PANTUN DAN FALSAFAH BABAR


Refungsionalisasi Makna
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

00. PENGANTAR

Kepada semua masyarakat Babar, saya mohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan terentu dalam tulisan ini. Saya menemui (lagi-lagi dari folder Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis GPM Pulau-pulau Babar), beberapa file yang menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan aspek-aspek teologi (sebab hanya ilmu itu yang saya pelajari secara formal). Dalam ‘temuan’ itu, ada dua pantun yang cukup menantang dilakukan refleksi. Saya tidak mau menyebut ‘kajian’ sebab apa yang tertuang dalam tulisan ini jauh dari sebuah perlakuan keilmuan, yang bagi saya bisa digali oleh mereka yang tekun dengan metode kerja pengetahuan.

Satu pantun, dinamai oleh Pdt. Ampy dalam folder itu sebagai ‘pantun darat’, dan satu lagi dinamainya ‘pantun laut’. Memang yang ada hanyalah rumusannya saja, dan tidak disertai penjelasan sebagaimana makna pantun pada lazimnya. Karena itu sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dengan bahasa Babar, saya ‘awam’ di hadapan pantun itu. Tetapi dari sepenggal cerita dengannya, dan sambil merekam ‘gaya hidup’ binatang-binatang yang ada dalam pantun itu, saya menemukan betapa pantun itu mengandung falsafah yang terpintal dari struktur kosmologi dan pandangan dunia yang terlampau kuat mengikatkan masyarakat dalam relasi dengan segala makhluk lain di alam sekitarnya.

Kandungan makna yang cukup mendalam itu sebenarnya harus tergali secara baik jika saya memiliki pengetahuan tentang bahasa sub-etnik Babar, atau setidaknya pernah berkunjung ke Babar lalu mendengar mereka membahasa di dalam lingkungannya sambil menangkap irama dialeg atau gaya bertutur orang Babar.

Hal itu menjadi penting untuk memahami emic perspective yang salah satunya melalui bahasa (ethno-linguistics) sebagai salah satu simbol dari suatu komunitas budaya. Saya percaya keutamaan masyarakat sub-etnik Babar, dan Maluku Tenggara pada umumnya yang masih menyimpan dan membahasa menurut bahasa tanah (ordinary language) muncul sebagai suatu nilai budaya yang bermakna. Berbeda dengan sebagian besar komunitas Maluku Tengah, terutama negeri-negeri Kristen, yang telah mengalami kematian bahasa (death language) dalam kurun waktu empat abad lebih.

01. Pantun Darat
Agar tidak terjadi kesalahan pencatatan dan juga pembahasaannya, lebih baik rumusan pantun itu saya cantumkan sesuai dengan yang ada di dalam file tersebut. Rumusannya begini:

Ayam Utang/Maleo & Teteruga
TINAKO, POPI NYE – MEYO
MEYO : NON NEWYO KA RERIWA RERYO
(* TINAKO : Ayam Utang/Maleo, NEWYO : Tetruga)


Karena tidak memiliki kemampuan berbahasa Babar, saya ‘menjauhkan diri’ dari menafsirnya secara linguistik. Saya mencoba memahaminya dari ‘gaya hidup’ maleo (ayam hutan) dan teteruga dalam kaitan dengan survavilitas (kemampuan dan keinginan atau cara untuk bertahan hidup).

Maleo, sudah tentu jenis unggas/burung yang tentu pula hidup di darat atau tepatnya dalam hutan, sedangkan teteruga (kura-kura) adalah hewan amphibi yang mampu hidup di dua dunia, air dan darat. Dua jenis fauna ini berkembang biak dengan cara bertelur.
Ada satu cara yang sama dari kedua jenis fauna ini. Mereka memilih tempat yang sepi/tersembunyi untuk bertelur. Pemilihan tempat seperti itu menggambarkan salah satu cara untuk survive. Mereka tidak mau diganggu dalam proses-proses reproduksi. Tempat khusus untuk bertelur itu pun ditetapkan karena ada maksud tertentu, yakni waktu telur itu dierami sampai menetas.

Untuk sampai ke situ ada pula kebiasaan yang serupa dari kedua jenis fauna ini. Mereka sama-sama bertelur dan membenamkan telurnya di dalam pasir agar telur itu tidak dirusakkan oleh predatornya. Tindakan itu merupakan cara berikut untuk survive. Yang membuat kedua fauna ini sedikit berbeda, dan ini umumnya dijumpai di Babar, yakni maleo setelah bertelur, tempatnya bertelur dijaga oleh seekor ular. Ular ini bukan predatornya, melainkan ular yang mengerami telur maleo itu. Sedangkan teteruga, bertelur dan membenamkan telur di dalam pasir lalu pergi meninggalkan telur itu begitu saja sampai masa telur itu menetas akibat dari panas dari pasir itu.

Lazim disebut begini: ‘kalakuang parsis maleo’ – artinya melahirkan anak lalu pergi meninggalkan anak itu dijaga/dirawat oleh orang tua atau bahkan saudara yang lain. Hal ini sering dijumpai dalam kebiasaan beberapa orang. Di dalam desa-desa kita di Maluku, anak yang dalam kasus seperti itu diurus oleh oma (nene) dan opa (tete)-nya. Secara psikologis ia lebih dekat dengan nene dan tete, daripada dengan papa+mamanya.
Dalam kerangka itu kita perlu memberi rasa hormat yang tinggi kepada tete+nene atau saudara yang rela memelihara seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya. Identitas dan harga diri anak itu dilekatkan kepada mereka. Dengan demikian anak-anak seperti ini hidupnya tidak terbengkalai.

Dalam arti yang lain, pantun ini juga merupakan lukisan dari perjuangan orang Babar untuk merantau (migrasi) ke suatu tempat, dengan resiko meninggalkan anak-anak di kampung. Suatu waktu baru mereka kembali dan mengambil anak-anak itu beserta mereka di tempat yang baru. Ini dilakukan untuk mengurangi resiko ekonomi yang dapat saja melilit keluarga itu.

Sebaliknya perilaku teteruga sering pula menjadi kiasan bagi mereka yang benar-benar meninggalkan anak-anaknya dan tidak pernah kembali lagi untuk mengurus anak-anak itu. Anak itu akan berjuang sendiri bagi hidupnya, dan mereka benar-benar menjadi pribadi yang tangguh. Secara sosiologis, realitas itu menggambarkan bahwa dalam banyak hal tanggungjawab orang tua terhadap anak sering diabaikan.

Saya kira dengan beberapa kekecualian, pantun-pantun ini dapat menjadi pelajaran budaya yang bertujuan membelajarkan kita tentang pentingnya ikatan hidup keluarga, pembinaan anak, dan daya juang (survive) dari suatu komunitas bagi kehidupan. Untuk masalah hidup, tidak ada pilihan lain selain mengubah mind-set kita bahwa mendidik dan memelihara anak adalah harga yang paling mahal bagi generasi manusia dan masa depan sub-etnik. (*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara