjadi kelompok yang mapan secara ekonomi, tetapi terus terbelilit di dalam lingkaran kemiskinan yang ternyata gampang diurai tetapi sulit diputuskan. Belum ada regulasi di bidang ekonomi kerakyatan yang mampu memangkas lingkaran setan kemiskinan itu.

2. Kekeringan dan Blok Masela: Tantangan Kesejahteraan di MBD

Saya tertegun sewaktu tiba di Bandara Kisar (15 Oktober 2011), karena ada sejumah ekor kambing yang memakan rumput-rumput kering di sekitar Bandara. Saya mencoba mengamatinya, ada seekor di antaranya sedang menghisap sesuatu dari batu karang. Teman saya dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku mengatakan, itu adalah cara kambing itu mencari setetes air.

Dalam perjalanan ke pastori Klasis GPM Pulau-pulau Kisar, teman Pendeta Herry Rutumalessy mengatakan, saat ini di Kisar ada empat warna, yakni cokelat, hitam, kuning dan separuhnya hijau. Cokelat itu tandanya kekeringan, hitam itu tanda baru selesai ter[bakar], kuning itu tanda masa menghijau telah usai, dan hijau itu hanya ada di daun pohon koli dan lemon [jeruk] kisar [Leki], tanaman daerah tropis yang bertahan hidup di kemarau panjang.

Kenyataan adanya kekeringan itu didukung oleh masyarakat yang berjubel mengitari satu buah sumur untuk keperluan mengambil air dan mencuci pakaian. Jalan raya yang belum diaspal semakin mengesankan kekeringan itu sebab jalanan berdebu, sampai-sampai daun pohon pisang pun berwarna sama dengan debu. Ini benar suatu fakta dari adanya problem serius mengenai lingkungan di sana. Walau kita harus memberi catatan tersendiri mengenai bagaimana orang-orang Kisar survive dalam alam seperti itu sejak dahulu sampai saat ini.

Sisi cerita baru dari pengalaman di sana ialah cerita mengenai beroperasinya perusahan migas dalam pengelolaan Blok Masela. Cerita sama saya dapati di Pulau Selaru, bahwa Inpex Corporation, salah satu perusahan migas Jepang telah mendapat ijin pengelolaan Blok Masela, dengan infestasi US$ 19 Miliar.

Dalam web detikfinance disebut bahwa Inpex, oleh perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Pusat, akan membangun terminal terapung untuk menyedot gas dan langsung diubah menjadi LNG Blok Masela yang terletak di laut Arafuru, wilayah perairan Indonesia yang berada di antara Australia dan Papua Nugini. Disebut pula bahwa lapangan gas ini bisa menghasilkan 2,5 juta matrix ton per/tahun, dan minyak 8.400 barrel per/hari. Dan untuk tahap pertama di tahun 2012, disebut bisa menghasilkan 9 triliun cubic feet.

Dapat dibayangkan betapa daerah kering ini menyimpan harta berharga di dasar buminya, dan ternyata dikelola oleh perusahan-perusahan raksasa. Kita wajib mempertanyakan apakah pembagian hasl 10 persen dari pengelolaan itu akan benar-benar difokuskan bagi kesejahteraan masyarakat di sana? Belum lagi bagaimana dampak pengelolaannya kepada lingkungan laut yang selama ini juga memberi kepada masyarakat trdisional hasil perikanan.

Di sisi lain, tentang tenaga kerja, sudah saatnya dipikirkan pembangunan SMK Migas dan Pertambangan atau Politeknik Pertambangan dan Migas di MBD, agar pasokan tenaga kerja ahli benar-benar datang dari masyarakat basis dan bukan dengan alasan teretentu didatangkan dari luar. Sebab jika demikian masyarakat MBD akan menjadi penonton.

3. Aru Digempur
Aru dikenal sebagai pulau penghasil mutiara. Selain itu pesona burung cenderawasih menjadi primadona fauna yang menarik di kepulauan ini. Biota laut dan fauna ini menjadi ikon kabupaten yang bertajuk Mutiara Indah dan Cenderawasih Lestari.
Pulau-pulau kecil dan terkecil terhampar luas di Kabupaten ini. Dalam paparan Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Aru, Drs. A. Uniplaita, di hadapan peserta MPL ke-33 Sinode GPM di Dobo, 1 November 2011, disebut bahwa, di Kepulauan Aru terdapat 500-an pulau, yang saat ini terdiri dari 5 (lima) Kecamatan. Dari sejumlah pulau itu, hanya 89 pulau yang berpenghuni dengan total penduduk sekitar 84.000 jiwa. Dari sejumlah desa yang ada, 71 desa berbatasan langsung dengan Australia. Dua pulau terluar yang masuk dalam kawasan strategi nasional adalah Pulau Enu dan Pulau Karang (pulau cagar alam). Data lain yang disebut bahwa, terdapat potensi migas yang kaya di dasar laut kepulauan Aru, dan sampai saat ini sudah 6 sumur yang dieksploitasi.

Data-data itu menunjukkan bahwa ada beberapa problem serius, antara lain:
a. Eksistensi pulau-pulau terluar sebagai kawasan strategis nasional memerlukan perhatian serius pemerintah di seluruh jenjang. Apalagi pulau-pulau terluar tersebut memiliki potensi migas yang sangat besar. Perebutan pulau terluar seperti Sipadan dan Ligitan bukan tidan mungkin menunjukkan ada ancaman yang sama pada kawasan pulau terluar di Maluku dan terutama Kepulauan Aru. Ini memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi pulau-pulau tersebut dan juga NKRI.

b. Pulau-pulau yang tak berpenghuni merupakan ikon ekonomi dan pariwisata, yang bisa menjadi daerah rebutan para konglomerat. Tentu ada efek tertentu dari kepemilikan sebuah pulau kepada masyarakat pribumi, terutama pulau-pulau itu oleh orang Aru menjadi tempat persinggahan atau tempat usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sesehari (bnd. Tnyafar di Pulau Selaru, MTB). Di beberapa tempat seperti di Maluku Tengah, praktek kepemilikan pulau-pulau terkecil telah menimbulkan kemiskinan di kalangan masyarakat, karena mereka sudah tidak bisa berusaha atau mencari kebutuhannya di kawasan tersebut lagi.

c. Eksploitasi migas pada sumur-sumur di bawah laut perlu memperhatikan pula kondisi kerentanan pulau. Apalagi Kepulauan Aru rata-rata berada di bawah permukaan laut. Sehingga perlu kajian yang komprehensif pada seluruh sektor. Belum lagi ada semacam ‘teror’ bahwa dalam 25 tahun ke depan Aru bisa tenggelam. Ini bisa disebut teror dalam rangka mendorong migrasi orang pribumi keluar dari pulau-pulau itu agar eksplorasi dan eksploitasi bisa dilakukan secara besar-besaran. Praktek ‘teror’ serupa pernah terjadi pada Pulau Haruku di Lease di tahun 1990-an, ketika disebut bahwa pulau itu tidak berpenghuni.

d. Selain itu gempuran serius lagi di Dobo datang dari sektor seks komersil. Pembangunan Karakoke-karaoke dan Lokalisasi yang menyatu dengan pemukiman penduduk menggembur Dobo di setiap sudut kota. Hal ini mempertanyakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten sejauh ini.

Hal-hal itu menjadi catatan yang mengingatkan kita bahwa pembangunan di pulau-pulau kecil atau pembangunan berbasis pulau-pulau kecil memerlukan regulasi yang tepat dan juga pengawasan yang menyeluruh. Masyarakat di pulau-pulau itu mengalami beberapa jenis kelangkaan, yakni kelangkaan transportasi, informasi, komunikasi dan kelangkaan kesejahteraan. Bentuk-bentuk kelangkaan ini perlu diatasi melalui peranserta seluruh elemen pemerintahan dan stakeholders. (*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara